Share

Separuh Harap

Dua hari berlalu dengan cepat. Dita masih mencoba merayuku agar mau ikut dengannya ke Bandung. Sedangkan, ragaku enggan beranjak dari kota Jogja yang menyisakan kenangan masa lalu bersama Bapak dan Ratih, adikku.

"Maaf, Mba Dita. Saya tidak bisa." Aku melepaskan tangan Dita yang memohon sambil menggenggam jemari ringkihku.

"Mba, bantu aku. Kalau bayiku pengen lemper buatan Mba, gimana, dong? Masa Mba tega buat orokku ileran sejak dari kandungan?"

Wajah memelasnya sangat cantik, Tuhan. Matanya bundar dengan hidung yang tak bisa dibilang pesek, tak juga terlalu mancung serta bibir sekelas Angelina Jolie yang disapu lipstik pink menambah pesona gadis di depanku ini.

"Mba .... " panggilnya lagi dengan mimik yang mampu meluruhkan bunga di taman karena malu dengan indahnya.

Sebelum aku sempat menjawab, Dita telah berkat kembali.

"Akan aku penuhi semua harap, Mba." Dita sangat yakin dengan ucapannya.

Andai saja dia tahu, aku tak butuh yang lain. Aku ingin memiliki separuh lelaki yang bersamanya. Itu sudah cukup bagiku. Sejak pandangan pertama, aku tak bisa mengabaikan kehadiran Mas Arman. Lelaki dengan postur tinggi menjulang bak model, berkulit putih, mata sedikit cipit, dan senyum yang indah. Setiap malam aku berhayal bisa menjadi Dita. Berjalan bergandengan tangan dengan Mas Arman dan mendapat tatapan hangat penuh cinta dari lelaki itu.

Ini tak sepenuhnya salahku. Mereka harusnya tak perlu memperlihatkan kemesraan itu terlalu nyata di hadapanku. Aku hanya perempuan biasa. Perempuan yang haus cinta dari lelaki semenarik Mas Arman.

"Mba?" Dita masih mengejutkan lamunanku yang tak bertanggungjawab.

"Mba, mau minta apa?" Mas Arman ikut bertanya.

Aku menatapnya lembut. Aku ingin kamu, Mas. Bisakah aku menjawab itu?

"Loh, kok malah bingung, sih, Mba?" tegur Dita melihat gelagat anehku. Semoga saja Dita tidak menyadari tatapan mataku pada Mas Arman.

Aku harus apa? Haruskah aku ikut bersama mereka? Bagaimana jika aku benar-benar mendambakan sesuatu yang bukan milikku. Seseorang yang telah menyentuh hatiku, bahkan sebelum sempat aku menata indah namanya di hati.

Tidak, ini tak boleh terjadi, hatiku berteriak menolak imajinasi kotorku.

"Mba, tolong bantu saya. Anggap saja Mba nolongin bayi di kandungan istri saya." Mas Arman ikut berseloroh putus asa dan menatapku dengan mengiba.

Jangan, Mas. Jangan kautatap dengan wajah itu. Aku takut tak bisa melepasmu. Naluri jahatku memainkan peran yang tak beradab.

"Baiklah, Mba. Semua keputusan kami serahkan pada Mba. Kami akan berangkat dengan kereta api Argo Wilis ke Bandung pukul 11.06 WIB. Jika Mba mau ikut, kita tunggu di stasiun Tugu."

Begitulah putusan akhir yang dibuat Mas Arman untukku. Di satu sisi, aku sangat bahagia bisa melihatnya setiap hari jika ikut ke Bandung. Namun, di sisi lain, siapa yang akan ziarah ke makam Bapak dan Ratih jika aku pergi? Aku belum bisa melepaskan kepedihan itu, meski waktu mencoba mengusaikannya.

Aku menatap nanar langkah kaki Mas Arman dan Dita yang menjauh dari tempatku menawar lara dalam senampan lemper penghilang duka. Lemper yang disukai Dita dan Ratih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status