Seorang wanita cantik, kini tengah mematut dirinya di depan cermin yang berada di dalam kamarnya. Wanita itu, dia adalah Veronika Anastasia.
Kini, Veronika tengah menatap refleksi dirinya di cermin dengan sorot mata yang penuh kesedihan. Rambut panjangnya yang tergerai indah dan kulitnya yang putih bersih seharusnya menjadi sumber kebanggaan, namun bagi Veronika, itu adalah kutukan. Di sudut kamarnya, Vero bisa merasakan aura kelam yang selalu mengikuti kecantikannya. Paman, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengganti ayah kandungnya yang telah meninggal, kini berubah menjadi ancaman terbesar. Pada setiap kesempatan, pamannya selalu mencari cara untuk mendekati Veronika dengan niat yang tidak terpuji. Wanita malang itu sering kali harus mengunci pintu kamarnya, bersembunyi di balik lemari, atau bahkan melompat keluar jendela hanya untuk menghindari tangan jahat paman yang selalu mencoba merenggut kesuciannya. Di depan cermin, air mata Veronika menetes, membasahi pipinya yang mulus. "Mengapa kecantikan ini lebih banyak membawa petaka daripada kebahagiaan?" gumamnya lirih. Dengan hati yang hancur, Veronika mengusap air matanya, berusaha menguatkan diri untuk menghadapi hari-hari yang penuh dengan rasa takut dan kecemasan karena ulah paman yang tidak pernah berhenti mengintainya. "Nenek... aku sudah lama tidak mengunjunginya. Hanya dia satu-satunya yang aku punya." Di tengah lamunannya, Veronika seketika terkejut akan pintu kamarnya yang terus digedor-gedor dari luar. Dengan keberanian yang ada, Veronika pun membuka pintu kamarnya dan mendapati sang bibi tengah menatapnya tajam dengan kedua tangan berkacak pinggang. Baru ia hendak bertanya, Veronika tiba-tiba saja mendapat tamparan keras yang langsung mendarat di kedua pipi mulusnya. "A-ada apa, Bi? Kenapa bibi menamparku?" Tanya Vero sambil memegangi pipinya. "Ada apa? Pekerjaan rumah sudah kau urus semua? Sarapan untuk kami?" ucap Margareth, bibi Veronika. "Ma-maaf, Bi. Veronika akan segera memasak!" ucapnya, sembari menyeka air mata yang menggenang di pelupuk. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Veronika bergegas menjalankan perintah bibinya. Sebentar lagi, ia juga harus berangkat ke kantor kekasihnya. Veronika Anastasia, telah menjalani beberapa hari yang tegang. Relasi dengan kekasihnya, Zion Narendra, CEO perusahaan besar Narendra Group, menjadi renggang. Sebelumnya, Zion telah mendesak Vero untuk menjalin hubungan layaknya sepasang suami-istri, tetapi Vero bersikeras bahwa itu hanya akan terjadi setelah mereka menikah. Sikap paksaan Zion itulah yang membuat Veronika merasa tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Namun hari ini, semuanya tampak berubah. Mereka telah berdamai dan berjanji untuk menghabiskan waktu bersama di kantor Zion. Dengan semangat yang baru, Vero segera merapikan segala urusannya di rumah, memastikan semua pekerjaan selesai sebelum dia berangkat ke kantor, siap untuk hari yang baru bersama Zion, memulai lembaran baru dalam hubungan mereka. Singkat cerita, Veronika sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Saat ia hendak pergi ke kamar, ia justru dihadang oleh pamannya. Ia menarik pergelangan tangan Vero memasuki kamar. "Lepaskan Vero, Paman!" jerit Veronika, yang mulutnya langsung di bekap oleh pamannya. "Jangan berteriak, Vero! Atau... kau benar-benar ingin paman melecehkanmu?" ancam Demon, yang berhasil membuat Veronika diam. "A-apa yang paman inginkan?" tanya