LOGIN
“Ini cuma kesalahan semalam, She.”
Kalau itu memang hanya kesalahan semalam, apakah lantas kehamilan Shea yang mendadak menjadi tidak valid? Dibesarkan dengan keluarga disiplin militer membuat Shea terbiasa membatasi diri, jadi walaupun dia bukan gadis yang menjunjung tinggi akhlak, kelakuannya masih minus, tapi Shea tidak mungkin mencoreng nama keluarga dengan bertindak gegabah. “Kamu kasih aku energi bar yang mengandung obat malam itu, Dim.” “Kok nuduh?” “Kenyataannya memang gitu, sampai sekarang kamu nggak mau nunjukin di mana kamu beli energi bar itu, dan di mana sisa energi bar yang lain?” “Yah, untuk apa?” “Bukti kalau kamu memang brengsek!” Shea nyaris memekik, tapi dia menahan diri dengan berusaha duduk tenang di sofa. Tapi sulit sekali rasanya bersikap tenang saat Adimas menolak bekerja sama. Penyangkalan demi penyangkalan terus dilontarkannya seperti pengecut. Yah, Shea kan, tidak mungkin tiba-tiba melendung sendiri! “Keluarga aku pasti bakal tanggung jawab, kamu nggak usah khawatir.” “Kalau tanggung jawab yang kamu maksud itu uang, jangan harap aku bakalan terima. Aku akan bawa masalah ini ke jalur hukum.” “Memang kamu bisa?” tanya Adimas, kali ini wajahnya kelihatan menantang. “Keluarga kamu berani lawan keluarga Lomana?” Sial. Walaupun Shea enggan mengakui, tapi posisinya saat ini memang terjebak. Status sosial mereka yang seperti langit dan gorong-gorong menghantam kenyataan dengan pahit. Shea hanya anak petani biasa, dan meskipun Papa punya sawah berhektar-hektar di desa, tapi Adimas bukan berasal dari keluarga biasa saja. Keluarganya bahkan dijuluki sebagai The Gasoline Godfather, atau saudagar minyak karena perannya yang dominan dalam bisnis impor minyak di Indonesia. “Kamu mau nambah masalah? Kalau kamu coba-coba mempublikasikan ini She, kamu hanya bikin keluarga kamu menderita. Hukum nggak akan bisa menjangkau Lomana, apalagi orang seperti kamu.” Benar, kalau Shea melawan, dia bukan hanya butuh uang yang banyak, tapi juga koneksi di pemerintahan agar kasusnya tidak disingkirkan. Masalah ini bukan hanya akan menguras harta, tapi juga tenaga dan mental. Tanpa sadar Shea mengelus perutnya, tempat janinnya yang masih berusia empat minggu berada. “Kamu nggak usah banyak protes, ini juga kesalahan kamu, kamu ada di sana pas aku lagi horny, makanya ini terjadi.” Pintar sekali dia playing victim. “Jadi ini semua salah aku?” “Salah kita berdua, aku minta maaf, tapi ini bukan saatnya kita main salah-salahan. Nggak ada jalan keluar lain sekarang. Aku akan minta keluargaku untuk urus semuanya.” Lalu jemarinya menuding Shea. “Tapi bukan dengan pernikahan.” Shea mendengus. Memang siapa yang berharap menikah sama dia? “Jangan kepedean Adimas,” kata Shea, perlahan berdiri. “Kalau bukan karena obat, aku juga nggak mau tidur sama kamu. Dan kamu nggak akan bisa nidurin aku.” Lalu pandangan Shea turun menatap bagian tubuh Adimas sebelum kembali ke matanya, “Kamu terlalu imut-imut buat aku, maaf.” Tangan Shea gemetar saat melenggang meninggalkan laki-laki itu, dia tidak bisa membalas secara materil, jadi biarkanlah Shea membalas dengan menginjak egonya. “Sialan.” Namun baru Shea akan