Kali ini Askara menggeleng sembari beranjak mundur. Ia merasa aneh dengan sikap pria dewasa ini, apakah benar semua itu diberikan secara percuma? Pasti ada bayarannya. "Kenapa kau ... Memberikan semuanya padaku? Makanannya? Pakaiannya ... Sebenarnya apa yang anda inginkan dari saya?!" Suara Askara sedikit bergetar.
"Aku hanya minta kau menjawab pertanyaanku," ujar Dwara dengan tenang.
"Apa itu?"
Dwara mengambil nafas. "Apa sebelumnya kau bertarung melawan cindaku?"
Bola mata Askara terbuka lebar. Sama sekali ia tidak berfikir jika pria bernama Dwara ini berfikir sampai ke sana. Pemuda itu ragu menjawab, karena sampai saat ini pun dia berusaha menolak keberadaan cindaku. Sekalipun makhluk itu ada, dia harus membantai monster itu dengan tangannya sendiri.
"Kenapa anda bertanya seperti itu? Apa menurut anda makhluk itu ada?" Askara sengaja berkilah.
Lagi-lagi Dwara ters
"Kau manusia terpilih, Nak." Askara terkejut dengan apa yang dikatakan Dwara. Bukan hanya itu, mata biru pria itu membuatnya sedikit gentar. Warna mata yang tak lazim, biru berlian dengan garis pupil memutar dan bersinar. "Anda s-sebenarnya siapa?" Askara beringsut mundur dari balok ranjang kayu yang ia duduki. Mata Dwara kembali terkatup, ia membuang nafas sambil terpejam. Beberapa saat kemudian matanya kembali menjadi normal dan seperti sedia kala. "Aku sepuh pendekar Adiwira," katanya saat mata biru itu menghilang. "Pendekar Adiwira?" Alis Askara mengkerut, antara percaya dan tidak dengan pengakuan pria itu. "Jadi tokoh pendekar melegenda itu benar-benar ada?" Setelah mendengar hal itu, Dwara pun beranjak menghampiri sebuah bak air yang letaknya di bibir gua. Pinggir-pinggirnya terdapat obor api dengan asap yang lumayan mengepul. Airnya sangat jernih sampai bisa dipergunakan untuk
"Jadi anda adalah sesepuh adiwira?" tanya Askara. Dwara lagi-lagu terkekeh mendengarnya. "Sesepuh itu bisa dikatakan tetua. Peringkatku belum setinggi itu, aku hanya melatih adiwira pemula seperti dirimu." "Lalu, aku harus memanggil anda apa?" "Kau bisa memanggilku sepuh saja," ujar Dwara. Askara yang bingung karena kesulitan membedakan kata sepuh dan sesepuh hanya bisa mengangguk asal saja. "Baiklah sepuh --Dwara." Dwara kemudian menyerahkan pakaian berbahan katun itu pada Askara. "Pakailah, dan setelah ini ikuti aku," suruhnya. Awalnya Askara menghabiskan waktu karena mengagumi pakaiannya. Pernak-pernik yang mengkilap sangat menakjubkan sampai ia sendiri ragu untuk memakainya. Lengan panjang disertai celana lembut lengkap dengan kiping kain luarannya menambah kesan indah pakaian itu. Setelah pakaian itu ia kenakan, bukan lagi pakaiannya yang ia kagumi melainkan kini beralih pada dirinya sendiri. Tukang batu yang memanfa
"Jadi senjata yang akan kubawa adalah kujang?" "Yah, ini memang sedikit aneh. Belum pernah aku melatih adiwira pemula yang memegang kujang. Tapi tak apa, anggap saja aku juga latihan saat melatihmu." Dwara mulai melangkah keluar gua. "Maaf, Sepuh." Askara menghentikan langkah Dwara sampai lelaki paruh baya itu nenoleh ke belakang. "Maaf jika saya lancang bertanya. T-tapi, saya penasaran senjata apa yang sepuh pegang selama menjadi adiwira?" Merasa lucu dengan pertanyaan muridnya, Dwara malah mengulum senyum menanggapinya. "Nanti juga kau tau. Sekarang kau ikutlah denganku, kau akan masuk latihan pertama." "Baik, sepuh." Mengikuti langkah pria yang baru saja resmi menjadi gurunya itu, Askara dibawa ke pinggir sungai selepas keluar dari gua. Dwara langsung berdiri di atas batu besar yang sekilas pinggirnya terlihat memiliki ukiran yang unik. Ada dua buah batu besar yang lebih mencolok d
