Beranda / Romansa / Cinta Di Balik Tanda Tangan / Rasa Yang Tak Diundang.

Share

Rasa Yang Tak Diundang.

Penulis: Pita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-07 11:17:22

Tiga hari terasa lambat bagi Aluna. Mansion itu terlalu besar untuk dirinya sendiri, terlalu sunyi, dan terlalu asing meskipun ia sudah tinggal di dalamnya selama hampir dua minggu.

Ia mengisi hari-harinya dengan membaca, memasak makanan sederhana meski ada koki di Mansion dan berjalan di taman belakang. Ia menolak untuk hanya menjadi hiasan di rumah mewah itu. Aluna ingin tetap menjadi dirinya. Seorang gadis biasa yang punya mimpi dan logika, walau kini terjebak dalam dunia yang tak pernah ia bayangkan.

Namun, malam itu berbeda.

Aluna terbangun karena suara hujan deras di luar. Petir menggelegar, dan kilatan cahaya menyinari langit. Ia menatap jendela kamar, berusaha mengusir rasa gelisah. Biasanya, ia tak takut badai, tapi malam ini... entah kenapa dadanya terasa sesak.

Ia mengambil ponsel dari meja samping tempat tidur.

Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Tidak ada kabar dari Leonard sejak malam pertama ia pergi.

“Kenapa aku menunggu? Bukankah ini pernikahan palsu?”

“Bukankah kami hanya dua orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama?”

Namun pertanyaan-pertanyaan itu tak menghapus perasaan yang mulai tumbuh diam-diam dalam hatinya.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu depan dibuka. Aluna terkejut, jantungnya berdetak kencang. Ia keluar dari kamar dengan hati-hati, mengenakan kardigan tipis di atas piyama. Tangannya menggenggam pegangan tangga ketika ia melihat seseorang berdiri di lorong bawah yang gelap.

“Leonard?”

Pria itu menoleh. Matanya sedikit sembab, wajahnya basah terkena air hujan, dan jas hitamnya sudah setengah kuyup.

“Maaf, membangunkanmu.”

Aluna menuruni tangga cepat-cepat. “Kamu pulang? Kupikir besok pagi.”

Leonard tidak langsung menjawab. Ia berdiri diam, tubuhnya lelah, tapi matanya menatap Aluna dengan tatapan yang tak biasa.

“Aku butuh... pulang lebih cepat,” katanya akhirnya.

Aluna tahu, itu bukan sekadar alasan bisnis. Ada sesuatu di balik tatapan matanya. Tapi ia tak menanyakannya. Ia hanya mengambil handuk dari lemari dan menyerahkannya pada Leonard.

“Kamu bisa sakit kalau tetap basah seperti ini. Pergilah mandi dulu, nanti aku buatkan teh.”

Leonard menerimanya tanpa suara. Ia pergi ke kamar mandi di lantai bawah, sementara Aluna ke dapur membuat teh hangat. Ketika Leonard kembali—dengan pakaian bersih dan rambut setengah kering—cangkir teh itu sudah menunggunya di meja makan.

“Aku tak menyangka kamu akan membuatkan ini,” katanya, mengambil cangkir.

“Kamu terlihat seperti pria yang butuh sesuatu yang hangat,” jawab Aluna pelan.

Lalu hening.

Leonard menatap cangkir di tangannya. “Aluna...”

“Ya?”

“Aku tahu ini tak mudah bagimu.”

Kalimat itu mengejutkannya. Karena ini pertama kalinya Leonard menyentuh topik tentang mereka.

“Kita berdua tahu ini pernikahan atas dasar kesepakatan,” lanjut Leonard. “Tapi itu tak berarti aku akan mengabaikanmu.”

Aluna menggigit bibirnya. “Lalu kenapa selama ini terasa seperti aku tak berarti apa-apa bagimu?”

Leonard mengangkat wajahnya, dan mata mereka bertemu.

“Karena aku takut membuatmu berharap lebih.”

Jantung Aluna seolah berhenti berdetak sejenak.

“Apa maksudnya? Apakah ia juga merasakan... sesuatu?”

“Tapi sekarang,” Leonard melanjutkan, suaranya menurun, “aku mulai menyadari, mungkin... menjaga jarak pun tak akan bisa menghapus keberadaanmu dari pikiranku.”

