Share

Bab 8

Penulis: Dynasty
Maria tersadar dan mendapati dirinya terbaring di sebuah gudang terbengkalai. Ia tak bisa bergerak karena ikatan erat di tubuhnya. Di dadanya melingkar sebuah alat yang berbunyi “tik-tik”, sementara layar dengan tulisan merah di atasnya menampilkan angka yang merujuk pada hitungan mundur.

09:59

“Oh, sudah bangun rupanya.” Suara Nana terdengar dari samping. Maria menoleh, gadis di sampingnya itu juga diikat dengan cara yang sama, dan di dadanya terpasang alat serupa.

“Lihat, ini bom sungguhan, tahu.”

Mata Maria seketika terbelalak. “Nana, kamu gila!”

“Aku memang ingin buat pamanku memilih,” ucap Nana sambil menatap Maria dengan penuh kebencian. “Kenapa setelah cerai pun dia masih peduli padamu?”

“Nana!”

Arhan tiba-tiba menerobos masuk, langsung berlari menuju Nana tanpa menoleh sedikit pun ke arah Maria.

“Paman, aku takut sekali, cepat selamatkan aku!” Nana menangis tersedu-sedu dengan suara bergetar.

Arhan segera berjongkok untuk menjinakkan bom di tubuh Nana, sedangkan untuk Maria, ia hanya melontarkan kata dengan singkat, “Bertahanlah sebentar, setelah aku bebaskan Nana, aku akan segera menolongmu!”

Dari awal Maria sudah menduga siapa yang akan Arhan pilih. Yang mengejutkan, hatinya kini benar-benar tidak merasakan apa pun.

“Tak perlu repot, aku bisa melepasnya sendiri,” ucap Maria dingin.

Bagaimanapun juga ia berasal dari Keluarga Wijaya, keluarga konglomerat yang selalu waspada terhadap penculikan. Berbagai teknik bertahan hidup sudah menjadi bagian dari pelatihannya. Termasuk menjinakkan bom.

Tangan Arhan sempat bergetar. Melihat itu, Nana panik dan sontak menangis lebih keras.

“Hanya tinggal satu menit! Paman, aku takut, aku tidak mau mati di sini!”

Tangisan itu membuat Arhan tak berani menoleh ke mana pun. Ia kembali fokus sepenuhnya pada bom di dada Nana. Melihat situasi itu, jari-jari Maria terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Ia memejamkan matanya sesaat, menahan rasa perih di hatinya. Maria menggeser tubuhnya perlahan, mendekati Arhan, dan menarik pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Dengan hati-hati, sedikit demi sedikit ia memotong tali yang mengikat tubuhnya sendiri.

Saat Arhan akhirnya berhasil menjinakkan ‘bom’ di tubuh Nana yang sedari awal palsu, Maria juga telah lebih dulu membebaskan diri dari ikatan.

Setelah memastikan Nana sudah selamat dari bahaya, Arhan baru menoleh ke arah Maria, hendak melepas bom di tubuh Maria, namun lengannya tiba-tiba digenggam erat oleh Nana.

“Paman, waktunya tinggal tiga puluh detik! Sudah tidak sempat, kita harus keluar!”

Namun kali ini Arhan tidak lagi mendengarkan Nana. Ia hanya mendorong Nana pelan sambil bicara, “Kamu keluar dulu.”

“Tidak! Paman, kalau kamu tidak pergi, aku juga tidak akan pergi!” Mata Nana berkaca-kaca, tapi tatapannya pada Arhan luar biasa teguh.

“Kamu bawa dia pergi.”

Maria tiba-tiba angkat suara. Tatapannya pada Arhan sangat dalam, seperti jurang yang tak berdasar. “Hutang nyawa karena kamu sudah menyelamatkan aku dulu, hari ini akan aku lunasi.”

Detik demi detik terus berlalu. Pada akhirnya, Arhan tetap lebih mengkhawatirkan keselamatan Nana. Ia bangkit lalu melontarkan satu kalimat, “Aku antar dia keluar dulu, lalu kembali ke sini!” kemudian menghilang dari pandangan.

Nana melongok ke arah Maria dari balik bahu Arhan, dan tanpa suara, bibirnya bergerak membentuk kata-kata, “Bom punyaku itu palsu. Yang punyamu asli.”

Sekilas saja Maria langsung paham, dan amarah di hatinya terbakar seketika, tatapannya pada Nana sedingin pisau.

“Aku tidak akan melepaskanmu!”

