"Seharusnya, kamu bilang dari awal kalau sudah pernah nikah, dan punya anak." Bumi berdecak kesal dan kecewa. Tatapannya berlari sejenak, pada seorang wanita paruh baya yang tengah menggandeng seorang bocah. Perkiraan Bumi, anak laki-laki tersebut baru berusia sekitar satu tahun, karena masih belum lancar berjalan.
Kiya menghela panjang. “Aku sudah punya rencana mau bilang, tapi—“
“Rencana?” putus Bumi kembali berdecak, sambil mengacak-acak rambut cepak yang baru saja dipotongnya. “Kalau aku nggak ada liputan di sekitar sini, aku nggak yakin kamu bakal bilang itu semua.”
“Mi, dengerin—“
“Aku kecewa, Ki.” Bumi kembali memutus ucapan Kiya, tanpa mau mendengar ucapan gadis itu. “Aku nggak tahu, apalagi yang kamu sembunyikan selain ini.”
“Nggak ada,” jawab Kiya cepat. “Aku berani sumpah!”
“Kemana ayahnya? Suamimu?”
“Dia … ada,” jawab Kiya menelan ludah. “Kami sudah cerai dan—“
“Aku nggak mau …” Lidah Bumi kembali berdecak, lalu membuang kasar napasnya. “Lebih baik, kita instropeksi diri masing-masing dulu. Kita … pikirkan lagi hubungan ini, karena aku nggak tahu mau dibawa ke mana.”
“Maksudnya?”
Bumi mengendik gusar. “Kita break dululah, Ki. Banyak yang harus aku pikirkan ke depannya kalau masih harus jalan sama kamu. Sorry.”
~~~~
“Gila!” Gilang tertawa sinis saat melihat Kiya benar-benar menandatangani surat yang dibuat pagi tadi. Tidak ada beban sama sekali saat Kiya membaca ulang seluruh isi kontrak yang sudah disepakati, lalu membubuhkan tanda tangannya. “Di kepala lo itu, isinya cuma uang, uang dan uang, ya, Ki!”
“Saya realistis, Mas.” Setelah menandatangani berkasnya, gadis yang bernama Saskiya Syahputri itu memberikan kertas tersebut pada Gilang. “Kalau pacaran sama Mas Gilang bisa bikin kerjaan berkurang, tapi uang saya jadi banyak. Kenapa, nggak? Lagian, Mas butuh saya buat meyakinkan pak Adi biar bisa megang Jurnal, kan? Jadi, anggap aja ini simbiosis mutualisme.”
Sejak putus dari Bumi dahulu kala, seluruh dunia Kiya berubah. Ucapan pria itu, membuat sudut pandang Kiya terhadap hidupnya berbalik 180 derajat. Kiya sama sekali tidak butuh pria untuk bersandar. Yang Kiya butuhkan hanyalah menjadi diri sendiri, dan bekerja keras untuk membahagiakan keluarga kecilnya.
“Selain matre, lo licik juga.” Gilang melihat dua buah tanda tangan Kiya di kertas yang berbeda. Setelahnya, barulah ia juga membubuhkan tanda tangan di tempat yang sudah tersedia di sana.
“Seengaknya, saya nggak ngerugiin orang,” sanggah Kiya sembari memberikan senyum manisnya pada Gilang. “Dengan adanya surat perjanjian ini, Mas Gilang untung, saya juga untung. Oia, kalau ada wacana nikah, jawaban kita harus sama.”
“Maksudnya?” Gilang menunda untuk membubuhkan tanda tangan pada berkas yang kedua. Menunggu Kiya menjawab pertanyaannya.
“Saya mau Mas Gilang jadi CEO dulu, baru kita nikah,” ucap Kiya yang baru saja memikirkan hal tersebut. “Dengan begitu—”
“Aduuh!”
Kiya terbelalak, dan segera berdiri dari tempat duduknya. Berjalan cepat ke arah pintu yang terayun ke dalam, setelah mendengar suara Kasih mengaduh dari sana. “Kasih?”
Kiya menarik handle pintu. Membuka lebar, kemudian keluar ruangan dan melihat ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda gadis kecil itu di sana, tetapi Kiya yakin sekali keponakan Gilang yang berusia tujuh tahun itu baru saja ada di sekitar pintu.
