Share

Bab 5. Perubahan Sikap

"Mas Arham," gumam Zara pelan.

"Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?"

"Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.

Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya.

"Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal.

"Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.

Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara.

"Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham.

"Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.

Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak pernah perduli. Tapi sekarang, dia menyukai bunga-bunga yang ada di sana.

"Besok kita petik kalau kamu ingin, sekarang ikut ibu," ajak Lusi seraya merangkul lengan Zara.

Tidak tahu kemana karena ini pertama kali Zara muncul di tengah keluarga Tawfeeq sebagai Gina, dia hanya bisa menurut.

Lusi mengajak Zara ke sebuah ruang rahasia di dalam kamarnya, kedua mata Zara membola ketika melihat ruang tersebut di design sedemikian rupa nyaman, di sekelilingnya terdapat banyak koleksi minuman beralkohol yang bermerek mahal, sedikit banyak Zara tahu karena dia bekerja di Cafe.

Lusi menuang sedikit minuman ke dalam  gelas dan memberikannya pada Zara yang sudah duduk di sofa.

Wanita yang sudah tidak muda lagi itu mengisi gelas kedua untuk dirinya kemudian mengangkatnya untuk bersilang. Zara mengikuti apa yang Lusi lakukan.

Ibu Kandung Arham itu menikmati minumannya dalam satu tengakkan saja.

Sementara Zara menikmati sedikit demi sedikit. Dia bukan pecandu tapi karena biasa menemani pelanggan cafe, mau tidak mau Zara ikut mencicipi minuman itu tapi tidak sampai mabuk.

Sambil menikmati minumannya, Lusi bercerita panjang lebar tentang teman-teman sosialitanya yang saat ini mulai menjauhi dirinya karena perusahaan Arham sedang goyang.

"Kami belum jatuh bangkrut saja mereka sudah menjauhiku, Gina, bagaimana jika kami bangkrut! Aku harap kamu tidak membatalkan pernikahan dengan Arham setelah mengetahui hal ini, jika iya maka kamu akan sama saja dengan mereka!" cerocos Lusi yang sudah mulai mabuk.

"Tidak, Ibu. Aku akan menemani mas Arham bagaimana pun kondisi kalian," sahut Zara.

"Gadis yang baik, kamu memang berbeda, Gina. Makanya aku memaksa Arham menikahi kamu, dia tidak akan menyesal."

"Cukup, Bu," larang Zara ketika Lusi ingin menuang lagi gelas kosongnya dengan minuman haram itu.

"Sejak kapan kamu berani melarangku hah?" tolak Lusi yang masih ingin minum.

"Mulai hari ini, Ibu. Jika Ibu ingin aku tetap menjadi menantu Ibu menikahi mas Arham maka dari itu turuti aku juga, Bu. Tolong," sahut Zara, dia mengambil gelas di tangan Lusi dan menuntun calon mertuanya kembali ke kamar.

"Pintunya tutup!" titah Lusi, Zara langsung menutup pintu rahasia itu dan kembali mengurus Lusi yang hendak bangkit dari ranjang.

"Cukup, Bu. Sekarang sudah malam, waktunya istirahat."

Entah kenapa Lusi menurut, dia berbaring dan langsung memejamkan matanya. Zara menyelimuti tubuh Lusi.

Saat keluar dari kamar nyonya besar keluarga Tawfeeq, Zara melihat sebuah pintu kamar lainnya yang masih terbuka. Bukan maksudnya mengintip, tapi memang arah dia ke sana dan tanpa sengaja dia melihat isi kamar itu. Kamar Sean putra kandung dari Arham. Anak laki-laki itu masih duduk di meja  belajarnya, bukunya terbuka tapi dia sibuk dengan ponselnya, bermain game online.

"Sean, kamu belum tidur?" tanya Zara di ambang pintu.

Karena tidak dapat jawaban, Zara masuk ke dalam setelah mengetuk pintu sebagai tanda ijin.

