Dia adalah bahaya yang seharusnya kuhindari… Tapi kenapa aku justru ingin jatuh lebih dalam? Di jantung gelap Melbourne, Valen Moretti memimpin jaringan kriminal paling ditakuti. Ia dingin, brutal, tak pernah percaya pada siapa pun—apalagi perempuan. Hingga malam itu, saat hidupnya hampir direnggut peluru, dia diselamatkan oleh seorang perempuan… dengan tangan kosong. Kayra Leone, mantan atlet bela diri MMA yang kini hidup bebas, tak pernah menyangka akan terseret ke dalam dunia kelam seorang pria sekeras Valen. Ia bukan gadis lemah. Ia bertarung untuk hidup. Dan ia tahu, Valen adalah bahaya. Namun sejak pertemuan pertama, tubuh dan jiwanya tahu satu hal—lelaki itu bukan musuh yang bisa dia benci. Tapi juga bukan kekasih yang mudah dimiliki. Saat tubuh mereka saling bertarung, dan hati mereka mulai saling membuka, satu kebenaran terbukti: Cinta bisa tumbuh di tempat tergelap… tapi hanya jika keduanya rela berdarah untuk bertahan.
Lihat lebih banyakLangit malam Melbourne dipenuhi kabut asin dari pelabuhan. Bau minyak dan karat memenuhi udara, bercampur dengan aroma logam tajam dari peti-peti kargo yang ditumpuk seperti menara kematian. Pelabuhan Selatan, tempat segala yang legal dan ilegal bertemu diam-diam dalam bisikan dan peluru.
Di antara bayang-bayang kontainer raksasa, suara langkah kaki terdengar cepat. Seseorang berlari. Nafasnya pendek, berat. Terputus. “Dia di sini,” bisik salah satu pria bertopeng sambil mengangkat senjata ke arah sosok berjas hitam yang berdiri tenang di bawah lampu kuning kusam. Valen Moretti. Pria itu tidak bergerak sedikit pun, hanya menatap dengan pandangan beku. Matanya setajam bilah stiletto. Rambutnya yang gelap ditarik ke belakang, jasnya tak berkerut meski malam dingin menusuk. Satu tangan menyelip di saku celana. Satu lagi memegang rokok yang hampir habis. Ia tahu ini penyergapan. Tapi ia tidak lari. Karena Valen tidak pernah lari. “Kalau kalian pikir aku akan tunduk malam ini…” Suaranya berat, nyaris malas. “...sebaiknya pastikan aku benar-benar mati sebelum kalian pergi.” Pria bertopeng di depannya mulai bergerak. Senapan diangkat. Tiga arah, tiga laras mengarah pada Valen. Tapi sebelum pelatuk sempat ditarik, terdengar suara dentuman. Bukan peluru. Tapi tubuh. Satu dari mereka terhantam keras dari samping. Terlempar ke dinding kontainer. Terdengar pekikan patah tulang. Lalu teriakan bingung dari dua lainnya sebelum sosok berpakaian hitam meluncur dari bayangan, seperti panther kelaparan. Kayra Leone tidak berniat terlibat malam itu. Tapi ketika melihat tiga pria bersenjata mengurung satu target di area gelap pelabuhan, instingnya berbicara. Dia bisa membiarkan mereka. Tapi dia tidak pernah bisa menahan diri saat melihat ketidakadilan. Bahkan jika itu datang dari pria seperti Valen Moretti—yang belum ia kenal malam itu, tapi entah kenapa… tak tampak seperti korban. Tangannya bergerak cepat. Siku menghantam dagu pria pertama, lututnya menghantam rusuk yang lain. Ia berputar, menangkis senjata panjang yang hendak menghantam kepalanya. Kayra memanfaatkan gravitasi, menarik bahu penyerang dan melemparnya ke tanah. DOR! Satu tembakan lepas, tapi meleset, menghantam kontainer. Kayra merunduk, berputar, dan menendang senjata itu keluar dari tangan pria bertopeng. Dalam