Jangan-jangan, gadis kecil itu mendengar semua pembicaraan yang terjadi antara Kiya dan Gilang. Buru-buru Kiya berbalik masuk, dan menutup rapat pintunya. Selama ini, ruang kerja milik Adi tersebut memang tidak pernah tertutup, saat Kiya membantu Gilang mempelajari beberapa hal yang dikerjakan oleh kakak perempuan pria itu di perusahaan. Namun, mereka lupa bila pembahasan yang dilakukan kali ini adalah hal yang sensitif, sehingga lupa menutup rapat pintunya.
“Mas! Saya yakin Kasih barusan nguping obrolan kita.”
“Biarin.”
“Kok biarin?” Kiya bertanya dengan cemas. “Nanti kalau dia cerita sama bu Elok gimana?”
“Biar gue yang bicara dengan Kasih,” ujar Gilang tetap santai. Berbanding terbalik dengan Kiya, yang khawatir bila Kasih melapor pada sang mama, Elok Mahardika. “Kalau memang dia dengar pembicaraan kita, nanti biar gue yang handle semuanya.”
“Yakin, Mas?”
“Lo nggak denger yang gue omongin, apa?” Gilang berdecak karena Kiya masih saja terlihat khawatir.
Andai kecelakaan mobil itu tidak terjadi, Gilang mungkin tidak akan berakhir dengan rasa rendah diri seperti sekarang. Sampai-sampai, ia harus meminta Kiya, asisten pribadinya bekerja sama untuk meyakinkan papanya bahwa Gilang sudah berubah. Ia sudah tidak lagi bermain dengan perempuan-perempuan di luar sana, dan menjalin hubungan serius dengan Kiya. Mantan asisten pribadi Elok, yang sudah sangat dipercaya oleh keluarga Mahardika.
“Denger, Mas, denger.” Kiya juga balas berdecak, karena setelah mengalami kecelakaan tempo hari, emosi Gilang sedikit tidak bisa terkontrol. Padahal, pria itu dulunya terkenal ramah, dan sangat baik terhadap semua wanita, termasuk Kiya.
Akan tetapi, Gilang tidak berani macam-macam pada Kiya karena ada Elok di belakangnya.
“Sekarang, simpan berkas lo baik-baik.” Gilang menyodorkan berkas yang harus disimpan oleh gadis itu. “Jangan sampai ada yang tahu. Paham, lo!”
“Ya, pahamlah, Mas.” Kiya segera mengambil berkas tersebut, lalu beranjak menuju sofa, tempat tas kerjanya berada. Ia memasukkan berkas tersebut ke dalamnya, kemudian kembali menghampiri Gilang yang sedari tadi tidak beranjak dari meja kerja. “Apa Mas Gilang butuh sesuatu lagi?”
“Kenapa?”
“Kalau nggak ada, saya mau pulang.”
“Lo belum bisa pulang, kalau belum gue suruh pulang,” kata Gilang seenaknya. “Gue mau lihat semua arsip notulen rapat direksi.”
Kiya menarik napas dan menahannya. Gilang yang sekarang, sungguhlah menyebalkan. Keramahan yang dulu kerap ditunjukkan, kini sudah jarang terlihat karena mood pria itu selalu saja naik turun tidak menentu.
“Oke, Mas.” Saat menerima pekerjaan menjadi asisten pribadi, Kiya sudah tahu betul dengan resiko yang akan dihadapi. Tidak ada jam kerja yang pasti, karena Kiya harus siap sedia menerima perintah kapan pun itu. Namun, bayaran yang diterimanya memang sangatlah sepadan. “Saya mau ke toilet sebentar.”
“Hm.” Gilang mengibaskan tangannya pada Kiya, lalu beralih pada layar komputer yang penuh dengan data-data membosankan. Ia rindu bekerja di lapangan. Bertemu orang banyak, dan bersenang-senang tanpa batas seperti dahulu kala.
Akan tetapi, Gilang merasa rendah diri dengan keadaannya saat ini. Jika diperhatikan baik-baik, kaki Gilang sudah tidak bisa berjalan sempurna seperti dahulu kala. Sedikit pincang, dan masih belum bisa digunakan untuk berlari.
Saat penat tiba-tiba menyerang kepala, Gilang memutuskan pergi ke luar. Melangkah menuju dapur, untuk mengambil susu kemasan Kasih yang berada di lemari pendingin. Sekilas, Gilang melihat Kiya berada di teras dapur, tetapi gadis itu menghilang dengan cepat.
Penasaran, Gilang pun keluar dan mengikuti ke mana langkah Kiya tertuju. Dahi Gilang mengernyit, saat melihat Kiya berjongkok di balik pilar yang berada tidak jauh dari sudut kolam renang. Gadis itu sepertinya sedang menelepon seseorang.