Pada detik terakhir sebelum bom meledak, Maria berhasil mencabut bom itu dari tubuhnya. Tapi sudah terlambat, ia hanya sempat melemparkan bom itu ke samping, lalu berguling menjauh dari pusat ledakan.

Ledakan itu menghamburkan gelombang udara yang membuat Maria terpental keras. Batu-batu kecil yang juga ikut terpental menggores tubuhnya, meninggalkan garis-garis darah di kulitnya. Organ dalam Maria pun serasa terguncang hebat, ia tak sanggup bertahan dan akhirnya memuntahkan darah. Namun ia tak punya waktu untuk mengurus lukanya, karena kobaran api akibat ledakan itu mulai menjalar dengan cepat.

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Maria bangkit dan berlari ke luar, mencoba mencari area terbuka. Begitu sinyal ponselnya kembali, ia segera menelepon Hedi.

“Tolong aku, kirim seseorang untuk menjemputku dan antarkan aku ke bandara.”

Urusan imigrasinya sudah beres beberapa hari lalu. Dari kejauhan ia dapat melihat Arhan terburu-buru mengangkat Nana ke dalam mobil, sama sekali melupakan perkataannya yang akan kembali cari Maria. Ia menarik pandangannya dari Arhan, lalu setelah naik ke mobil yang dikirim Hedi, ia buru-buru mencabut kartu SIM di ponselnya, mematahkannya dengan tegas, kemudian melemparkannya keluar jendela.

Ia tidak ingin bertemu dengan Arhan lagi!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 24

    Mendengar kata “suami” keluar dari mulut Maria, senyum di sudut bibir Yesa hampir tak bisa ia tahan lagi. Sebaliknya, wajah Arhan semakin lama semakin pucat, seolah kehilangan warnanya sedikit demi sedikit.“Maria,” panggil Arhan dengan menunjukkan senyum pahit. “Jangan panggil dia begitu, kumohon…” rintihnya, seolah-olah ia mendengar suara hatinya sendiri pecah berderai, retak menjadi kepingan kecil yang jatuh ke tanah, dan tak mungkin disatukan lagi.“Kalau aku tidak memanggilnya ‘suami’, lalu harus memanggilnya apa?”Maria sudah berniat membuatnya terluka sampai batas. Ia mengangkat tangan dan memperlihatkan cincin pernikahan mereka berdua. “Lihat baik-baik. Aku sudah menikah.”“Arhan, bisakah kamu sedikit saja punya rasa malu?”Arhan dengan terseok mundur dua langkah. Selama ini ia selalu meyakinkan dirinya bahwa pernikahan Maria hanyalah sementara. Selama ia berusaha, selama Maria bisa melihat ketulusannya, ia pasti bisa merebut kembali hati perempuan itu. Namun sekarang, setiap k

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 23

    Begitu Yesa mengangkat papan nomornya, tak lama kemudian ada orang lain yang ikut mengangkat papan. Bukan hanya ia sendiri yang ikut menawar, Yesa bahkan sudah mengatur orang lain untuk saling balas-membalas harga dengannya.Melihat perkembangan yang sama sekali di luar perkiraannya, Arhan tertegun di tempat. Ia menggenggam kuat jeruji kandang, mendengarkan harga yang terus naik sampai akhirnya berada di angka yang benar-benar tak masuk akal. Orang yang ia tugaskan untuk menawar hingga batas tertentu tampak gelisah, terus menerus mengarahkan pandangan resah ke arahnya.Urat di tangan Arhan menegang. Ia menatap Maria yang duduk di sisi Yesa, di mata wanita itu hanya terpancar ekspresi dingin. Dan ketika tatapan mereka bertemu, Maria justru menampilkan sebuah senyum tipis yang bercampur penghinaan. Tanpa suara, ia mengucapkan dua kata.Arhan tentu bisa membaca gerakan bibir Maria dengan jelas. “Kamu cari masalah sendiri.”Kalau sampai titik ini Arhan masih tidak mengerti bahwa ini adalah

