Sofia terpaku mematut diri di cermin. Dia masih tak percaya semua berlalu begitu cepat. Mulai dari rencana perjodohan hingga hari ini dia sudah resmi menjadi istri Rayhan.
Air matanya masih saja mengalir membasahi pipi. Hatinya masih belum sepenihnya menerima sosok yang lain di dalam hidupnya.
"Sofia, jangan menangis! Tamu sudah menunggumu sejak tadi. Kasihan suamimu melayani tamu sendiri," tegur Bunda Halimah.
"Sofia akan menyusul, Bunda."
Sofia segera menghapus jejak air matanya. Sebisa mungkin dia berusaha menyamarkan bekas air mata yang masih menempel di wajah cantiknya.
Sofia berjalan pelan menuju tempat resepsi di mana para undangan dan keluarga besar berkumpul. Kedatangan Sofia begitu menarik perhatian. Bagaimana tidak, seorang cucu kiyai pengasuh pondok pesantren ini memang terkenal sebagai bunga pesantren.
"Jadi, ini yang namanya Sofia? Masya Allah kamu memang pintar memilih, Han," puji seorang wanita yang berbalut khimar dan gamis senada.
"Sofia, kenalkan, ini Mbak Ratih sepupuku."
Ratih langsung memeluk tubuh Sofia.
"Selamat atas pernikahan kalian. Menurut para tamu yang hadir di sini, kalian begitu tampak sangat serasi."
Rayhan dan Sofia tersipu malu. Tak berhenti Rayhan mencuri-curi pandang ke arah Sofia.
Sofia tersentak saat Rayhan menggenggam tangannya. Desiran halus itu kembali dia rasakan. Sebisa mungkin Sofia menguasai dirinya.
"Istrinya tidak akan kabur, Han. Sampai digenggam terus tangannya," goda salah satu kerabat Rayhan.
"Takut diambil orang," balas Rayhan. Hal itu sontak membuat Sofia semakin salah tingkah.
Sofia mengedarkan pandangan, akan tetapi sosok yang dicarinya juga tak terlihat.
Sofia ijin ke suaminya dengan alasan menemui tamu yang lain. Saat melangkahkan kaki ke segala ruang, sosok Rayyan pun tak terlihat.
"Cari siapa?" bisik Syafira.
"Rayyan."
Syafira menarik napas dalam.
"Sofia, lihat di sana!"
Sofia mengalihkan pandangan ke arah pandangan Syafira.
"Di sana ada sosok laki-laki yang juga mencintai kamu. Dia yang pantas mendapatkan semuanya. Harusnya, kamu tidak perlu lagi mencari sosok Rayyan. Kasihan suami kamu."
"Tapi—"
"Tidak ada kata tapi. Temani dia di sana. Sangat tidak elok rasanya pengantin berpisah tempat."
Sofia melangkah gontai menghampiri Rayhan suaminya. Rayhan yang sadar akan kehadiran Sofia tersenyum lebar. Hatinya begitu bahagia.
"Capek?" tanya Rayhan lembut. Sofia menggeleng.
"Kamu duduk saja di sana."
Rayhan menggandeng tangan istrinya menuju kursi pelaminan. Sofia yang diperlakukan seperti itu menjadi sedikit gugup.
Bertepatan saat itu Rayyan memasuki ruang resepsi. Pandangannya langsung menangkap Rayhan yang sedang memegang tangan Sofia dan saling menatap satu sama lain. Rayyan hanya bisa menatap keduanya dari kejauhan.
"Rayyan, bantu abi dulu sebentar, Nak!" tegur Abi.
*Acara telah usai tinggal beberapa panitia yang membereskan sisa-sisa dari resepsi malam ini.Sofia merasa kelelahan, dia memilih duduk untuk memijit betisnya. Rayhan melihat istrinya kemudian berjongkok di depannya.
"Kamu istirahat saja. Aku antar ke kamar ya?" tawar Rayhan.
"A-ku bisa sendiri," tolak Sofia halus.
Rayhan mengerti, mungkin istrinya masih malu-malu.
Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Namun, tak dijumpainya orang yang bisa mengantar Sofia.
"Kalau kamu keberatan, aku ikuti dari belakang."
Sofia memikir dan menimbang. Namun, di dalam benaknya dia butuh istirahat. Sofia akhirnya mengangguk.
Sofia berdiri dibantu oleh Rayhan kemudian berjalan menuju kamar pengantin. Rayhan hanya bisa menjaganya dari beberapa langkah di belakang Sofia.
"Sofia, kalau butuh bantuan, bilang ya?" Sofia hanya mengangguk.
