Sofian, satu nama yang sangat sering menghubungi suamiku beberapa bulan ini. Entah kenapa ada perasaan aneh, tapi segera kutepis. Bekerja sebagai aparatur negara, tugasnya tidak sepele. Bahkan nyawa taruhannya, jadi aku harus percaya padanya dan selalu mendukung dengan penuh karena hanya itu yang bisa aku berikan.
Bobby Rahadian, seorang laki-laki yang baik. Dia tidak tampan ataupun kaya. Tapi kharismatiknya membuatku tak berdaya. Aku mengenalnya ketika dia belum menjadi apa-apa. Waktu itu kami bertemu lewat seorang teman. Kami berenam biasa menghabiskan Sabtu malam dengan berkumpul. Kalau tidak di warung dekat alun-alun, rumah teman yang lain pun jadi tempat sasaran kami untuk membahas rencana kuliah.Beberapa orang ingin masuk perguruan tinggi, tapi tidak dengan Bobby. Dia ingin mengikuti pendaftaran polisi. Sesuatu yang lain menurutku. Yang kami lakukan waktu itu adalah memberikan dukungan. Selepas masa pendaftaran kuliah, aku sudah tidak lagi mendengaHatiku berdebar tidak karuan. Setelah telepon dari Mas Deni tadi, pikiranku melayang-layang. Ingatanku mulai mengembara ke satu demi satu keanehan yang Mas Bobby lakukan. Pernah sekali aku pergoki dia senyum-senyum sendiri dengan gawainya."Senyum-senyum sendiri, hati-hati lo Mas!""Eh, ini Dek, teman Mas bisa banget kalau nglucu," jawabnya sambil terus memandangi gawai."Apa sih? Coba lihat!" tanyaku sambil mencuri pandang ke gawainya."Nggak ada apa-apa. Mas ke kamar dulu ya? Pintu jangan lupa dikunci."Sambil berlalu ke kamar, sedang gawai dia letakkan di gulungan sarung yang dipakai.🍒🍒🍒Aku harus sudah siap apapun yang terjadi. Termasuk kalau nantinya Mas Bobby menduakan hati. Baiklah, akan aku ikuti permainanmu Mas.Malam ini aku sengaja memasak makanan kesukaannya, cumi bakar bumbu merah dengan sayur asam daun mlinjo muda. Aku mendengar motor sudah terparkir di depan rumah.
Please tap love, komen dan subscribe ya Kakak? Karena dukunganmu sangat berarti untuk pemacu semangatku.🍁🍁🍁 💔💔"Lin, aku nggak kuat! Kenapa dia harus ngelakuin ini? Apa kurangnya aku? Kalau masalah keturunan, bukankah masih bisa dibicarakan?" ucapku pada seorang sahabat dengan tergugu."Kamu tenang dulu, ya? Mungkin saja suamimu hanya main-main? Atau bisa jadi ceweknya yang ganjen! Dasar!" jawabnya sambil mengepalkan tangan."Aku nggak habis pikir Lin,""Sudah, sekarang yang terpenting adalah kamu. Berpikirlah yang positif jangan terbawa emosi. Main cantik. Jangan sampai kamu kalah dengan dia, percantik diri! Supaya suami kamu berpikir dua kali untuk menduakanmu!""Tapi Lina, situasi seperti ini aku sama sekali tidak bisa berpikir.""Biar nggak stres, ikut aku ke salon. Manjain diri kamu. Aku ada kenalan salon yang bagus. Setelah itu kita belanja." ucapnya sambil tersenyum.Ah, Lina memang
[Dek?][Ya?][Lagi ngapain?][Tidur][Mas ganggu ya?][Hm]Sikap Mas Bobby mulai kembali seperti dulu, menurutku mungkin dia masih mencintaiku atau menutupi supaya aku tidak tahu perbuatannya. Apalagi setelah aku mengatakan ingin pulang ke rumah orang tua, padahal aku hanya beralasan kangen mereka.Terdengar sebuah lagu dari gawai, menandakan ada yang menghubungi. Yudha. Laki-laki itu tidak kenal lelah. Aku sudah mempunyai suami tapi sama sekali tak menyurutkan langkahnya. Walaupun rumah tanggaku sekarang sedang ada masalah, tapi sangat tidak etis bagiku untuk mengikutsertakannya. Aku takut, rasa nyaman akan datang, dan bisa dipastikan itu tidak benar.Antara mengangkat atau tidak, aku masih bingung. Setelah sekian menit, muncul sebuah chat darinya.[Lan, maaf aku tidak bermaksud menganggu. Tapi bisakah kamu mengangkat teleponku? Aku rindu]Tanpa sadar aku tersenyum membacan
"Dek? Maksud kamu apa? Jangan memutar balikkan fakta! Jelas-jelas kamu yang salah!""Salah? Ha ha, lucu kamu Mas. Aku tidak bisa menyuruh seseorang untuk menyukaiku ataupun tidak menyukaiku. Tapi yang jelas aku tidak pernah memberikan respon."Sambil berjalan meninggalkannya menuju arah dapur."Ok, ok! Anggaplah dia hanya pengagummu, tapi Mas tetap tak suka!" Jawabnya mengejar ku.Mas Bobby menarik tangan kemudian memaksaku berhadapan dengannya. Terlihat wajahnya yang kuyu. Beberapa hari ini aku memang terpaku dengan kesedihanku. Tapi bukankah dia sudah ada yang baru.Belum ada cukup bukti atas hubungannya dengan yang lain, aku hanya berharap dia belum jauh. Karena mungkin aku tak sanggup jika mendengarnya sudah melangkah keluar jalur."Tatap mataku, Dek?""Mas, lepas!""Lani, istriku? Tolong jaga kepercayaanku. Mas tidak akan sanggup hidup tanpamu. Beberapa hari ini, Mas merasa kamu agak jauh."
