Share

6. Desakan Sofia

"Bagaimana, Yah?" tanya Bunda  Halimah saat mereka baru tiba di rumah. 

"Alhamdulillah bulan depan di minggu pertama kita akan melanjutkan proses khitbah."

"Alhamdulillah." Kalimat hamdallah disertai senyum yang mengembang terucap dari wanita yang telah melahirkannya itu. 

Berbeda dengan Sofia, setelah berpisah dari keluarga pihak Rayhan, wajahnya diselimuti oleh mendung. 

Sepanjang perjalanan, Sofia tak pernah sedikitpun membuka suaranya. Meskipun ayahnya terus saja mengungkapkan bahagianya dia proses pertemuannya berjalan dengan lancar. 

"Ada apa, Sayang?" tanya Bunda Halimah saat mereka tengah berdua.

Sofia memaksakan diri untuk tersenyum. 

"Tidak apa-apa, Bunda. Mungkin karena Sofia kelelahan."

Sofia ijin pamit menuju kamarnya. Bunda Halimah yang menyadari hal itu merasa ada yang tidak beres dengan putrinya. 

Di dalam kamar, Sofia melampiaskan kegundahan hatinya. Air matanya tak bisa lagi dia bendung. Sebuah bantal sengaja dia tempelkan pada wajahnya agar suara tangisnya tak terdengar. 

Setelah beberapa menit berlalu, Sofia meraih ponselnya lalu menghubungi seseorang. 

"Assalamu'alaikum, Syafira."

"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Sofia?" tanya seseorang di ujung telpon. 

Sofia menangis hingga sesegukan. Telapak tangannya berusaha menutup mulutnya agar suara tangisnya tak terdengar. 

"Sofia, kamu masih di sana?" tanya Syafira khawatir. 

"Syafira, aku dijodohkan dan bulan depan, proses khtbah akan dilakukan. A-aku harus bagaimana?"

Syafira menutup mulut tak percaya. Dia tahu betul siapa sosok laki-laki yang dicintai Sofia-sahabatnya. 

Syafira berusaha agar Sofia tetap tenang dan memikirkan kalimat yang bijak untuk sahabatnya. 

"Apa Rayyan tahu?"

"Tentu saja. Laki-laki yang dijodohkan denganku itu justru adalah saudara kembarnya."

"Subhanallah. Jadi, apa tindakan Rayyan?"

"Dia bahkan menyerah. Padahal ayah sudah memberikannya kesempatan agar dia datang memperkenalkan diri."

Syafira akhirnya mengerti. Dia membenarkan sekaligus menyayangkan sikap Rayyan. 

Mengikhlaskan orang yang dicintai untuk orang lain tentu sangat menyakitkan. Terlebih jika laki-laki itu saudaranya sendiri.

"Sofia, bersabarlah. Mungkin ini sudah garis takdirnya. Bisa jadi, nama kalian tidak tertulis di lauhul mahfudz."

"Itu sulit, Syafira," ucap Sofia di sela isak tangisnya. 

"Aku tahu. Tapi, ini semua sudah terjadi, 'kan? Tidak bisa dibatalkan lagi."

Sofia semakin terisak. Diputuskannya sambungan telpon secara sepihak. 

Kembali dia menangis. Sofia merasa tidak ada yang bisa mengerti perasaannya saat ini. 

Sofia tak berputus asa. Meskipun sahabatnya juga tidak berpihak padanya, Sofia akan tetap berjuang meskipun dia harus sendiri. 

Diraihnya kembali ponsel yang tergeletak di atas kasurnya. Pesannya yang sudah menumpuk belum juga terbaca. Ada rasa sesak saat Rayyan pun mulai mengabaikannya. 

"Rayyan, aku tahu kamu ada di sana. Aku tahu kamu mendengarku."

Rayyan memilih diam. Dia tak tahu harus berkata apa lagi. Hatinya begitu sakit saat ini. 

"Aku tahu kamu pasti sudah dengar tentang rencana pernikahan ini. Kenapa kamu justru diam? Harusnya kamu pertahankan cinta kita."

"Aku mohon, Rayyan. Gagalkan rencana pernikahan ini."

Sofia kembali menangis sedangkan Rayyan tetap memilih bungkam. 

Mendengar suara tangisan Sofia adalah hal yang begitu menyakitkan baginya. Ingin sekali dia mengabulkan permintaan kekasihnya. Namun, apa daya, tidak mungkin dia melawan restu dan berujung menyakiti saudaranya sendiri.

"Rayyan, dengarkan aku! Kalau kamu tidak ingin jujur pada keluarga kita, aku akan memustuskan sendiri apa yang harus kita lakukan."

"Apa?" tanya Rayyan setelah lama memilih diam. 

"Aku tunggu kamu malam ini di stasiun jam tujuh malam. Kita mulai hidup baru bersama."

"Jangan bertindak yang tidak-tidak, Sofia!" ucap Rayyan yang membuat Sofia semakin terluka. 

"Hal yang mustahil kulakukan adalah menyakiti keluargaku. Kamu tahu aku sangat mencintai kamu. Tapi, aku tidak akan mengajakmu pada keburukan. Jangan membuatku semakin terbebani dengan permintaan konyolmu itu."