membuka pintu, rambutnya terasa dijambak, Shea memekik kesakitan lalu merasakan pelipisnya menghantam pinggiran meja. “Berani kamu ngejek aku She?” *** Jerikho benci basa-basi busuk, jadi ketika melihat adik tirinya muncul di kantor dengan wajah pucat dan kuyu, Jerikho segera menawarkan. “Kamu butuh berapa Dim?” Adimas duduk di sofa ruangan, menunduk dengan bahu merosot lemas. “Aku nggak butuh uang kali ini, Bang.” Alis Jerikho terangkat, Adimas bergerak-gerak gelisah di kursi. “Yah, begini... aku bikin masalah.” Sudah bukan cerita baru, sejak kecil terbiasa dimanja oleh keluarga, Adimas merasa bisa mencengkeram dunia. Dan ini bukan pertama kalinya Jerikho mendengar pengakuan tersebut, sehingga dia kembali sibuk di layar macbook. “To the point aja, Abang akan bantu pinjamkan salah satu pengacara, dengan catatan kamu mengakui kesalahan dan meminta maaf dengan korban.” “Dari mana Abang tau ada korban?” “Kamu nggak akan datang ke Abang kalau bisa menyelesaikannya sendiri.” Wajah Adimas semakin suram. “Aku menghamili teman kampus, Bang.” “Kamu nggak pakai pengaman?” “Kebobolan.” “Berapa usia janinnya?” “Baru empat minggu, aku mau Abang nikahin dia.” Jerikho mengetik cepat di papan keyboard memastikan susunan kalimatnya jelas sebagai pledoi untuk dibacakan di persidangan atas tuduhan malpraktik kliennya, lalu mengangkat kepala. “Coba ulangi lagi?” “Yah, dia nggak mau nerima uang dan dia juga nggak mau damai.” “Terus kamu berharap Abang akan menggantikan posisi kamu?” “Bukan berharap, tapi harus,” koreksi Adimas, mendesah lelah sambil menyugar rambut. “Dia beneran keras kepala Bang. Abang juga kan, sudah waktunya buat menikah, Papa nggak bakal memberikan warisan kalau Abang tetap single.” “Dan kamu pikir Abang akan tertekan dengan ancaman itu?” “Abang nggak punya pilihan selain menerima, ini bukan soal ancaman saja, tapi juga soal mood Papa yang semakin berantakan,” tambah Tante Gina. Dia melenggang masuk ke kantor. Membawa serta aroma parfumnya yang menyengat. Jerikho menyandarkan punggung di kursi. Sekarang tekanan sesungguhnya sudah datang, siap membantu sang anak tanpa repot-repot memikirkan anak orang lain. “Kamu harus setuju Jerikho, ini juga demi nama baik keluarga. Bayangkan kalau Papa kamu tahu masalah ini, dia pasti bakal menyuruh orang untuk menghabisi perempuan itu tanpa ampun, bisnis sedang buruk akhir-akhir ini, Papa akan kehilangan kesabaran.” Ibu tirinya kemudian duduk di samping sang putra. “Tapi Adimas nggak mau itu terjadi, dia kasihan dengan perempuan itu, jadi lebih baik kalau kamu menikahi perempuan itu, memberikan perlindungan.” “Saya yakin Adimas bisa melakukannya Tante, dia sudah dewasa, dia bukan lagi anak kecil yang ditimang-timang, biarkan Adimas bertanggung jawab atas tindakannya.” Tante Gina mengernyit. “Adimas masih kuliah, kamu mau menghancurkan masa depannya hanya karena masalah ini?” serunya seolah tidak percaya. “Dialah yang menghancurkan masa depannya sendiri. Dim, bertingkahlah seperti laki-laki, jangan jadi—” “Perempuan itu sengaja menjebak aku Bang,” potong Adimas lesu. Bahunya kembali merosot. “Dia tau aku anak siapa, dan berusaha buat masuk ke keluarga