Share

Bab 7. Merawat Zara

Zara menolak lagi ajakan Arham.

"Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.

Arham menghela napas pendek, pasrah.

"Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.

Zara terkekeh, "Iya, iya."

"Kamu sudah makan?" tanya Arham.

Kepala Zara menggeleng pelan.

"Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.

Pria  itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham.

"Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham.

"Mas mau masak? Bisa?"

"Kamu meragukan saya?"

Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.

Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementnya karena masak.

Zara mengikat asal rambutnya ke atas, kemudian mendekat pada Arham hingga pria itu terkejut karena sedang fokus mencari alat masak.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Arham.

"Bantu kamu masak."

"Sudah aku bilang kamu di dalam saja, aku bisa masak!"

Zara mengangguk, satu alisnya terangkat mengejek Arham karena kata pria itu dia bisa masak tapi alat masak saja dia bingung, semua alat masak keluar dari tempatnya membuat dapur kecilnya berantakan sebelum masak.

Arham serius dengan ucapannya, dia memaksa Zara duduk saja sementara dia memasak membuat bubur dengan arahan dari Zara karena Arham kebingungan dimana alat masak dan bahan-bahannya.

Pria itu terlihat berbeda ketika sibuk di balik kompor, pesona CEO tetap tidak pudar malah semakin tampan saat keringat di keningnya mulai mengalir di pelipisnya.

Zara tertegun, pikirannya seketika travelling.

Berdiri dari duduknya mendekati Arham yang sedang sibuk mengaduk bubur yang sudah hampir jadi di panci, pria itu mengambil sedikit di sendok kemudian meniupnya sampai dingin lalu memberikannya pada Zara agar mencicipi bubur tersebut.

Zara meringis karena bubur itu masih sedikit panas tapi soal rasa sudah pas. Ada sedikit sisa bubur di ujung bibir Zara, wanita itu hendak membersihkannya dengan tangan tapi Arham menahannya, wajahnya mendekat dan pria itu membersihkan bagian sisa bubur di sudut bibir Zara dengan indra pengecapnya yang berlanjut melumat bibir manis calon istrinya. Pelan tapi pasti lumatan Arham membuat Zara tidak bisa menolak gairah yang datang menyelimuti tubuh mungilnya, darahnya berdesir.

Tangan Arham menahan tengkuk leher Zara, memperdalam ciumannya. Wanita itu terbuai sampai ...

"Gina! Hei!" Arham menjentikan jarinya berulang di depan wajah Zara sampai wanita itu tersentak dan tersadar dari lamunannya. Kemudian pria itu kembali memeriksa suhu kening Zara.

"Sudah normal," gumamnya.

Zara salah tingkah karena dia malu pada dirinya sendiri sudah sampai sejauh itu travellingnya. Bagaimana bisa dia membayangkan berciuman dengan pria yang bukan miliknya.

"A-apa buburnya sudah matang?" tanya Zara, kikuk.

"Sudah, aku mau minta kamu icip dulu rasanya sebelum saya pindahkan ke mangkuk." Arham menarik tangan Zara agar mengikutinya ke dapur yang jaraknya tidak jauh dari meja makan.

Arham menoleh ke kiri ke kanan mencari sebuah sendok dan akhirnya dia dapatkan. Mengambil sedikit bubur dari panci kemudian dia menciumnya dan memberikannya pada Zara. Wanita berhidung mancung itu sesaat tertegun karena kejadian saat ini hampir sama dengan hayalannya beberapa saat lalu.

Zara menerima suapan bubur dari Arham.

"Bagaimana rasanya? Kurang apa?" tanya Arham antusias menunggu jawaban Zara.

"Ini pertama kali saya masak, masak bubur maksud saya, jadi kalau -"

"Enak, enak banget, Mas," sahut Zara cepat sembari mengusap sudut bibirnya dari sisa bubur yang menempel.

Arham mengangguk senang dan langsung mengambil satu mangkuk kosong untuk dia masukan bubur buatannya di sana.

"Kok cuma satu mangkuk? Mas Arham gak makan?" tanya Zara.

