Udara di dalam ruangan bawah tanah itu lembap, bau besi berkarat dan debu menyengat hidung. Dindingnya terbuat dari bata kasar yang setengah tertutup lumut, diterangi hanya oleh satu lampu bohlam redup yang berayun pelan di langit-langit.
Nayara terhuyung saat kakinya menyentuh lantai. Ia memeluk dirinya sendiri, tubuhnya masih gemetar. “Tempat apa ini?” suaranya bergetar, hampir berbisik. Arga menuruni tangga terakhir dengan tenang, lalu menutup pintu besi di atas mereka hingga bunyinya bergema keras. Gelap semakin pekat, hanya menyisakan cahaya kuning samar dari bohlam. “Tempat yang cukup aman untuk sementara,” jawabnya singkat. Nayara menatap sekeliling dengan ngeri. Rak kayu tua berjajar di sepanjang dinding, beberapa berisi kotak logam berkarat, peta tua yang terlipat, dan tumpukan buku tebal berdebu. Ada juga sebuah meja besi besar di tengah ruangan, penuh coretan-coretan kertas dan pena yang sudah kering tintanya. Seperti ruangan rahasia yang menyimpan jejak masa lalu. “Aman? Kamu bercanda? Tempat ini seperti… seperti markas mafia!” Nayara berusaha menelan ludah, tapi tenggorokannya kering. Arga menoleh, sorot matanya tajam. “Kamu bahkan belum tahu apa yang kamu hadapi. Jangan asal bicara.” Nayara tersentak. Ia ingin membalas, tapi kata-kata Arga menusuk terlalu dalam. Ia sadar, pria itu benar—sejak kebangkrutan keluarganya, ia hanya mengandalkan ketakutan, panik, dan gengsi. Ia bahkan tidak tahu musuh macam apa yang mengejarnya sekarang. Arga berjalan ke salah satu rak, menarik sebuah kotak logam kecil. Kotak itu tampak berat, penuh goresan di permukaannya. Ia meletakkannya di meja, membuka kunci kecil di bagian depan dengan gerakan cepat. Klik. Kotak itu terbuka, memperlihatkan tumpukan berkas, foto-foto, dan beberapa flashdisk hitam. Nayara mendekat, menahan napas. “Apa itu?” Arga menghela napas, menatap berkas-berkas itu sejenak sebelum menjawab. “Bukti. Tentang orang-orang yang kamu kira teman, tentang mereka yang menghancurkan keluargamu.” Jantung Nayara berdegup kencang. Ia menatap Arga tak percaya. “Kamu… kamu tahu sesuatu tentang keluargaku?” Arga menatapnya dalam-dalam, mata hitamnya menusuk. “Lebih dari yang kamu kira.” --- Sebelum Nayara sempat bertanya lebih jauh, suara berisik terdengar dari atas. Suara pintu besi digedor keras, diikuti langkah-langkah berat. Nayara langsung pucat. “Mereka… mereka menemukanku!” Arga berdiri tegak, wajahnya berubah dingin. Ia meraih sesuatu dari balik rak—sebuah pistol hitam yang disembunyikan di dalam kotak kayu. Gerakannya cepat, alami, seolah sudah terbiasa. Mata Nayara melebar. “K-kamu punya… senjata?!” Arga tidak menoleh. “Kalau kamu tidak mau mati, tutup mulutmu dan tetap di sini.” Deg. Nada suaranya begitu tegas, begitu berbeda dari pria desa sederhana yang Nayara kenal dua hari lalu. Ada wibawa dingin, aura berbahaya yang membuat Nayara sadar—pria ini bukan sembarang orang. --- Suara di atas semakin keras. Seseorang berteriak: “Buka pintunya! Kami tahu dia ada di dalam!” Nayara mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar. Ia ingin menjerit, ingin berlari, tapi kakinya terasa lumpuh. Arga melangkah ke arah tangga, pistolnya siap di tangan. Namun sebelum naik, ia menoleh sekali lagi ke arah Nayara. “Dengar. Apa pun yang terjadi, jangan keluar sebelum aku yang suruh. Paham?” Nayara menatapnya dengan panik. “Tapi—” “Paham?!” Arga mengulang dengan nada yang membuat tubuh Nayara refleks kaku. “Pa-paham…” jawab Nayara dengan suara tercekat. Arga