Aku mengambil gawai dan gegas memfoto nomer Sofian. Aku kembalikan gawai Mas Bobby ke tampilan semula. Kemudian meletakkannya sesuai posisi awal.Air mataku mengucur deras, perasaanku tidak enak. Aku berbalik ketika Mas Bobby lewat dan pamit dengan tergesa. Badan langsung luruh ke lantai. Aku tergugu dengan posisi memeluk kaki.Tidak, tidak. Aku tidak boleh lemah. Kalau dia memang menduakanku, dia harus merasakan sakit hatiku.Pergi ke counter pulsa menjadi tujuan utama. Aku membeli kartu baru. Kemudian memasangnya. Setelah aktif kemudian aku memasukkan nomer Sofian. Kemudian mengiriminya pesan dengan pura-pura menjadi teman lama.[Sofi .. an?][Siapa?][Teman lama, benarkah ini Sofian?][Salah nomer! Di sini cewek ya? Sofi! Bukan Sofian! Enak saja.]Deg, deg, deg. Jantungku bertalu membaca chatnya, ternyata selama ini Mas Bobby membohongiku dengan menyembunyikan nama aslinya.
Senang sekali mendengar Sofi hamil, aku akan jadi ayah. Hal yang aku tunggu-tunggu beberapa tahun ini. Sebenarnya aku lebih mengharapkan mempunyai keturunan dengan Lani, tapi rezeki memang tidak kemana. Hatiku berbunga-bunga dalam beberapa bulan, aku akan mendapatkan penerusku.Akhirnya aku bisa pamit pulang setelah segala bujuk rayu aku berikan, uang juga tentunya. Tidak apa-apalah, uang bisa dicari walaupun sekarang keuanganku sudah kritis. Kasihan juga meninggalkannya sendiri, tapi mau bagaimana lagi. Sudah perjanjian dengan ketua RT kompleks bahwa aku akan menyambangi istri keduaku tidak pada malam hari. Bisa-bisa digrebek nanti.Sampai rumah aku melihat lampu depan masih belum dinyalakan. Pagar juga digembok. Kemana Lani. Untungnya kunci pagar dan rumah aku gandakan. Aku satukan dengan kunci mobil dan motor.Rumah sunyi sepi. Makanan di meja makan pun hanya sisa tadi pagi. Aku intip ke kamar juga tidak ada orang. Kukeluarkan gawai dari dalam kan
Seharian ini hati merasa gundah gulana. Keberadaan Lani sudah aku ketahui, tapi tidak dengan perasaannya. Pekerjaan yang menyita waktu pun tidak bisa mengalihkan perhatianku. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya, entahlah. Kalau memang Lani sudah mengetahui semuanya, aku harus bersiap untuk segala hal yang tidak aku inginkan.Fokus, aku harus fokus. Kali ini aku membantu berjaga, ada penggerebekan sarang begal motor. Semuanya sudah berada di titik yang ditentukan, tim kami sudah beredar, kalau-kalau ada yang melarikan diri.Sesekali aku melirik gawai yang kupegang, berharap Lani menjawab banyak pesan yang aku kirimkan. Sungguh, aku rindu.Selang setengah jam, aku mendengar suara tembakan. Kami bersiap-siap. Aku menambah ketelitian, takut salah satu komplotan lepas dari pantauan.Semuanya bergerak menyebar, aku pun sama. Mengambil posisi di belakang pohon mangga besar, aku bersembunyi. Salah satu teman di saluran menginformasikan seseoran
🍒🍒🍒"Alhamdulillah, hari ini sudah boleh pulang," ucap Ibu tersenyum senang."Nduk, nanti kalau sudah sampai rumah, mbok yo Ibuk dimasakne urap-urap daun pepaya. Sama ikan kering yang biasa kamu masak itu loh?""Inggih, Buk, siap! Kebetulan di tetangga ada pohon pepaya," jawab Lani."Mulai wes Ibuk ini. Kasihan toh mantu kita, masih ngurus Bobby, juga disuruh masak," ayah menimpali."Nggak pa--pa tah, Yah? Wonk sama mantu kita ini, Ibuk kangen masakannya.""Ya enakan masakan Ibu toh, masakan saya masih di bawah standart.""Sudah lama Ibukmu ini pengen masak gitu Lan, tapi selalu pait. Wuek.""Direndam dulu sama air rendaman tanah lempung, Bu?""Nggak remdem-rendeman pokoke wes langsung masak."Kami semua tertawa di dalam mobil. Terlihat jelas, Lani pandai mengambil hati Ibu dari pertama aku kenalkan dulu.Orang tuaku belum tahu masalah kami. Lani pa