Share

Terlelap

"Papa, kapan Papa ambil cuti sih?" Lianne mendekati papanya yang sedang sibuk dimeja kerja.

"Ada apa Lianne? Belum lama sejak kita berlibur ke Belanda?! jawab papa Lianne.

"Tapi Papa, itu sudah dua bulan yang lalu?" Lianne menempelkan tubuhnya lebih dekat ke papanya.

"Lianne , papa sedang bekerja,"

"Papa, sebenarnya kapan sih aku bisa ketemu sama mama? bisik Lianne. "Kan sudah empat tahun semenjak papa menikah lagi Lianne gak pernah ketemu Mama?" 

"Lianne, apa tidak lihat kalau papamu sedang bekerja?!" suara itu tidak asing.

Dia Veronica istri papa. Lianne mengerucutkan bibirnya. Salah satu alasan kenapa Lianne tidak bisa menemui mamanya adalah karena wanita ini.

Padahal Veronica sebenarnya adalah teman Mama tapi entah mengapa papa menikahi teman Mama. Dunia orang dewasa sungguh aneh. Apa sih ruginya kalau aku ketemu Mama? Mama juga tidak berusaha untuk menemuiku karena takut dengan Veronica.

Mama takut Veronica melakukan hal-hal yang buruk kepadaku. Jadi semua sungguh bergantung kepada Veronica?!

"Aku bosan!"

Lianne melongok keluar pagar. Dia mengintip dari balik taman kearah pintu masuk rumahnya. Sebelumnya Lianne menelfon Pak Udin satpam rumah itu.

"Pak, tolong ambilkan kotak didalam gudang dan letakkan di garasi! Kotak buku yang lama itu Lo Pak. Aku butuh untuk tugas sekolah!"

Pak Udin menuruti perintah Lianne. Dia bergegas mengambil kotak yang diinginkan Lianne. Saat itulah Lianne mengendap keluar pintu pagar. 

"Yeyy, sukses!" Lianne berlari kearah jalanan dan menyetop taksi. Tujuannya adalah kerumah Bety.

Tapi sayangnya, Bety sedang pergi bersama keluarganya. Lianne bingung. Dia tak ingin pulang kerumahnya yang membosankan. Lianne memutuskan untuk berjalan-jalan dan menikmati pemandangan kota. 

Lianne duduk di bangku taman . Dia melihat banyak sekali orang orang yang sedang duduk bersama keluarganya. Mereka tampak bahagia dengan suasana santai ditempat itu. Lianne merasa iri dengan mereka yang punya waktu untuk bisa bersama.

"Mama, ayo gendong Aku!" 

"Biar Papa saja yang gendong, kasian Mama ya sayang!" anak perempuan itu akhirnya menurut digendong papanya. Lianne melihat mereka dengan perasaan iri.

Beberapa anak bermain berlari ke sana kemari dan juga bermain sepatu rodanya. Lianne bahkan tak pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya.

Tak terasa waktu sudah melewati tengah malam. Lianne harus pulang. Lianne mencoba menghentikan beberapa taksi tapi tak ada yang berhenti. Mencoba pesanan taksi online juga tidak terhubung. Lianne mulai panik. Kebiasaan pergi diam diam dimalam hari memang sering dilakukannya. Tetapi itu hanya kerumah Bety. Rumah Lianne butuh 35 menit untuk sampai dengan taksi. Tidak mungkin berjalan kaki.

"Matilah aku!" kesal Lianne menyalahkan dirinya sendiri. 

Lianne duduk di pinggiran trotoar. Angin dingin mulai menghembus. Jalanan mulai sepi tak ada lalu lalang kendaraan. Beberapa mobil berhenti dan membuka kaca, mereka menanyakan tarif. 

"Tarif ?! Gila!" Mereka pasti pria hidung belang yang sedang mencari mangsa. Uhhh !! Lianne sangat takut. Lianne berjalan dan berdiri di pagar sebuah jembatan. Memandang jauh lekukan sungai yang dialiri air yang tenang.