waktu tiga menit, tiga pria bersenjata jatuh. Satu tidak sadarkan diri. Satu terkapar dan meringis dengan napas tercekat. Satu lagi menyeret kakinya sambil mencoba kabur, tapi Kayra menginjak dadanya dan menatap dengan mata tajam. “Kalau kamu berdiri, aku akan buatmu merangkak tanpa tulang belakang.” Valen masih berdiri di tempatnya, kini tanpa rokok, hanya menatap. Pandangannya tidak menunjukkan keterkejutan. Tapi ada sesuatu yang bergerak di balik matanya, penasaran. Dan, barangkali, kekaguman samar. Kayra berbalik, menyadari pria itu tidak sedikit pun gentar. Padahal ia baru saja menyaksikan tiga penyerangnya dilumpuhkan oleh perempuan yang bahkan tidak bersenjata. “Siapa kamu, sebenarnya?” Valen bertanya datar. Kayra menatapnya balik. Napasnya masih teratur meski tubuhnya sedikit berkeringat. Baju hitam ketat yang ia kenakan memamerkan lekuk tubuh atletisnya. Wajahnya, dengan rahang tajam dan mata setajam tombak, tak menunjukkan niat untuk menjelaskan. “Aku cuma lewat,” jawabnya singkat. Valen menyeringai pelan. "Apakah biasanya orang lewat membawa teknik tempur militer dan insting membunuh?” “Aku tidak membunuh,” ujar Kayra tenang. Dia membalikkan badan, hendak pergi. Tapi Valen berbicara lagi, membuat langkahnya tertahan. “Namamu?” “Kenapa? Mau ajak aku minum teh setelah ini?” Valen menyelipkan tangan ke saku. “Tidak. Aku ingin tahu siapa yang harus kulunasi… atau kuawasi.” Kayra menoleh setengah. Senyum tipis mengembang di bibirnya. “Coba cari tahu sendiri. Kalau kamu bisa.” Lalu dia menghilang ke bayangan. Beberapa jam setelah kejadian itu, Valen duduk di ruang kerja di vila pantainya. Laut terdengar samar di kejauhan, menabrak karang seperti napas gelisah. Pria itu menatap foto hasil tangkapan kamera CCTV di pelabuhan. Sosok perempuan berambut dikuncir rendah, mengenakan pakaian hitam, melumpuhkan pria bertopeng dengan akurasi dan kecepatan seperti tentara. Satu hal yang membuatnya tertarik bukan sekadar tekniknya. Tapi bagaimana perempuan itu tidak takut padanya. Kebanyakan wanita, dan bahkan pria, akan gemetar jika berdiri di hadapan Valen Moretti. Tapi yang satu itu… bahkan berani menantangnya. Ia menyalakan rokok lagi, lalu berkata kepada lelaki di seberangnya. “Cari dia. Aku ingin tahu siapa dia, apa pekerjaannya, dengan siapa dia tinggal, dan kenapa dia sangat yakin tak ada yang bisa menyentuhnya.” Pria itu, anak buah kepercayaannya, Luca, mengangguk. “Akan kutemukan dalam dua hari.” Valen mengangguk pelan. “Satu malam saja cukup.” Sementara itu, Kayra Leone kembali ke apartemennya di ujung Carlton. Sederhana, tanpa perabot mewah. Tempat itu hanya punya satu hal yang penting baginya: privasi. Ia membuka laci kayu, mengambil alkohol dan kapas, lalu membersihkan luka di lengannya. Goresan kecil. Tak sebanding dengan yang ia rasakan saat masih bertarung profesional tiga tahun lalu. Sambil mengolesi lukanya, wajah pria itu melintas di benaknya. Tatapan mata dingin. Cara dia diam sambil menatap, seperti membaca seluruh niat dalam sekali pandang. Itu bukan pria biasa. Dan itu membuat Kayra resah. Ia tidak tahu siapa pria itu. Tapi ia tahu satu hal: pria itu berbahaya. Sangat berbahaya. Dan justru karena itu… sesuatu dalam dirinya menggelitik. Adrenalin. Dorongan yang tidak datang dari otot dan