Veronika, dengan nada suara merendah. "Berikan paman uang! Paman butuh uang untuk keperluan judi," ucap Demon, enteng. "Veronika sudah tidak memiliki uang lagi, Paman! Uang yang Vero berikan pada paman kemarin, itu uang terakhir yang Veronika punya." Mendengar ucapan Veronika, Demon merasa sangat emosi dan langsung menjambak rambut keponakannya itu. "Kau sekertaris, kan? Mustahil jika kau tidak memiliki uang! Cepat berikan uang itu! Atau..." Perkataan Demon terpotong sambil tangannya terulur menyentuh pipi mulus Veronika. Mengerti maksud dari pamannya, Vero akhirnya mengalah. "Ba-baik, Paman. Vero akan memberikan uangnya!" kata Veronika, dan segera beranjak membuka lemari untuk mengambil semua uang yang ia simpan. "Nah, coba begini dari tadi! Sepertinya, kau memang suka diancam dulu, Vero," ucap Demon, menatap tajam keponakannya. "Bisakah Paman beri Vero uang buat ongkos taksi? Veronika tidak punya uang sama sekali, Paman," pinta Vero dengan suara pelan dan wajah memelas. Demon tertawa pelan, sinis. "Untuk apa tubuh semenarik itu, kalau tidak kau manfaatkan? Tarik laki-laki, minta apa saja, gampang, kan?" Matanya menatap Vero penuh niat buruk. "Dan kalau kau sudah tidak perawan... kabari Paman. Siapa tahu Paman juga bisa ikut menikmati." Tangannya sempat menyentuh pipi Vero sekilas, menjijikkan, sebelum ia berbalik pergi sambil mengibas-ngibaskan uang ke wajahnya, seolah mengejek. Jijik, itulah yang Veronika rasakan saat ini. Ingin rasanya ia pergi dari rumah itu, tapi ia terlalu takut dengan ancaman dari paman dan bibinya. Maka dari itu, Veronika tetap tinggal di tempat yang baginya adalah sebuah neraka. Tidak ingin memikirkan keluarganya lagi, Veronika pun bergegas keluar dari rumah tersebut menuju kantor tempat ia bekerja. Setibanya di sana, semua tatapan sinis seketika terlontar padanya. Namun, ada juga beberapa yang mengaguminya. Tidak ingin memperdulikan tatapan sinis tersebut, Veronika mempercepat langkahnya menuju ruangan Zion. Derap langkah Veronika terus menggema di dalam perusahaan besar tersebut. Dan kini, ia telah tiba di depan pintu ruang kerja milik Zion. Namun, tanpa sengaja, telinga Veronika menangkap suara aneh—desahan pelan, menggema samar dari balik pintu ruang kerja kekasihnya. Suara itu membuat bulu kuduknya meremang. Dengan tangan gemetar dan napas tak beraturan, ia meraih kenop pintu. Jantungnya berdentum keras, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Perlahan, ia dorong pintu itu terbuka. Dunia Veronika seakan berhenti. Di balik pintu, ia melihat kekasihnya—pria yang selama ini ia percaya sepenuh hati—tengah berhubungan intim, seakan mereka sepasang suami istri. Bersama siapa? Echa. Sepupunya sendiri. Tubuh Vero melemas, lututnya seakan tak mampu menopang berat tubuhnya. Tanpa sadar ia bersandar ke daun pintu, menimbulkan bunyi kecil yang membuat dua tubuh di dalam ruangan itu spontan menoleh—panik dan terkejut. ''Sayang, ini tidak...'' ucap Zion sambil menarik celananya naik. ''Tidak? Tidak apa, hm? Apa kau pikir aku buta, Zion?!'' teriak Veronika, air matanya mengalir membasahi kedua pipinya. ''Sayang, aku bisa menjelaskan semua ini! Tolong, dengarkan aku!'' ''Aku tidak ingin mendengar kata-kata apapun dari dalam mulut busukmu itu! Sampah memang sangat cocok disatukan dengan sampah juga!" ucap Vero lantang sambil menatap tajam pada Zion dan Echa. "Selamat berbahagia untuk kalian berdua. Teruntuk kau, Zion... mulai sekarang kita sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi!" Baru