"Bagaimana, Yah?" tanya Bunda Halimah saat mereka baru tiba di rumah.
"Alhamdulillah bulan depan di minggu pertama kita akan melanjutkan proses khitbah."
"Alhamdulillah." Kalimat hamdallah disertai senyum yang mengembang terucap dari wanita yang telah melahirkannya itu.
Berbeda dengan Sofia, setelah berpisah dari keluarga pihak Rayhan, wajahnya diselimuti oleh mendung.
Sepanjang perjalanan, Sofia tak pernah sedikitpun membuka suaranya. Meskipun ayahnya terus saja mengungkapkan bahagianya dia proses pertemuannya berjalan dengan lancar.
"Ada apa, Sayang?" tanya Bunda Halimah saat mereka tengah berdua.
Sofia memaksakan diri untuk tersenyum.
"Tidak apa-apa, Bunda. Mungkin karena Sofia kelelahan."
Sofia ijin pamit menuju kamarnya. Bunda Halimah yang menyadari hal itu merasa ada yang tidak beres dengan putrinya.
Di dalam kamar, Sofia melampiaskan kegundahan hatinya. Air matanya tak bisa lagi dia bendung. Sebuah bantal sengaja dia tempelkan pada wajahnya agar suara tangisnya tak terdengar.
Setelah beberapa menit berlalu, Sofia meraih ponselnya lalu menghubungi seseorang.
"Assalamu'alaikum, Syafira."
"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Sofia?" tanya seseorang di ujung telpon.
Sofia menangis hingga sesegukan. Telapak tangannya berusaha menutup mulutnya agar suara tangisnya tak terdengar.
"Sofia, kamu masih di sana?" tanya Syafira khawatir.
"Syafira, aku dijodohkan dan bulan depan, proses khtbah akan dilakukan. A-aku harus bagaimana?"
Syafira menutup mulut tak percaya. Dia tahu betul siapa sosok laki-laki yang dicintai Sofia-sahabatnya.
Syafira berusaha agar Sofia tetap tenang dan memikirkan kalimat yang bijak untuk sahabatnya.
"Apa Rayyan tahu?"
"Tentu saja. Laki-laki yang dijodohkan denganku itu justru adalah saudara kembarnya."
"Subhanallah. Jadi, apa tindakan Rayyan?"
"Dia bahkan menyerah. Padahal ayah sudah memberikannya kesempatan agar dia datang memperkenalkan diri."
Syafira akhirnya mengerti. Dia membenarkan sekaligus menyayangkan sikap Rayyan.
Mengikhlaskan orang yang dicintai untuk orang lain tentu sangat menyakitkan. Terlebih jika laki-laki itu saudaranya sendiri.
"Sofia, bersabarlah. Mungkin ini sudah garis takdirnya. Bisa jadi, nama kalian tidak tertulis di lauhul mahfudz."
"Itu sulit, Syafira," ucap Sofia di sela isak tangisnya.
"Aku tahu. Tapi, ini semua sudah terjadi, 'kan? Tidak bisa dibatalkan lagi."
Sofia semakin terisak. Diputuskannya sambungan telpon secara sepihak.
Kembali dia menangis. Sofia merasa tidak ada yang bisa mengerti perasaannya saat ini.
Sofia tak berputus asa. Meskipun sahabatnya juga tidak berpihak padanya, Sofia akan tetap berjuang meskipun dia harus sendiri.
Diraihnya kembali ponsel yang tergeletak di atas kasurnya. Pesannya yang sudah menumpuk belum juga terbaca. Ada rasa sesak saat Rayyan pun mulai mengabaikannya.
"Rayyan, aku tahu kamu ada di sana. Aku tahu kamu mendengarku."
Rayyan memilih diam. Dia tak tahu harus berkata apa lagi. Hatinya begitu sakit saat ini.
"Aku tahu kamu pasti sudah dengar tentang rencana pernikahan ini. Kenapa kamu justru diam? Harusnya kamu pertahankan cinta kita."
"Aku mohon, Rayyan. Gagalkan rencana pernikahan ini."
Sofia kembali menangis sedangkan Rayyan tetap memilih bungkam.
Mendengar suara tangisan Sofia adalah hal yang begitu menyakitkan baginya. Ingin sekali dia mengabulkan permintaan kekasihnya. Namun, apa daya, tidak mungkin dia melawan restu dan berujung menyakiti saudaranya sendiri.
"Rayyan, dengarkan aku! Kalau kamu tidak ingin jujur pada keluarga kita, aku akan memustuskan sendiri apa yang harus kita lakukan."
"Apa?" tanya Rayyan setelah lama memilih diam.
