Share

Bab 4. Hari Pertama

Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.

Jujur pria yang bersama Gina  tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria  bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?

TIN!!!

bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.

Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.

***

Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat.

"Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.

TIN!!!

Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.

Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.

Tok! Tok! Tok!

Dia mengetuk kaca jendela mobil Zara. Perlahan gadis itu buka.

"Ngapain kamu di sini? Gak langsung masuk?" tanya datar.

"A-aku ...."

"Masuk, kita bicara di dalam," titahnya seraya kembali masuk ke dalam mobil.

Zara mengikuti mobil tersebut, tembok berlapis tanaman rambat itu cukup panjang sampai dia bertemu gerbang besar seperti istana dengan dua orang penjaga keamanan di kedua sisinya.

Gerbang besar itu langsung terbuka dan kedua penjaga itu memberi salam dengan sedikit membungkuk.

"Selamat malam, Tuan Arham."

Rahang Zara jatuh.

Tuan Arham? Pria tadi, dia yang bernama Arham? Seketika Zara menelan saliva-nya, dia tidak menyangka  bertemu calon suaminya, ralat-calon suami Gina dengan cara yang tadi. Arham tidak kalah tampan dari kekasih Gina hanya saja usianya memang lebih tua, mungkin faktor dia sudah memiliki anak. Konon katanya orang yang sudah memiliki anak tingkat stres lebih tinggi yang mengakibatkan orang tersebut akan terlihat lebih tua dari orang yang belum memiliki anak, asumsi Zara saat ini seperti itu.

Gerbang besar itu kembali menutup setelah mobil Zara lewat, masuk ke dalam. Gadis manis itu tercengang setelah masuk lebih dalam ke area rumah Arham. Melewati taman yang begitu luas, dari dalam mobil terlihat di tengah taman rumah yang seperti istana itu berdiri tegak, mewah.

Ketika  mobil bertambah dekat, kharisma bangunan rumah mewah keluarga Tawfeeq  tambah terasa. Zara tegang.

Arham keluar dari mobilnya, Zara pun mengikuti. Pria itu berjalan lebih dahulu menaiki anak tangga menuju pint utama yang baru saja terbuka.

Kening Arham menyernyit dalam, langkahnya terhenti di ambang pintu. Dia berbalik dan menatap calon istrinya yang sejak tadi terlihat linglung.

"Kamu kenapa, Gina? Ayo masuk, ibu pasti sudah menunggu calon menantu kesayangannya," ajak Arham.

"Gina?!" ulangnya memanggil nama gadis itu.

"Heum? Oh i-iya, iya." Dia tersadar, namanya bukan lagi Zara melainkan Gina sekarang. Dia harus terbiasa dengan panggilan barunya itu.

Bukan hanya di gerbang, pintu utama pun di buka oleh dua orang berseragam pelayan.

"Sayang, akhirnya kamu datang juga." Seorang wanita yang sudah tidak muda lagi tapi masih tampil cantik dan modis berjalan cepat menghampiri Zara dan langsung memeluknya erat.

Untuk beberapa saat gadis itu tampak terdiam, tapi akhirnnya dia membalas pelukan Lusi. Ya dia adalah Lusi Kamilah-ibu kandung Arham, Zara sudah melihat fotonya tapi ternyata aslinya terlihat lebih cantik.

"Ibu," panggil Zara.

Lusi melepas pelukannya.

"Iya, Sayang?"

"Maaf aku baru datang," lanjut Zara pelan.

"Tidak apa, Sayang. Kamu datang di waktu yang tepat," sahut Lusi, menuntun Zara yang dia kira adalah Gina.

"Kalian makan saja duluan, aku ganti pakaian dulu," titah Arham dingin. Kaki jenjangnya menaiki dua anak tangga sekaligus.

"Apa dia masih bersikap dingin sama kamu?" bisik lusi.

Zara tersenyum tipis. Bagaimana dia bisa menjawab? Baru kali ini dia bertemu dengan Arham. Gina tidak menceritakan sampai sedetail itu tentang calon suaminya.

"Kamu harus ekstra sabar ya," sambung Lusi.

Sampai di ruang makan, di sana sudah duduk dua orang yang Zara tebak mereka adalah Sean dan Nindy. Wajah keduanya tidak bersahabat.