Veronica hendak melangkah pergi, Zion dengan cepat mencekal pergelangan tangannya. "Kalau kau keluar dari kantor ini, jabatanmu sebagai sekretaris selesai, Vero!" bentak Zion, suaranya penuh ancaman. "Akan jauh lebih baik begitu... daripada harus terus melihat wajah busukmu setiap hari.""Bu, kenapa belum ada makanan? Apa wanita sialan itu belum memasak untuk kita?" tanya Echa sambil kedua tangan melipat di dada. "Hah, benarkah? Sialan sekali wanita itu!" "Veronika!" teriak Margareth sambil memasuki dapur rumahnya. "Apa kau tuli, hah?" "Tck. Kemana wanita tidak berguna ini?" tanya Margareth sambil tangannya bergerak menumpahkan air ke dalam gelas. Ia memiliki niat untuk menyiramkan air itu pada Veronika. Segera, Margareth menaiki tangga menuju kamar Veronika. Setibanya di depan pintu kamar, tanpa mengetuk atau melakukan apa pun, Margareth menendang pintu kamar tersebut hingga terbuka dengan keras. Mendapati sebuah tali yang terikat kuat pada tiang ranjang, Margareth langsung memeriksa semua isi lemari Veronika, yang ternyata hanya tersisa pakaian sedikit saja. "Sialan! Wanita itu rupanya berani kabur dari sini," ucap Margareth, wajahnya memerah karena emosi. "Sayang!" teriak Margareth, mengejutkan Demon yang tengah berada di dalam kamar. "Ada apa, Sayang
"Argh! Aku terlambat!" pekik Veronika sambil melompat turun dari tempat tidurnya. "Dasar bodoh! Bisa-bisanya aku terlambat di hari pertamaku bekerja. Aku bisa mampus dimarahi habis-habisan oleh atasanku." Dengan gerak cepat, Vero meluncur memasuki kamar mandi. Wanita itu membersihkan diri ala kadarnya. Waktu ke kantor begitu mepet, belum lagi ia harus menunggu taksi jemputan. Sambil mengenakan pakaiannya, Vero sesekali menatap jam. Ia begitu takut dimarahi oleh atasannya. Benar-benar memalukan bagi Vero jika harus menjadi pusat perhatian di kantor karena keterlambatannya itu. Usai dengan semuanya, Vero bergegas keluar dari kamar apartemen sambil memesan taksi. Beruntung, ia tidak perlu menunggu lama sampai taksi itu datang menjemputnya. "Tolong secepatnya antar aku ke perusahaan Rudiarth Company, Pak! Aku benar-benar terlambat!" kata Vero dengan wajah memelas. "Semoga saja tidak macet, Nona!" katanya sambil menatap Vero dari kaca spion. Mendengarnya, membuat Vero mengangguk. °°°
Veronika duduk membeku di dalam mobil yang terparkir di depan restoran, mata terus menatap ke pintu masuk. Napasnya berat, detak jantungnya berpacu saat dia melihat atasannya meninggalkan mobil. "Aku takut," bisiknya lirih, "Kalau Echa tahu aku di sini, dia pasti akan cerita ke paman dan bibi." Napas Veronika memburu, rasa cemas menyelimuti seluruh pikirannya. Jemari Veronika bergerak tak karuan, meremas-remas ujung baju. Kulit wajahnya memutih, bagai tersapu kabut ketakutan saat memikirkan kembali ke rumah yang selama ini ia sebut neraka itu. "Naren, aku bisa hadapi, tapi Echa... itu yang tak bisa ku terima," gumamnya dalam hati, seraya menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. Di tengah lamunannya, suara pintu mobil yang tertutup keras membuat Veronika terkejut bukan main. Ia lantas menatap ke arah atasannya, yang membungkuk untuk menatapnya. Tatapan atasannya begitu tajam, membuat Veronika takut. Namun, ia tidak dapat membohongi dirinya kalau atasannya itu memiliki pesona
