Share

4. Saatnya Membalas Kebaikan

Miona duduk di bangku paling belakang di dalam busway itu. Pemandangan kota Jakarta di luar jendela busway tampak indah. Namun hatinya sedih, air matanya mulai berjatuhan. Dia berusaha mengelapnya dengan tangannya sendiri. Handphonenya sedari tadi berbunyi. Telepon dari mucikarinya yang dipanggilnya Mami. Sebenarnya semenjak kejadian malam itu dengan Prakas, dia tak mau lagi menjual dirinya ke lelaki hidung belang. Tapi karena tadi sore, para rentenir itu datang lagi menagih sisa hutang ibunya yang belum dibayarkan, dia terpaksa menerima tawaran maminya itu, dan ternyata yang memesannya untuk kedua kali adalah lelaki yang sama. Lelaki yang arogan dan aneh menurutnya. Air mata Miona kembali mengalir deras. Dia merasa bersalah pada bapaknya. Dia teringat saat kejadian malam itu yang membuat penyakit jantung bapaknya kumat.

Ya, saat itu Miona sedang memarahi Ibunya, dia baru pulang bekerja di sebuah restoran di Jakarta. Saat itu dia dapati banyak lelaki seram di depan rumahnya. Para lelaki itu tampak memukuli Pak Imam lalu pergi meninggalkannya. Miona berteriak saat melihat bapaknya babak belur begitu.

“Bapak!”

Miona langsung mengangkat tubuh Bapaknya dengan heran.

“Bapak kenapa? Kenapa mereka mukulin Bapak?” tanya Miona.

Akhirnya Pak Imam mengajak Miona masuk. Di dalam sana barulah dia tahu kalau Ibunya ternyata punya hutang 500 ratus juta kepada rentenir yang dia habiskan untuk berjudi dengan teman-temannya. Miona marah besar pada Ibunya. Pak Imam yang sabar memenangkan Miona. Dan saat Miona tahu kalau para rentenir itu menginginkan rumah mereka jika minggu depan hutangnya tidak cicil, saat itulah dia menghubungi mucikari itu. Dia tahu mucikari itu dari temannya karena temannya yang bekerja di restoran yang sama sering bercerita pada Miona kalau dirinya seorang pelacur.

Saat busway itu berhenti di halte di kawasan Sudirman, Miona buru-buru turun dari sana. Miona berjalan di atas trotoar menuju taman kecil di dekat stasiun MRT. Sesaat kemudian dia mendengar suara lelaki memanggil namanya.

“Miona!”

Miona melihat ke sumber suara. Lelaki muda berpakaian satpam itu melambai ke arahnya. Miona tersenyum lalu menghampirinya. Mereka duduk di bangku taman. Di sekeliling dia melihat banyak para fotografer sedang memfoto model-model. Tempat itu adalah surga bagi fotografer. Lelaki muda itu mengulurkan minuman dingin padanya.

“Lembur lagi?” tanya lelaki bernama Rio itu padanya.

Miona mengangguk. Mereka hanya bersahabat sejak SMP. Dulu mereka tinggal di tempat yang sama, namun saat Pak Imam pindah ke kawasan Mampang Prapatan, mereka berpisah, tapi setelah mereka masuk ke SMA yang sama, mereka kembali melanjutkan persahabatan hingga kini.

Rio tahu kalau Miona sedang tidak ingin bicara. Akhirnya dia diam sambil melihat-lihat orang-orang yang mulai berdatangan ke tempat itu. Miona memandangi bulan dan bintang yang bersinar terang di atas kota Jakarta. Tak lama kemudian Miona menangis. Rio heran.

“Kamu kenapa?” tanya Rio penasaran dan tampak sedih melihat sahabatnya itu menangis.

“Aku nggak apa-apa,” jawab Miona. Dia tahu, selama ini Rio lah yang menjadi tempat curhatnya. Namun untuk urusan menjual diri itu dia tidak sanggup menceritakannya pada Rio. Akhirnya lelaki itu hanya diam dan mengeluarkan sapu tangan di sakunya lalu memberikannya pada Miona.

***

Prakas tiba di depan rumah Pak Imam. Dia mengetuk pintu rumah itu. Seorang lelaki muda keluar dengan heran.

“Kakak yang waktu itu ke rumah sakit?” tanya lelaki yang bernama Riga itu.

Prakas tersenyum padanya.

“Ibu ada?”

“Ada! Masuk, kak!”

Prakas pun masuk ke dalam rumah sederhana itu. Riga menyuruh Prakas duduk lalu dia segera memanggil ibunya di dalam. Tak lama kemudian ibunya keluar dan heran melihat kedatangan Prakas. Prakas langsung berdiri dan salim pada ibu itu.

“Mas yang waktu itu ke rumah sakit?” tanya ibu itu dengan heran.

“Iya, Bu,” jawab Prakas.

“Sebentar, saya bikinin minum dulu,” ucap Ibu itu.

“Biar aku aja, Bu,” pinta Riga pada ibunya.

“Yasudah, kamu bikinin ya,” ucap ibunya pada Riga.