Gilang mengendap. Berdiri di sisi yang berbeda dengan Kiya, menguping. Jika hendak menelepon, untuk apa sampai pergi jauh ke sudut kolam renang. Ditambah, Kiya juga berpamitan ke kamar kecil, bukan untuk pergi menelepon.
“Bu, tolong jemput Duta, ya? Aku kayaknya nggak bisa pulang cepat lagi, masih ada kerjaan.”
Duta? Siapa Duta? Kenapa harus dijemput dan dijemput dari mana? Gilang benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Kiya.
“Kalau ngambek lagi, tolong bilangin nanti hari minggu kita jalan-jalan cari sepeda baru.”
Semakin dipikirkan, Gilang semakin bingung dan tidak menemukan jawabannya. Duta adalah nama pria, sementara sifat ngambek … ada pada anak kecil.
Lantas setelah mendengar Kiya mengakhiri pembicaraannya, Gilang dengan semua rasa penasarannya menghadang gadis itu.
“Siapa Duta, Ki?”
“Mas Gilang!” Kiya reflek menghardik dengan kedua tangan terjatuh di atas dada.
“Siapa Duta?”
“Duta?” Kiya masih menetralkan detak jantung karena keterkejutannya barusan. Jika Gilang bertanya tentang Duta, itu berarti pria telah menguping pembicaraannya.
“Iya, Duta?” desak Gilang semakin penasaran
Kiya berdehem. Menegakkan dagu, dan berusaha tetap tenang di hadapan Gilang. Sebuah ketenangan, yang dipelajarinya dari Elok ketika menghadapi sebuah masalah. “Duta ...
~~~~
Hai, haiii ....
Saia terbitin kisah Kiya sama Gilang dulu, yaakk ...
Spin off dari Bukan Istri Sah dan The Real CEO. Hepi riding Mba Beeb~~
PS : Bisa dibaca terpisah
Setelah melalui minggu-minggu yang cukup berat dan melelahkan, akhirnya hari itu datang juga. Hari di mana kemampuan Gilang akhirnya diakui oleh seluruh dewan direksi dan komisaris Jurnal. Sehingga, hasil Rapat Umum Pemegang Saham akhirnya mengeluarkan satu keputusan, yang benar-benar mengubah hidup Gilang sepenuhnya. CEO. Akhirnya, impian Gilang untuk memegang kendali atas Jurnal terwujud sudah. Meskipun tidak mudah, tetapi semua cobaan yang sudah dilaluinya berakhir sepadan dengan hasil yang diterima. “Bunda ke mana, Ta?” Saat memasuki ruang makan, Gilang hanya menemukan Duta tengah sarapan seorang diri. Biasanya, akan ada Kiya menemani karena hanya Duta saja yang sarapan di pagi hari sebelum berangkat sekolah. “Bunda?” Duta menoleh pada Gilang yang menatap ke area dapur. “Emang nggak ada di kamar Papa?” “Papa kira sama kamu?” Tidak melihat istrinya ada di dapur, Gilang lantas menatap Duta yang sudah terlihat rapi dengan seragam batiknya. “Bunda tadi nyuruh sarapan duluan,” ter
“O!” Suara kecil nan lembut dari Rezky, membuat Gilang yang baru saja menarik kursi di meja makan menoleh. Ia segera berjongkok, lalu melebarkan kedua tangan untuk menyambut bocah yang kini berlari ke arahnya. Saat Rezky sudah berada di pelukan, Gilang berdiri perlahan sembari menggendong keponakannya itu. “Om, bukan O,” ralat Gilang hanya bisa terkekeh bila mendengar panggilan yang disematkan Rezky untuknya. Padahal, Gilang sudah berkali-kali meralat dan mengajari Rezky agar memanggilnya dengan benar, tetapi tetap saja, keponakannya itu memanggilnya dengan kata “O”. Bertemu dengan Rezky hampir setiap hari, setidaknya bisa mengobati kerinduan Gilang akan kehadiran seorang anak. Namun, Tuhan masih berkata lain dan belum menjawab semua doa-doanya. Selama ini, Kiya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, padahal mereka sudah melakukan usaha semaksimal mungkin. “Mama ke mana Sayang?” tanya Kiya yang segera berdiri. Ia memundurkan lagi kursi Gilang, agar sang suami bisa duduk dengan
