Share

Bab 7

Penulis: Dynasty
Setelah bermalam di kediaman Hedi Mawardi, keesokan paginya Maria kembali ke rumah Keluarga Prayoga. Ada beberapa benda penting yang belum sempat ia bawa pergi. Ia sengaja memilih waktu ketika Arhan sudah berangkat kerja, agar tidak perlu bertemu dengannya. Namun baru saja melangkah masuk, ia mendapati pria itu sedang duduk di sofa.

Arhan masih mengenakan setelan jas kemarin, namun ikatan dasinya melonggar. Keadaan Arhan terlihat kacau, lingkar hitam menghiasi matanya, di jarinya terselip rokok hampir habis yang abunya dibiarkan begitu saja berjatuhan di karpet.

Maria berpura-pura tidak melihat apa pun. Ia naik ke lantai atas tanpa sepatah kata, dengan cepat mengambil barang dan memasukkannya ke dalam saku mantel, lalu bersiap pergi.

“Maria.” Pria yang sejak tadi membisu itu mendadak bersuara, suaranya terdengar serak.

“Tidak ada yang ingin kamu katakan padaku?”

“Apa yang harus kukatakan?” Maria menyeringai tipis, tersenyum penuh ironi.

“Bilang terima kasih karena kamu menyeretku ke panggung lelang untuk dipermalukan?”

Arhan seketika berdiri. Ia meraih pergelangan tangan Maria, ujung jarinya dengan sengaja menekan memar yang terbentuk akibat terjepit kandang semalam.

“Pria itu menyentuhmu di mana?”

“Itu bukan urusanmu.” Maria berusaha menarik tangannya, namun cengkraman Arhan sangat erat, seperti borgol yang terkunci rapat.

“Bagaimana bisa bukan urusanku? Maria, jangan lupa, aku ini suamimu!” teriak Arhan. Kemudian tanpa aba-aba, ia langsung menyeret Maria ke kamar mandi.

Lalu—Byuurr!

Satu botol penuh cairan disinfektan disiramkan begitu saja ke kepala Maria. Sensasi perih langsung menyebar di kulitnya seperti kobaran api.

“Arhan, kamu gila?!”

“Maria, kamu benar-benar rendahan! Kamu rela naik ke ranjang orang lain, tapi satu kata ‘maaf’ pun nggak mau kamu ucapkan!”

Arhan membuka botol lain dan kembali menyiramkan seluruh isinya.

“Kamu kotor, biar aku bersihkan.”

Pakaian Maria basah kuyup oleh cairan itu. Kepalanya berdengung. Bagaimana bisa pria ini masih punya muka mengatakan hal-hal seperti itu? Yang menyeretnya ke tempat lelang untuk dipermalukan adalah dia, dan yang menganggap Maria kotor pun justru dia.

Maria tak mampu menahan diri lagi.

Plak! Sebuah tamparan mendarat keras di wajah Arhan.

“Arhan.” Suara Maria bergetar namun tegas. “Aku benar-benar menyesal pernah mencintaimu.”

Arhan tertegun melihat tatapan tegas dan tanpa toleransi di wajah Maria, hatinya tiba-tiba dilanda kegelisahan, seolah ada sesuatu yang lepas dari genggamannya.

Setelah berkata seperti itu, Maria bahkan tidak memberi Arhan satu lirikan pun. Ia segera keluar dari kamar mandi, mengambil barang-barangnya, dan langsung berjalan menuju pintu. Pakaian basah yang menempel di tubuh membuatnya kedinginan. Begitu angin menerpa, seluruh tubuh Maria menggigil hebat. Baru saja ia melangkah keluar dari gerbang rumah Keluarga Prayoga, seseorang tiba-tiba muncul di hadapannya.

Nana.

Gadis itu seperti orang kehilangan akal, dia langsung menerjang sambil mengangkat tangan hendak menampar Maria.

“Perempuan hina! Siapa yang mengizinkanmu kembali?!”

Maria menangkap pergelangan tangan Nana dengan cepat, seraya berkata, “Dulu aku tak mempermasalahkan ulahmu karena aku masih bersabar.”

Maria menatap Nana yang sedang menunjukkan kepanikan di matanya. Mengingat apa yang gadis itu lakukan di tempat lelang, nada bicara Maria mengeras, dingin dan penuh ketegasan.