Veronika duduk melingkar di balkon kamarnya, pelukan erat pada diri sendiri sebagai perisai dari dinginnya malam. Cahaya lampu jalan yang temaram menyinari wajahnya yang tengah diliputi kebingungan. Memori tentang kejadian di restoran berkelebat di pikirannya, menyisakan gundah. Atasannya yang selalu berwajah dingin itu tiba-tiba membela dirinya dari serangan verbal sang mantan kekasih dan sepupunya, sebuah sikap yang tak terduga. Veronika menggigit bibir bawahnya, gelisah. "Apakah dia benar-benar peduli, atau itu hanya tindakan formalitas di depan orang banyak?" gumamnya pada diri sendiri, cahaya rembulan yang samar menerpa matanya yang sayu. "Sungguh, sikapnya yang selalu dingin, tidak kusangka akan memberi kejutan seperti ini." Flashback On... Wajah Naren berubah merah ketika mendengar perkataan Noah padanya. "Kau... tidak memiliki hak untuk berkata seperti itu tentangku, Noah Rudiarth Alexander!" bentaknya, yang seketika mengejutkan semua orang di sana. "Kenapa tida
"Terima kasih sudah membantuku lagi, Tuan," ucap Veronika. "Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau Anda tidak datang menyelamatkanku." Sambil berkata demikian, Veronika mengeratkan jas atasannya itu di pundaknya. "Pria tadi... pamanmu?" tanya atasannya, yang langsung diangguki oleh Veronika. "Echa adalah putrinya. Itulah yang membuatku takut saat di restoran. Aku takut dia memberitahukan keberadaanku pada Paman dan Bibi. Sungguh, aku tidak ingin kembali ke neraka itu." Veronika kembali memeluk atasannya sambil menangis. Menyadari kesalahannya, Veronika segera menjauhkan diri dari atasannya. "Ma-maafkan aku, Tuan," kata Veronika. "Aku sudah mengotori jas Anda dengan air mataku." "Tidak apa, hanya air mata, bukan kotoran hewan," canda Noah, yang membuat Veronika tersenyum. "Ya, aku tidak akan mungkin berani memberikannya, Tuan," kata Veronika, masih tersenyum dengan memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. Namun, saat tatapan mereka saling bertemu, Veronika merasa ada keteganga
Veronika begitu asyik terpejam, ketika ia mulai terganggu oleh rasa gatal di tenggorokannya. Saat ia mencoba mengabaikannya, rasa itu justru semakin mengganggu, memaksanya membuka mata. Belum sepenuhnya sadar, tangan Veronika meraba-raba nakas, mencari botol minumnya. Sialnya, botol itu justru kosong. "Ah, sial. Kenapa harus kosong, sih? Sepertinya aku harus lebih memerhatikannya sebelum tidur," gerutunya, lalu beranjak turun dengan malas dari atas tempat tidur. Dengan langkah gontai, Veronika berjalan keluar sambil beberapa kali menguap. Ruang tengah itu gelap, membuatnya meraba-raba mencari saklar untuk menyalakan lampu. Begitu tiba di dapur, Veronika segera mengisi botol minumnya. Tak lama kemudian, suara benda terjatuh membuatnya terlonjak. Matanya langsung awas menatap ke sekeliling. "Si-siapa di sana?" tanyanya, menatap bayangan gorden yang tertiup angin. Veronika menyentuh tengkuknya. Tubuhnya meremang karena takut. "Tidak mungkin ada yang masuk ke kamar ini, kan? Aku su
Sore hari telah berlalu saat Veronika bersiap-siap untuk pulang dari kantor. Ya, hari ini ia menolak lamaran atasannya — tidak, lebih tepatnya, Veronika meminta satu hari lagi untuk menerima atau menolak lamaran tersebut. Alasan penolakan itu, tentu saja, karena ia trauma akan masa lalu pahitnya. Tidak hanya itu, Veronika juga merasa heran dengan atasannya sendiri. Ia merasa, atasannya begitu terburu-buru ingin memilikinya, padahal ia baru saja bekerja. Sesuatu yang tak masuk akal, jika atasannya secepat itu jatuh cinta. "Aku benar-benar bimbang," gumam Veronika. "Haruskah kuterima atau kutolak lamaran ini?" Saat Veronika melamun di dalam ruang kerjanya, atasannya itu jelas melihat sosoknya dari balik kaca transparan. Pria itu tersenyum ketika memandangi Veronika dari kejauhan lalu berbalik meninggalkan ruangan Veronika untuk kembali ke ruangannya sendiri. Veronika yang sempat melamun, kini tersadar. Ia segera bergegas menyiapkan barang-barangnya lalu keluar dari ruangannya. B
