Tanpa membuang waktu, Max bergegas memeriksa bilik demi bilik. Jantungnya berdetak lebih cepat setiap ia mendapati ruang kosong. Begitu pula dengan paru-parunya yang dipaksa mengirimkan banyak oksigen untuk menjaga akal sehat.
Gemuruh napas Max baru tertahan ketika ia tiba pada pintu terakhir yang terkunci dari luar. Firasat buruk seketika membuat seluruh sarafnya menegang.
“Gabriella?”
Hingga Max selesai menelan ludah, tidak ada jawaban yang terdengar. Dengan hati yang berdebar, pria itu membuka kunci dan mendorong pintu.
Dua detik kemudian, seorang perempuan tanpa busana telah menyengat jantungnya. Dengan mulut ternganga tanpa kata dan bola mata bergetar hebat, ia memperhatikan wajah Gabriella yang penuh dengan warna merah.
Tepat ketika wanita yang menatapnya berkedip, kesadaran menyentak tubuh sang pria untuk mulai bergerak.
“Apa yang terjadi?” tanya Max seraya melepas jas dari badannya. Lalu, ia membalut tubuh sang istri agar tidak
Ada yang mau kalian sampaikan kepada Amber? Ini cewek enaknya diapain ya?
Lima detik berlalu, sang pria masih berdiri diam dengan tatapan tertuju pada lantai. Ia dapat merasakan efek dari obat perangsang menjalar dalam tubuhnya, meninggalkan jejak panas dan energi yang begitu besar. “Apa yang kau tunggu, Max? Haruskah perempuan yang bergerak lebih dulu?” tanya Amber dengan senyum licik. Sedetik kemudian, pria itu mengeluarkan ponsel dari saku lalu mulai mengetik pesan. Alis wanita yang sudah tak sabar sontak berkerut tak senang. “Apakah kau sedang meminta bantuan?” “Aku mengirimkan perintah kepada sopirku untuk menunggu lebih lama.” Mata Amber seketika membulat tak percaya, apalagi, saat pria yang diinginkannya mendekat dan meletakkan ponsel di sisi meja. “Jadi, kau sudah berubah pikiran?” tanya wanita yang mulai dibanjiri oleh perasaan bahagia. Sang pria pun mengangguk dan memberikan tatapan mengintimidasi. “Ini yang kau inginkan, bukan?” Tangannya mulai membuka ikat pinggang, membuat hati A
Selang beberapa menit, pelupuk mata Gabriella hampir tertutup rapat. Malam itu terasa sangat tenang baginya. Tidak ada Max, tidak ada paksaan. Hanya ada Snowy dan kasur empuk di bawahnya. Tanpa terduga, pintu tiba-tiba terbuka lebar lalu dibanting dengan keras. Gabriella pun tersentak dan langsung terbelalak. “Max?” desahnya sebelum menelan ludah. Bola matanya bergetar hebat mengimbangi degup jantung yang mendadak cepat. “Kau sengaja tidak membukakan pintu untukku, hm?” tanya sang pria sambil melucuti kemejanya dengan ceroboh. Sorot mata tajam dan gemuruh napasnya membuat sang istri semakin ciut. “Aku sama sekali tidak tahu kau datang,” jawab Gabriella dengan alis berkerut dan kepala tertunduk. Tangannya telah mendekap Snowy lebih erat. “Jadi, kau tertidur nyenyak di saat suamimu menunggu di depan pintu?” Bibir Gabriella bergetar tanpa kata. Keberanian yang tadi ia pupuk telah layu, apalagi, ketika Max membanting celana panjangnya di l
“Pelan-pelan, Max! Pelan-pelan!” Pria yang sedang mencari titik fokus lagi-lagi mendengus kesal. “Kau ini mau membantu atau membuatku semakin frustrasi? Aku bahkan belum menemukan pintu masuknya.” “Itu karena ekspresimu terlihat menyeramkan. Kau seperti pembunuh berdarah dingin yang hendak menikam korbannya,” timpal Gabriella dengan alis melukiskan kegelisahan. “Kalau begitu, berbaliklah!” “Kau mau melakukannya dari belakang?” tanya wanita yang kini memunggungi suaminya. “Dari depan saja kau kesulitan, apalagi dari akh ...!” Hanya dalam sekejap, Gabriella telah menggigit bibir dan memejamkan mata erat-erat. Ia tidak lagi canggung untuk bersandar pada pundak kekar sang pria. “Kenapa kau memasukkan jarimu lagi?” erangnya di sela ringisan. “Aku harus mempelajari posisi baru. Kau tidak ingin aku memasuki lubang yang salah, bukan?” bisik Max membuat bulu kuduknya meremang. “Ya, tapi ... mau berapa lama kau melakukannya?”