Riga langsung masuk ke dalam. Ibu itu menatap Prakas dengan heran sambil memandangi pakaian lelaki itu yang tampak mewah.

“Kamu temen kerja suami saya atau...”

“Bapak Imam sudah seperti bapak saya sendiri,” jawab Prakas.

Ibu yang bernama Maryam itu tampak terkejut.

“Kamu Prakas yang suka diceritain suami saya itu?” tanya Maryam tak percaya.

Prakas mengangguk. Rupanya selama ini Pak Imam suka bercerita tentangnya pada istrinya. Maryam langsung menangis.

“Terima kasih, Nak. Kamu sudah baik sama almarhum suami saya,” ucap Maryam terisak.

“Saya yang berterima kasih, karena Pak Imam saya jadi begini,” ucap Prakas.

Maryam terus saja menangis. Riga yang datang membawa segelas teh manis tampak heran. Riga diam saja lalu meletakkan teh manis itu di hadapan Prakas lalu segera pergi dari sana. Prakas menatap wajah Ibu Maryam dengan sedih.

“Boleh saya melunasi semua hutang, Ibu?” ucap Prakas kemudian.

Ibu Maryam terkejut mendengarnya. Dia tak percaya mendengar itu.

“Kamu tahu dari...”

“Ibu tak perlu tahu saya tahu dari mana. Saya serius ingin melunasi semua hutang ibu,” pinta Prakas.

“Tapi...”

“Tolong, bu... izinkan saya berbuat sekali saja untuk Pak Imam,” pinta Prakas.

Akhirnya Ibu Maryam mengangguk haru. Dia langsung menghubungi renterir tempatnya berhutang. Tak lama kemudian para rentenir itu datang. Prakas langsung memberikan cek pada mereka senilai lima ratus juta. Lalu para rentenir itu pergi dengan senang. Ibu Maryam hendak bersujud pada Prakas sambil menangis. Prakas melarangnya dan mengingatkannya untuk jangan berjudi lagi.

“Saya janji, saya nggak akan melakukan itu lagi,” isak Ibu Maryam.

Lalu Prakas pamit dari sana. Saat dia pulang, dia melihat Miona turun dari motor diantar oleh Rio. Miona heran melihat ada Prakas di sana.

“Lo ngapain ke sini? Tahu dari mana rumah gue?” tanya Miona dengan keras.

Prakas diam saja, dia berjalan menuju mobilnya.

"Lo cerita tentang gue ke ibu gue?!" teriak Miona pada Prakas.

Prakas diam dan terus berjalan menuju mobilnya. Miona mengejar Prakas dan menarik tangan Prakas dengan penasaran.

“Jawab dulu pertanyaan gue!” teriak Miona.

Prakas  berhenti melangkah lalu menoleh ke Miona.

"Lo tenang aja, gue belum cerita, tapi kalo Lo masih terjun ke dunia hitam itu, bukan keluarga Lo aja yang gue kasih tau, semuanya!" tegas Prakas.

"Emangnya gue nggak bisa ngasih tahu ke dunia siapa Lo? Lo nggak takut karir Lo ancur dan perusahaan Lo bangkrut?"

"Silakan aja! Nggak bakal ada yang percaya!" ucap Prakas lalu langsung menaiki mobilnya dan langsung melaju dari sana.

Miona kesal sendiri. Ancamannya berhasil membuatnya takut untuk terjun ke dunia hitam lagi. Miona langsung masuk ke dalam rumah dan memanggil Ibunya.

“Ibu!” panggil Miona.

Ibu Maryam keluar dengan senang.

“Kamu sudah pulang?” tanya Ibu Maryam.

“Tadi cowok itu ngapain ke sini?” tanya Miona.

Ibu Maryam terdiam. Tak lama kemudian Riga datang.

“Dia ngebayarin hutang ibu,” ucap Riga.

Mendengar itu Miona langsung sangat terkejut. Miona keluar dari rumah melihat jalanan di hadapannya berharap dia masih bisa melihat mobil Prakas. Miona masuk ke dalam rumahnya dengan bingung. Maryam mendekatinya dengan heran.

"Kamu udah kenal sama Prakas?"

Miona heran mendengar pertanyaan ibunya itu.

"Emang ibu udah kenal lama sama dia?"

"Dia bos besar Bapak kamu," jawab Ibunya.

"Maksudnya?"

"Dia direktur perusahaan PT Prakas Gemilang yang dekat sama almarhum bapak kamu."

Miona terbelalak tak percaya mendengar itu.

***

Sementara Prakas masih mengemudikan mobilnya dengan lega. Dia sangat berharap setelah dia membayar hutang ibu Miona dan mengancamnya, gadis itu tak lagi bekerja sebagai PSK. Dia ingin Miona hidup normal seperti biasanya. Itu semua dia lakukan karena Pak Imam yang sudah dianggapnya sebagai orang tuanya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fitria Ajaa
Prakas,anak yang baik dan juga berbakti kak author Miona,berterima kasih lah pada Prakas. semoga mereka berjodoh kak author,teruskan dan tetap semangat.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status