Di dalam kamar apartemen, Veronika terus memandangi jari manisnya yang kini dihiasi cincin pemberian atasannya. Sesekali, wanita itu tersenyum-senyum sendiri, saking bahagianya. Bagaimana tidak? Perlakuan atasannya begitu romantis. Meski bersikap dingin, pria itu tahu persis cara membuat Veronika merasa istimewa. "Lihat saja, Narendra! Kau akan kubuat bertekuk lutut setelah pernikahanku dengan Tuan Noah sah," ucap Veronika seraya menatap kaca yang memantulkan wajah cantiknya, lengkap dengan senyum sinis di sana. "Bodoh sekali! Aku terlalu buta oleh perasaan cinta yang kumiliki untukmu, sampai-sampai aku tak menyadari kalau kau bermain api di belakangku bersama Echa, sepupuku." Perkataan Veronika memancing air matanya kembali mengalir. Namun, merasa tak pantas menangisi pria seperti Narendra, ia buru-buru menyekanya. "Tak akan ada lagi air mata untuk pria seperti Narendra!" tegas Veronika pada dirinya sendiri. "Aku akan melupakan pria bajingan itu!" Namun, setelah mengatakan itu,
Veronika baru saja menyelesaikan percakapan di ruang dokter. Saat ia kembali ke ruang rawat neneknya, sosok atasannya sudah tidak tampak di sana. Sejenak, mata Veronika menatap ke sekeliling, berharap masih bisa menemukannya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran Noah."Ke mana dia? Apa dia sudah kembali?" gumam Veronika pada dirinya sendiri.Di tengah kebingungan itu, sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi di ponselnya. Veronika segera meraihnya dan mendapati sebuah pesan dari Noah.“Aku akan datang untuk menjemputmu lagi, Baby. Maaf, aku harus pergi sebentar untuk mengurus sesuatu.”Pesan itu sukses membuat senyum merekah di wajah Veronika."Dia benar-benar menunjukkan perhatian. Aku semakin dibuat terpesona oleh atasanku sendiri," gumamnya, sembari tersenyum-senyum sendiri dan sesekali memeluk ponselnya, seperti orang yang sedang jatuh cinta.Menyadari kegilaannya sendiri, Veronika segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Ia lalu melangkah masuk ke ruang rawat neneknya,
Drrrtt... Drrrtt... Suara getaran ponsel di atas meja membuat Veronika tersentak. Ia yang tengah duduk di sofa ruang tamu segera meraih ponselnya, lalu mengernyit saat mendapati panggilan masuk dari nomor tak dikenal. "Halo, ini siapa?" tanyanya hati-hati. "Benar, ini dengan Nona Veronika?" "Iya, itu saya. Ada apa?" balasnya, sedikit cemas. "Saya salah satu petugas rumah sakit. Ingin mengabarkan bahwa nenek Anda sudah siuman dan saat ini terus memanggil-manggil nama Anda," jawab suara di seberang. Veronika terdiam sejenak. Suara detik jam dinding terdengar begitu jelas di antara keheningan ruangan. Dadanya bergetar. Sekejap, air mata menetes di pipinya. Perasaan haru dan lega bercampur. "Te-terima kasih sudah memberikan kabar baik... Saya akan segera ke sana," ucap Veronika pelan, suaranya bergetar. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung saja memutus panggilan. Tak berselang lama, Veronika sudah siap dan berniat keluar dari apartemen. Namun, langkahnya terhenti saat mendapati sos