kita. Makanya dia nolak waktu aku kasih uang, karena dia tau bisa dapat lebih dari itu.” Kedua rahangnya mendadak mengeras, tangan terkepal erat di pangkuan. Sang Mama mengelus lengannya dengan sayang. Lalu memandang Jerikho. “Dengar? Kalau kamu biarkan perempuan itu, dia akan terus-terusan meneror keluarga kita dengan memeras Adimas. Menganggu studynya. Kamu mau itu terjadi Jerikho?” Jerikho memandang langit-langit dengan jengkel. Berusaha mengatur napas. Tapi ketika kembali memandang keluarganya, dia berkata tenang. “Kirimkan biodata lengkap siapa perempuan itu.” Dalam beberapa menit sebuah dokumen masuk ke email Jerikho, dia segera memeriksa, membaca profil seorang perempuan asing di sana. Jerikho memandang foto gadis itu, lama. “Gimana?” “Saya akan bicara dengan dia.” ***Ada dua kebetulan di dunia ini, kebetulan biasa, dan kebetulan yang membawa pada takdir. Menurut Gisa, perjalanan orang tuanya adalah kebetulan yang kedua. Kisah mereka membuktikan kalau cinta kita dengan pasangan setara, maka semua kesulitan pasti bisa dilewati. Masalahnya, bagaimana Gisa bisa mendapatkan keberuntungan yang sama kalau pria yang ia suka, jangankan membalas, menganggapnya sebagai perempuan dewasa saja tidak. "Nduk." See? Gisa sudah cantik banget begini mengenakan kebaya kutubaru, rambut disanggul rapi, tapi pria itu, masih saja memanggilnya seperti bocah. "Ya ampun, sudah besar ya sekarang?" Nyatanya, Gisa bukan hanya besar, tapi tubuhnya masuk kategori semampai, thanks to Papa yang mewariskan gen jangkung dalam keluarga mereka. Hanya saja, mereka baru ketemu kemarin banget, dan Naga menatap Gisa seakan mereka sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun. Wajar Gisa merasa jengkel. Karena itu hanya mengkonfirmasi kalau selama ini Naga memang tidak pernah be
Masa kehamilan Shea kali ini terasa berjalan sangat cepat. Seperti baru kemarin dia sibuk memilih tone warna yang cocok untuk kamar si bayi, berdebat dengan suaminya karena susah minum susu, lalu sibuk menyulam, menyiapkan pakaiannya. Tau-tau kandungan Shea sudah memasuki usia tujuh bulan. Mereka mengadakan syukuran di rumah, sekalian doa bersama untuk rumah baru mereka yang sudah selesai didesain. Dihadiri keluarga besar suaminya dan para tetangga. Berat badan Shea langsung melonjak drastis, naik sampai 12 kilo. Ini adalah momen paling magical dalam hidupnya, apalagi di waktu-waktu mereka akan pergi kontrol dan mendengar detak jantung si bayi, meski saat trisemester pertama, Shea sempat merasa trauma, takut menemukan bercak cokelat, dan sedikit stres karena terus waspada. Tapi syukurlah mereka bisa melewati masa-masa itu, walaupun bukan berarti Shea mengendurkan kewaspadaan. Shea rasa keterlibatan suami juga berpengaruh. Tidak henti-hentinya Shea memuji dan berterima kasih