Kalimat itu menghantam dada Aluna seperti gelombang pasang.

“Jangan berharap, Aluna. Kamu tahu seperti apa pria ini. Ia penuh rahasia. Penuh dinding.”

Namun bagian lain dari dirinya tak bisa menolak kalimat itu. Tidak bisa mengabaikan tatapan mata Leonard malam ini.

“Aku tidak tahu harus bilang apa,” gumam Aluna, jujur.

“Kamu enggak perlu bilang apa pun malam ini,” jawab Leonard cepat.

Lalu ia berdiri, meletakkan cangkir yang sudah kosong, dan menatap Aluna sekali lagi.

“Selamat malam, Aluna.”

Saat Leonard meninggalkan ruang makan, Aluna masih duduk terpaku. Teh dalam cangkirnya sudah dingin, tapi pipinya terasa hangat.

Mungkin ini awal dari sesuatu yang tak bisa mereka tolak.

Mungkin... badai di luar sana membawa angin perubahan di antara mereka.

Dan malam itu, meski badai belum berhenti, untuk pertama kalinya Aluna tidur dengan perasaan yang tak sepenuhnya kosong.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Tatapan yang mengusik.

    Makan siang itu terasa hambar bagi Aluna. Lidahnya nyaris tak bisa merasakan apa pun meski hidangan di hadapannya tersaji begitu rapi. Ia hanya menunduk, menahan detak jantung yang masih kacau setelah membaca kembali isi kontrak pernikahan mereka.Di seberangnya, Leonard makan dengan tenang. Tidak ada tanda ia menyadari gelisah yang berusaha Aluna sembunyikan.“Kenapa tidak dihabiskan?” tanya Leonard tiba-tiba.Aluna tersentak. “Ah… aku kenyang.”Leonard menatapnya lama, lalu tanpa berkata apa pun, ia mendorong piringnya sendiri sedikit ke tengah meja. “Kalau begitu, jangan memaksakan diri. Tapi minum supnya, supaya tidak masuk angin.”Ucapan itu sederhana, tapi justru membuat dada Aluna semakin sesak. Lelaki itu… seakan perlahan melunturkan dinginnya. Ia takut kalau dirinya tidak lagi sanggup membendung perasaan yang seharusnya terlarang.Sore harinya, Aluna duduk di balkon kamarnya. Angin berembus pelan menerpa wajahnya,Namun ketenangan itu tak bisa menenangkan pikirannya.Kalimat d

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Aturan Yang Mulai Retak.

    Pagi menyapa Mansion mewah itu dengan sunyi. Hanya suara burung dari taman belakang yang terdengar samar. Aluna membuka matanya perlahan, mengingat kembali percakapan semalam dengan Leonard dan sorot mata lelaki itu yang tak bisa ia lupakan. "Aku mulai menyadari, mungkin... menjaga jarak pun tak akan bisa menghapus keberadaanmu dari pikiranku." Kalimat itu kembali terngiang dalam benaknya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat meski ia belum bangkit dari tempat tidur. Ia menarik napas dalam, lalu bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Hari ini, ia bertekad untuk bersikap seperti biasa. Tidak boleh larut dalam perasaan yang belum tentu memiliki arah. Lagi pula, pernikahan mereka adalah kontrak. Ia tak boleh lupa akan hal itu. --- Di ruang makan, Leonard sudah duduk lebih dulu, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Ia tampak lebih santai dari biasanya, tapi aura dinginnya tetap ada. Aluna ragu sejenak sebelum akhirnya duduk di seberang meja. “Pagi,” sa

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Rasa Yang Tak Diundang.

    Tiga hari terasa lambat bagi Aluna. Mansion itu terlalu besar untuk dirinya sendiri, terlalu sunyi, dan terlalu asing meskipun ia sudah tinggal di dalamnya selama hampir dua minggu. Ia mengisi hari-harinya dengan membaca, memasak makanan sederhana meski ada koki di Mansion dan berjalan di taman belakang. Ia menolak untuk hanya menjadi hiasan di rumah mewah itu. Aluna ingin tetap menjadi dirinya. Seorang gadis biasa yang punya mimpi dan logika, walau kini terjebak dalam dunia yang tak pernah ia bayangkan. Namun, malam itu berbeda. Aluna terbangun karena suara hujan deras di luar. Petir menggelegar, dan kilatan cahaya menyinari langit. Ia menatap jendela kamar, berusaha mengusir rasa gelisah. Biasanya, ia tak takut badai, tapi malam ini... entah kenapa dadanya terasa sesak. Ia mengambil ponsel dari meja samping tempat tidur. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Tidak ada kabar dari Leonard sejak malam pertama ia pergi. “Kenapa aku menunggu? Bukankah ini pernikahan palsu?” “Buka

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Di Antara Dua Dunia.

