Sejak percakapan di pantry, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku.
Aku mulai mempertanyakan banyak hal yang selama ini kuanggap biasa. Kenapa aku tidak mirip dengan Ayah dan Ibu? Kenapa Mahendra menanyakan hal aneh seperti itu? Aku tidak bisa diam saja. Aku harus mencari tahu. --- Malam itu, setelah pulang kerja, aku menelepon Ibu. Suaranya terdengar ceria seperti biasa, tetapi entah kenapa, ada kegelisahan yang mengendap dalam hatiku. “Ibu, boleh aku tanya sesuatu?” tanyaku hati-hati. “Tentu saja, Nak. Ada apa?” Aku menggigit bibirku sebelum akhirnya bertanya, “Ibu… aku ini anak kandung Ibu dan Ayah, kan?” Sejenak, keheningan menyelimuti percakapan kami. “Nak, kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?” Suara Ibu terdengar ragu. Jantungku berdegup kencang. “Aku hanya ingin tahu, Bu. Tolong jujur.” Ibu terdiam. Aku bisa mendengar napasnya yang sedikit tidak teratur dari seberang telepon. “Alya… kami selalu menyayangimu.” Aku langsung tahu jawabannya dari nada suara Ibu. Aku mengatupkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Jadi… aku bukan anak kandung kalian?” Ibu terisak. “Maafkan Ibu, Nak. Kami tidak pernah bermaksud menyembunyikannya darimu. Tapi, saat itu kau masih terlalu kecil. Kami hanya ingin kau tumbuh dengan bahagia.” Tanganku gemetar. Hatiku terasa seperti diremas. “Siapa orang tuaku sebenarnya, Bu?” suaraku bergetar. Ibu menangis lebih keras. “Ibu tidak tahu banyak… yang Ibu tahu, kau ditemukan di depan panti asuhan saat masih bayi. Kami mengadopsimu karena kami ingin memiliki anak perempuan.” Dadaku terasa sesak. Aku tidak tahu harus berkata apa. Jika aku bukan anak kandung mereka… lalu siapa aku sebenarnya? --- Keesokan harinya, aku datang ke kantor dengan pikiran kacau. Aku tidak bisa tidur semalaman. Kebenaran tentang diriku mengguncang segalanya. Saat aku memasuki kantor, Mahendra sudah menungguku di depan lift. Matanya langsung menangkap kegelisahanku. “Kita perlu bicara,” katanya tegas. Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk. “Tuan… apakah Anda tahu sesuatu tentang masa laluku?” Mahendra terdiam, lalu mengangguk pelan. “Ikut aku.” Tanpa banyak bicara, aku mengikutinya ke ruangannya. Setelah kami duduk, dia menatapku lama sebelum akhirnya berkata, “Alya, kau bukan anak biasa.” Aku menahan napas. “Kau… adalah bagian dari keluarga yang sangat berpengaruh. Dan aku—” Dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan, “Aku mengenal orang tuamu.” Aku terkejut. “Siapa mereka?” Mahendra menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kau adalah putri dari seorang pria yang sangat berkuasa… seorang pria yang dulu menjadi rival keluargaku.” Aku membeku. Siapa aku sebenarnya? Dan kenapa Mahendra tahu semua ini? Aku merasa tubuhku membeku. Kata-kata Mahendra menggema di kepalaku. "Kau adalah putri dari seorang pria yang sangat berkuasa… seorang pria yang dulu menjadi rival keluargaku." Tanganku mencengkeram rok yang ku kenakan. “Siapa… siapa ayah kandungku?” tanyaku dengan suara nyaris berbisik. Mahendra menghela napas panjang. Ada sesuatu dalam sorot matanya—keraguan, mungkin juga sedikit rasa bersalah. “Namanya Damar Pratama.” Damar Pratama. Nama itu asing bagiku, tetapi entah kenapa terasa begitu berat. Aku menelan ludah. “Siapa dia?” Mahendra menatapku dalam sebelum akhirnya menjawab, “Dia adalah salah satu pengusaha paling berpengaruh di negeri ini. Dia membangun kerajaan bisnisnya dari nol dan menjadi salah satu orang terkaya di Asia.” Aku membelalakkan mata. Aku… anak dari pria seperti itu? “Kenapa aku tidak pernah tahu?” suaraku bergetar. “Karena dia menghilang,” jawab Mahendra. “Belasan tahun lalu, Damar Pratama