mengangguk singkat, lalu menaiki tangga perlahan. Pintu besi di atasnya bergetar hebat karena terus digedor dari luar. Dengan gerakan tenang, ia membuka kunci, lalu menahan napas sesaat sebelum mengangkat pintu itu sedikit. --- Dari celah pintu, ia bisa melihat dua pria berjas hitam berdiri dengan wajah kaku, senjata tersembunyi di balik jas mereka. Mereka bukan sekadar penagih hutang—gerakan tubuh mereka jelas menunjukkan latihan profesional. Salah satu dari mereka berbicara dengan nada tegas. “Kami hanya ingin wanita itu. Serahkan dia, dan kami pergi.” Arga tersenyum tipis. “Sayangnya, kalian salah alamat.” Dan sebelum pria itu sempat merespon, Arga mendorong pintu besi itu terbuka dengan paksa—suara berdebam menggema, membuat kedua pria itu terlonjak. Dalam sekejap, Arga mengarahkan pistol ke udara, menembak satu kali. DOR! Suara tembakan menggema di seluruh desa. Burung-burung beterbangan dari pepohonan, dan anjing-anjing desa mulai menggonggong keras. Nayara di bawah menjerit tertahan, menutup telinga dengan kedua tangannya. Arga berdiri tegak di ambang pintu, pistolnya diarahkan ke pria-pria itu. Matanya dingin, suaranya datar namun mematikan. “Sekali lagi kalian mendekat, kalian tidak akan pulang dengan utuh.” Pria-pria berjas itu terdiam sesaat, lalu saling menatap. Salah satunya mengangkat tangan, memberi isyarat untuk mundur. “Kita akan kembali. Dan kali ini, tidak hanya untuk wanita itu. Kau pun akan masuk daftar.” Mereka berbalik, masuk ke dalam mobil hitam, lalu melaju kencang meninggalkan desa. --- Arga menurunkan pistol perlahan, menarik napas panjang. Ia menatap jalan kosong itu sejenak, lalu menutup pintu besi kembali. Suaranya bergema, dentumannya membuat Nayara yang masih di bawah tanah tersentak. Ketika ia turun, Nayara langsung mendekat, wajahnya penuh ketakutan. “Siapa kamu sebenarnya?!” Arga menatapnya lama. Senyum samar muncul di sudut bibirnya, tapi bukan senyum ramah—lebih mirip senyum seseorang yang sudah terlalu lama menyimpan rahasia. “Aku sudah bilang. Namaku Arga.” Ia meletakkan pistol di meja, lalu menatap Nayara dalam. “Tapi aku bukan pria desa biasa. Dan kalau kamu ingin tetap hidup… mulai sekarang, kamu harus tahu kebenarannya.” Nayara terdiam. Suasana ruangan itu mendadak terasa semakin sempit, semakin mencekik. Ia tahu, sejak saat itu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Udara sore di desa itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dari sawah yang baru selesai disiram. Dari jendela rumah kayu kecil itu, Nayara bisa melihat cahaya jingga keemasan menembus sela-sela dedaunan, menciptakan bayangan samar di dinding. Suasana begitu hening, hanya sesekali terdengar suara jangkrik yang mulai bermunculan. Nayara duduk di kursi tua yang sedikit berderit saat digerakkan. Tangannya meremas cangkir teh hangat yang sudah mulai dingin. Sejak tadi, Arga hanya duduk di seberang, menatap kosong ke arah luar jendela. Seolah pikirannya melayang jauh. Keheningan itu membuat Nayara semakin gelisah. Akhirnya, setelah sekian lama hanya diam, Arga menarik napas dalam, lalu menoleh perlahan. Tatapannya tajam tapi juga tenang, seperti seseorang yang sudah lama menyimpan beban berat dan kini siap membukanya. “Nayara…” suaranya rendah, berat, namun terdengar jelas. “Ada sesuatu yang harus kamu tahu tentang aku.” Nayara mengernyit bingung. “Maksudmu?” Arga menegakkan tubuhnya. Ia mengusap wajahnya sebentar, lalu menatap Nayara lekat-lekat. “Aku bukan orang biasa. Aku bukan hanya pria yang kebetulan tinggal di desa ini. Aku… seorang CEO dari salah satu perusahaan terbesar di negeri ini.” Kata-kata itu membuat Nayara hampir menjatuhkan cangkir di tangannya. