Kali ini aku makan dengan malas, selain tidak ada Lani yang menemani juga rasa kenyang karena makan di tempat Sofi tadi. Selesai makan, membersihkan diri menjadi pilihan. Aku tidak mau Lani mencium aroma parfum Sofi di tubuh. Walaupun mungkin dia sudah tahu ada parfum lain ditubuhku.
Mengguyurkan air ke kepala berulang kali, berharap otak ini kembali waras. Melihat kesedihan Lani tadi, rasa bersalah dalam hati semakin besar. Haruskah aku menutupi semuanya, atau mungkin kejujuran yang harus kuberikan. Semakin aku berpikir, otak semakin buntu.
Keluar kamar aku melihat Lani tidur dengan pulas, terdengar dengkuran halus. Pelan-pelan duduk di sampingnya. Aku usap wajahnya yang terlihat ayu, matanya sembab, masih ada sisa air mata di pelupuk. Tanpa sadar, aku menangis sambil terus memandangi wajahnya. Wajah yang sekian tahun menghiasi hidupku dengan senyum manis. Dia yang selalu memberi semangat hingga posisi yang sekarang. Tapi apa yang kuberikan, hanya kebohongan nyata yang mungkin akan merusak rumah tangga.
Berbaring sambil memeluk Lani, terasa nyaman. Cahaya dari gawai di atas meja tak kuhiraukan. Kali ini aku ingin dengan Laniku. Wanitaku yang semakin terasa jauh. Bodo amat jika itu Sofi yang menghubungi. Sekarang ini Lani yang lebih membutuhkanku, begitu juga denganku.
Mimpi buruk membuat aku terjaga malam ini. Keringat dingin membasahi pelipis. Jam dinding masih menunjukkan pukul satu malam. Dalam mimpi aku melihat Lani menangis tergugu di bawah pohon besar, tapi begitu aku ingin menghampiri, ada seorang pria yang mengulurkan tangan padanya. Lani tersenyum melihat pria itu, tapi menangis ketika menoleh padaku. Mimpi yang aneh.
Aku mengambil segelas air minum di dapur. Kemudian duduk sembari menghabiskan dengan beberapa tegukan. Gawai Lani tergeletak di atas meja makan. Entah angin apa yang ingin membuatku mengambil dan membukanya. Terlihat ada beberapa pesan dan panggilan.
Pesan pertama aku baca dari sahabatnya yang berisi agar Lani tetap bersabar. Riwayat pesan sepertinya dihapus, hanya ada jawaban itu. Aku mengernyitkan dahi. Pesan kedua dari ibu mertua, beliau bertanya apakah Lani baik-baik saja. Yang membuatku kaget adalah tulisan pesan dari Yudha. Aku membaca ada nada khawatir. Tiga panggilan juga darinya. Memangnya ada apa dengan Laniku? Apakah sesuatu terjadi padanya? Kenapa harus orang lain yang harus tahu masalahnya? Sedangkan aku suaminya tidak mengetahui apa-apa. Ah, Lani, jangan membuatku cemburu. Siapa Yudha? Ada hubungan apa kami dengannya?
"Mas?" Panggilan Lani mengagetkanku, spontan gawai yang kupegang langsung terjatuh di atas meja.
"Ehm.. Maaf Dek. Aku hanya membuka sebentar hand phone mu, sepertinya ada banyak pesan." Jawabku hati-hati.
"Buka aja Mas, nggak ada yang penting dan rahasia juga. Jadi silahkan Mas baca." Jawabannya langsung membuatku terpukul telak.
"Kamu ngapain bangun? Mimpi buruk?"
"Aku lapar. Seharian belum makan." Jawabnya sambil menyendok beberapa nasi ke piring.
Ya Allah, pasti dia menungguku seharian. Bodoh sekali aku ini.
"Mas temani ya? Maaf tadi nggak bisa pulang awal, ada panggilan mendadak dari kantor."
"Sudah biasa Mas." Jawabnya dengan tersenyum kaku.