Narendra baru hendak ikut mengejar Veronika, kala tangannya segera dicekal oleh Echa. "Kau ingin mengejarnya? Untuk apa, Narendra?" tanya Echa sambil memperbaiki tatanan dasi pria itu. Narendra menunduk. Hatinya terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan dadanya. Suasana di lobby apartemen itu seketika terasa sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar pelan. "Bukankah aku tadi keterlaluan? Aku menyakitinya, Echa," kata Narendra, merasa sangat bersalah. Echa menarik napas perlahan. Tatapannya lembut, namun ada ketegasan di sana. Ia tahu, keputusan yang diambil Narendra barusan bukan tanpa alasan, meski caranya salah. Tangannya masih bertahan di pergelangan tangan pria itu, tak membiarkan Narendra pergi begitu saja. "Keterlaluan? Keterlaluan mana dengan dia yang sudah tidur bersama para laki-laki itu tanpa kau ketahui, hm? Bertahun-tahun kalian menjalin hubungan, bukan? Tapi... bertahun-tahun pula Veronika menyembunyikan hal kotor ini darimu," kata
"Berani kau sentuh calon istriku, jangan harap masih bisa melihat dunia ini lagi." Saat Veronika melihat kedatangan atasannya, ia langsung berlari mendekat dan memeluk Noah. Tubuh Veronika bergetar saat memeluk atasannya dan hal itu dapat dirasakan oleh Noah sendiri. "Ada aku, Sayang," kata Noah. "Dia tidak akan bisa melukaimu." Mendengar perkataan atasannya yang menenangkan, Veronika berusaha mengendalikan ketakutannya. Sejujurnya, ia takut saat Narendra ingin memukulnya. Veronika benar-benar tidak menyangka akan perubahan pria yang sempat dicintainya itu. Narendra berani mengangkat tangan padanya, dan Veronika tidak tahu apakah pria itu benar-benar ingin memukulnya atau hanya menggertaknya saja. Narendra terkejut. "Calon istri? A-apa maksudmu?" tanyanya, begitu penasaran. "Veronika Anastasia, aku sudah melamar wanita cantik ini. Hanya menghitung hari, kami akan sah menjadi suami-istri." Atasannya menggenggam tangan Veronika sambil tersenyum. Veronika balas tersenyum. Melihat
Di dalam kamar apartemen, Veronika terus memandangi jari manisnya yang kini dihiasi cincin pemberian atasannya. Sesekali, wanita itu tersenyum-senyum sendiri, saking bahagianya. Bagaimana tidak? Perlakuan atasannya begitu romantis. Meski bersikap dingin, pria itu tahu persis cara membuat Veronika merasa istimewa. "Lihat saja, Narendra! Kau akan kubuat bertekuk lutut setelah pernikahanku dengan Tuan Noah sah," ucap Veronika seraya menatap kaca yang memantulkan wajah cantiknya, lengkap dengan senyum sinis di sana. "Bodoh sekali! Aku terlalu buta oleh perasaan cinta yang kumiliki untukmu, sampai-sampai aku tak menyadari kalau kau bermain api di belakangku bersama Echa, sepupuku." Perkataan Veronika memancing air matanya kembali mengalir. Namun, merasa tak pantas menangisi pria seperti Narendra, ia buru-buru menyekanya. "Tak akan ada lagi air mata untuk pria seperti Narendra!" tegas Veronika pada dirinya sendiri. "Aku akan melupakan pria bajingan itu!" Namun, setelah mengatakan itu,
Sore hari telah berlalu saat Veronika bersiap-siap untuk pulang dari kantor. Ya, hari ini ia menolak lamaran atasannya — tidak, lebih tepatnya, Veronika meminta satu hari lagi untuk menerima atau menolak lamaran tersebut. Alasan penolakan itu, tentu saja, karena ia trauma akan masa lalu pahitnya. Tidak hanya itu, Veronika juga merasa heran dengan atasannya sendiri. Ia merasa, atasannya begitu terburu-buru ingin memilikinya, padahal ia baru saja bekerja. Sesuatu yang tak masuk akal, jika atasannya secepat itu jatuh cinta. "Aku benar-benar bimbang," gumam Veronika. "Haruskah kuterima atau kutolak lamaran ini?" Saat Veronika melamun di dalam ruang kerjanya, atasannya itu jelas melihat sosoknya dari balik kaca transparan. Pria itu tersenyum ketika memandangi Veronika dari kejauhan lalu berbalik meninggalkan ruangan Veronika untuk kembali ke ruangannya sendiri. Veronika yang sempat melamun, kini tersadar. Ia segera bergegas menyiapkan barang-barangnya lalu keluar dari ruangannya. B