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Ap… apa?” “Aku tahu ini sulit dipercaya,” lanjut Arga dengan nada tenang. “Aku sengaja menjaga identitasku. Di publik, aku hampir tak pernah muncul. Orang-orang hanya mengenal perusahaan itu, tanpa tahu siapa dalang di baliknya. Aku membiarkan orang-orang kepercayaanku yang menjalankan urusan depan, sementara aku bekerja di balik layar. Hanya segelintir orang besar di perusahaan yang tahu siapa aku sebenarnya.” Nayara terdiam, mulutnya terbuka sedikit tapi tak ada kata keluar. Bayangan pria sederhana yang ia lihat di desa ini tiba-tiba runtuh. “Aku sesekali ke kota,” lanjut Arga, “hanya kalau ada masalah darurat. Selebihnya, aku memilih menjauh dari keramaian. Desa kecil seperti ini memberiku ketenangan. Aku bisa bernapas tanpa harus dibebani tatapan dan ekspektasi.” Nayara akhirnya bisa bersuara, meski lirih. “Kalau benar begitu… kenapa kamu ada di sini? Kenapa… aku?” Arga menundukkan kepala sebentar, lalu tersenyum tipis, getir. “Karena aku punya hutang budi yang tak akan pernah bisa terbayar. Nayara… aku mengenal keluargamu sejak kecil. Aku bukan siapa-siapa dulu. Seorang anak yatim piatu yang ditemukan di pinggir jalan, lusuh, kotor, hampir mati kelaparan. Dan yang menolongku adalah… kedua orang tuamu.” Nayara terperangah. Dadanya terasa sesak mendengar nama orang tuanya disebut dengan begitu tulus. “Mereka yang menolongku, memberiku tempat tinggal meski bukan di rumah utama, menyekolahkanku, memberiku kesempatan hidup. Tanpa mereka, aku tak akan pernah bisa jadi apa-apa. Mereka percaya padaku. Dan aku berjanji, suatu saat aku akan membalas semua kebaikan itu.” Nayara menutup mulutnya, menahan isak kecil yang hampir pecah. Ingatan tentang kedua orang tuanya muncul begitu jelas—senyum hangat mereka, pelukan, kata-kata nasihat. “Jadi… karena itu kamu mengenalku?” tanya Nayara, suaranya bergetar. “Ya.” Arga mengangguk pelan. “Aku memang jarang berinteraksi langsung dengan keluargamu, karena aku tumbuh di tempat lain, tapi aku tahu mereka. Dan aku sudah mendengar kabar tentang kehancuran keluargamu.” Tatapannya menjadi lebih serius. “Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di desa terpencil ini. Tapi mungkin… ini takdir.” Nayara menunduk, menitikkan air mata. “Arga… aku bahkan tidak tahu harus bagaimana sekarang. Semuanya hancur begitu cepat. Perusahaan ayah bangkrut, semua aset disita, dan yang paling menyakitkan… kedua orang tuaku menghilang tanpa jejak. Aku tidak tahu apakah mereka dibawa kabur orang atau sengaja bersembunyi… semuanya misterius. Aku tidak tahu harus apa lagi…” Suasana menjadi berat. Arga menatap Nayara dengan sorot mata yang penuh tekad. “Aku punya firasat, Nayara. Semua ini… bukan kebetulan. Terlalu cepat, terlalu rapi. Seolah ada tangan-tangan tertentu yang memang ingin menghancurkan keluargamu. Aku yakin, ini adalah permainan orang-orang besar yang tamak.” Nayara mengangkat wajahnya, terkejut. “Maksudmu… ada yang menjebak keluarga kami?” Arga mengangguk tegas. “Ya. Dan mulai sekarang, aku tidak akan tinggal diam. Aku akan menjagamu. Aku akan membantu mencari kebenaran di balik semua ini. Anggap saja… ini caraku membalas budi pada keluargamu.” Air mata Nayara jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menutup wajahnya dengan tangan, suaranya