mengalami insiden besar yang membuatnya terpaksa meninggalkan semua yang dia miliki. Keluargaku adalah salah satu rival terbesarnya dalam dunia bisnis. Namun, setelah insiden itu, tidak ada yang tahu di mana dia berada. Dan kau…” Mahendra terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Kau juga menghilang bersamaan dengannya.” Aku menggigit bibir. Rasanya terlalu sulit dipercaya. “Tapi… kalau aku benar-benar anaknya, kenapa aku bisa tumbuh di desa sebagai anak angkat?” tanyaku dengan nada bingung. Mahendra mengusap dagunya. “Itulah yang belum aku ketahui. Tapi sekarang, setelah melihatmu… setelah memastikan bahwa kau benar-benar Alya Pratama…” Aku tersentak. “Nama asliku… Alya Pratama?” Mahendra mengangguk. “Ya. Kau bukan hanya gadis desa biasa. Kau adalah pewaris kerajaan bisnis Damar Pratama.” Jantungku berdegup kencang. Ini semua seperti mimpi. “Aku tidak mengerti…” Aku memegangi kepalaku yang terasa berat. “Kenapa Anda tahu semua ini? Kenapa aku tidak pernah tahu sebelumnya?” Mahendra bersandar ke kursinya. “Karena aku sudah mencari mu sejak lama.” Aku menatapnya tak percaya. “Apa?” “Damar Pratama adalah rival bisnis keluargaku, tapi dia juga menyelamatkan nyawa ayahku sekali waktu. Keluarga kami berutang budi padanya. Saat dia menghilang, aku berjanji akan menemukan pewarisnya dan memastikan kau tetap aman.” Aku tidak bisa berkata-kata. Aku tidak pernah membayangkan bahwa hidupku ternyata lebih rumit dari yang kukira. Tapi ada satu pertanyaan besar di kepalaku. “Kalau aku benar-benar pewarisnya… kenapa aku tidak pernah dicari oleh keluarganya?” Mahendra menatapku dengan tatapan tajam. “Karena ada orang yang tidak ingin kau ditemukan.” Aku merinding. Aku tidak tahu siapa yang dimaksudnya, tapi aku bisa merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Dan hidupku mungkin tidak akan pernah sama lagi.Malam itu, aku duduk di dalam mobil Om Martin, jari-jariku bermain di ujung gaun yang kukenakan. Hawa dingin dari AC menyelimuti tubuhku, tapi pikiranku justru terasa panas, berputar-putar memikirkan semua yang telah terjadi hari ini."Kamu capek?" suara Om Martin terdengar lembut, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan melihatnya tersenyum, tatapan matanya yang teduh membuat dadaku berdesir.Aku menggeleng pelan. "Nggak, aku cuma... banyak mikir aja."Dia mengangguk seakan mengerti. "Kalau ada yang ingin diceritakan, aku siap mendengar."Aku menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. "Aku cuma merasa aneh. Rasanya... terlalu nyaman berada di dekat Om. Seperti ada sesuatu yang mengisi ruang kosong di hatiku. Tapi di sisi lain, aku takut kalau ini hanya perasaan sesaat."Om Martin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku juga merasakannya, Laura. Aku tahu aku bukan ayahmu, dan aku tidak akan pernah bisa menggantikannya. Tapi kalau keberadaanku bisa membuatmu merasa lebih baik, aku berse
Laura menatap sosok di hadapannya dengan napas tertahan. Jantungnya berdebar kencang saat dia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Orang itu berdiri di ambang pintu, matanya menatap Laura dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan."Kamu... kenapa bisa ada di sini?" suara Laura bergetar.Pria itu tersenyum kecil, langkahnya mendekat. "Aku selalu ada di sekitarmu, hanya saja kau tidak pernah menyadarinya."Reno yang berdiri di samping Laura menatap pria itu dengan sorot tajam. "Siapa dia, Laura?"Laura menggeleng, seakan mencoba mengusir kebingungan di kepalanya. "Aku... aku tidak tahu. Aku pernah mengenalnya, tapi aku tidak mengerti kenapa dia muncul sekarang."Pria itu tertawa kecil, suara rendahnya penuh misteri. "Laura, aku tidak muncul tiba-tiba. Aku datang karena waktunya sudah tepat. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui."Ketegangan semakin meningkat. Reno maju selangkah, posisinya protektif di depan Laura. "Aku tidak peduli siapa kamu. Kalau niatmu buruk, sebaiknya p
