Share

Bab 8. Padam Tiba-Tiba.

Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.

Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.

Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga.

"Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham.

"Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.

Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.

Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus bagaimana, sentuhan fisik seperti ciuman tidak ada dalam perjanjian  tapi nurani tubuh Zara merespon. Tidak ingin mengecewakan pasangannya akhirnya Zara membalas apa yang sudah Arham mulai. Membalas melumat bibir penuh Arham tidak kalah semangatnya, dan indra pengecapnya ikut bertaut di dalam sana.

Zara meremas rambut Arham, hal itu membuat Arham mengambil kesimpulan bahwa dia bisa melakukan aksi selanjutnya.

Kedua mata Zara yang semula terpejam menikmati ciuman bibir Arham seketika terbuka dan membola saat dia merasa salah satu bukit kembarnya di remas lembut oleh pria yang masih mencicipi bibir ranumnya itu.

Perlahan namun pasti tangan Arham menyusup masuk ke dalam pakaian Zara, sentuhan kulit pria itu membuat tubuh Zara meresponnya dengan baik. Tadi meremas dari luar, sekarang tangan kekar dengan sedikit bulu itu meremasnya langsung dari dalam. Bukan hanya meremas tapi memainkan  puncaknya. Entah mengapa sang pemilik puncak bukit kembar itu tidak menolaknya, hati, pikiran dan tubuhnya tidak bekerja sama dengan baik. Arham berhasil menguasai.

"Ahhh ...," desah Zara, menengadah memberi akses Arham agar leluasa menyurusi leher jenjangnya.

Posisi Zara sekarang tidak lagi dengan kepala di pangkuan Arham melainkan semua tubuhnya sudah berada di pangkuan pria itu. Bokongnya di pangkuan  Arham dengan bagian depan menghadap pria itu.

Entah sejak kapan tiba-tiba dia berada di posisi erotis seperti itu, Zara sendiri tidak mengerti dengan reaksi tubuhnya. Beberapa kancing kemeja Arham pun sudah terbuka dan menunjukan pahatan indah tubuh pria itu membuat Zara bertambah menghayal jauh di benaknya.

Deg!

Tiba-tiba Zara berhenti dan beranjak dari pangkuan Arham.

"Ma-Maaf, Mas, a-aku ...." Zara gugup bahkan sampai tidak bisa meneruskan  ucapannya.

Pengganti Gina itu langsung merapihkan pakaiannya sendiri.

"Sebaiknya Mas Arham pulang, ibu dan Sean pasti menunggu kamu, Mas," usir Zara.

"Terima kasih untuk ... buburnya," tutup Zara.

Betapa kesalnya Arham dalam hati, di saat sudah terbakar gairahnya tiba-tiba harus padam. Tanpa pamit dan sepatah kata, Arham pergi.

Zara menghela napas panjang, lega. Hampir aja dia kebablasan menyerahkan mahkota berharganya.

***

Sejak kejadian itu, Arham tidak berkomunikasi dengan calon istrinya, Zara  datang ke rumahnya karena di panggil oleh Lusi. Selain menemani ngobrol, Zara sesekali mengurus keperluan calon anak sambungnya.

"Apa kamu akan menjadi ibu tiri aku?" celetuk Sean ketika Zara sedang merapihkan buku pelajaran di meja  belajar bocah laki-laki itu.

"Aku akan menjadi ibu sambung untuk kamu, apa kamu tidak senang?" Zara berpura-pura memasang wajah sedih, guna memancing respon anak itu.

"Heum, aku suka kamu sekarang dari pada dulu," terangnya.

"Benarkah? Memangnya bagaimana aku yang dulu?"

Zara mencoba mencari informasi tentang Gina yang sebenarnya di mata Sean. Dengan begitu dia akan lebih mudah nanti berinteraksi dengan putra Arham itu.

"Tante Gina dulu tidak seperti sekarang. Awalnya kita bertemu aku melihat sosok ibu tiri yang kejam karena kamu cerewet sekali, mengatur aku ini itu," ungkap Sean.

"Lalu?"

"Kamu selalu mementingkan penampilan. Egois karena harus di turuti, pokoknya aku gak suka kamu yang dulu!"

"Tapi sekarang?"

"Aku melihat Tante Gina yang berbeda, sosok mama aku ada di Tante sekarang."

"Seperti apa mama kamu?"

"Heum, mama itu baik, lemah lembut, penyayang, penyabar, tidak mementingkan dandan karena aslinya sudah cantik."

Kepala Zara mengangguk-angguk.

"Jadi kamu setuju kalau aku jadi ibu sambung kamu?" tanya Zara memastikan.

"Iya, Tante. Aku setuju."

Zara tersenyum lebar bersamaan dengan tangannya yang meminta Sean datang padanya dan memeluknya. Zara memeluk erat Sean.

Tanpa mereka sadari di ambang pintu Arham tengah memperhatikan interaksi keduanya. Sudut bibirnya tertarik berbentuk senyum meski tipis dan hampir tak terlihat.

"Papa," panggil Sean.

Seketika Zara terpaku, dia tidak tahu kalau ada Arham karena posisinya yang membelakangi pintu masuk kamar.

Langkah kaki pria itu membuat irama jantung Zara tiba-tiba berdetak tidak beraturan. Pasalnya, sudah beberapa hari ini mereka tidak bertemu. Zara berpikir calon suaminya itu marah karena kejadian terakhir.

Arham berdiri di antara putranya dan calon istrinya. Satu tangannya menyentuh pundak Zara sedangkan satunya mengusap kepala Sean. Keduanya sama-sama tersenyum.

"Apa sudah selesai?" tanya Arham pada keduanya.

"Sudah," jawab Sean.

Sementara Zara hanya mengangguk.

"Saya sengaja pulang cepat, ingin mengajak kalian berdua keluar," ungkap pria yang masih berpakaian rapih itu.

"Kemana, Pa?" Sean antusias bertanya pada sang ayah.

"Heum, kita ke mall? Makan, nonton?" ajak Arham.

"Boleh main game di tempat bermain itu?"

Arham tahu tempat yang putranya maksud, kepalanya langsung mengangguk. Melihat respon sang ayah, Sean langsung senang.

"Kamu ganti pakaian ya, papa sama Tante Gina tunggu di bawah," titah Arham pada putranya. Sean mengangguk dan dia langsung membuka lemari pakaiannya, memilih pakaian yang menurutnya bagus.

Arham menuntun tangan Zara, mengajaknya keluar kamar. Gadis itu pun menurut, tanpa penolakan.

Setelah sedikit jauh dari kamar sang putra, Arham berhenti.

"Saya mau minta maaf atas apa yang terjadi waktu itu, saya -" Kalian Arham terhenti karena ada seorang pelayan yang lewat.

"Saya janji, hal seperti itu tidak akan terulang," lanjutnya.

"Aku juga mau minta maaf -"

"Tidak, tidak, kamu tidak salah. Untuk apa minta maaf. Sudahlah, kita lupakan saja dan mulai semuanya dengan yang baru, saya akan menghargai dan menghormati kamu sebagai calon istri saya. Sampai kita sah di mata negara dan agama, saya tidak akan sentuh kamu, kecuali kamu yang mau," tutur Arham berakhir godaan untuk Zara.

"Mas!" pekik Zara.

Arham terkekeh pelan. Ini pertama kalinya dia melihat calon suaminya semanis itu tertawa meski pelan dan hanya sebentar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status