Matahari pagi menyusup pelan, menelusup di antara celah-celah dinding beton atap. Udara masih sejuk, tapi tidak menusuk seperti malam tadi. Averine menggeliat pelan di bawah selimut, matanya masih setengah tertutup. Tubuhnya lengket oleh udara lembap dan sisa kehangatan yang menempel dari malam sebelumnya.Di sampingnya, Darian masih tertidur, satu lengannya melingkari pinggangnya. Nafasnya teratur, damai, dan entah kenapa, bunyinya lebih menenangkan dari lagu apa pun yang pernah Averine dengar.Ia menatap langit yang perlahan berubah warna. Lalu menatap Darian.Dan ia tersenyum. Ringan sekali. Seperti seseorang yang akhirnya selesai berlari dan boleh duduk sebentar.Lambat-lambat, ia mencium pipi Darian. Sekali. Lalu bergerak pelan untuk bangkit. Tapi baru beberapa detik ia duduk, Darian bergumam dengan suara berat karena baru bangun, “Mau kabur?”Averine menoleh. “Mau bikin teh.”“Kamu aja yang bikin. Aku masih... butuh pemulih
Malam itu, atap bangunan tua tempat mereka pertama kali bicara tentang pernikahan terasa berbeda. Dulu dingin, asing, kaku. Sekarang... terasa seperti satu-satunya tempat yang bisa merangkul mereka tanpa menuntut apa-apa.Averine duduk lebih dulu, membentangkan selimut di atas lantai. Ia hanya memakai sweater longgar dan legging tipis. Angin malam merambat di kulitnya, tapi ia tak bergeming. Darian datang menyusul dengan anggur dan dua gelas, lalu duduk di sebelahnya. Dekat sekali. Terlalu dekat untuk pura-pura hanya teman tidur.“Kamu masih ingat... kamu pernah bilang gak akan pernah jatuh cinta sama aku?” tanya Darian pelan, matanya tak lepas dari wajahnya.Averine menoleh, senyum kecil muncul. “Dan kamu jawabnya, ‘Gak apa-apa. Asal kamu gak jatuh cinta ke orang lain.’”“Dan kamu akhirnya jatuh juga.”Ia tak membalas. Hanya memeluk lengan Darian dan menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu. Ada sesuatu yang menggantung di udara kerinduan yang ditahan terlalu lama. Ketika akhirnya ia
Hening menyelimuti ruang kerja Averine pagi itu. Langit mendung, dan daun-daun kering di halaman belakang seperti ikut menunduk, seakan memahami bahwa hari ini berbeda. Sejak subuh, Eira belum keluar dari kamarnya. Biasanya suara piano atau bunyi sendok dari dapur jadi pertanda pagi dimulai. Tapi kali ini, semuanya diam.Di atas meja marmer, terletak sebuah amplop coklat tua. Tinta di ujungnya mulai pudar, tetapi tulisan tangan itu Averine kenal betul. Tulisan Benedetta. Nenek pengganti. Perawat setia. Pelindung diam-diam. Dan, seperti akhirnya semua cerita manusia, ia telah pergi.Averine membuka amplop itu dengan pelan. Di dalamnya hanya satu lembar surat, ditulis dengan goresan pelan namun tetap tegas. Udara di sekitar Averine seolah berubah ketika kalimat pertama dibaca.“Averine, jika surat ini sampai padamu, artinya aku sudah berpulang. Aku tidak tahu apakah aku masih punya hak untuk mengatakan ini, tapi aku merasa harus. Bukan sebagai pengasuh. Tapi seba
Siang itu, cahaya menyelinap pelan ke dalam ruang kerja, menari di atas lantai kayu dan menyentuh pinggiran kanvas kosong yang berdiri di tengah ruangan. Averine membuka jendela lebar-lebar, membiarkan angin masuk bersama aroma pagi dan suara dedaunan.Eira masuk sambil membawa dua cangkir cokelat hangat.“Kita mulai dari mana?” tanyanya, menatap kanvas besar tanpa bingkai di depannya.Averine mengambil kuas, lalu menyerahkannya pada Eira. “Kamu dulu. Aku ikut alurnya.”Eira tersenyum kecil. Ia mencelupkan kuas ke warna hijau gelap dan membuat satu sapuan menyilang dari kiri bawah. Tangannya ragu, tapi matanya mantap.“Hijau?” tanya Averine lembut.“Biar adem,” jawab Eira pelan. “Kayaknya kita butuh adem setelah semua yang dilewatin.”Averine hanya mengangguk. Ia mengambil warna kuning madu, lalu membuat garis melingkar yang mengitari hijau itu. “Aku tambahin cahaya.”Mereka tidak bicara banyak setelah itu. Hany
Sorot lampu galeri memantul lembut di dinding putih, menyinari lukisan-lukisan baru bertanda Valente. Beberapa tamu berdiri terpaku di depan salah satu karya terbaru kombinasi warna gelap dan semburat emas yang tampak seperti semburat fajar di tengah badai.“Ini karya siapa?” tanya seorang kolektor setengah berbisik.“Kolaborasi,” jawab Darian sambil mengedip ke arah Averine yang berdiri di sisi ruangan.Averine tersenyum, tangan kirinya menggenggam gelas kecil champagne. Ia mengenakan gaun hitam sederhana, rambut diikat rapi. Tapi sorot matanya hangat, tidak lagi terlindung kabut jarak seperti dulu.Galeri malam itu tidak ramai. Mereka tidak mengundang siapa pun selain beberapa sahabat dekat dan rekan seni. Tapi itu cukup.Yang paling penting Valente telah dikenal dunia. Tapi bagi mereka, yang lebih penting dari pengakuan adalah kebenaran. Dan kini, keluarga itu mulai membentuk ulang dirinya sendiri.Beberapa jam kemudian.
Suara langkah sepatu tumit rendah bergema di lantai marmer galeri, menyatu dengan suara rendah pengunjung yang tengah berkeliling. Bau ringan cat akrilik masih terasa di udara. Lampu sorot diarahkan ke kanvas-kanvas muda yang berjajar rapi masing-masing memiliki nyawa, masing-masing membawa potongan jiwa dari seseorang yang baru belajar menyampaikan pikirannya lewat warna.Di antara semua itu, satu lukisan kecil berdiri sendiri. Judulnya: Fragment. Ukurannya hanya separuh dari karya-karya lain, tapi aura lukisan itu… menuntut perhatian.Orang-orang berhenti. Mereka membaca papan nama kecil di bawahnya.Eira Valente.Tidak ada nama belakang lain.Tidak ada embel-embel “anak dari” atau “hasil kolaborasi dengan”.Hanya dia. Berdiri sendiri, sebagai seniman. Untuk pertama kalinya.Averine berdiri agak jauh, di balik kerumunan. Ia mengenakan gaun hitam panjang sederhana, rambut disanggul rapi. Tapi tak ada yang mencolok darin