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana tegang di dalam ruangan yang dipenuhi oleh ketegangan yang menggantung. Laura menatap pria di depannya, napasnya tercekat saat kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu menggema di kepalanya."Aku sudah tahu semuanya, Laura," kata pria itu dengan suara berat dan tajam.Jantung Laura berdebar kencang. "Maksudmu apa?" tanyanya, mencoba tetap tenang.Pria itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakkannya di atas meja. Dengan tangan gemetar, Laura mengambilnya dan membuka isinya. Matanya melebar saat melihat foto-foto di dalamnya. Itu adalah foto dirinya bersama seseorang dari masa lalunya—seseorang yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupnya."Bagaimana kau mendapatkan ini?" suaranya bergetar, campuran antara marah dan ketakutan.Pria itu tersenyum tipis. "Aku punya sumberku sendiri. Dan aku yakin, kau tahu bahwa seseorang sedang mengincarmu."Laura menelan ludah. Dia tahu persis siapa yang dimaksud pria itu. Sosok yang seharus
Laura merasa jantungnya berdetak kencang saat melihat seseorang dari masa lalunya muncul tiba-tiba di depan pintu apartemennya. Pria itu berdiri dengan wajah serius, seolah membawa kabar buruk yang akan mengubah segalanya. "Kita perlu bicara," katanya dengan nada mendesak.Sementara itu, di tempat lain, Arya dan Reza sedang mencoba menghubungi Laura setelah menyadari ada sesuatu yang aneh dengan pesan yang dikirimkannya sebelumnya. Liam yang biasanya ceria juga terlihat lebih serius. "Aku nggak suka firasat ini," gumamnya sambil menggenggam ponselnya erat.Di dalam apartemen, Laura menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. "Kenapa kamu di sini? Aku pikir kita sudah selesai bertahun-tahun lalu," katanya dengan suara bergetar.Pria itu, yang ternyata adalah mantan kekasih Laura yang menghilang tanpa jejak, menghela napas panjang. "Aku tahu aku banyak salah, tapi aku kembali karena ada sesuatu yang harus kau tahu. Ini tentang keluargamu… tentang ayahmu."Kata-katanya langsung membuat
Malam semakin larut, tetapi suasana justru semakin tegang. Napasku memburu, pikiranku berputar cepat. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi—seseorang yang seharusnya sudah lama menghilang dari kehidupanku.Dia berdiri di sana, bersandar santai di pintu belakang ruangan ini, seakan kedatangannya adalah hal yang wajar. Senyumnya tipis, nyaris seperti ejekan.“Lama tidak bertemu, Laura,” suaranya tenang, tapi dingin.Aku menelan ludah. “Kenapa kau di sini?”Dia tidak langsung menjawab. Malah, dia melangkah maju dengan perlahan, membuat jantungku berdebar lebih kencang. Reno dan Arya sudah bersiap siaga di sampingku, siap melakukan apa pun jika keadaan memburuk.“Kau tahu, aku selalu tertarik melihat bagaimana kau berkembang setelah semua yang terjadi,” katanya sambil menatapku tajam. “Aku hanya ingin melihat sendiri apakah kau masih sekuat dulu… atau justru lebih lemah.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.”Dia tertawa kecil. “Permainan? Ah,