“Kita berdua sama-sama tahu apa yang telah kamu lakukan padaku, dan aku akan balas semuanya, satu per satu.”

Tatapan dingin dan penuh tekad itu membuat dada Nana mencelos sesaat, rasa takut tiba-tiba merayap tanpa ia sadari. Namun dengan cepat Nana kembali memasang senyum sinisnya.

“Kalau kamu masih hidup, tentu saja kamu boleh membalasnya satu per satu.”

“Apa maksudmu?”

Hati Maria langsung was-was, firasat buruk melintas begitu cepat. Ia berusaha mundur, ingin menjauh secepat mungkin, tetapi sudah terlambat.

Aroma samar dari tangan Nana tercium di hidungnya, dan seketika itu juga kepala Maria berdenyut keras. Ia sempat mendengar suara “Ngung….” sebelum akhirnya pandangannya menggelap.

Dalam hitungan detik, dunia di hadapannya menjadi gelap gulita.

Maria kehilangan seluruh kesadarannya…

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 24

    Mendengar kata “suami” keluar dari mulut Maria, senyum di sudut bibir Yesa hampir tak bisa ia tahan lagi. Sebaliknya, wajah Arhan semakin lama semakin pucat, seolah kehilangan warnanya sedikit demi sedikit.“Maria,” panggil Arhan dengan menunjukkan senyum pahit. “Jangan panggil dia begitu, kumohon…” rintihnya, seolah-olah ia mendengar suara hatinya sendiri pecah berderai, retak menjadi kepingan kecil yang jatuh ke tanah, dan tak mungkin disatukan lagi.“Kalau aku tidak memanggilnya ‘suami’, lalu harus memanggilnya apa?”Maria sudah berniat membuatnya terluka sampai batas. Ia mengangkat tangan dan memperlihatkan cincin pernikahan mereka berdua. “Lihat baik-baik. Aku sudah menikah.”“Arhan, bisakah kamu sedikit saja punya rasa malu?”Arhan dengan terseok mundur dua langkah. Selama ini ia selalu meyakinkan dirinya bahwa pernikahan Maria hanyalah sementara. Selama ia berusaha, selama Maria bisa melihat ketulusannya, ia pasti bisa merebut kembali hati perempuan itu. Namun sekarang, setiap k

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 23

    Begitu Yesa mengangkat papan nomornya, tak lama kemudian ada orang lain yang ikut mengangkat papan. Bukan hanya ia sendiri yang ikut menawar, Yesa bahkan sudah mengatur orang lain untuk saling balas-membalas harga dengannya.Melihat perkembangan yang sama sekali di luar perkiraannya, Arhan tertegun di tempat. Ia menggenggam kuat jeruji kandang, mendengarkan harga yang terus naik sampai akhirnya berada di angka yang benar-benar tak masuk akal. Orang yang ia tugaskan untuk menawar hingga batas tertentu tampak gelisah, terus menerus mengarahkan pandangan resah ke arahnya.Urat di tangan Arhan menegang. Ia menatap Maria yang duduk di sisi Yesa, di mata wanita itu hanya terpancar ekspresi dingin. Dan ketika tatapan mereka bertemu, Maria justru menampilkan sebuah senyum tipis yang bercampur penghinaan. Tanpa suara, ia mengucapkan dua kata.Arhan tentu bisa membaca gerakan bibir Maria dengan jelas. “Kamu cari masalah sendiri.”Kalau sampai titik ini Arhan masih tidak mengerti bahwa ini adalah

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 22

    Saat Yesa membawa Maria masuk ke ruangan, acara lelang baru saja dimulai. Banyak barang-barang bagus yang dilelang kali ini. Setiap kali Maria bertanya sedikit atau sekadar melirik lebih lama pada suatu barang, Yesa langsung menawarnya tanpa berkedip dan memenangkan barang itu untuknya.Maria menasihatinya agar tidak boros, tapi Yesa malah mengedipkan mata dan berkata, “Untuk istri sendiri, mana mungkin itu disebut boros.”Acara lelang hampir selesai, lalu sebuah kandang yang ditutup kain merah dibawa masuk. Saat Maria menatap kandang itu, entah kenapa perasaan tidak enak merayap di hatinya.Di sekitar mereka, bisik-bisik mulai terdengar.“Apa yang ada di dalam kandang itu? Kok dibuat misterius begitu?”“Mungkin hewan buas. Selalu saja ada orang yang suka hal-hal aneh begitu.”Kandang itu diletakkan di atas panggung, tidak menimbulkan suara apa pun. Setelah rasa penasaran penonton terbangun dan suasananya memuncak, seorang staf naik ke panggung dan tersenyum sambil membuka kain merah y