"Hei, kenapa kalian diam? Dimana sopan santun kalian ketika bertemu orang?" tegur Lusi.

"Hai, Gina," sapa Nindy, tangannya melambai dengan senyum yang terpaksa.

"Selamat malam, calon ibu sambungku." Sean menyapa dengan sinis.

Zara bingung harus bagaimana bersikap dia hanya tersenyum manis dan mengangguk tipis. Lebih banyak diam adalah pilihan yang tepat saat ini.

"Duduklah!" Tangan Lusi menarik kursi untuk calon menantu kesayangannya. Setidaknya di sini ada seorang yang menyayangi dia, pikir Zara.

"Apa kita bisa langsung makan, Omah? Aku sudah lapar," tanya Sean.

"Sebentar lagi ya, Sayang. Kita tunggu papa kamu," bujuk Lusi.

Mereka berempat duduk dalam diam menunggu kedatangan Arham.

"Kenapa kalian tidak makan duluan?" Suara bariton itu menggema dari anak tangga terakhir yang dipijaknya.

Kedua mata Lusi melotot.

"Maaf," ucap Arham ketika melihat sang ibu  sudah seperti itu.

Arham duduk di kursinya, "Baiklah, selamat makan semuanya," ucap Arham.

Beberapa pelayan rumah itu langsung melayani majikan mereka dengan membuka semua lauk pauk yang masih tertutup.

"Aku mau ayam itu," tunjuk Sean.

Karena letak ayam goreng itu lebih dekat dengan Zara, gadis itu mengambilkannya untuk Sean. Sontak semua menatap Zara dengan kening menyernyit.

Zara mengabaikan tatapan mereka dan lebih fokus pada Sean-calon anak sambungnya yang meminta menu lain selain ayam yang sudah ada di piringnya. Zara kembali melayani anak laki-laki itu. Setelah selesai dengan Sean, Zara kembali duduk di kursinya dan ikut menyantap makan malamnya.

Sean memang selalu ceroboh di usianya, dia makan dengan terburu-buru dan tersedak. Zara dengan cekatan memberikan air minum untuknya dan menepuk pelan punggung calon anak sambungnya hingga batuk Sean reda.

Tiga orang dewasa lainnya masih dengan tatapan aneh mereka, dengan pikiran mereka masing-masing melihat apa yang Zara lakukan. Hanya Lusi yang tersenyum melihatnya.

"Terima kasih," ucap Sean. Tapi setelah itu   dia terdiam.

"Sama-sama," jawab Zara pelan.

Sean meletakan alat makannya, "Aku sudah kenyang, permisi." Dia pergi meninggalkan ruang makan, langsung naik ke lantai atas. Tidak ada satupun dari orang dewasa di sana yang menegurnya. Mereka memilih melanjutkan makan malam mereka.

"Maafkan sikap Sean, Gina," cicit Lusi di tengah menikmati makan malamnya.

"Gak apa, Ibu. Dia masih anak-anak," balas Zara.

***

Setelah makan malam, mereka melanjutkan dengan berkumpul di ruang keluarga, menikmati kebersamaan dengan teh hangat.

"Aku boleh ke kamar kecil?" pamit Zara ketika seorang pelayan membawa teh.

Lusi mengangguk. Sedangkan Arham masih sibuk dengan ponselnya.

Zara sengaja menghindar dengan lari ke kamar kecil, padahal dia tidak ingin buang air kecil, hanya merasa canggung di tengah keluarga yang masih asing menurutnya. Memerankan sosok Gina tidak semudah itu ternyata. Tatapan dingin Sean dan Nindy, diamnya Arham lebih mengerikan dari perkiraannya.

Rumah yang besar membuat Zara tersesat, dan berakhir di taman belakang rumah yang luas, dia  terus berjalan menyusuri tepi rumah dengan pilar raksasa menjulang. Langkah kakinya terhenti di sebuah taman yang dipenuhi oleh bunga mawar. Bunga mawar putih mengalihkan perhatian Zara. Sedang terpesona dengan indahnya bunga mawar putih, tiba-tiba ...

"Di sini kamu rupanya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status