Lianne teringat tempat ini. Ini adalah tempat dimana dia mencari Alfaro. Lianne seperti mendapatkan inspirasi. Dia mengeluarkan smartphone dan mendial nomor Alfaro.

"Hallo.." terdengar jawaban dari sebrang sana.

"Hallo... tolong aku segera. Akan aku kirim lokasinya." 

"Siapa?"

"Nanti kita bicara. Aku sangat butuh bantuanmu!" Lianne memutuskan panggilan.

Alfaro heran. Dia melihat kelayar handphone . Nomor tak dikenal.Siapa sebenarnya? Alfaro mendapatkan lokasi yang dikirim Lianne.

Karena tempatnya ternyata dekat dan juga penasaran, Alfaro menstarter motor berisiknya. Sangat mengherankan karena bahkan seorang wanita menelfon pada jam dua malam?

Alfaro melihat seorang wanita meringkuk dibawah tiang listrik. Dia melajukan motornya kearah wanita itu. Setengah terkejut Alfaro mematikan mesin kendaraannya. Lianne berdiri dan menatap mata Alfaro dengan seksama. Menunggu reaksi apa yang akan Alfaro tunjukkan ketika yang dia lihat adalah Lianne.

"Kamu? Ngapain malem begini?" Alfaro turun dan menatap Lianne menunggu jawaban.

"Aku ga dapat taksi," Lianne jujur.

"Apa kamu lagi nyari maling yang mencuri handphone kamu itu?!" Alfaro malah menyindir.

"Aku benar-benar kemaleman dan berakhir disini," Lianne berusaha memberikan alasan yang masuk akal.

"Oke oke, anggap saja aku taksi online. Lalu berapa ongkosnya kalau aku mengantarmu hah?!"

"Aku gak berani pulang," jawabnya lemah.

Alfaro emosi. Apa apaan gadis ini. Apa dia tahu bahaya apa yang bisa mengancamnya di tempat sepi seperti ini?

"Naiklah!" lerintah Alfaro. " Tunjukkan kemana aku harus mengantarmu!"

Mereka melaju tapi Lianne tak menunjukkan kemana mereka akan pergi. Alfaro menghentikan motornya lagi.

"Aku sudah bilang, tunjukkan rumahmu! Kamu bilang mau diantar?"

"Aku juga bilang aku gak berani pulang!"

"Jadi?"

"Kerumahmu saja!" Tegas Lianne. Tentu saja membuat Alfaro melongo.

"Turunlah kalau begitu !" Alfaro memang sangat kesal. Lianne diam dibelakang Alfaro."Keras kepala!" gumam Alfaro sambil turun dari motornya. Alfaro berniat menurunkan Lianne di resto 24jam itu.

Wajah Lianne pucat pasi dan bibirnya membiru. Dia bahkan tak membalas tatapan mata Alfaro.

"Ada apa denganmu?" Alfaro memegang telapak Lianne yang dingin. Akhirnya Alfaro membawanya pulang setelah melihat Lianne tampaknya butuh penghangat. " Berpegang lah yang kuat!" Alfaro melingkarkan tangan Lianne kedepan.

 Kebisingan suara mesin mesin motor membangunkan Lianne. Dia melihat kesekeliling. Itu adalah bengkel tempat Alfaro tinggal. Bengkel ini lebih baik dari yang dipinggir kanal. Tapi Lianne tak tahu pasti dimana tempat ini berada. Lianne melihat kamar yang penuh poster pemain tinju itu. Terlalu horor kalau ditempati seorang gadis seperti Lianne.

Lianne kembali mengingat bagaimana dia bisa masuk ke ruangan ini. Dia sudah sangat mengantuk dan capek. Dia hanya merasa tubuhnya diangkat dan dibaringkan dikasur tipis ini. Selimut tipis juga menutup tubuhnya. 

Alfaro masuk dengan semangkuk mie instan dan susu hangat. 

"Aku tak menyangka akan membawa anak kucing liar tidur di kamarku," katanya sambil menyodorkan mie itu di hadapan Lianne.

Lianne yang sudah lapar tak menggubris ucapan Alfaro. Dia hanya butuh mengisi perutnya yang sudah bernyanyi.