teknik. Tapi dari ketertarikan yang tidak bisa dijelaskan. Ia menghela napas panjang. “Kayra, kamu terlalu lama hidup tenang. Jangan cari api di tempat gelap,” gumamnya pada diri sendiri. Tapi malam itu, bahkan setelah tubuhnya lelah, matanya tak bisa terpejam. Karena ia tahu… mereka akan bertemu lagi. Bukan karena takdir. Tapi karena pria itu pasti sedang mencarinya. Dan ia tidak yakin apakah ia ingin ditemukan, atau diam-diam berharap, Valen Moretti berhasil menemukannya. ***Malam turun perlahan di vila tepi pantai milik Valen Moretti. Angin laut membawa bau asin dan suara ombak yang menghantam lembut bibir pasir. Di dalam, cahaya lampu kuning menggantung hangat di ruang tamu berlangit tinggi, memantulkan siluet tubuh dua manusia yang tak lagi saling menyembunyikan ketertarikan mereka.Kayra duduk di lantai, bersandar di kaki sofa, mengenakan oversized shirt milik Valen yang kebesaran di bahunya. Rambutnya masih basah karena mandi, dan matanya sibuk menelusuri berkas-berkas tua yang tergeletak di meja rendah: peta, catatan tangan, dan beberapa foto yang lusuh.Valen berdiri tak jauh, memandangi perempuan itu. Bukan dengan nafsu, kali ini. Tapi sesuatu yang lebih dalam. Seperti menatap mata pedang setelah bertahun-tahun terjebak dalam perang.“Semua orang ingin jadi kuat,” kata Valen pelan, akhirnya bicara.Kayra menoleh. “Tapi tidak semua orang tahu caranya.”Valen mengangguk, melangkah pelan, lalu duduk di belakang Kayra, membiarkan punggung perempuan it
Cahaya malam masuk dari jendela kaca sempit di bagian atas ruang latihan bawah tanah. Sisa-sisa latihan hari itu masih terasa di udara, keringat, logam, dan jejak adrenalin yang menggantung.Valen berdiri membelakangi Kayra, membersihkan salah satu pistol kesayangannya dengan tangan tanpa sarung. Kaosnya menempel basah di punggung, memperlihatkan garis-garis otot yang seperti diukir dari batu. Kayra berdiri di seberang ruangan, memutar pisau kecil di tangannya, senjata lipat ringan yang tadi ia ambil hanya untuk main-main.“Malam ini sepi sekali,” ucap Kayra sambil melangkah pelan ke arahnya. “Aku pikir markas mafia biasanya sibuk. Penuh suara teriakan, langkah kaki tergesa, atau orang berdarah yang menyeret diri ke ruangan ini.”Valen tak menoleh. “Malam ini aku matikan semuanya.”“Kenapa?”“Karena aku tahu kamu akan datang.”Kayra berhenti hanya beberapa langkah di belakangnya. “Jadi kamu menungguku?”“Aku tidak pernah menunggu siapa pun. Tapi kamu… membuatku mau melakukannya.”Vale
Gudang senjata Valen tidak seperti tempat penyimpanan ilegal biasa. Ini lebih seperti museum kekuasaan, tertata rapi, simetris, penuh dengan koleksi senjata dari berbagai benua, dari pisau belati hingga sniper buatan tangan. Lampu sorot lembut memantulkan kilau baja dan krom. Semua tertutup kaca pelindung, terkunci dengan sistem biometrik.Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya, kunci itu dibuka untuk seseorang selain Valen.Untuk Kayra.“Ini tempat yang menarik untuk ajakan kencan,” gumam Kayra, melangkah masuk dengan tangan di saku jaket kulitnya.Valen, berdiri di tengah ruangan, menyerahkan pistol ke tangan perempuan itu. “Ini bukan kencan. Ini tes kepercayaan.”Kayra menerima pistol itu tanpa ragu, memeriksanya secepat tentara.“Glock 19 Gen 5. Modifikasi custom. Kamu tahu aku lebih suka tangan kosong, ‘kan?” Ucap Kayra. Valen mendekat. “Kalau kamu harus pilih antara menyentuh kulitku atau memegang senjata, kamu pilih yang mana?”Kayra memutar bola mata. “Pertanyaan konyol.”Tapi
