Share

Cinta Dua Sisi
Cinta Dua Sisi
Penulis: Cut Rizka Safrianti

Pandangan Pertama

"Mas, Dita mau itu?" seru gadis itu manja tanpa melepaskan tangannya yang melingkar di pinggul lelaki tampan itu.

Lelaki itu melirik sekilas ke arah jajanan yang kutawarkan di hadapannya. Matanya sungguh indah dan teduh, membuat setiap mata yang memandang terhipnotis untuk tak berpaling darinya. 

Beruntung sekali gadis itu, ungkap batinku dalam diam.

"Mba, saya mau kue lempernya dua," kata lelaki berwajah teduh itu sambil mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan.

Kubungkus kue tersebut dengan sigap sebagai bentuk pelayanan primaku. 

Ketika hendak memberikan uang kembalian, lelaki tampan dan gadis cantik itu telah berlalu.

"Mas, kembaliannya," teriakku.

Lelaki itu berbalik dan tersenyum ramah, "Untuk Mba, aja," serunya dari kejauhan.

Sempurna. Bukan hanya good looking, tapi akhlaknya juga baik. Aku mengangguk tanda berterima kasih padanya.

Mereka pun pergi meninggalkan bias cemburu di dadaku. Memainkan seruling perang yang bergelora dalam ragaku yang buntu. Andai saja aku sedikit lebih cantik, lebih berada, lebih cerdas dan elegan seperti gadis tadi, mungkin nasibku akan sedikit berubah. Namun, kenyataannya aku hanya seorang gadis tuna aksara yang bahkan tidak lulus Sekolah Menengah Atas. Apa yang bisa kuharapkan. Bermimpi pun aku tak sanggup.

Begitulah awal pertemuanku dengan Dita dan Mas Arman. Lima tahun lalu. Saat keduanya masih berstatus pasangan muda penuh cinta dan pengantin baru yang dimabuk asmara.

Berhari-hari setelahnya mereka selalu singgah di emperan jalan tempatku menjajakan kue, tepat di seberang jalan menuju hotel tempat mereka menginap pada masa bulan madu. Sepertinya gadis itu sangat menyukai rasa lemper buatanku itu atau sekadar pelepas lapar. Entahlah.

Hingga pada suatu pagi, gadis itu menyapaku.

"Mba, mau ikut aku ke kota Bandung nggak?" tanyanya ramah dengan sekirat senyum dan dua lesung pipi menambah ke-ayu-an gadis itu.

Aku tentu saja terkejut dan menatapnya tak percaya. Salahkah pendengaranku. Benarkah gadis ini sedang berbicara padaku? Aku menatapnya setelah pelenga-pelengok melihat sekelilingku dan tak menemukan seorang pun selain diriku sendiri dan Mas tampan itu.

"Iya, Mba. Aku berbicara denganmu." Gadis itu semakin tertawa melihat kepilonanku.

"Eh ... saya, Mba?" Aku masih belum menguasai keadaan.

"Begini, lo, Mba. Istri saya ini sangat suka dengan kue lemper yang Mba buat. Kebetulan istri saya juga lagi ngidam berat. Jikaba berkenan, mau gak, Mba ikut kita ke Bandung?" Mas tampan itu mencoba melerai kebingunganku.

Gadis di sebelahnya itu sedang hamil rupanya. Lengkap sudah kebahagiaan perempuan muda itu, yang akhirnya kuketahui bernama Dita.

"Nggak usah dijawab dulu, Mba. Kita akan berada di Jogja sampai lusa, kok." Dita menepuk pundakku dan mengambil dua potong lemper yang ada di hadapannya. 

"Mas, jangan lupa bayar," katanya masih semanja biasa.

Tuhan, jangan biarkan setan membisikkan kedengkian di hatiku dan mengundang penyakit 'ain dalam pandanganku. Aku sibukkan diri dengan istighfar agar tak goyah oleh rayuan setan yang mendayu bak lagu merdu yang didendangkan Siti Nurhaliza dari negeri jiran.

"Ini, Mba." Lelaki itu memberiku selembar sepuluh ribuan dan seperti biasa, dia tak mau menerima kembaliannya.

Aku menatap langit dengan sendu. Tuhan pertemukan aku dengan lelaki serupa lelaki bermata indah itu, bisikku mendamba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status