"Apa sudah jadi kebiasaan mu ya semau sendiri?" ocehnya.

"Semau sendiri ternyata tidak buruk juga," timpal Lianne.

"Aku tak menyangka, anak kecil sepertimu pandai membantah," Lianne hanya melihatnya sepintas. Lalu menikmati mie instan itu dengan lahap. Menyesap susu hangat membuatnya sangat kenyang. 

"Cepatlah mandi! Aku akan mengantarmu ke halte bus, Kamu bisa naik taksi dari sana!"

Lianne kesal karena Alfaro segera mengusirnya. Padahal hari ini adalah hari libur. Lianne melirik jarum jam ditangannya. Masih terlalu pagi untuk pulang.

Lianne membuka handphonenya. Tak ada yang menelfonnya. Itu bagus. Itu sudah biasanya kalau Lianne terkadang menginap di rumah Bety tak ada seorangpun yang tahu. Itu sebab mereka tak terlalu perduli urusan masing-masing.

Alfaro mendesah ketika melihat Lianne menarik selimutnya kembali setelah selesai sarapan.

"Apa orang tuamu tak mencarimu? Atau kamu kabur dari rumah?" Alfaro menarik selimut Lianne.

"Please, aku cuma numpang sebentar. Aku akan pulang jam 10 nanti . Mereka tak akan tahu bahkan jika aku mati di dalam kamar itu," Lianne balas menarik selimut itu lagi dan menutupi tubuhnya. Dan Alfaro hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ucapan Lianne terlalu berlebihan.

Sangat nyaman rasanya , Lianne berendam didalam bathtub milik Alfaro. Lianne tak mengira rumah bengkel sejelek ini memiliki kamar mandi yang modern. Lianne berlama lama disana.  Handuk berwarna putih sama sekali tidak menggambarkan betapa kotornya pekerjaan bengkel itu. Ataukah dia tak pernah menggunakannya ?

Lianne melilit tubuhnya dengan handuk putih itu. Bersamaan Alfaro yang masuk ke kamar mandi. Lianne berjingkat bersembunyi dibalik pintu. Syukurlah Alfaro tak melihatnya keluar dari bathtub tadi.

"Gunakan pakaian ini! Pakaianmu sudah tampak kotor," Lianne mengambilnya dari balik pintu. "Pakaian wanita? Lianne sedikit heran.

"Apa peduliku? toh ini cukup lumayan." batin Lianne.

Alfaro melihat pakaian itu dikenakan Lianne. Rambut panjang Lianne sedikit menyentuh pinggang tergerai basah. Alfaro menyerahkan pengering rambut untuk Lianne.

"Apa yang kau fikirkan ketika meminta tolong kepadaku?" tanya Alfaro.

"Tidak ada. Aku hanya butuh bantuan saja," Lianne menghidupkan benda itu dan mulai mengering kan rambutnya.

"Jangan kau ulangi! Orang asing sepertiku bisa melakukan apapun kepada seorang gadis seperti kamu, seharusnya kamu tidak berbuat ceroboh lagi!"

Nasehat itu cukup bijaksana. Alfaro sang bijak.

"Oh ya, aku sudah mengenalmu dan bahkan menyimpan nomormu. Aku juga punya foto bersama denganmu dan juga video adegan dewasamu itu. Kamu bukan orang asing bagiku,"

"Tapi aku tidak! Ini adalah pertolongan pertama ku dan juga terakhir!" Alfaro meninggalkan Lianne.

"Dia masih saja sombong."  gumam Lianne.

Alfaro menepati janjinya mengantar Lianne ke halte bus. Alfaro membungkus pakaian kotor Lianne untuk dibawa.

"Pakaian yang kau pakai adalah pakaian bekas milik adikku, jadi tidak perlu dikembalikan," Alfaro berniat memberikan saja pakaian itu.

"Baiklah, terimakasih. Tapi, kenapa kau tidak pernah bertanya tentang namaku?" Lianne heran.

Alfaro tertawa dengan kepolosan Lianne. 

"Selamat tinggal." Bukan menjawab Alfaro malah berlalu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status