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 22

    Saat Yesa membawa Maria masuk ke ruangan, acara lelang baru saja dimulai. Banyak barang-barang bagus yang dilelang kali ini. Setiap kali Maria bertanya sedikit atau sekadar melirik lebih lama pada suatu barang, Yesa langsung menawarnya tanpa berkedip dan memenangkan barang itu untuknya.Maria menasihatinya agar tidak boros, tapi Yesa malah mengedipkan mata dan berkata, “Untuk istri sendiri, mana mungkin itu disebut boros.”Acara lelang hampir selesai, lalu sebuah kandang yang ditutup kain merah dibawa masuk. Saat Maria menatap kandang itu, entah kenapa perasaan tidak enak merayap di hatinya.Di sekitar mereka, bisik-bisik mulai terdengar.“Apa yang ada di dalam kandang itu? Kok dibuat misterius begitu?”“Mungkin hewan buas. Selalu saja ada orang yang suka hal-hal aneh begitu.”Kandang itu diletakkan di atas panggung, tidak menimbulkan suara apa pun. Setelah rasa penasaran penonton terbangun dan suasananya memuncak, seorang staf naik ke panggung dan tersenyum sambil membuka kain merah y

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 21

    Yesa diam sejenak sebelum bertanya, “Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?”“Aku hanya…” Maria menarik napas dalam-dalam. “Merasa semua ini tidak nyata.”Maria punya masa lalu yang begitu buruk. Kalau dulu Nyonya Satria memilihnya karena nama Maria dipercaya membawa keberuntungan bagi Yesa, lalu setelah itu bagaimana? Yesa jelas-jelas sudah sadar, Yesa sepenuhnya bisa membatalkan pernikahan ini. Tapi mengapa ia malah bersedia menikahi Maria? Mengapa menikahi seseorang yang tidak punya kelebihan apa pun seperti dirinya?Kalau urusan hati, Maria yang sudah terluka terlalu dalam, meski terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terjebak, hatinya tetap tidak bisa menolak kelembutan Yesa. Maria sendiri sulit menjelaskan perasaannya. Hanya saja, sebelum hatinya jatuh sepenuhnya, Maria ingin mendengar jawaban Yesa, setidaknya sekali saja.Ekspresi Maria tidak luput dari mata Yesa. Ia terdiam beberapa detik, kemudian perlahan berkata, “Mungkin kamu sudah lupa. Maria, sebenarnya kita sudah pe

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 20

    Suara Arhan semakin lama semakin menjaih, sampai akhirnya benar-benar menghilang tanpa jejak. Para tamu di aula akhirnya kembali mengalihkan perhatian pada acara. Meski baru saja menonton drama besar di depan mata, tak ada satu pun yang berani membicarakannya.Kejadian barusan membuat suasana hati Maria benar-benar buruk. Menyadari suasana hati istrinya merosot, Yesa menggenggam ringan tangan Maria, memberinya sedikit ketenangan.Pastor kembali mengulangi pertanyaan tadi, dan kali ini Maria dengan sungguh-sungguh menjawabnya, “Aku bersedia.”Setelah itu, acara pun berjalan lancar. Usai seluruh rangkaian upacara selesai, Maria dibawa masuk ke kamar pengantin. Kamar pengantin yang luas itu hanya menyisakan dirinya seorang. Semua yang terjadi siang tadi jelas mempengaruhi suasana hatinya, dadanya terasa sesak, gelisah, bahkan terselip sedikit rasa tidak tenang.Arhan tiba-tiba menerobos masuk ke pernikahan dan mengungkap masa lalunya, entah bagaimana Keluarga Satria akan memandangnya sete

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 19

    Suasana di antara para tamu sempat hening beberapa detik, lalu seketika bergemuruh seperti air mendidih.“Siapa laki-laki itu?”“Tadi dia bilang apa? Jangan menikah? Ya ampun, dia mau merebut pengantinnya?”“Merebut pengantin dari Keluarga Satria? Dia sudah bosan hidup, ya?”Kepala Maria seakan tidak berfungsi, ia menggigit bibirnya begitu keras sampai rasa amis darah memenuhi mulutnya. Ia sama sekali tak menyangka Arhan akan muncul di sini.Yesa menyadari perubahan Maria itu. Ia mengangkat tangannya, dengan lembut dan hati-hati menyeka sisa darah di bibir Maria. Suaranya masuk di pendengaran Maria dengan ringan, hangat dan stabil.“Maria, jangan gigit bibirmu. Sakit nanti.”Suara lembut itu seperti angin musim semi yang langsung menenangkan kekacauan di hati Maria.Melihat Yesa bersikap begitu akrab dan menjaga Maria, mata Arhan semakin merah. Ia melangkah maju ke arah altar, tetapi belum sempat mendekat, dua pengawal yang sudah disiapkan Yesa sebelumnya langsung menahan tubuhnya.“Ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status