lirih. “Aku… aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana, Arga. Aku takut. Aku kehilangan segalanya dalam sekejap…” Arga berdiri, lalu berjalan ke arah Nayara. Dengan hati-hati, ia menyentuh pundak Nayara, memberi rasa hangat yang menenangkan. “Kamu tidak sendirian lagi. Mulai sekarang, aku di sini.” Detik itu, Nayara merasakan sesuatu yang berbeda. Rasa takut dan hampa yang sejak kemarin menyelimuti hatinya perlahan mulai retak. Kehadiran Arga memberi sedikit cahaya di tengah kegelapan yang mencekiknya. Namun, di balik janji itu, tersimpan misteri besar. Siapa sebenarnya dalang di balik kehancuran keluarga Nayara? Dan sampai sejauh mana Arga akan terlibat dalam perjalanan penuh bahaya ini? Bab ini menutup dengan keheningan—dua jiwa yang sama-sama terluka, kini duduk berdampingan, bersiap menghadapi badai yang jauh lebih besar dari yang mereka kira.Udara desa yang biasanya damai kini berganti dengan hiruk-pikuk pertarungan sengit. Fajar baru saja merekah, namun halaman kecil rumah kayu tempat Arga dan Nayara tinggal sudah dipenuhi suara pukulan, teriakan, dan desah nafas berat. Arga bergerak lincah, menangkis serangan dari tiga pria sekaligus. Pukulan deras menghantam udara, tendangan cepat nyaris mengenai kepalanya, namun ia selalu berhasil menghindar pada detik terakhir. Mata elangnya terus fokus, tubuhnya berputar dan bergeser seperti penari yang terbiasa dengan medan keras. Pria pertama—yang sebelumnya lengannya dipelintir Arga—masih terlihat kesakitan, tapi dipaksa ikut menyerang lagi. Sementara pria kedua, dengan tubuh lebih kecil namun gesit, terus mencari celah. Pemimpin mereka, yang jelas lebih berpengalaman, menjadi ancaman utama dengan serangan yang terukur dan mematikan. “Serahkan wanita itu! Kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi, Arga!” teriak pemimpin itu sambil melayangkan pukulan lurus ke arah dada. Arga menep
Fajar baru saja merekah. Cahaya oranye muda menembus celah-celah jendela bambu, menyingkap debu tipis yang berterbangan di udara. Suara ayam jantan dari kejauhan bersahut-sahutan, menandakan hari baru dimulai. Namun bagi Arga, pagi ini bukan sekadar awal biasa. Ia sudah terbangun sejak sebelum adzan Subuh. Tubuhnya tegap berdiri di teras rumah, kedua matanya menyapu ke arah jalan setapak yang masih sepi. Dari wajahnya, jelas terlihat kewaspadaan penuh. Semalam, setelah kejadian dua pria berjas itu, ia sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Arga menegakkan punggungnya, lalu menghela napas panjang. Tangannya refleks meraih secangkir kopi hitam yang sudah dingin di meja bambu. “Mereka pasti balik,” gumamnya pelan. “Pertanyaannya… kapan?” --- Dari dalam kamar, Nayara baru saja bangun. Rambutnya masih kusut, matanya bengkak karena tangis semalam. Ia berjalan pelan keluar kamar, mengenakan cardigan tipis untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Ia mendapati Arga masih berdiri di teras d
Senja di desa itu terlihat berbeda sore ini. Langit memerah jingga, awan tipis berarak pelan seperti kapas yang terbakar cahaya. Burung-burung gereja pulang ke sarang, sementara dari kejauhan, suara kentongan tanda waktu Maghrib mulai terdengar sayup. Suasana tenang itu seolah kontras dengan hati Nayara yang sedang berkecamuk hebat. Ia duduk di bangku bambu depan rumah sederhana tempat ia menumpang. Tangannya sibuk mengusap-usap rok yang sudah agak kusut, namun pikirannya tidak ada di situ. Sejak insiden “cium tak disengaja” dengan Arga beberapa hari lalu, ia merasa hidupnya seperti berputar aneh. Ada rasa malu, ada rasa kesal, tapi juga ada sesuatu yang aneh… sebuah rasa hangat yang diam-diam mengganggunya. “Kenapa sih aku jadi kepikiran terus?” gumam Nayara, menunduk sambil menendang kerikil kecil di bawah kakinya. Tak jauh darinya, Arga muncul sambil membawa dua gelas teh hangat. Ia tampak biasa saja, wajahnya tetap tenang, seolah tidak pernah terjadi insiden memalukan itu. Pada
