Share

7. Kekasih Untuk Rayhan

"Kam dari mana saja?" tanya Ustaz Azzam pada putrinya tanpa basa-basi. 

Sofia yang menyadari akan kesalahannya hanya bisa diam membisu. Dia takut jika ayahnya tahu ke mana dia sebenarnya. 

"Kalau ditanya itu ya menjawab, Sofia. Jangan buat ayah geram."

"S-sofia dari stasiun, Ayah," ucapnya takut. 

"Stasiun? Buat apa?"

Sofia mengepal kuat tangannya. Dia begitu sangat takut saat ini. 

"Maaf, Ayah."

Baru saja Ustaz Azzam hendak bertanya, Bunda Halimah segera mencegahnya. 

"Sofia, kamu masuk ke kamar dulu, Sayang."

"Bunda—"

"Biarkan anak kita istirahat dulu. Pikirannya sedang kalut."

Sofia gegas melangkah sembari menarik kopernya. Ustaz Azzam yang melihat itu semua kini sudah paham apa yang baru saja putrinya lakukan. 

Bunda Halimah berusaha menenangkan suaminya. Dia tahu betul, suaminya sedang dikuasai amarah. Sofia menghilang sejak selepas shalat subuh. Wajar jika ayahnya begitu marah. 

"Bun, tolong tanya anak kita. Apa yang terjadi sebenarnya," titah Ustaz Azzam sembari mendudukkan diri. 

"Iya. Kita beri dia waktu sendiri."

Bunda Halimah menatap pintu kamar putrinya dengan perasaan yang sangat khawatir. Semenjak perjodohan itu direncanakan, senyum dan keceriaan Sofia lenyap seketika. 

Bunda Halimah menyayangkan sikap Sofia yang tak mau terbuka. Pun pada dirinya. Harusnya dia terbuka bukan dengan memendamnya sendiri. 

*

"Sofia, apa yang sebenarnya terjadi, Nak. Kamu tidak ingin berbagi dengan bunda?" tanya Bunda Halimah dengan lembut khas seorang ibu. 

Sofia yang sejak tadi memilih duduk di dekat jendela kamar hanya bisa menoleh sekilas kemudian tersenyum samar. 

Bunda Halimah mengerti akan hal itu. Menerima perjodohan saat hati sidah memilih bukanlah perkara mudah. Tapi, suaminya sudah berusaha berbuat adil dengan menyetujui kedatangan Rayyan untuk mempertahankan Sofia. Namun, yang ada justru Rayyan memilih mundur. 

Bunda Halimah membelai sayang rambut putrinya. 

"Bunda ingat saat kamu masih kecil. Dulu, kamu itu pendiam. Tapi, kadang juga sangat ceria. Kamu akan bahagia jika apa yang kamu imginkan bisa kami wujudkan. Lalu, kamu akan berubah menjadi pendiam saat keinginanmu tidak bisa kami kabulkan. Bunda sangat ingat ekspresi menggemaskanmu itu, Nak."

"Sayang, kami adalah orang tua yang masih belajar untuk menjadi idaman anaknya. Kami ingin bukan hanya sebagai orang tua di mata anak-anak kami, tapi sahabat yang bisa berbagi suka dan duka."

"Kadang kami cemburu pada sahabat kalian. Dengan ayah dan bunda kalian memendam urusan pribadi kalian. Tapi, dengan sahabat kalian, begitu bebasnya kalian mengekspresikan rasa. Kalau bisa memilih, kami ingin seperti sahabat kalian yang segalanya tahu tentang suasana hati anak-anaknya."

"Jangan biarkan kami menjadi orang yang terjahat di mata kalian."

Air mata Bunda Halimah menetes. Sofia yang menyadari itu gegas menghapus jejak air mata orang yang begitu dicintainya. Kini, Sofia sadar akan kesalahannya. Begitu kejam dia menyakiti orang tuanya selama ini. Padahal kasih sayang mereka begitu besar.

Sofia memeluk Bundanya begitu erat. Dilampiaskannya semua kegundahan hatinya. Bunda Halimah bersiap untuk menyimak isi hati putrinya. 

"Bunda, maafkan Sofia. Mungkin apa yang Sofia lakukan hari ini adalah hal yang bisa membuat keluarga kita malu. Terlebih ayah."

"Apa yang membuatmu untuk melakukan hal itu, Nak?"

"Sofia sangat mencintai Rayyan, Bunda. Tapi, Rayyan justru menolak permintaanku."

Sofia akhirnya menceritakan semuanya tanpa tertinggal satu kata pun. Bunda Halimah yang menyimak tak bisa menyalahkan begitu saja. 

Dia menyayangkan sikap anaknya tapi juga memuji sikap Rayyan yang mengerti apa yang harus dilakukan. 