"Aku tunggu kamu malam ini di stasiun jam tujuh malam. Kita mulai hidup baru bersama."
"Jangan bertindak yang tidak-tidak, Sofia!" ucap Rayyan yang membuat Sofia semakin terluka.
"Hal yang mustahil kulakukan adalah menyakiti keluargaku. Kamu tahu aku sangat mencintai kamu. Tapi, aku tidak akan mengajakmu pada keburukan. Jangan membuatku semakin terbebani dengan permintaan konyolmu itu."
"Konyol? Bagimu ini konyol? Baik. Aku akan membuktikan ucapanku. Kamu datang atau tidak itu membuktikan langkah apa yang harus ku lakukan!"
Sofia menutup telponnya. Bahkan saat ini Rayyan juga tidak mendukung keputusannya. Hatinya semakin dilanda kepedihan yang mendalam.
Tanpa Sofia tahu, Rayyan juga begitu terluka. Hanya saja dia memilih untuk mengalah. Bukan dia pengecut. Tapi, Rayyan sadar, sejak awal dia melangkah terlalu jauh. Kini, dia menikmati kesalahan di masa lalunya.
*
Suasana stasiun begitu padat. Tampak calon penumpang memenuhi ruang tunggu.Menit berlalu, jarum jam menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Berarti sudah setengah jam berlalu, akan tetapi sosok yang ditunggu Sofia tak kunjung muncul.
Berulang kali Sofia melirik jam tangan analog yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Hatinya semakin gelisah terlebih tidak ada tanda-tanda Rayyan akan datang. Pesan belum dibaca, telpon pun tidak diangkat.
Matanya mulai mengembun kala menit bahkan jam pun berlalu. Sosok yang ditunggu pun tak kunjung datang menemuinya.
"Rayyan, kamu di mana?" gumamnya.
Pandangannya tertunduk, hatinya berkecamuk. Antara pulang atau tetap menunggu. Hingga seseorang datang menghampirinya.
"Sofia."
Sofia mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah yang ada di depan mata. Seorang pria sengan senyum menawan. Bibir Sofia mengukir senyuman.
Senyum yang mengembang dari wajah cantiknya meredup seketika saat Sofia menyadari siapa yang ada di depan matanya.
"Rayyan menghubungiku. Katanya dia melihatmu di stasiun sendiri. Aku langsung menyusul untuk menjemputmu."
Sofia mengedarkan pandangan ke segala arah. Namun, dia tak melihat sosok Rayyan.
"Memangnya kamu mau ke mana?" tanya Rayhan lagi.
Sofia menggeleng. "Aku tadi ingin berkunjung ke rumah teman. Tapi, sepertinya tidak jadi."
"Kenapa?"
"Rayhan, aku ingin pulang. Terima kasih sudah khawatir."
Sofia berdiri kemudian menarik koper yang sejak tadi menemaninya. Rayhan hanya mengikutinya dari belakang. Dia takut sesuatu terjadi pada calon istrinya.
"Sofia, biar aku bantu carikan taksi online. Kamu duduk saja di sini.".
Sofia menuruti perintah Rayhan. Dia menggigit bibir bawahnya berusaha menahan tangis yang hendak pecah saat tahu Rayyan justru mengirim orang lain.
Kini, Sofia tahu, Rayyan memilih untuk mundur.
Ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk melalui aplikasi hijau miliknya.
'Maaf, Sofia. Aku tidak bisa mengikuti kemauanmu. Aku mohon terimalah perjodohan ini. Kita memang bukanlah sepasang yang ditakdirkan. Tolong, bahagiakan saudaraku.'
Air mata Sofia luruh begitu membaca pesan dari Rayyan. Hatinya remuk seketika.
"Sofia, bersiaplah. Taksimu sebentar lagi tiba," ucap Rayhan.
Sofia hanya mengangguk seraya menyembunyikan air matanya.
Setelah beberapa menit berlalu, sebuah taksi online tiba. Rayhan membantu Sofia mengangkat kopernya.
Dari kejauhan seseorang melihat kebersamaan itu penuh dengan luka. Sebisa mungkin dia berusaha untuk menahan sesak di dalam dada.
Rayyan sadar, dia harus melakukannya meskipun itu sangat sulit baginya.
Rayhan berlari menuju tempat persembunyian Rayyan.
"Makasih ya, Rayyan. Untung kamu yang melihatnya. Aku tidak tahu kalau orang jahat yang menemukannya. Bisa jadi Sofia dimanfaatkan."
Rayyan hanya berusaha mengulas senyum padahal di dalam hatinya sungguh menyimpan luka yang menganga.
Rayyan mengikuti langkah Rayhan untuk kembali ke rumah mereka.