"Kamu yang sakit, kenapa aku ikut makan bubur juga?" jawab Arham tanpa menoleh karena fokus pada bubur.

Zara memajukan bibir bawahnya, cemberut. "Memangnya bubur hanya untuk orang sakit?"

"Di luar sana banyak orang berjualan bubur ayam dan yang makan kebanyakan orang sehat," tambahnya.

"Sudah jangan kebanyakan protes! Ini makan, habiskan." Arham menaruh semangkuk bubur buatannya di hadapan Zara.

Zara menghela napas ketika menatap betapa banyaknya bubur itu, dia harus menghabiskannya sendiri? Yang benar saja!

"Ini kebanyakan, Mas," keluh Zara dengan mata memohon agar Arham tidak memaksanya harus menghabiskan semuanya sendiri.

"Ya sudah saya bantu."

Tapi ketika Arham hendak mengambil bubur di mangkuk yang sama dengan Zara, wanita itu melarangnya.

"Wait! Jangan satu mangkuk sama aku, aku lagi sakit, nanti kamu ketularan," ucapnya, menahan tangan Arham yang tengah memegang sendok.

Zara beranjak dan mengambil mangkuk kecil, dia memindahkan sedikit ke mangkuk kecil itu kemudian memberikan mangkuk utama pada Arham.

"Aku makan ini, kamu habiskan yang itu, Mas." Tunjuk Zara.

"Yang benar saja! Kamu yang sakit kenapa saya yang harus menghabiskan semangkuk besar bubur ini?" protes Arham.

Zara terkekeh pelan.

***

Perkara bubur sudah selesai, Arham meminta Zara istirahat tapi wanita itu tidak mau istirahat di kamar karena bosan.

"Aku istirahat di sini aja sambil menonton film kesukaan aku," ucap Zara memilih tempat ruang tamu yang merangkap menjadi ruang menonton televisi.

Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di sofa lalu menghidupkan televisinya.

"Bisa cari berita saham?" pinta Arham, duduk di sebelah Zara.

Zara melirik tajam. Apa isi kepala Arham hanya di penuhi oleh pekerjaan? Gak dimana-mana yang dia ingin ketahui pasti yang berbau pekerjaannya seperti saat ini berita mengenai saham.

Karena tidak ingin berdebat, Zara menurut dia menekan chanel tv mencari siaran khusus saham.

Beberapa saat kemudian Arham masih serius mengamati sedangkan Zara sudah pulas tertidur dengan kepala bersandar di pundaknya. Arham membiarkan pundaknya menjadi sandaran Zara, tangannya mengusap  pipi yang sudah mulai berwarna  itu dengan lembut. Wajah Zara  sudah tidak sepucat tadi ketika Arham datang.

Arham merasa bingung dengan perasaannya kini, perubahan calon istrinya membuatnya semakin menyukai sosoknya.

***

Kedua mata Zara mengerjap, betapa terkejutnya dia ketika sadar kalau dirinya  tertidur dengan kepala di atas pangkuan Arham, beberapa saat kemudian sudut bibirnya langsung tertarik saat melihat pemilik pangkuan itu juga sedang pulas terlelap dengan tubuh dan kepala bersandar ke kepala sofa. Arham masih di posisi yang sama sejak sebelum Zara tidur, pasti tidak nyaman dan akan membuat tubuh pegal saat terbangun nanti, Zara yakin itu.

Dengkuran halus membuat Zara memberanikan diri, tangan Zara terulur mengusap pelan pemilik pipi dengan sedikit bulu di garis wajah tampan yang sedang pulas tertidur itu.

Tampan.

Zara mengakui di dalam hatinya kalau Arham pria yang tampan, bukan hanya itu, dia juga baik dan bertanggung jawab.

Pria bernama Arham sudah mulai memporak-porandakan hati Zara, tapi tiba-tiba dia teringat akan perjanjiannya dengan Gina. Jemari Zara seketika terhenti dan dia menarik tangannya turun.

"Kenapa berhenti?" Suara bariton Arham berujar, serak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status