'Gila ... Pukulannya benar-benar ...' 'Menyakitkan ...' Askara terbanting dan berguling di salah satu bebatuan. Saat itu juga dirinya langsung tercebur dalam air sungai. Tubuh kurus laki-laki itu hampir terbawa arus air sungai, untungnya dia berpegangan pada salah satu batu dan berusaha naik ke atasnya. "Kau bilang akan melawan tanpa menunda-tunda. Kenapa kau diam saja?" seru Dwara yang sudah berdiri lagi di salah satu batu. "Ck! Aku belum siap tadi," gerutunya sambil merangkak berusaha menaiki batu yang ukurannya cukup besar. "Coba kau pikir, apa musuhmu nanti akan menunggu dirimu untuk siap-siap dulu?" tanya Dwara yang posisinya sudah jongok lagi tepat di batu yang baru dinaiki Askara. Bagai melihat hantu, Dwara baru saja berpindah tempat secepat angin. Tidak, angin terlalu lambat, dia berpindah se
Askara berjalan tertatih-tatih, seluruh tubuhnya terasa sakit karena beberapa kali terpental mengenai batu. Bahkan tulang pinggangnya terasa bergeser karena ditindih bobot besar Dwara dan dipaksa merangkak. Tak lama kemudian ia menemukan pohon yang rindang akan daun. Akar-akarnya banyak menjulur keluar tanah sampai bisa difungsikan sebagai dudukan. Askara duduk bersimbah disana, sepoinya angin membuai lelaki itu sampai mengantuk hingga mata terkatup-katup. Karena tak kuasa menahan kantuk karena efek kerasnya latihan pertama, Askara pun bersandar di pohon sembari memejamkan matanya dan tertidur. Lelaki berkulit putih dengan hidung sedikit mancung itu memang terlihat manis dan lucu saat memejamkan mata. Bibir maju yang terukir seperti daun talas memang menjadi ciri khas saat lelaki itu tertidur. Kelopak matanya sedikit runcing dengan lipatan atas mata yang membuatnya terlihat sipit. Aura tatapan netranya pasti sangat indah jika Askara memi
"Seka. Bukankah nama itu ..." Askara menggantungkan ucapannya. Pria yang mengaku bernama Seka itu dengan senang hati menunggu jawabannya. Selain senang karena bisa bertemu Askara, ia akan lebih senang lagi jika anak itu tahu dan mengenalinya. "Nama itu hampir sama dengan nama saudaraku! Shoka! Wah Paman, kau jadi mengingatkanku padanya," kekeh Askara sambil menggaruk kepalanya. Seka terdiam. 'Anak ini minta kupukul ternyata!' batinnya menggerutu. Ia mengira anak itu akan mengenalinya. Padahal saat masa dulu, nama Seka cukup terkenal dan dihormati di permukiman di kaki pegunungan Chakrabuana. Mustahil jika penduduk perkampungan sana tidak pernah mendengar nama itu. Apalagi Askara, sangat kurang ajar jika anak itu sama sekali tidak mengenalinya. Kecuali jika akal pikiran Askara sedikit geser, atau memiliki kendala soal mengingat ingatan lampau.
"Sesuai yang aku katakan tadi, latihan dasarmu dimulai dari berlatih napak banyu." Askara terlihat masih diam duduk di pinggir sungai. Mimpi didatangi seorang pria yang bernama Abiseka masih meninggalkan pertanyaan besar di benaknya. Disebut mimpi pun rasanya aneh, tempat kediaman dan wajah Abiseka sangat tergambar begitu nyata. Namun mengingat perkataan pria tadi memang bisa dijadikan acuan untuk percaya jika dirinya memang sudah membuka gerbang alam bawah sadar. "Aska!" seruan itu berhasil membuyarkan lamunan si pemilik nama. "I-iya, ada apa Sepuh?" "Kau dengar apa yang tadi kukatakan?" tanya Dwara. Berawal hening dan diam lebih dulu, di detik kemudian pemuda itu terkekeh sendiri lalu menggeleng. "Tidak, Sepuh. Maaf," katanya sambil menundukan kepala. Dwara menghela nafas panjang. "Kau ini, belum satu hari kuangkat kau jadi murid. Poin pelanggaranmu sudah lumayan."
Hampir seharian penuh Askara mencoba menapakan kakinya di atas air. Namun entah kenapa saat ia melepaskan energi, reaksi energi air itu tidak kunjung berlawanan sehinga kakinya itu tidak mampu mengambang, selalu saja tenggelam. Byur! Pemuda itu malah tercebur berkali-kali sampai sekujur tubuhnya basah kuyup dan mengigil kedinginan. Tak peduli apapun yang terjadi, Askara tetap menguji coba kakinya supaya bisa menapak di atas air. Meskipun terhitung beberapa kali dirinya berguling dan tersedak air. "Arrgghh! Kenapa susah sekali!" gerutu Askara seraya merangkak ke darat. Pemuda itu pun berakhir berbaring terlentang di pinggir kulah membiarkan paparan sinar matahari mengeringkan pakaiannya. "Padahal tadi pagi aku hampir bisa," gumam lelaki itu seraya membanting tangannya ke pinggir. "Konsentrasi." "Konsentrasi." "Konsentra ... Aarghh! Ternyata penguasaa