Lani makan dengan lahap, terlihat kalau dia sangat lapar. Aku ingin menanyakan perihal Yudha. Tapi bagaimana memulai pertanyaan aku bingung. Beberapa menit kupandangi Lani makan. Tetap melakukan aktifitasnya walaupun ada aku di sampingnya. Inisiatif aku mengambilkannya minuman.
"Dek?" sambil kuletakkan gelas di samping piringnya.
"Hem?" jawabnya tanpa menoleh.
"Yudha siapa?"
"Teman." Jawabnya santai.
"Teman apa?" Tanyaku penasaran.
"Ya, teman aja."
Lani beranjak dari meja makan menuju kulkas dan mengambil minuman, minuman yang aku ambilkan tidak disentuh sama sekali.
Aku yakin ada yang tidak beres, kalau memang hanya teman, kenapa dia sangat perhatian pada istriku. Bukan hanya itu, kenapa Lani merasa tidak nyaman saat kutanya tentang Yudha. Dan kenapa pula hatiku merasa panas. Aku tidak ingin dia dekat dengan orang lain. Dia istriku, selamanya akan jadi istriku. Akan kucari tahu siapa sebenarnya Yudha. Ini tidak bisa dibiarkan.
Kali ini aku makan dengan malas, selain tidak ada Lani yang menemani juga rasa kenyang karena makan di tempat Sofi tadi. Selesai makan, membersihkan diri menjadi pilihan. Aku tidak mau Lani mencium aroma parfum Sofi di tubuh. Walaupun mungkin dia sudah tahu ada parfum lain ditubuhku.
Mengguyurkan air ke kepala berulang kali, berharap otak ini kembali waras. Melihat kesedihan Lani tadi, rasa bersalah dalam hati semakin besar. Haruskah aku menutupi semuanya, atau mungkin kejujuran yang harus kuberikan. Semakin aku berpikir, otak semakin buntu.
Keluar kamar aku melihat Lani tidur dengan pulas, terdengar dengkuran halus. Pelan-pelan duduk di sampingnya. Aku usap wajahnya yang terlihat ayu, matanya sembab, masih ada sisa air mata di pelupuk. Tanpa sadar, aku menangis sambil terus memandangi wajahnya. Wajah yang sekian tahun menghiasi hidupku dengan senyum manis. Dia yang selalu memberi semangat hingga posisi yang sekarang. Tapi apa yang kuberikan, hanya kebohongan nyata yang mungkin akan merusak rumah tangga.
Berbaring sambil memeluk Lani, terasa nyaman. Cahaya dari gawai di atas meja tak kuhiraukan. Kali ini aku ingin dengan Laniku. Wanitaku yang semakin terasa jauh. Bodo amat jika itu Sofi yang menghubungi. Sekarang ini Lani yang lebih membutuhkanku, begitu juga denganku.
Mimpi buruk membuat aku terjaga malam ini. Keringat dingin membasahi pelipis. Jam dinding masih menunjukkan pukul satu malam. Dalam mimpi aku melihat Lani menangis tergugu di bawah pohon besar, tapi begitu aku ingin menghampiri, ada seorang pria yang mengulurkan tangan padanya. Lani tersenyum melihat pria itu, tapi menangis ketika menoleh padaku. Mimpi yang aneh.
Aku mengambil segelas air minum di dapur. Kemudian duduk sembari menghabiskan dengan beberapa tegukan. Gawai Lani tergeletak di atas meja makan. Entah angin apa yang ingin membuatku mengambil dan membukanya. Terlihat ada beberapa pesan dan panggilan.
Pesan pertama aku baca dari sahabatnya yang berisi agar Lani tetap bersabar. Riwayat pesan sepertinya dihapus, hanya ada jawaban itu. Aku mengernyitkan dahi. Pesan kedua dari ibu mertua, beliau bertanya apakah Lani baik-baik saja. Yang membuatku kaget adalah tulisan pesan dari Yudha. Aku membaca ada nada khawatir. Tiga panggilan juga darinya. Memangnya ada apa dengan Laniku? Apakah sesuatu terjadi padanya? Kenapa harus orang lain yang harus tahu masalahnya? Sedangkan aku suaminya tidak mengetahui apa-apa. Ah, Lani, jangan membuatku cemburu. Siapa Yudha? Ada hubungan apa kami dengannya?