Tiba-tiba kakinya tak sengaja menginjak gaun yang dipakai hingga tubuhnya terayun. Rayyan yang melihat itu segera menangkap tubuh istrinya sebelum terjatuh.
Pandangan mereka bertemu. Mereka saling menatap satu sama lain. Deguban jantung dan desiran hangat mengalir ke seluruh tubuh.
Rayyan yang kebetulan lewat mendadak berhenti kala melihat Rayyan memeluk tubuh Sofia. Ada nyeri dari salam dada tiba-tiba muncul.
"Aku gendong ya, biar cepat," ucap Rayyan setengah berbisik.
Sofia tak menjawab dia hanya bisa menyembunyikan semburat merah dari wajahnya.
Rayhan mengangkat tubuh Sofia kemudian menggendongnya menuju kamar pengantin. Keduanya merasakan dentuman hebat dari dalam dada mereka. Sedangkan Rayyan yang melihat itu hanya bisa tersenyum getir.
*Sesampainya di dalam kamar, Rayhan perlahan meletakkan tubuh Sofia di atas ranjang. Keduanya salah tingkah."A-aku keluar sebentar. Kalau ada perlu hubungi ya?"
"B-baik."
Rayhan keluar dari kamar. Di depan pintu kamarnya dia meremas dadanya. Sejak tadi dia menahan gejolak dari dalam dada.
Sama halnya dengan Sofia. Dia merasa sangat aneh. Dengan Rayyan dia tidak pernah merasakan seperti ini. Tapi, kenapa dengan Rayhan justru dia merasakan debaran saat pertama kali melihat Rayyan?
Sofia bangkit kemudian berniat mengganti pakaiannya dengan baju tidur. Dia lalu membersihkan diri di dalam kamar mandi. Berbeda dengan Rayhan dia melangkah menuju kamar mandi tamu kemudian membersihkan tubuh di sana. Beruntung tadi dia sempat mengambil pakaian ganti sebelum keluar kamar.
*
Rayhan ragu untuk membuka pintu kamar. Dia takut mengganggu istrinya. Namun, jarum.jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Artinya dia juga butuh istirahat.Di dalam kamar, Sofia terus berjalan mondar-mandir menunggu Rayhan kembali. Dia berpikir, tidak mungkin dia tidur lebih dulu sebelum suaminya pulang.
Sofia mendekat ke arah pintu. Tangannya perlahan meraih knop pintu. Hal yang sama dilakukan Rayhan juga, tanggannya perlahan meraih knop pintu. Waktu bersamaan, keduanya sama sama membuka pintu lalu tampaklah wajah keterkejutan dari keduanya.
"Maaf," ucapnya bersamaan.
"Masuklah!" Sofia mempersilahkan Rayhan masuk setelah hening beberapa saat.
Keduanya terlibat rasa canggung yang luar biasa. Rayhan dan Sofia memilih duduk di tepi ranjang yang bersebelahan.
Hening kembali tercipta. Tak ada yang berani mengeluarkan suara. Hanya suara denting jarum jam yang memecah kesunyian.
"Bagaimana kondisi kakimu?" tanya Rayhan memecah kesunyian.
"Alhamdulillah, sudah membaik."
Lagi, mereka terdiam. Keduanya sama-sama merasakan dentuman hebat dari dalam dada.
"Sudah larut, sepertinya kita harus istirahat," ajak Rayhan.
Sofia hanya mengangguk lalu membaringkan tubuh. Tangannya meraih selimut tebal yang berada di bawah kaki mereka.
Sofia menggenggam erat selimut yang dipakainya. Dia sangat takut jika malam ini Rayhan meminta haknya. Meskipun dia tahu, adalah kewajiban Sofia untuk memberikannya.
"Sofia, kamu sudah tidur?" tanya Rayhan.
"B-belum. Jawab Sofia takut."
Rayhan terbangun yang membuat Sofia semakin ketakutan. Matanya tertutup rapat, jantungnya berpacu kuat.
Rayhan berjalan menuju Sofia. Kini dia duduk di tepi ranjang. Matanya tertuju pada wanita yang baru saja sah menjadi istrinya.
"Sofia, maaf. Sepertinya aku harus melakukannya malam ini."
Mata Sofia membulat sempurna.
"A-apa?"
Rayhan tersenyum. "Iya. Ritual.malam pengantin."
Sofia membungkus tubuhnya dengan selimut. Hal itu membuat Rayhan tersenyum geli.
"Tenang, Sofia. Aku hanya ingin membacakan do'a di ubun-ubunmu lalu mencium kening. Itu saja."
Sofia perlahan membuka selimut yang menutupi wajahnya. Tampaklah wajah menawan milik Rayhan.