Veronika begitu asyik terpejam, ketika ia mulai terganggu oleh rasa gatal di tenggorokannya. Saat ia mencoba mengabaikannya, rasa itu justru semakin mengganggu, memaksanya membuka mata. Belum sepenuhnya sadar, tangan Veronika meraba-raba nakas, mencari botol minumnya. Sialnya, botol itu justru kosong. "Ah, sial. Kenapa harus kosong, sih? Sepertinya aku harus lebih memerhatikannya sebelum tidur," gerutunya, lalu beranjak turun dengan malas dari atas tempat tidur. Dengan langkah gontai, Veronika berjalan keluar sambil beberapa kali menguap. Ruang tengah itu gelap, membuatnya meraba-raba mencari saklar untuk menyalakan lampu. Begitu tiba di dapur, Veronika segera mengisi botol minumnya. Tak lama kemudian, suara benda terjatuh membuatnya terlonjak. Matanya langsung awas menatap ke sekeliling. "Si-siapa di sana?" tanyanya, menatap bayangan gorden yang tertiup angin. Veronika menyentuh tengkuknya. Tubuhnya meremang karena takut. "Tidak mungkin ada yang masuk ke kamar ini, kan? Aku su
"Terima kasih sudah membantuku lagi, Tuan," ucap Veronika. "Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau Anda tidak datang menyelamatkanku." Sambil berkata demikian, Veronika mengeratkan jas atasannya itu di pundaknya. "Pria tadi... pamanmu?" tanya atasannya, yang langsung diangguki oleh Veronika. "Echa adalah putrinya. Itulah yang membuatku takut saat di restoran. Aku takut dia memberitahukan keberadaanku pada Paman dan Bibi. Sungguh, aku tidak ingin kembali ke neraka itu." Veronika kembali memeluk atasannya sambil menangis. Menyadari kesalahannya, Veronika segera menjauhkan diri dari atasannya. "Ma-maafkan aku, Tuan," kata Veronika. "Aku sudah mengotori jas Anda dengan air mataku." "Tidak apa, hanya air mata, bukan kotoran hewan," canda Noah, yang membuat Veronika tersenyum. "Ya, aku tidak akan mungkin berani memberikannya, Tuan," kata Veronika, masih tersenyum dengan memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. Namun, saat tatapan mereka saling bertemu, Veronika merasa ada keteganga
Veronika duduk melingkar di balkon kamarnya, pelukan erat pada diri sendiri sebagai perisai dari dinginnya malam. Cahaya lampu jalan yang temaram menyinari wajahnya yang tengah diliputi kebingungan. Memori tentang kejadian di restoran berkelebat di pikirannya, menyisakan gundah. Atasannya yang selalu berwajah dingin itu tiba-tiba membela dirinya dari serangan verbal sang mantan kekasih dan sepupunya, sebuah sikap yang tak terduga. Veronika menggigit bibir bawahnya, gelisah. "Apakah dia benar-benar peduli, atau itu hanya tindakan formalitas di depan orang banyak?" gumamnya pada diri sendiri, cahaya rembulan yang samar menerpa matanya yang sayu. "Sungguh, sikapnya yang selalu dingin, tidak kusangka akan memberi kejutan seperti ini." Flashback On... Wajah Naren berubah merah ketika mendengar perkataan Noah padanya. "Kau... tidak memiliki hak untuk berkata seperti itu tentangku, Noah Rudiarth Alexander!" bentaknya, yang seketika mengejutkan semua orang di sana. "Kenapa tida