"Mas?" Panggilan Lani mengagetkanku, spontan gawai yang kupegang langsung terjatuh di atas meja.
"Ehm.. Maaf Dek. Aku hanya membuka sebentar hand phone mu, sepertinya ada banyak pesan." Jawabku hati-hati.
"Buka aja Mas, nggak ada yang penting dan rahasia juga. Jadi silahkan Mas baca." Jawabannya langsung membuatku terpukul telak.
"Kamu ngapain bangun? Mimpi buruk?"
"Aku lapar. Seharian belum makan." Jawabnya sambil menyendok beberapa nasi ke piring.
Ya Allah, pasti dia menungguku seharian. Bodoh sekali aku ini.
"Mas temani ya? Maaf tadi nggak bisa pulang awal, ada panggilan mendadak dari kantor."
"Sudah biasa Mas." Jawabnya dengan tersenyum kaku.
Lani makan dengan lahap, terlihat kalau dia sangat lapar. Aku ingin menanyakan perihal Yudha. Tapi bagaimana memulai pertanyaan aku bingung. Beberapa menit kupandangi Lani makan. Tetap melakukan aktifitasnya walaupun ada aku di sampingnya. Inisiatif aku mengambilkannya minuman.
"Dek?" sambil kuletakkan gelas di samping piringnya.
"Hem?" jawabnya tanpa menoleh.
"Yudha siapa?"
"Teman." Jawabnya santai.
"Teman apa?" Tanyaku penasaran.
"Ya, teman aja."
Lani beranjak dari meja makan menuju kulkas dan mengambil minuman, minuman yang aku ambilkan tidak disentuh sama sekali.
Aku yakin ada yang tidak beres, kalau memang hanya teman, kenapa dia sangat perhatian pada istriku. Bukan hanya itu, kenapa Lani merasa tidak nyaman saat kutanya tentang Yudha. Dan kenapa pula hatiku merasa panas. Aku tidak ingin dia dekat dengan orang lain. Dia istriku, selamanya akan jadi istriku. Akan kucari tahu siapa sebenarnya Yudha. Ini tidak bisa dibiarkan.
Pagi ini badan terasa pegal. Tidur sama sekali tidak nyenyak. Kulihat Lani masih tidur dengan posisi memunggungi. Biasanya jam segini dia sudah dengan rutinitas pagi. Memasak dan membersihkan rumah. Apa dia sakit. Kudekati dia dan kupegang dahinya. Masih normal menurutku. Mungkin saking capeknya dia masih tertidur nyenyak.Selepas mandi aku mencari pakaian dinas. Lemari sudah kutelusuri dari atas sampai bawah belum juga ketemu. Dari jongkok sampai berdiri tidak membuahkan hasil. Terpaksa aku cari seragam kemarin yang sudah ada di tumpukan baju kotor.Lani belum juga bangun, sementara perut bernyanyi minta diisi. Membuka kulkas hanya ada bahan mentah. Duh, bisa kambuh penyakit mag kalau ceritanya begini. Membangunkan Lani, aku tak tega. Ah, baru teringat kalau ada istri yang lain, kenapa tidak dari tadi sih.Menelepon Sofi rupanya butuh kesabaran. Sambil celingukan, kalau-kalau Lani terbangun."Ya, Sayang?" terdengar suaranya yang ser