Selang beberapa menit, Max kembali memeriksa keadaan sang istri. Wanita itu sedang meringkuk membelakanginya. Tubuh yang gemetar tampak jelas sedang berperang melawan hasrat. “Dia masih menahannya, hm? Hebat juga.” Tanpa merasa khawatir, sang CEO mengalihkan fokus ke ponsel. Pesan dari Sebastian langsung menyita perhatiannya. “Kenapa dia bersemangat sekali menanyakan proyek baru? Padahal, jelas-jelas sudah kukatakan bahwa rancangan gedung masih perlu disempurnakan. Kalau begini, proyek lain yang sedang berjalan bisa lolos dari pengawasan.” Tiba-tiba, Gabriella merintih seperti orang kesakitan. Sang pria sontak menyimpan ponsel dan memeriksa istrinya lebih saksama. “Apakah kau baik-baik saja?” Begitu ia menarik pundak sang istri, matanya terbelalak. Wajah Gabriella sangat pucat dan dipenuhi keringat. “Jangan sentuh aku!” pinta wanita yang tidak sanggup lagi bersuara kencang. Energinya telah banyak terserap oleh ledakan ha
“Pelan-pelan, Max! Aku bukan paku yang bisa menembus bata,” pinta Gabriella di sela desah napas. Punggungnya bisa membiru jika terus dihantamkan ke dinding. Tanpa banyak bicara, Max memindahkan tangannya melindungi sang istri. Lalu, hanya dengan satu sentakan, ia mampu membuat wanita itu terkesiap dan berhenti melayangkan protes. Respon yang menggemaskan itu sukses membuat sang pria tersenyum. “Kau menikmatinya, hm? Kalau begini, aku merasa dirugikan.” “Kenapa?” tanya wanita yang menatap suaminya dengan kernyitan dahi. “Kau sudah mendapatkannya berkali-kali, sedangkan aku belum sama sekali.” Gabriella sontak mendengus samar. “Sepertinya, kau harus menemui dokter. Bukankah aneh jika kau belum mendapatkannya hingga detik ini?” “Kaulah yang aneh. Perempuan seharusnya butuh waktu lebih lama, tapi kau cepat sekali.” Tiba-tiba, cengkeraman Gabriella menjadi lebih erat. Selang beberapa tarikan napas cepat, ia kembali mendapatkan apa y
Max mulai terbawa suasana. Ia tidak bisa lagi berdiri diam. Sesekali, tubuhnya tertarik ke depan, membuat perempuan yang sedang terdesak semakin kebingungan. “Baiklah! Aku akan menjiplak pola,” seru Gabriella akhirnya menyerah. “Apakah kau puas?” tanyanya kesal. “Hampir,” sahut pria yang tersenyum tipis di belakangnya. Setelah mendatarkan wajah, Max membantu sang istri kembali tegak dan merapikan pakaian. Tiba-tiba, terdengar suara pintu diketuk. Perhatian suami istri itu kembali teralihkan. “Tuan Roberto sudah tiba, Tuan,” seru seorang wanita dari balik pintu. Ekspresi sang CEO langsung berubah hangat. “Akhirnya, dia datang juga.” Sedetik kemudian, ia mendudukkan Gabriella ke kursi di sisi meja, lalu meletakkan kertas-kertas pola di hadapannya. “Jadilah anak yang baik! Jangan sampai rekanku terganggu karenamu!” Tanpa memedulikan sorot mata Gabriella yang meruncing, Max menghampiri pintu. “Masuklah!” Den
“Aku harus segera kembali. Jangan sampai nanti malam, dia memanfaatkan kesalahanku untuk pelayanan tanpa henti.” Setelah setengah jam mendekam di toilet, Gabriella akhirnya menghirup udara yang lebih segar. Malangnya, rasa sesak dalam dada tidak juga berkurang. Bayang-bayang tangan Roberto mengotori dirinya sesekali membuatnya bergidik ngeri. Sekalipun ia menggelengkan kepala dengan sangat cepat, kenangan itu enggan pergi. “Gabriella?” panggil suara familiar dari arah depan. Sang wanita spontan menegakkan wajah. Suaminya ternyata sedang berdiri dengan mata bulat dan tangan terkepal erat. “Apa yang terjadi? Kenapa bajumu basah?” Gabriella langsung menunduk, membiarkan rambutnya jatuh menutupi tanda menjijikkan yang gagal dihilangkan. Ia tidak ingin disebut lemah ataupun dituduh yang macam-macam. Hanya dalam sekejap, Max telah mencengkeram lengan istrinya. Sang wanita seketika terkesiap dan membalas tatapannya dengan sedikit gemetar.
“Maafkan aku,” ucap Max seraya menatap mata istrinya dalam-dalam. “Aku memang bersalah. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu bersama laki-laki berengsek itu di ruanganku.” Bibir Gabriella kini bergetar hebat mengimbangi udara gersang dalam paru-parunya. Pernyataan maaf sang suami memang telah mengangkat sedikit beban dalam hati. Malangnya, hal itu tidak mampu mengubah fakta tentang perlakuan Roberto terhadapnya. “Dia sudah menyentuhku, Max. Dia sudah mengambil keuntungan dariku,” tutur Gabriella dengan suara tipis dan lirih. Kerut alisnya perlahan menggoreskan luka yang lebih banyak dalam hati Max, memaksa pria itu untuk bertekuk lutut pada penyesalan. “Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan membiarkan laki-laki itu mendekatimu lagi.” “Itu semua salahmu, Max. Salahmu,” ujar sang wanita seraya memukul dada suaminya. Ia tidak tahu lagi kepada siapa kekesalannya harus ditujukan. Sadar bahwa istrinya sangat rapuh, Max akhirnya merengkuh wanita itu de