Share

Kemarahan Abbas

Abbas duduk di belakang kemudi, melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sayyidah berada di sampingnya. Keduanya diam tanpa sepatah katapun.

Detik kemudian ...

"Ada yang mau kamu jelasin?" tanya Abbas memecah keheningan.

"Tidak ada," balas Sayyidah dengan malas.

"Kalau pergi kemanapun harus tau waktu, waktunya sholat harus sholat. Jangan sampe di tinggal!" pesan Abbas, kepalanya menengok kepada lawan bicaranya.

Sayyidah membuang wajahnya ke jalan, "Aku udah besar, tau mana yang benar-mana yang salah, tau depan-belakang, tau atas-bawah. Ngga usah kamu ngasih tau, aku juga sudah tau," sanggah Sayyidah dengan ketus.

"Jaga pergaulan kamu Sayyidah, jangan sampe mama sedih di alam sana dengan keadaan kamu di sini!"

"Aku tau," jawab Sayyidah dengan ekspresi kesal. 

Abbas tak lagi membalas ucapan Sayyidah. Tak ada kata maaf sama sekali dari mulutnya, setelah mengatakan Abbas sebagai sepupu di depan teman-temannya. Padahal di tempat tinggalnya, Abbas dengan bangganya mengenalkan Sayyidah sebagai seorang istri.

"Ya salaam ... sabar Abbas ini ujian," batin Abbas menghibur hatinya. Wajahnya tersenyum datar menanggapi sikap menyebalkan istrinya.

Sesampainya di rumah, Sayyidah merebahkan tubuhnya di kasur dengan posisi tengkurep.

Abbas melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk membersihkan badannya yang lengket.

Drrrt ... Drrrt ... Drtt ...

Tanpa membalikkan badan, tangan Sayyidah terulur menelusuri nakas. Begitu dapat, telunjuknya menekan tombol on off.

Mata sayu Sayyidah membola menatap layar, tubuhnya kini telah duduk bersandar pada headboard ranjangnya. 

Yang di tujukan pertama kali ialah gambar dirinya dengan Abbas di mall tadi, ia ingat moment saat Abbas mengajak Sayyidah untuk beranjak dan sholat terlebih dahulu. Caption di bawahnya bertuliskan 'Sayyidah yang sholehah dengan sepupu alimnya'.

Ramai di bawahnya berisi beragam komentar dari penghuni group alumni SMA Kartini, walaupun sudah lulus dan melanjutkan pendidikan masing-masing, tapi mereka masih saja aktif berkomunikasi.

Hampir semuanya memiliki moment untuk jadi bahan gosip, sepertinya giliran Sayyidah yang jadi bahan gosip mereka saat ini.

Sebuah pesan masuk atas nama Sofyan, sontak Sayyidah segera membukanya.

[Ay, lo ada di jakarta? Gue kangen (emoji love)]

"Ishh! Bukannya dia udah jadian sama Rani? Masih manggil Ay lagi. Tapi aku juga masih berharap dengannya," gumam Sayyidah.

[ Iya, gue lagi di sini.]

Send

Pintu kamar mandi terbuka menampakkan Abbas yang keluar dengan memakai kaus putih polos, dengan bawahan celana di bawah lutut. Tangannya meraih sarung dan atasan koko di gantungan baju.

Cek, Sayyidah berdecak kesal dan melempar pandangannya ke sisi lain.

"Ngga tau malu mau pakai baju di sini, padahal ada aku."

Tak lama kemudian Abbas sudah rapih dengan stelan koko putih dan sarung, di punggungnya terselampir sajadah. Bau minyak misiknya menyeruak ke hidung, wangi dan bikin nyaman.

"Say, waktu maghribnya sudah lepas tiga puluh menit. Kamu mau mandi dulu apa langsung sholat?" tanya Abbas.

"Nanti aja."

"Eiitss ... Jangan nanti! Waktu maghrib itu sebentar, keburu masuk waktu isya nanti." Menarik selimut yang di gunakan Sayyidah.

"Iih! Aku capek, libur satu kali 'kan ngga papa." Menarik kembali selimutnya.

"Sayyidah ngga boleh gitu, kamu udah janji sama almarhumah buat jadi orang yang lebih baik 'kan?"

"Stop deh! Kamu kaya anak kecil selalu pesan mamah yang jadi andalan buat ngancem aku."

Abbas menghentikan aksinya dan menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar.