Sofian, satu nama yang sangat sering menghubungi suamiku beberapa bulan ini. Entah kenapa ada perasaan aneh, tapi segera kutepis. Bekerja sebagai aparatur negara, tugasnya tidak sepele. Bahkan nyawa taruhannya, jadi aku harus percaya padanya dan selalu mendukung dengan penuh karena hanya itu yang bisa aku berikan.Bobby Rahadian, seorang laki-laki yang baik. Dia tidak tampan ataupun kaya. Tapi kharismatiknya membuatku tak berdaya. Aku mengenalnya ketika dia belum menjadi apa-apa. Waktu itu kami bertemu lewat seorang teman. Kami berenam biasa menghabiskan Sabtu malam dengan berkumpul. Kalau tidak di warung dekat alun-alun, rumah teman yang lain pun jadi tempat sasaran kami untuk membahas rencana kuliah.Beberapa orang ingin masuk perguruan tinggi, tapi tidak dengan Bobby. Dia ingin mengikuti pendaftaran polisi. Sesuatu yang lain menurutku. Yang kami lakukan waktu itu adalah memberikan dukungan. Selepas masa pendaftaran kuliah, aku sudah tidak lagi mendenga
Hatiku berdebar tidak karuan. Setelah telepon dari Mas Deni tadi, pikiranku melayang-layang. Ingatanku mulai mengembara ke satu demi satu keanehan yang Mas Bobby lakukan. Pernah sekali aku pergoki dia senyum-senyum sendiri dengan gawainya."Senyum-senyum sendiri, hati-hati lo Mas!""Eh, ini Dek, teman Mas bisa banget kalau nglucu," jawabnya sambil terus memandangi gawai."Apa sih? Coba lihat!" tanyaku sambil mencuri pandang ke gawainya."Nggak ada apa-apa. Mas ke kamar dulu ya? Pintu jangan lupa dikunci."Sambil berlalu ke kamar, sedang gawai dia letakkan di gulungan sarung yang dipakai.🍒🍒🍒Aku harus sudah siap apapun yang terjadi. Termasuk kalau nantinya Mas Bobby menduakan hati. Baiklah, akan aku ikuti permainanmu Mas.Malam ini aku sengaja memasak makanan kesukaannya, cumi bakar bumbu merah dengan sayur asam daun mlinjo muda. Aku mendengar motor sudah terparkir di depan rumah.
Please tap love, komen dan subscribe ya Kakak? Karena dukunganmu sangat berarti untuk pemacu semangatku.🍁🍁🍁 💔💔"Lin, aku nggak kuat! Kenapa dia harus ngelakuin ini? Apa kurangnya aku? Kalau masalah keturunan, bukankah masih bisa dibicarakan?" ucapku pada seorang sahabat dengan tergugu."Kamu tenang dulu, ya? Mungkin saja suamimu hanya main-main? Atau bisa jadi ceweknya yang ganjen! Dasar!" jawabnya sambil mengepalkan tangan."Aku nggak habis pikir Lin,""Sudah, sekarang yang terpenting adalah kamu. Berpikirlah yang positif jangan terbawa emosi. Main cantik. Jangan sampai kamu kalah dengan dia, percantik diri! Supaya suami kamu berpikir dua kali untuk menduakanmu!""Tapi Lina, situasi seperti ini aku sama sekali tidak bisa berpikir.""Biar nggak stres, ikut aku ke salon. Manjain diri kamu. Aku ada kenalan salon yang bagus. Setelah itu kita belanja." ucapnya sambil tersenyum.Ah, Lina memang
[Dek?][Ya?][Lagi ngapain?][Tidur][Mas ganggu ya?][Hm]Sikap Mas Bobby mulai kembali seperti dulu, menurutku mungkin dia masih mencintaiku atau menutupi supaya aku tidak tahu perbuatannya. Apalagi setelah aku mengatakan ingin pulang ke rumah orang tua, padahal aku hanya beralasan kangen mereka.Terdengar sebuah lagu dari gawai, menandakan ada yang menghubungi. Yudha. Laki-laki itu tidak kenal lelah. Aku sudah mempunyai suami tapi sama sekali tak menyurutkan langkahnya. Walaupun rumah tanggaku sekarang sedang ada masalah, tapi sangat tidak etis bagiku untuk mengikutsertakannya. Aku takut, rasa nyaman akan datang, dan bisa dipastikan itu tidak benar.Antara mengangkat atau tidak, aku masih bingung. Setelah sekian menit, muncul sebuah chat darinya.[Lan, maaf aku tidak bermaksud menganggu. Tapi bisakah kamu mengangkat teleponku? Aku rindu]Tanpa sadar aku tersenyum membacan