    Hujan malam itu turun semakin deras, membasahi pekarangan Mansion mewah tempat Aluna tinggal sejak statusnya berubah menjadi "istri kontrak." Ia belum terbiasa dengan keheningan megah Mansion itu, belum terbiasa dengan ruang-ruang besar yang terasa kosong dan dingin seperti hati pria yang sekarang menjadi suaminya. Di balik tirai kamarnya yang setengah terbuka, Aluna diam-diam memperhatikan Leonard. Lelaki itu berdiri di balkon kamarnya, mengenakan kemeja putih yang bagian atasnya terbuka. Rambutnya basah oleh rintik hujan, namun ia tak bergeming. Ada kesepian dalam sosok pria itu yang tak bisa Aluna abaikan. Sesuatu yang selama ini ia tutupi dengan dinginnya sikap, dengan tatapan tajam dan kata-kata yang selalu terdengar menyakitkan. Aluna menggenggam jemarinya yang dingin. Ia tahu ia tidak seharusnya peduli. Ini hanya pernikahan kontrak. Tidak ada cinta. Tidak ada keterikatan perasaan. Namun... kenapa hatinya terasa sesak saat melihat lelaki itu tampak begitu rapuh, meski tak m

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Pria Yang Tak Percaya Cinta.

    “Dia bukan tipe wanita yang bisa di miliki.” Ucapan itu tiba-tiba muncul dari bibir Leonard saat tengah berbincang dengan Andrew, sahabat sekaligus asistennya, di ruang kerja kantor pusat Alvaro Group. Andrew menaikkan alis. “Kau berbicara tentang istrimu sendiri?” Leonard tak menjawab. Pandangannya lurus ke luar jendela kaca, menatap langit Jakarta yang kelabu. Angin hujan mengguyur jendela, seolah mencerminkan kekacauan dalam pikirannya. “Dia berbeda,” ucapnya akhirnya. “Terlalu tenang, terlalu sabar… dan terlalu kuat untuk wanita yang hidup di bawah bayanganku.” Andrew tersenyum tipis. “Kau takut jatuh cinta, Leo?” Leonard menoleh dengan tatapan dingin. “Cinta tidak pernah membuat siapa pun menang. Cinta itu hanya kelemahan yang bisa membuat orang bertekuk lutut,dan aku tidak percaya dengan cinta." Andrew hanya mengangguk karena ia tau jika leonard adalah pria yang tak pernah percaya dengan cinta,bagi leonard cinta hanyalah sebuah perasaan yang tak ada artinya. --- Sement

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Rumah Tanpa Kehangatan.

    Mansion itu terlalu besar untuk dihuni dua orang. Begitu Aluna melangkah masuk ke dalam mansion keluarga Arsenio, ia merasa seolah terjebak dalam istana es. Dinding marmer putih memantulkan cahaya dingin, dan lorong-lorong sunyi menyambutnya tanpa kehangatan. “Ini kamar anda,” ucap pelayan wanita sambil membuka pintu kamar di sayap kanan rumah. Aluna hanya mengangguk. Pandangannya menyapu seisi kamar luas, elegan, tapi kosong. Tak ada satu pun sentuhan yang menunjukkan ‘rumah’. Tak ada warna-warna hangat, tak ada figura keluarga. Semuanya hanya perabot mewah tanpa jiwa. Di belakangnya, Leonard berdiri sambil menyilangkan tangan. “Atur batasmu. Jangan masuk ke area pribadiku tanpa izin.” Aluna menoleh perlahan. “Aku tidak berniat mencampuri hidupmu.” Mata mereka bertemu. Sekilas. Tapi cukup bagi Leonard untuk menangkap ada luka di mata wanita itu luka yang dalam, tapi tak meronta. Luka yang diam-diam sedang menyembuhkan diri. Leonard membuang muka. “Besok pagi kita harus tampil

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status