*
Satu jam yang lalu, Ustaz Azzam mencari keberadaan Sofia. Panggilannya tak diangkat bahkan pesan tak dibalas. Terlebih Bunda Halimah melihat beberapa baju Sofia tidak ada di dalam lemari.Ustaz Azzam segera menghubungi Rayhan. Mengetahui hal itu Rayyan segera berangkat menuju stasiun. Berbeda dengan Rayhan yang justru mencarinya ke taman.
Dari kejauhan Rayyan melihat kekasihnya duduk seorang diri dengan mimik yang gelisah. Ponsel Rayyan terus berdering, itu adalah panggilan dari Sofia.
Rayyan akhirnya menghubungi Rayhan untuk mengabarkan bahwa Sofia sedang berada di stasiun. Rayyan beralasan tidak ingin menimbulkan fitnah jika dia yang mengantarnya pulang.
Rayhan segera memutar arah roda duanya menuju stasiun yang dimaksud. Sedangkan Rayyan terus memandangi kekasihnya dari kejauhan dengan perasaan terluka.
"Maafkan aku, Sofia."
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Kamu di mana, Nak? Abi ingin bicara penting.""Lagi di mesjid, Bi. Humairah segera ke sana."Humairah menyeka air matanya setelah panggilan terputus. Baru saja ingin mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya menghilang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok tadi untuk mengembalikan sisa tisu yang dipakainya, namun orangnya tak kunjung ada. Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Humairah memutuskan untuk meninggalkan area mesjid untuk menemui orang tuanya. "Ya Allah, kuatkan hamba."***"Kamu dari mana saja, Mai? Keluarga Ustaz Hilal datang bertamu.""Aku .... Berkunjung ke rumah Rayhan, Bi."Ustaz Hasan mengembuskan napas berat. Usianya sudah kepala tiga namun sampai saat ini putrinya masih menutup diri. Alasannya tetap sama. Masih belum bisa melupakan sosok Rayhan. "Sampai kapan kamu akan terus berharap pada dia, Nak? Ingat, umi sama abi sudah tua. Kami juga ingin melihat kamu bahagia dan hidup bersama dengan orang yang tepat.""Tapi, ti
"Ya, aku sudah menemukan jawabannya tanpa perlu mencari tahu. Mba lupa? wanita baik-baik tidak akan menyakiti sesama wanita. Wanita baik-baik itu berkelas, bukan merendahkan dirinya untuk merebut lelaki yang sudah beristri!"Sebuah tamparan keras dilontarkan Sofia pada Humairah yang sontak membuat mereka tercengang. Bagaimana tidak, mereka tidak menyangka Sofia akan mengatakan hal itu.Azizah tersenyum sumringah. Di dalam hatinya dia bersorak dan memuji keberanian Sofia."Justru aku wanita baik-baik, makanya aku pun memintanya baik-baik," sanggah Humairah. "Aku tidak akan memintamu untuk merasakan posisiku saat ini. Tapi, sebagai wanita cerdas lulusan universitas ternama dunia, tentu Mbak Humairah sudah tahu jawabannya tanpa harus berada di posisiku."Lagi dan lagi Sofia menekan posisi Humairah saat ini. "Lagi pula, aku tidak yakin, Mbak Humairah bisa ada di posisiku. Jadi, pintu ada sebelah sana. Silahkan, Mbak!"Humairah geram dengan sikap Sofia. Secara tidak langsung dia telah m
"Eum, itu bagi Rayhan tapi bagiku, kami lebih dari teman," jawabnya seraya mengukir senyum."Jangan memancing keadaan, Humairah. Nyatanya kita hanya teman biasa," tegur Farhan yang tiba-tiba muncul dari aeah belakang."Ada perlu apa ke sini?" tanya Rayhan."Aku ingin ketemu kamu," jawab Humairah santai. Rayhan mendengus kesal. Sofia dan Azizah sama-sama menyimak pembicaraan mereka. Keduanya sama-sama tidak suka dengan kehadiran Humairah. Farhan yang mengerti suasana hati Sofia merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi saat ini. "Humairah, memang dulu kita berteman, tapi kamu harus tahu batasan.""Batasan?"Farhan menyenggol lengan Rayhan. Dia memberi kode untuk peka dengan raut wajah istrinya. Rayhan menangkap maksud dari Farhan. Dia kemudian merangkul Sofia dengan hangat. "Oh iya, aku sampai lupa. Ini istriku, namanya Sofia."Humairah terpaku sejenak melihat sosok wanita cantik yang ada di depannya. Di dalam hatinya dia merasa kalah. Pantas saja Rayhan dulu menolak mentah-m