"Dek? Maksud kamu apa? Jangan memutar balikkan fakta! Jelas-jelas kamu yang salah!""Salah? Ha ha, lucu kamu Mas. Aku tidak bisa menyuruh seseorang untuk menyukaiku ataupun tidak menyukaiku. Tapi yang jelas aku tidak pernah memberikan respon."Sambil berjalan meninggalkannya menuju arah dapur."Ok, ok! Anggaplah dia hanya pengagummu, tapi Mas tetap tak suka!" Jawabnya mengejar ku.Mas Bobby menarik tangan kemudian memaksaku berhadapan dengannya. Terlihat wajahnya yang kuyu. Beberapa hari ini aku memang terpaku dengan kesedihanku. Tapi bukankah dia sudah ada yang baru.Belum ada cukup bukti atas hubungannya dengan yang lain, aku hanya berharap dia belum jauh. Karena mungkin aku tak sanggup jika mendengarnya sudah melangkah keluar jalur."Tatap mataku, Dek?""Mas, lepas!""Lani, istriku? Tolong jaga kepercayaanku. Mas tidak akan sanggup hidup tanpamu. Beberapa hari ini, Mas merasa kamu agak jauh."
Aku mengambil gawai dan gegas memfoto nomer Sofian. Aku kembalikan gawai Mas Bobby ke tampilan semula. Kemudian meletakkannya sesuai posisi awal.Air mataku mengucur deras, perasaanku tidak enak. Aku berbalik ketika Mas Bobby lewat dan pamit dengan tergesa. Badan langsung luruh ke lantai. Aku tergugu dengan posisi memeluk kaki.Tidak, tidak. Aku tidak boleh lemah. Kalau dia memang menduakanku, dia harus merasakan sakit hatiku.Pergi ke counter pulsa menjadi tujuan utama. Aku membeli kartu baru. Kemudian memasangnya. Setelah aktif kemudian aku memasukkan nomer Sofian. Kemudian mengiriminya pesan dengan pura-pura menjadi teman lama.[Sofi .. an?][Siapa?][Teman lama, benarkah ini Sofian?][Salah nomer! Di sini cewek ya? Sofi! Bukan Sofian! Enak saja.]Deg, deg, deg. Jantungku bertalu membaca chatnya, ternyata selama ini Mas Bobby membohongiku dengan menyembunyikan nama aslinya.
Senang sekali mendengar Sofi hamil, aku akan jadi ayah. Hal yang aku tunggu-tunggu beberapa tahun ini. Sebenarnya aku lebih mengharapkan mempunyai keturunan dengan Lani, tapi rezeki memang tidak kemana. Hatiku berbunga-bunga dalam beberapa bulan, aku akan mendapatkan penerusku.Akhirnya aku bisa pamit pulang setelah segala bujuk rayu aku berikan, uang juga tentunya. Tidak apa-apalah, uang bisa dicari walaupun sekarang keuanganku sudah kritis. Kasihan juga meninggalkannya sendiri, tapi mau bagaimana lagi. Sudah perjanjian dengan ketua RT kompleks bahwa aku akan menyambangi istri keduaku tidak pada malam hari. Bisa-bisa digrebek nanti.Sampai rumah aku melihat lampu depan masih belum dinyalakan. Pagar juga digembok. Kemana Lani. Untungnya kunci pagar dan rumah aku gandakan. Aku satukan dengan kunci mobil dan motor.Rumah sunyi sepi. Makanan di meja makan pun hanya sisa tadi pagi. Aku intip ke kamar juga tidak ada orang. Kukeluarkan gawai dari dalam kan