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 21

    Yesa diam sejenak sebelum bertanya, “Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?”“Aku hanya…” Maria menarik napas dalam-dalam. “Merasa semua ini tidak nyata.”Maria punya masa lalu yang begitu buruk. Kalau dulu Nyonya Satria memilihnya karena nama Maria dipercaya membawa keberuntungan bagi Yesa, lalu setelah itu bagaimana? Yesa jelas-jelas sudah sadar, Yesa sepenuhnya bisa membatalkan pernikahan ini. Tapi mengapa ia malah bersedia menikahi Maria? Mengapa menikahi seseorang yang tidak punya kelebihan apa pun seperti dirinya?Kalau urusan hati, Maria yang sudah terluka terlalu dalam, meski terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terjebak, hatinya tetap tidak bisa menolak kelembutan Yesa. Maria sendiri sulit menjelaskan perasaannya. Hanya saja, sebelum hatinya jatuh sepenuhnya, Maria ingin mendengar jawaban Yesa, setidaknya sekali saja.Ekspresi Maria tidak luput dari mata Yesa. Ia terdiam beberapa detik, kemudian perlahan berkata, “Mungkin kamu sudah lupa. Maria, sebenarnya kita sudah pe

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 20

    Suara Arhan semakin lama semakin menjaih, sampai akhirnya benar-benar menghilang tanpa jejak. Para tamu di aula akhirnya kembali mengalihkan perhatian pada acara. Meski baru saja menonton drama besar di depan mata, tak ada satu pun yang berani membicarakannya.Kejadian barusan membuat suasana hati Maria benar-benar buruk. Menyadari suasana hati istrinya merosot, Yesa menggenggam ringan tangan Maria, memberinya sedikit ketenangan.Pastor kembali mengulangi pertanyaan tadi, dan kali ini Maria dengan sungguh-sungguh menjawabnya, “Aku bersedia.”Setelah itu, acara pun berjalan lancar. Usai seluruh rangkaian upacara selesai, Maria dibawa masuk ke kamar pengantin. Kamar pengantin yang luas itu hanya menyisakan dirinya seorang. Semua yang terjadi siang tadi jelas mempengaruhi suasana hatinya, dadanya terasa sesak, gelisah, bahkan terselip sedikit rasa tidak tenang.Arhan tiba-tiba menerobos masuk ke pernikahan dan mengungkap masa lalunya, entah bagaimana Keluarga Satria akan memandangnya sete

  • Cinta Ini Tak Lagi Punya Kesempatan   Bab 19

    Suasana di antara para tamu sempat hening beberapa detik, lalu seketika bergemuruh seperti air mendidih.“Siapa laki-laki itu?”“Tadi dia bilang apa? Jangan menikah? Ya ampun, dia mau merebut pengantinnya?”“Merebut pengantin dari Keluarga Satria? Dia sudah bosan hidup, ya?”Kepala Maria seakan tidak berfungsi, ia menggigit bibirnya begitu keras sampai rasa amis darah memenuhi mulutnya. Ia sama sekali tak menyangka Arhan akan muncul di sini.Yesa menyadari perubahan Maria itu. Ia mengangkat tangannya, dengan lembut dan hati-hati menyeka sisa darah di bibir Maria. Suaranya masuk di pendengaran Maria dengan ringan, hangat dan stabil.“Maria, jangan gigit bibirmu. Sakit nanti.”Suara lembut itu seperti angin musim semi yang langsung menenangkan kekacauan di hati Maria.Melihat Yesa bersikap begitu akrab dan menjaga Maria, mata Arhan semakin merah. Ia melangkah maju ke arah altar, tetapi belum sempat mendekat, dua pengawal yang sudah disiapkan Yesa sebelumnya langsung menahan tubuhnya.“Ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status