"Masya Allah, beneran Shea?""Masa aku bohong, sih, Ma?""Kamu sudah periksa?""Aku bahkan udah lihat hasilnya.""Gimana kata dokter?""Dia sehat, detak jantungnya udah terdengar dan udah jalan 6 minggu.""Sebulan lebih? Shea, kamu ngapain aja sampai nggak sadar? Kurang-kurangin kerjaan itu, mulai fokus sama kesehatan, jaga pola makan, jaga pola tidur, jangan ambil kegiatan yang terlalu berat.""Makasih Mama.""Nduk, Mama yang makasih, makasih sudah mau kasih Mama sama Papa cucu. Selamat ya sayang, selamat buat Abang. Kalian akan menjadi orang tua."Mata Shea dengan cepat kembali berembun. Tapi dadanya mengembang gembira. Dari latar belakang, dia bisa mendengar suara lain yang saling bersahut-sahutan, suara Papa dan Sidra serta Mas Gilang, ART di rumah.Mereka tidak henti-hentinya mengucap syukur. Shea merasa malu karena sudah suudzon, berpikir kalau Tuhan memberinya hukuman, tapi hadiah untukn
"Kok lemes banget sih, Bu. Semangat dong, kan besok weekend." Yah, Andin sudah pasti gembira, karena ini minggu pertama awal bulan yang artinya sore nanti akan gajian. Sementara Shea pusing memikirkan pengeluaran, karena beberapa pendapatannya masih berbentuk modal, dan menjadi kain-kain di tim produksi. Tapi tidak masalah, toh Shea sudah berjanji niatnya rebranding Velora juga sebab ingin membuka lapangan pekerjaan. Jadi kalau sudah begini, untuk membangkitkan mood, Shea sengaja minta dipesankan pizza, hitung-hitung sebagai rewards untuk diri sendiri. "De Luca ya, Bu?" "Yang khusus jual pizza aja, Ndin." Andin cekikikan, perempuan muda itu memang baru lulus SMA, tidak heran kalau tingkahnya sedikit kekanak-kanakan yang celetukannya kadang bikin Shea istigfar. "Kirain, Bu." Hari ini tidak seramai
Shea senang sekali bertemu Pram.Dia memancarkan aura glow up yang sesungguhnya dari seseorang yang pernah 'hilang'. Rambutnya yang dulu agak gondrong, kini terpangkas rapi, selera pakainnya lebih maskulin, tubuhnya lebih berisi dengan rahang tegas. Usia telah membawa Pram tampak lebih matang."Ini kamu banget, Shea."Belum apa-apa, Shea sudah meringis mendengar komentarnya."Maksud kamu full pink?""Lebih tepatnya warna-warni."Tawa Shea berderai halus ketika Pram mengedarkan pandangan, binar kagum tampak di matanya, tapi sejak dulu, dia memang tipikal orang yang mudah memberikan pujian, bukan?"Mba Mala pernah bilang, kalau dia suka sekali dengan selera pakaian kamu, dan selalu sibuk tanya, kira-kira kamu beli di mana. Sekarang dia nggak perlu khawatir lagi ke mana harus cari outfit itu." Senyumnya melebar. "Kamu sudah bikin satu rasa penasaran dia jadi terobati.""Aku belum ketemu Mba Mala lagi, gimana kabarn
"Kamu mau brownies?" Shea menggeleng, menyurukkan wajahnya di bantal, memeluk guling. Satu-satunya cahaya di kamar dari layar TV tampak memantulkan wajahnya yang murung. "Kimbab? Aku buatkan ya?" Kepalanya menggeleng lagi. "Mau apa? Kamu belum makan dari siang tadi. Pilih yang kamu suka, Shea." Istrinya diam saja, dia menonton Gossip Girls, tapi matanya tampak kosong. Jerikho sebenarnya malas kalau Shea sudah badmood begini, karena dia tahu karena apa istrinya jadi murung. Mereka sudah berusaha, dan Jerikho juga tidak pernah mempermasalahkan kenapa sampai sekarang Shea belum hamil. Ini menjadi topik yang sensitif semenjak mereka merayakan anniversary. Anak adalah amanah yang besar, sulit untuk menjaga mereka, dari segi finansial dan mental. Bahkan Jerikho setuju dengan pendapat kalau memiliki anak tanpa persiapan adalah dosa. Karena Jerikho tidak ingin menjadi orang tu