“Makanya kalau istrinya ngomong itu didengerin, Mas.” Kiya segera menyusul Gilang yang baru saja keluar dari kamar mandi, lalu berjalan menuju walk in closet. Mereka berdua bangun kesiangan, karena melakukan berbagai hal hingga larut malam.Padahal, pagi-pagi sekali Gilang akan pergi ke luar kota bersama Adi dan Elok untuk menghadiri sebuah undangan formal. Namun, akibat tidak mau mendengarkan Kiya, alhasil mereka harus terburu-buru melakukan segala sesuatunya.“Untung Duta lagi libur, jadi aku nggak bingung ke sana kemari.” Karena asisten rumah tangga mereka tahu sang majikan hendak pergi ke luar kota pagi-pagi sekali, maka sarapan pagi sudah siap lebih awal. Selagi Gilang di kamar mandi, Kiya pun bergegas ke dapur dan mengambilkan sarapan untuk dibawa ke kamar. “Aaak.”Gilang dengan segera menyambar satu suapan nasi goreng seafood, yang baru disodorkan Kiya ke mulutnya. Sembari memakai pakaiannya satu per satu.“Tarik napas, Bun.” Meskipun mereka kesiangan, tetapi Gilang tidak sepan
“Mas.” Kiya mempercepat mendorong trolley belanjaan, sembari memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Berjalan terburu, ketika melihat seseorang yang baru saja melewati ujung lorong di hadapannya. “Telponnya aku tutup dulu, biar cepat belanjanya. Nanti aku telpon lagi kalau sudah sampe di rumah bunda.” Setelah Gilang mengiyakan dari ujung sana, Kiya langsung mengakhiri pembicaraan tersebut. Ia segera menyusul seseorang yang sempat dilihatnya agar tidak kehilangan jejak. “Tante …” Kiya melepas trolley belanjaannya, agar bisa lebih leluasa menghampiri wanita tersebut. Kiya berhenti di samping trolley belanjaan wanita itu, lalu menelan ludah saat melihat tatapan terkejut nan tajam yang diarahkan padanya. “Tante Amel, bisa kita bicara sebentar?” “Pergi, atau mau saya panggilkan satpam?” Amel mengeratkan pegangannya pada trolley belanjaan. “Tante, sepuluh menit.” Kiya memohon dengan sangat, karena mungkin hanya ini satu-satunya kesempatan yang bisa didapatnya agar bisa bicara deng
Gilang menghela panjang, saat menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Tidak ada yang berubah. Penampilannya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Namun, hari ini adalah hari pertama Elok kembali ke Jurnal dan Gilang akan menghadapi Adi, juga kakak perempuannya sekaligus ketika bekerja.Menghadapi Adi saja, sudah membuat kepala Gilang pusing tujuh keliling. Sekarang, ditambah dengan kembalinya Elok di dalam tim direksi. Bisa-bisa, kepala Gilang langsung berasap seketika, bila kedua orang itu memberinya setumpuk tugas dan pelajaran sekaligus.“Harusnya, cuti bersalin itu diperpanjang jadi 6 bulan.” Gilang kembali menghela napas dan membenarkan dasi yang masih terlihat rapi. “Tiga bulan itu nggak berasa. Kayaknya baru kemaren mbak Elok itu lahiran, tapi, hari ini tahu-tahu sudah masuk. Coba kalau aku jadi presidennya, aku langsung minta—”“Mas, jadi CEO aja dulu.” Kiya ingin tertawa, tetapi ia tahan. “Nanti kalau sudah jadi CEO, baru kita pikirin cara untuk jadi presiden.”Gilang mel
“Sudah minum pilmu, Bun?” Gilang mengingatkan, ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru masuk ke kamar, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Adi di ruang kerja. Setelah berbicara dengan Garry siang tadi, Kiya tampak tidak ceria seperti biasanya. Akibat pembicaraan tersebut, Kiya lebih banyak termenung dan memikirkan tentang perkataan Garry. “Sudah.” Kiya menyingkap selimut yang dipakainya, ketika Garry menghampiri tempat tidur. Hati Kiya memang terasa lega ketika sudah mengetahui semua hal yang terjadi di masa lalu. Namun, ia merasa miris karena semua hal buruk yang terjadi selama ini adalah ulah ayahnya sendiri. Dengan begini, Kiya akhirnya menyadari perasaan Garry pada dirinya ternyata tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam diamnya, Garry terus berusaha keras mencari jalan agar keluarga kecil mereka bisa bersatu kembali. Namun, di saat hal itu hampir terwujud, takdir akhirnya berkata lain. Bahkan, sebenarnya Kiya sudah bisa “move on” lebih dulu daripada