"Konyol? Bagimu ini konyol? Baik. Aku akan membuktikan ucapanku. Kamu datang atau tidak itu membuktikan langkah apa yang harus ku lakukan!"

Sofia menutup telponnya. Bahkan saat ini Rayyan juga tidak mendukung keputusannya. Hatinya semakin dilanda kepedihan yang mendalam. 

Tanpa Sofia tahu, Rayyan juga begitu terluka. Hanya saja dia memilih untuk mengalah. Bukan dia pengecut. Tapi, Rayyan sadar, sejak awal dia melangkah terlalu jauh. Kini, dia menikmati kesalahan di masa lalunya. 

*

Suasana stasiun begitu padat. Tampak calon penumpang memenuhi ruang tunggu. 

Menit berlalu, jarum jam menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Berarti sudah setengah jam berlalu, akan tetapi sosok yang ditunggu Sofia tak kunjung muncul.

Berulang kali Sofia melirik jam tangan analog yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Hatinya semakin gelisah terlebih tidak ada tanda-tanda Rayyan akan datang. Pesan belum dibaca, telpon pun tidak diangkat. 

Matanya mulai mengembun kala menit bahkan jam pun berlalu. Sosok yang ditunggu pun tak kunjung datang menemuinya. 

"Rayyan, kamu di mana?" gumamnya. 

Pandangannya tertunduk, hatinya berkecamuk. Antara pulang atau tetap menunggu. Hingga seseorang datang menghampirinya. 

"Sofia."

Sofia mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah yang ada di depan mata. Seorang pria sengan senyum menawan. Bibir Sofia mengukir senyuman. 

Senyum yang mengembang dari wajah cantiknya meredup seketika saat Sofia menyadari siapa yang ada di depan matanya.

"Rayyan menghubungiku. Katanya dia melihatmu di stasiun sendiri. Aku langsung menyusul untuk menjemputmu."

Sofia mengedarkan pandangan ke segala arah. Namun, dia tak melihat sosok Rayyan. 

"Memangnya kamu mau ke mana?" tanya Rayhan lagi. 

Sofia menggeleng. "Aku tadi ingin berkunjung ke rumah teman. Tapi, sepertinya tidak jadi."

"Kenapa?"

"Rayhan, aku ingin pulang. Terima kasih sudah khawatir."

Sofia berdiri kemudian menarik koper yang sejak tadi menemaninya. Rayhan hanya mengikutinya dari belakang. Dia takut sesuatu terjadi pada calon istrinya.

"Sofia, biar aku bantu carikan taksi online. Kamu duduk saja di sini.".

Sofia menuruti perintah Rayhan. Dia menggigit bibir bawahnya berusaha menahan tangis yang hendak pecah saat tahu Rayyan justru mengirim orang lain. 

Kini, Sofia tahu, Rayyan memilih untuk mundur.

Ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk melalui aplikasi hijau miliknya. 

'Maaf, Sofia. Aku tidak bisa mengikuti kemauanmu. Aku mohon terimalah perjodohan ini. Kita memang bukanlah sepasang yang ditakdirkan. Tolong, bahagiakan saudaraku.' 

Air mata Sofia luruh begitu membaca pesan dari Rayyan. Hatinya remuk seketika. 

"Sofia, bersiaplah. Taksimu sebentar lagi tiba," ucap Rayhan. 

Sofia hanya mengangguk seraya menyembunyikan air matanya. 

Setelah beberapa menit berlalu, sebuah taksi online tiba. Rayhan membantu Sofia mengangkat kopernya. 

Dari kejauhan seseorang melihat kebersamaan itu penuh dengan luka. Sebisa mungkin dia berusaha untuk menahan sesak di dalam dada. 

Rayyan sadar, dia harus melakukannya meskipun itu sangat sulit baginya. 

Rayhan berlari menuju tempat persembunyian Rayyan. 

"Makasih ya, Rayyan. Untung kamu yang melihatnya. Aku tidak tahu kalau orang jahat yang menemukannya. Bisa jadi Sofia dimanfaatkan."

Rayyan hanya berusaha mengulas senyum padahal di dalam hatinya sungguh menyimpan luka yang menganga. 

Rayyan mengikuti langkah Rayhan untuk kembali ke rumah mereka. 

*

Satu jam yang lalu, Ustaz Azzam mencari keberadaan Sofia. Panggilannya tak diangkat bahkan pesan tak dibalas. Terlebih Bunda Halimah melihat beberapa baju Sofia tidak ada di dalam lemari. 

Ustaz Azzam segera menghubungi Rayhan. Mengetahui hal itu Rayyan segera berangkat menuju stasiun. Berbeda dengan Rayhan yang justru mencarinya ke taman. 

Dari kejauhan Rayyan melihat kekasihnya duduk seorang diri dengan mimik yang gelisah. Ponsel Rayyan terus berdering, itu adalah panggilan dari Sofia. 

Rayyan akhirnya menghubungi Rayhan untuk mengabarkan bahwa Sofia sedang berada di stasiun. Rayyan beralasan tidak ingin menimbulkan fitnah jika dia yang mengantarnya pulang. 

Rayhan segera memutar arah roda duanya menuju stasiun yang dimaksud. Sedangkan Rayyan terus memandangi kekasihnya dari kejauhan dengan perasaan terluka. 

"Maafkan aku, Sofia."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status