Suara gedoran pintu semakin keras, menggema di seluruh ruangan kayu yang berdebu itu. Papan pintu bergetar seperti hampir copot dari engselnya. “Bukaaaa! Atau kami bakar rumah ini!” teriak seseorang dari luar, suaranya parau, penuh ancaman. Nayara terlonjak mendengar kata “bakar”. Dadanya sesak, tangannya spontan mencengkeram erat lengan Arga. Jantungnya berdegup seperti genderang perang. Arga tetap tenang, meski sorot matanya penuh waspada. Ia menoleh ke arah Sari. “Ambil kunci mobil dan siapkan jalan keluar. Kalau pintu depan jebol, kita harus lari lewat belakang.” Sari mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Nayara mendelik. “Bos? Kamu manggil dia bos?” Sari tersenyum kecut, buru-buru menghindar. “Eh… slip of the tongue. Pokoknya ikut aja, Nay!” Nayara makin bingung, tapi tak sempat bertanya. Karena detik berikutnya, jendela samping dihempas batu besar hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca beterbangan. “Aaaahhh!” Nayara menjerit kecil, tubuhnya reflek terlempar ke arah Arga. I
Mobil bak itu akhirnya keluar dari jalan hutan yang penuh bebatuan. Langit sudah mulai berubah warna, jingga senja perlahan merambat jadi biru tua, diselimuti awan tipis. Jalanan desa yang lebih rata sedikit memberi rasa lega, meski suasana hati mereka masih tegang setelah kejadian barusan. Sari yang menyetir mendengus panjang. “Rasanya, kalau hidup kita ini film, penontonnya pasti sudah lelah lihat kita dikejar-kejar terus.” “Kalau film, penontonnya juga pasti jatuh simpati sama tokoh perempuan yang… hmm, selalu terjerat masalah,” celetuk Arga tanpa menoleh. Nayara menoleh cepat. “Hei! Maksudmu aku?” Arga menahan senyum. “Aku nggak bilang gitu.” “Ya, tapi nadamu jelas-jelas mengarah ke aku.” Nayara memelototinya, meski wajahnya memerah karena sadar ia masuk ke perangkap kecil Arga. Sari terkekeh. “Hahaha, tenang, Naya. Kalau ini film, ratingnya pasti tinggi banget. Adegan romantisnya natural sekali.” “Diam, Sar!” Nayara langsung menutupi wajahnya dengan tangan, teringat kejadi
Suara ayam jantan samar-samar terdengar dari kejauhan, bercampur dengan kokok lain yang bersahut-sahutan. Embun masih tebal di daun bambu, jatuh pelan tiap kali angin pagi menyapu. Lumbung tua itu kini berfungsi seperti markas darurat—bau gabah basi dan kayu lembab bercampur dengan aroma tanah basah seusai hujan. Arga berdiri di depan jendela kecil loteng, matanya menatap lurus ke horizon. Langit belum sepenuhnya terang, hanya semburat oranye tipis yang mulai muncul. Dari cara bahunya menegang, jelas ia belum tidur sama sekali. Nayara mengusap wajah dengan tangan, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang masih menggantung. Ia sempat tertidur sebentar dengan kepala di bahu Arga, dan itu membuat pipinya panas setiap kali mengingatnya. Namun, pagi ini ia memutuskan tidak akan menyinggungnya dulu. “Jam berapa sekarang?” tanyanya dengan suara serak. “05:02,” jawab Arga singkat tanpa menoleh. Nayara menarik nafas dalam, lalu berdiri dan merapatkan jaket yang semalam dipinjamkan Arga. Jak