"Sean." Zara menyentuh pundak putra Arham, membuat anak laki-laki itu tersentak kaget.

"Tante Gina! Ngagetin aja!" bentak Sean.

"Tante sejak tadi manggil tapi kamu tidak dengar." Zara menatap tumpukan buku pelajaran di meja belajar Sean.

"Kamu ada pekerjaan rumah?" tanya Zara.

"Heum," jawab Sean dengan mata fokus ke ponselnya.

"Kenapa tidak kamu kerjakan?"

"Sebentar lagi."

"Berapa lama?"

"Lima menit."

"Oke."

Lima menit kemudian Zara menagih janji Sean.

"Sudah lima menit, Sean. Stop game-nya dan mulai kerjakan pekerjaan rumah kamu, biar besok pagi sekolah kamu tidak terlambat," titah Zara lembut.

Sean berdecak dan menaruh ponselnya dengan kasar.

"Kalau seperti itu ponsel kamu bisa rusak, Sayang." Zara mengusap kepala Sean dengan lembut dan menjauhkan ponsel pintar itu dari meja belajar. Kemudian Dia menemani Sean belajar.

Awalnya keduanya  saling diam, Sean tidak ingin minta bantuan calon ibu sambungnya begitu juga dengan Zara, dia membiarkan Sean mengerjakannya sendiri dulu.

"Aku bingung sama soal yang ini," ucap Sean.

"Coba aku lihat." Zara mengambil buku cetak milik Sean.

"Begini caranya." Dengan penuh kesabaran Zara membimbing Sean dalam mengerjakan pekerjaan rumahnya.

"Yeayyy selesai," sorak Sean dengan kedua tangan ke atas. Dia senang.

"Ternyata matematika itu menyenangkan ya, Tante."

"Iya, Sayang." Zara sepakat.

"Sekarang waktunya kamu tidur," bujuk Zara.

Setelah merapihkan bukunya, Sean naik ke atas kasurnya. Zara duduk di tepi ranjang dan menyelimuti tubuh mungil Sean.

"Selamat tidur, mimpi indah, Sayang," ucap Zara lembut.

"Tante," panggil Sean ketika Zara hendak menutup pintu.

Zara berbalik dan menatap Sean.

"Terima kasih," ucap anak laki-laki itu kemudian dia berbalik badan menutup seluruh tubuhnya dengan selimutnya.

Zara tersenyum, "Sama-sama, Sean." Kemudian Dia menutup pintu kamar Sean.

***

Perlahan Zara menuruni anak tangga seraya menatap bingkai foto besar keluarga Tawfeeq yang menempel pada dinding rumah bak istana itu.

"Saya tidak tahu kamu salah makan apa, tapi saya merasa kamu hari ini lain." Arham selalu datang di waktu yang tidak tepat, pria  itu selalu mengagetkan Zara. Tadi di taman sekarang di tangga.

"Maksud, Mas?"

"Ibu dan Sean, saya memperhatikan interaksi kamu dan mereka. Dan tadi makan malam -"

"Setiap orang berhak berubah kan?" potong Zara. "Aku ingin berubah lebih baik dari kemarin, apa itu salah?"

Kepala Arham menggeleng, dia mendekat dan merangkul pinggang Zara. Meski belum ada tumbuh rasa cinta di hati pria itu tapi Zara cukup menarik perhatiannya.

"Tadinya saya sempat ragu menikahi kamu Karena beberapa informasi yang saya dapat tentang kamu," bisik Arham.

"Kamu dapat informasi apa tentang aku?"

"Beberapa informasi negatif, tapi semua tertutup dengan sikap kamu malam ini."

"Saya akan menikahi kamu meski belum ada rasa sama sekali, jujur, semua saya lakukan karena Ibu dan Sean, jadi tolong jangan menuntut lebih," ungkap Arham.

"Aku paham, Mas," balas Zara pelan.

Tatapan mereka saling mengunci, perlahan wajah keduanya mendekat dan bibir mereka menyatu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status