Sayyidah benar-benar membuat siapapun naik pitam, kecuali Abbas yang dengan sabar meladeninya, tapi tidak kali ini.

"Sayyidah Fatimah dengerin aku baik-baik, jika rumah ini dan segala isinya terbakar termasuk kamu yang ngga terselamatkan. Panasnya itu tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan panas api neraka. Satu kali saja meninggalkan sholat fardhu, itu bisa menjadikan masuk neraka. Kamu itu tanggung jawabku di dunia dan di akhirat, jika aku membiarkan kamu tidak sholat maka aku juga kena dosanya," ujar Abbas panjang lebar dengan tegas.

Sayyidah menatapnya dengan sengit.

"Kenapa? Apa kamu pikir aku tidak bisa marah? Kalau hal mengenai diriku sendiri aku bisa saja diam dan bersabar, tapi untuk urusan syariat dan akhirat aku tidak bisa sabar. Karena itu urusan keselamatan masa depan kehidupanku di akhirat," sambungnya.

Sayyidah tak membalas apapun ucapan Abbas, dia tercengang melihat ekspresi kemarahan Abbas.

"Ternyata orang seperti dia bisa marah juga," batinnya.

Belum usai dari keheranannya, ia di kejutkan dengan sikap lembut Abbas kepadanya. Abbas menarik selimutnya. 

Memegang kedua kakinya.

"Di bagian mana yang pegal? Kamu capek 'kan?" tanya Abbas dengan nada yang lembut. Kedua tangannya memijit kedua kaki Sayyidah dengan lembut. 

Sayyidah terhipnotis dengan sikap Abbas, mulutnya menganga seolah tak percaya.

"Udah ya, takut waktu maghribnya habis." Tangan Abbas meraup wajah Sayyidah yang masih melongo. Terdengar kekehan kecil di mulutnya.

Detik kemudian Sayyidah merasa dirinya melayang, Abbas telah membopongnya tanpa memberi aba-aba. 

"Barangkali kamu masih capek buat jalan, jadi aku bantuin." Lagi-lagi Sayyidah terhipnotis dengan sikapnya, kini wajah Sayyidah sangat dekat dengan wajahnya, apalagi tangan Sayyidah yang refleks melingkar di leher Abbas.

Hawa dingin menyentuh kaki Sayyidah, tak di sangka kakinya sudah menginjakkan lantai kamar mandi. 

"Ayo kamu wudhu! Aku tunggu di luar." Tangan Abbas mengacak rambut Sayyidah, menyadarkan kesadarannya. 

"Ish! Konyol banget aku ini, tubuhku berharap Abbas melakukan lebih ... seperti adegan film-film romantis: membelai, memeluk, mencium. Seorang Abbas? Ah! Ngga deh! Ngga level!" Sayyidah merutuki diri sendiri.

***

Setelah bersalaman usai sholat jama'ah, tangan Sayyidah di cekal oleh Abbas saat beranjak dari duduknya.

"Aku mau nanya," ujarnya dengan ekspresi yang tidak bisa di artikan.

"Tanya apa?" balas Sayyidah.

"Siapa itu Sofyan?" Kini ekspresi Abbas telah berubah seperti orang yang menuntut penjelasan.

"Aku juga mau nanya, kok kamu bisa nyetir mobil? Terus nyupirin aku segala," balas Sayyidah dengan balik menanyai Abbas.

"Pintar mengalihkan pembicaraan kamu, ya." Mencubit hidung Sayyidah.

"Aku itu udah lama bisa nyetir, udah punya SIM juga, sejak umi masih ada aku udah di ajarin semuanya."

"Umi kamu orang yang baik Bas, dulu mamah sering menceritakan kebaikan-kebaikan tante Sofa."

"Bukan baik lagi, beliau itu syurga untukku." Rasa penasaran Abbas sedikit menguap seiring obrolan dengan Sayyidah, walaupun hatinya terasa nyeri saat mendengar teman Sayyidah menyebut 'Sofyan cowo kesayangan Sayyidah'.

Sayyidah bernafas lega, Abbas tak berlarut dalam pertanyaannya. Jika ia terus bertanya, apa yang bisa ia jawab. Sedangkan ia tak bisa memaknai hatinya. Ia memang menyukai Sofyan, laki-laki yang keren, ganteng, tinggi, siapapun pasti jatuh hati saat pandangan pertama, tapi mendengar tingkah laku Sofyan dengan wanita lain, ia jadi sedikit kurang yakin dengan Sofyan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kahmi Tambora
asik ceritax
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status