Gudang itu sunyi pagi-pagi buta. Cahaya matahari masih tertahan oleh jendela-jendela kaca besar yang tertutup tirai hitam. Di tengahnya, lantai kayu mengilap menghampar luas, dikelilingi oleh rak senjata, punching bag, dan dinding cermin panjang. Tempat ini bukan sekadar ruang latihan.Tempat ini adalah arena. Dan Valen Moretti telah mempersiapkan medan tempurnya dengan sangat pribadi.Pintu besi bergeser otomatis. Kayra masuk mengenakan setelan training hitam-hitam, legging dan sport bra yang memperlihatkan perut kotaknya yang sempurna. Rambutnya dikepang ke belakang. Tatapannya dingin, fokus. Tapi napasnya… sudah mulai panas bahkan sebelum mereka bertarung.Valen berdiri di tengah arena. Tanpa jas, hanya celana latihan dan kaus tipis yang membentuk lekuk otot punggung dan dadanya dengan jelas. Ia terlihat seperti petarung sejati, meskipun tubuhnya lebih sering memerintah daripada bertempur.“Mengira aku akan terlambat?” tanya Kayra, menyibak rambutnya ke bahu.Valen menyeringai keci
Restoran itu berdiri di atas bukit kecil di sisi timur Melbourne, tersembunyi di balik pagar tanaman yang dirawat rapi dan dinding batu kapur putih bergaya Mediterania. Tempat itu hanya buka untuk tamu pilihan, dan hanya menerima reservasi dari orang-orang dengan nama belakang yang bisa membuat pintu terbuka tanpa diketuk.Kayra tidak menyangka dia akan kembali bertemu pria itu begitu cepat. Tapi pesan singkat datang tadi pagi:“Makan malam. Tempat yang tidak ada kamera. Aku ingin kamu duduk di depanku tanpa rasa curiga.” – V.”Tak ada permintaan. Hanya pernyataan. Seolah dia tahu Kayra akan datang.Dan anehnya… ia memang datang.Mobil hitam yang mengantarnya berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang pelayan berseragam abu-abu dengan sarung tangan putih membungkuk saat membuka pintu.“Selamat datang, Nona Leone. Tuan Moretti telah menunggu.”Kayra berjalan masuk melewati lorong marmer, diiringi nyala lilin gantung dan aroma anggur tua. Di ujung ruangan, Valen sudah duduk. Kali ini
Matahari Melbourne naik lambat ke balik kaca jendela apartemen Kayra, memantulkan siluet tubuhnya yang berdiri di depan cermin. Kaus hitam tanpa lengan menempel di tubuhnya yang berkeringat. Gerakan pukulannya cepat, teratur. Ia sedang latihan shadow boxing, sebuah rutinitas pagi yang tak pernah ia tinggalkan. Tangannya berhenti ketika suara notifikasi ponsel bergetar di meja. [Pesan Masuk: Nomor Tidak Dikenal] “Kau yang memukul seperti petarung. Dinner malam ini, pukul 8. Jangan tolak. Aku tidak suka mengulang undangan dua kali.” – V. [Location] Alis Kayra terangkat. Ponselnya langsung ia kunci kembali. Ah, ini orangnya. Jadi dia mencariku, pikirnya. Dan dia berhasil. Kayra tidak bertanya bagaimana pria itu mendapatkan nomornya. Orang seperti dia… pasti punya jalan. Tapi yang membuat Kayra lebih terusik bukan pada fakta bahwa pria itu mengundangnya makan malam. Melainkan pada kenyataan bahwa ia tidak langsung menolak. Sore harinya, langit mulai gelap saat Kayra berdiri di de
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen