Share

5. Undangan Makan Malam

Pagi itu, para pelayan sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Prakas sudah duduk dan sudah bersiap untuk pergi ke kantor. Nyonya Prameswari mengiris roti sambil memandangi wajah Prakas yang terlihat lesu.

“Kemarin, Ibu Andiri main ke rumah, dia bawa Adelia ke sini. Tenyata Adelia makin cantik sekarang. Dulu pas mama liat di acara perusahaan sewaktu papanya bawa dia ke sana, dia masih kecil. Sekarang setelah dia pulang dari Australia, dia makin cantik, Prakas.”

Prakas hanya tersenyum mendengarnya. Adelia adalah anak Pak Hartono yang menjadi komisaris di perusahaanya. Pak Hartono telah menanam saham sebanyak 40 persen di perusahaannya.

“Kamu kapan ngenalin pacar ke mamah?” tanya Nyonya Prameswari tiba-tiba.

Prakas menatap wajah mamahnya dengan tersenyum.

“Sabar ya, Mah. Nanti kalo udah ada, pasti aku kenalin ke mamah,” jawab Prakas.

Nyonya Prameswari tampak kesal mendengarnya.

“Padahal banyak yang suka sama kamu. Itu si Intan, artis terkenal yang sekarang jadi brand ambasador produk perusahaan kita, mamah denger dia suka sama kamu, tapi kamunya malah cuek. Belum lagi anak temen-temen mamah yang cantik-cantik itu. Mamah sih kamu mau sama siapa aja yang penting kamunya punya pacar, biar ada yang nyemangetin kamu ngurus perusahaan,” pinta Nyonya Prameswari padanya.

“Iya, Mah. Nanti Prakas pasti punya pacar kok,” ucap Prakas lalu meraih minumannya dan segera pamit pergi pada mamahnya. Mamahnya hanya dapat menghela napas saja.

Saat Prakas tiba di depan ruangannya. Dia kaget melihat ada Miona di sana.

“Miona?”

Miona langsung menatap Prakas dengan marah.

“Maksud kamu apa, pake ngebayar hutang ibu aku segala?” tanya Miona dengan kesal.

Prakas memperhatikan sekitar. Di sana hanya ada sekretarisnya saja. Dia tak mau pembicaraan mereka di dengar oleh orang-orang di sana.

“Kita bicara di dalem aja," pinta Prakas.

Miona pun mengikuti Prakas masuk ke dalam ruangannya. Sekretarisnya hanya tersenyum sambil berdiri menyambut kedatangan Prakas.

Saat Prakas dan Miona berada di dalam ruangan itu. Prakas langsung menatap Miona dengan serius.

“Aku nggak ada niat apa-apa. Aku cuma mau bantu karena bapak kamu temen deket aku di sini,” jelas Prakas.

Miona menatap Prakas dengan kesal.

“Apapun itu, aku bakal lunasin ke kamu. Aku nggak mau dikasihani. Tapi aku butuh waktu buat ngumpulin uang sebanyak itu,” ucap Miona langsung berjalan keluar.

Prakas langsung menarik tangannya.

“Tunggu!” pinta Prakas.

Miona berhenti berjalan.

“Apa lagi?” tanya Miona heran.

“Tolong jangan lakuin itu lagi,” pinta Prakas.

“Terserah gue mau ngapain aja. Hidup-hidup gue dan lo, tolong jangan ganggu hidup gue lagi. Terserah lo punya hubungan apa sama bokap gue! Gue nggak peduli! Tunggu gue sampe gue bisa lunasin hutang gue ke elo! Dan kalo Lo mau bilang ke keluarga gue tentang gue, bilang aja, gue nggak takut!” ucap Miona dengan tegas.

"Almarhum bokap Lo bakal nangis di surga kalo liat Lo jadi PSK!" tegas Prakas.

"Itu urusan gue sama almarhum bokap gue!"

Miona lalu berjalan meninggalkan Prakas. Dia tak tahu harus bagaimana lagi untuk mencegahnya selain pasrah. Karena ucapan Miona benar, dia tak punya hak untuk mengatur hidup Miona. Sebenarnya, dia melakukan itu bukan karena apa-apa, tapi karena dia sudah menganggap Pak Imam seperti orang tuanya sendiri. Dia tak mau melihat anak gadis Pak Imam yang baik itu terjun ke dunia hitam.

Prakas  menelepon mucikari yang mengurus Miona di dunia hitam itu. Dia lega saat mengetahui Miona sudah tidak lagi bekerja dengan dia. Tak lama kemudian Prakas menghubungi bodyguardnya.

“Hallo, Pak,” jawab bodyguardnya di seberang sana.

“Nanti aku kirim foto KTP perempuan ke kamu, tolong awasin dia dan kasih tahu semuanya tentang dia ke aku,” pinta Prakas.

Bodyguard itu heran di seberang sana, "Dia pacar Tuan Muda?"

Prakas kesal mendengarnya, "Dia bukan selera saya! Tugas kamu awasin saja dia! Nggak perlu nanya-nanya!" tegas Prakas.

“Siap, Pak,” jawab bodyguardnya di seberang sana dengan ketakutan.

Setelah itu Prakas mengirimkan foto KTP Miona ke bodyguardnya. Dia terpaksa melakukan itu karena tak mau Miona kembali ke dunia hitam itu. Setelah itu pintu ruangannya di ketuk. Prakas menyuruhnya masuk. Sekretaris datang sambil membawa rantang makanan yang dibungkus dengan kain serbet. Prakas heran.

“Dari siapa?”

“Tadi ada satpam yang nganter ke sini, katanya dari ibu Maryam,” jawab sekretarisnya.

Mendengar itu Prakas langsung menerimanya dengan senang. Dia mengambil rantang makanan itu dari sekretarisnya dan menyuruhnya keluar. Prakas langsung membawanya ke meja kerjanya. Saat Ia membuka tempat makanan itu, mata lelaki itu berkaca-kaca saat melihat lontong sayur di hadapannya itu. Dia teringat saat pertama kali Pak Imam memberi makanan itu sewaktu dia kecil dulu.

Saat itu, dia masih kecil sedang menangis di pojok ruangan kantor ayahnya. Pak Imam datang membawa semangkut lontong sayur untuknya.

“Den, sini... bapak bawa lontong sayur loh, rasanya enak,” ajak Pak Imam padanya yang menangis di pojokan.

Saat itu Prakas hanya diam, dia tak peduli pada Pak Imam. Pak Imam mendekatinya lalu tersenyum padanya.

“Ganteng-ganteng kok nangis?”

“Siapa yang nangis?” ucap Prakas kecil.

“Itu air matanya kok keluar?”

“Nggak! Aku nggak nangis!”

“Kalo nggak, makan lontong sayur yuk?”

Prakas akhirnya mengangguk. Pak Imam mengendong Prakas lalu mendudukkannya di kursi. Pak Imam mulai menyuapinya sambil berdongeng untuknya. Ya, hari itu Prakas kecil ngotot ingin ikut ke kantor sama papahnya. Papahnya terpaksa membawanya ke kantor dan meninggalkannya di ruangannya karena ada meeting. Pak Imam datang menemaninya. Dan sejak itu Prakas jadi sering ke kantor dan selalu dijaga oleh Pak Imam.

Air mata Prakas tumpah saat mencicipi lontong sayur itu. Rasanya masih sama seperti dulu. Rupanya lontong sayur itu adalah buatan istrinya. Sesaat dia menyesal tidak mengenali keluarga Pak Imam dengan dekat selama ini. Coba kalau dari dulu dia bertanya pada Pak Imam tentang keluarganya dan main kerumahnya. Mungkin Prakas bisa lebih dekat dengan keluarganya.

Dan sore itu, Prakas berdiri di atas makam Pak Imam sambil menabur bunga di atas kuburannya.

“Terima kasih atas semuanya, Pak. Semoga Bapak tenang di sana dan berkumpul bersama orang-orang shaleh di surga-Nya. Aku akan ingat terus nasehat Bapak,” ucap Prakas pada nisan yang bertuliskan nama Pak Imam di sana.

Tak lama kemudian handphonenya berbunyi. Prakas kaget saat mendapati nomor Pak Imam yang menghubunginya. Mungkin itu ibu Maryam, pikir Prakas. Dia langsung mengangkat teleponnya.

“Halo,” ucap Prakas.

“Tadi lontong sayurnya nyampe ke Den Prakas?” tanya ibu Maryam di seberang sana.

“Iya, Bu. Makasih ya, dan tolong nggak usah panggil, Den,” pinta Prakas.

“Iya. Oh ya, ini ibu lagi mau masak opor ayam, kata bapak kamu suka sekali makan opor ayam. Kamu mau ke rumah ibu, biar makan malam di rumah?” tawar ibu Maryam.

Seketika Prakas terdiam. Dia bingung, bagaimana pun di rumah itu ada Miona. Miona saat ini sangat membencinya. Dia tidak mau membuat Miona marah gara-gara melihat dia datang ke sana, tapi dia tidak ingin menolak tawaran ibu Maryam. Dia ingin mengenal keluarga Pak Imam. Mungkin itu bisa melepas kesedihannya atas kematian Pak Imam. Setelah berpikir akhirnya Prakas menjawab pertanyaan Ibu Maryam.

“Baik, bu. Nanti malam aku ke sana,” jawab Prakas.

“Yaudah, pokoknya jangan sampe nggak jadi ya? Ibu bakal masakin yang enak buat kamu,” pinta ibu Maryam dengan senang.

“Iya, Bu,” jawab Prakas dengan tersenyum.

Prakas pun menyimpan handphonenya dengan senang lalu pergi dari sana.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
agaknya cinta mulai datang di hati Prakas, tunggu dia Miona ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status