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit hitam pekat tanpa bintang, seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin terlihat. Di dalam ruangan yang remang, suasana penuh ketegangan.Laura menatap seseorang di depannya dengan napas memburu. Sosok itu tersenyum samar, tatapannya sulit ditebak."Kau pasti tak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?" suara baritonnya terdengar begitu akrab, tapi ada sesuatu yang janggal di baliknya.Laura menelan ludah. "Kenapa kau ada di sini? Apa maumu?"Sosok itu hanya menghela napas, lalu berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Setiap langkahnya bergema di ruangan yang sepi.Di saat bersamaan, di tempat lain, Reno berlari menerobos lorong sempit, mencoba mencari Laura. Ada firasat buruk yang mengusiknya sejak tadi. Jantungnya berdebar kencang, dan tanpa sadar, tangannya mengepal erat.Sementara itu, di dalam ruangan, Laura berusaha tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. Sosok itu kini berdiri di hadapannya, menyodorkan
Malam itu, suasana di sekitar mereka begitu mencekam. Angin bertiup kencang, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Langkah kaki yang terburu-buru menggema di gang sempit, memantulkan bayang-bayang mereka yang bergerak dengan waspada."Kita tidak bisa terus seperti ini. Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita," bisik Adrian dengan napas terengah-engah.Laura menggigit bibirnya, matanya memantau sekitar. "Aku tahu. Tapi kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di belakang semua ini. Aku tidak bisa lari tanpa jawaban."Tiba-tiba, ponsel Laura bergetar. Sebuah pesan anonim muncul di layar: *“Jangan percaya siapa pun. Bahkan dia yang kau pikir bisa melindungimu.”*Darah Laura berdesir. Siapa yang mengirim pesan ini? Dia menatap Adrian yang tengah memeriksa keadaan sekitar, kemudian menggenggam ponselnya erat.***Sementara itu, di tempat lain, seseorang sedang mengamati layar monitor dengan senyum penuh arti. Sosok pria bertubuh tegap dengan bekas luka di alisny
Aku bisa merasakan darahku berdesir lebih cepat dari biasanya. Udara di ruangan ini terasa semakin menekan. Aku berdiri di antara Adrian dan pria misterius itu, sementara para pria bersenjata yang baru saja masuk membentuk barisan di belakangnya."Apa yang sebenarnya kau inginkan?" suaraku terdengar lebih tajam dari yang kukira.Pria itu tersenyum kecil, seolah menikmati situasi ini. "Aku hanya ingin memberimu jawaban, Laura. Jawaban yang selama ini kau cari."Aku mengepalkan tangan. "Kau bilang ayahku bukan orang yang selama ini kukira. Apa maksudmu?!"Dia menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat dengan langkah santai. "Ayahmu adalah bagian dari organisasi rahasia, Laura. Organisasi yang selama ini kau anggap musuh."Aku mencengkeram lengan Adrian dengan kuat, mencoba menenangkan diri."Kau bohong."Dia menggeleng pelan. "Aku tahu ini sulit diterima. Tapi kau harus tahu… bukan hanya ayahmu yang terlibat."Aku menatapnya tajam. "Maksudmu apa?"Dia menatapku dalam-dalam, lalu berka
Aku menatap pria di depanku dengan napas memburu. Cahaya bulan menyorot wajahnya, dan aku tak bisa mempercayai penglihatanku."Kau..." suaraku hampir bergetar. "Ini tidak mungkin. Kau seharusnya sudah mati."Dia hanya menyeringai, wajahnya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya—hanya saja ada bekas luka panjang di pelipisnya, seakan membuktikan bahwa dia telah melalui sesuatu yang buruk."Kau benar-benar mengira aku mati?" suaranya terdengar penuh ejekan. "Kau naif sekali."Jantungku berdetak semakin cepat. Sierra, Adrian, dan Reynand masih bertarung di dalam rumah. Aku harus berpikir cepat."Apa maumu?" aku berusaha tetap tenang.Dia mendekat, berjongkok agar bisa menatapku lebih jelas. "Aku hanya ingin mengobrol. Kau tahu, tentang masa lalu kita. Dan... tentang bagaimana aku masih hidup."Aku merasakan dingin menjalar di tulang punggungku. Ini bukan sekadar pertemuan kebetulan. Dia ada di sini karena alasan tertentu.Sebelum aku bisa merespons, aku mendengar suara langkah k