Rayhan mengangguk lalu membantu Sofia untuk mendudukkan diri. Kini mereka saling berhadapan satu sama lain. Kepala Sofia tertunduk, perlahan tangan Rayhan menyentuh ubun-ubunnya kemudian membacakan do'a yang diaminkan oleh Sofia. Setelah ritual selesai, Rayhan perlahan mendekat kemudian mendaratkan ciuman di kening Sofia.
Keduanya larut dalam desiran halus dan getaran hebat dari dalam dada. Sofia kemudian meraih tangan Rayhan kemudian mencium punggung tangannya.
"Tidurlah!"
Keduanya memilih tidur dengan perasaan yang sulit diungkapkan.
*
Di tempat berbeda Rayyan memilih menyendiri dan muroja'ah beberapa surah. Pikirannya tak pernah lepas dari Sofia. Sebisa mungkin pikirannya dialihkan dengan muroja'ah.Bulir bening terus menetes membasahi pipinya. Hatinya begitu sakit. Namun, dia harus ikhlas akan takdir. Rayyan sadar, Sofia memang bukan untuknya.
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Kamu di mana, Nak? Abi ingin bicara penting.""Lagi di mesjid, Bi. Humairah segera ke sana."Humairah menyeka air matanya setelah panggilan terputus. Baru saja ingin mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya menghilang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok tadi untuk mengembalikan sisa tisu yang dipakainya, namun orangnya tak kunjung ada. Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Humairah memutuskan untuk meninggalkan area mesjid untuk menemui orang tuanya. "Ya Allah, kuatkan hamba."***"Kamu dari mana saja, Mai? Keluarga Ustaz Hilal datang bertamu.""Aku .... Berkunjung ke rumah Rayhan, Bi."Ustaz Hasan mengembuskan napas berat. Usianya sudah kepala tiga namun sampai saat ini putrinya masih menutup diri. Alasannya tetap sama. Masih belum bisa melupakan sosok Rayhan. "Sampai kapan kamu akan terus berharap pada dia, Nak? Ingat, umi sama abi sudah tua. Kami juga ingin melihat kamu bahagia dan hidup bersama dengan orang yang tepat.""Tapi, ti
"Ya, aku sudah menemukan jawabannya tanpa perlu mencari tahu. Mba lupa? wanita baik-baik tidak akan menyakiti sesama wanita. Wanita baik-baik itu berkelas, bukan merendahkan dirinya untuk merebut lelaki yang sudah beristri!"Sebuah tamparan keras dilontarkan Sofia pada Humairah yang sontak membuat mereka tercengang. Bagaimana tidak, mereka tidak menyangka Sofia akan mengatakan hal itu.Azizah tersenyum sumringah. Di dalam hatinya dia bersorak dan memuji keberanian Sofia."Justru aku wanita baik-baik, makanya aku pun memintanya baik-baik," sanggah Humairah. "Aku tidak akan memintamu untuk merasakan posisiku saat ini. Tapi, sebagai wanita cerdas lulusan universitas ternama dunia, tentu Mbak Humairah sudah tahu jawabannya tanpa harus berada di posisiku."Lagi dan lagi Sofia menekan posisi Humairah saat ini. "Lagi pula, aku tidak yakin, Mbak Humairah bisa ada di posisiku. Jadi, pintu ada sebelah sana. Silahkan, Mbak!"Humairah geram dengan sikap Sofia. Secara tidak langsung dia telah m
"Eum, itu bagi Rayhan tapi bagiku, kami lebih dari teman," jawabnya seraya mengukir senyum."Jangan memancing keadaan, Humairah. Nyatanya kita hanya teman biasa," tegur Farhan yang tiba-tiba muncul dari aeah belakang."Ada perlu apa ke sini?" tanya Rayhan."Aku ingin ketemu kamu," jawab Humairah santai. Rayhan mendengus kesal. Sofia dan Azizah sama-sama menyimak pembicaraan mereka. Keduanya sama-sama tidak suka dengan kehadiran Humairah. Farhan yang mengerti suasana hati Sofia merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi saat ini. "Humairah, memang dulu kita berteman, tapi kamu harus tahu batasan.""Batasan?"Farhan menyenggol lengan Rayhan. Dia memberi kode untuk peka dengan raut wajah istrinya. Rayhan menangkap maksud dari Farhan. Dia kemudian merangkul Sofia dengan hangat. "Oh iya, aku sampai lupa. Ini istriku, namanya Sofia."Humairah terpaku sejenak melihat sosok wanita cantik yang ada di depannya. Di dalam hatinya dia merasa kalah. Pantas saja Rayhan dulu menolak mentah-m