"Kamu sudah tahu jawabannya. Kalau memang tidak sepenuh hati menerima perjodohan ini, kami ungkapkan. Kenapa kamu malah menerima hingga proses nadzor?" sesal Bunda Halimah. 

"Sofia takut, Bunda."

"Takut? Untuk apa jika itu akan membawa penyesalan seumur hidup, Nak? Menikah itu ibadah terlama. Bagaimana kamu bisa meraih ridho Allah, jika memulainya saja dengan hati yang terpaksa?"

Sofia tertunduk begitu dalam. Dia mengerti akan arti ucapan bundanya. Mereka secara tak langsung mengungkapkann akan kekecewaan kedua orang tuanya. 

Sofia kini menyesal akan semua tindakan yang dia lakukan. Dia merutuki dirinya yang melangkah terlalu jauh hingga tak sadar telah meninggalkan jejak yang melukai banyak orang.

"Sekarang bunda tanya dan kamu harus jujur."

"Apa kamu akan membatalkan atau melanjutkan ke tahap pernikahan?"

Sofia terdiam begitu lama. Jika bisa jujur, dia akan meminta waktu untuk betul-betul berdamai akan semua ini. 

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Hari di mana Rayhan akan datang melamarnya secara resmi dengan keluarga besarnya sudah ditentukan.

"Bismillah, Sofia siap, Bunda."

"Kamu yakin?" Sofia mengangguk. 

Bunda Halimah memeluk putrinya dengan penuh rasa bahagia.

Di depan pintu ustaz Azzam yang mendengarnya ikut terharu. Sofia tak tahu kalau sejak tadi ayanhnya mendengar semua isi hatinya. 

*

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya Muhammad Rayhan meminta izin kepada Ustaz Khairul Azzam dan Ustazah Halimah untuk meminang putri bungsunya Sofia Zahra untuk menjadikannya ratu di istanaku nanti. Saya berjanji di hadapan Allah Subhana Wa Ta'ala dan seluruh keluarga besar yang sempat hadir untuk membahagiakan Sofia nanti. Insya Allah saya tidak akan menyakitinya. Saya akan membimbingnya sebagaimana islam mengajarkan," ucap Rayhan mantap.

"Kami menyerahkan keputusan pada putri kami. Bagaimana, Nak?" tanya Ustaz Azzam selaku ayah Sofia. 

Sofia ragu untuk menjawab. Matanya fokus tertuju pada sosok yang duduk di belakang Rayhan. Wajah itu diselimuti duka yang mendalam. 

Tangan Sofia bergetar. Hatinya dilanda kecemasan luar biasa. Ragu kembali menghampirinya. 

Wajahnya kembali menatap Rayyan yang tengah menahan agar air matanya tak jatuh. Mata itu begitu terluka dan Sofia tahu itu. Rayyan mengetahui hal itu mengangguk seraya berusaha menyunggingkan senyum. 

"Bismillah, atas izin Allah dan kedua orangtuaku. Aku bersedia menerima lamaran dari akhi Muhammad Rayhan."

Hancur sudah harapan yang sudah menjulang tinggi terganti dengan dinding lembatas yang semakin kokoh. 

Syafira yang ikut hadir tak bisa menyembunyikan rasa sedih yang mendalam untuk kisah keduanya. 

Rayhan tersenyum bahagia begitu mendengar jawaban dari Sofia. Tinggal selangkah lagi maka apa yang diimpikan selama ini terjawab sudah. 

Ustazah Aisyah selaku ibunda dari Rayhan menyematkan cincin di jari manis Sofia. Mereka kemudian saling berpelukan. 

Sofia menitikkan air mata. Bukan karena lamaran ini, akan tetapi kisah cintanya harus benar-benar berakhir. 

Senyum di wajah Bunda Halimah yang sejak tadi mengembang perlahan memudar kala melihat ke arah Rayyan yang tertunduk saat Sofia menerima lamaran dari saudara kembarnya. 

Rayyan memegang dadanya seraya mengucapkan, "Bersabarlah wahai hati."

Rayhan menoleh ke arah saudara kembarnya kemudian memeluknya begitu erat. Rasa bahagianya tak bisa dia sembunyikan. Namun, Rayhan tak pernah tahu, tangis yang ditamlakkan oleh Sofia dan Rayyan adalah tangis pilu penuh duka lara.

Sofia dan Rayyan saling berpandangan. Mereka sama-sama berbisik dalam hati mengungkapkan rasa perih yang tak terhingga. 

Rayyan merogoh kantongnya kemudian mengirim pesan pada Sofia yang mungkin untuk terakhir kalinya. 

'Selamat, Sofia. Aku turut berbahagia. Meskipun kita sama-sama tahu, ada hati yang tak bisa berbohong. Aku ikhlas melepasmu untuk saudaraku. Bahagiakan dia. Dialah kekasih sejatimu.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status