"Maafkan aku kak, aku sudah mengkhianatimu. Berselingkuh dengan suamimu, tapi, sungguh aku mencintai dia. Seumur hidupku, baru kali ini merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan," ucapku seraya menyeka air mata. Aku masih berbaring di tempat tidur, kamar hotel, menunggu Mas Arkan yang sedang membersihkan badannya.
Jika bukan karena kak Novi, entah bagaimana dengan diriku.
Ingatan itu membuat luka lama yang membekas, kembali terasa perih. Sedari kecil aku selalu dibedakan dengan kak Novi oleh semua orang di keluarga Bramantyo. Pernah di suatu pagi saat semua anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan dan hendak memulai acara sarapan pagi.
"Sayang, makan yang banyak ya!" ucap Mama Sofia, seraya menyendok nasi beserta lauk pauk ke piring kak Novi, lalu Mama menyodorkannya ke hadapan kak Novi, diiringi
Kak Novi menghabiskan makannya, dia dipuji dan disanjung oleh Nenek, Tante Om juga Mama dengan senyuman bahagia dari bibir mereka yang merekah. "Anak pintar," ucap Nenek memuji kak Novi sambil menatapnya penuh cinta. Sedangkan aku yang makan sendiri dan tak pernah di layani apalagi di suapi, aku mengambil nasi dan lauk pauk sendiri, makan sendiri tak pernah ada yang menyuapi, aku menghabiskan makanan banyak, di bilangnya. "DASAR. ANAK RAKUS!" Tak ada yang melirikku di tengah keluarga itu. Ditambah Papa sering pergi keluar kota untuk urusan pekerjaannya, aku merasa sendiri dan kesepian, hanya suster yang selalu menemaniku, terkadang Kak Novi menghibur kesedihanku, mencuri waktu dari pantauan Mama. Mama t
"Mah, tolong berikan kado istimewa untuk Intan, Papa yang akan membelikannya, Mama hanya perantara agar Intan tak merasa dibedakan!" mohon Papa dengan suara lirih. "Ouh ... itu tidak mungkin terjadi, daripada kamu memberikan kado istimewa untuk anakmu itu, lebih baik uangnya dipakai untukku ke salon!" cibir Mama. "Mah, Papa ingin, Mama bersikap manis, sedikit saja! sebagai kado ulang tahun Intan, yang ke tujuh belas! Jika Mama tidak sudi menyampaikan kado dari papa!" "Aku gak mau, menuruti permintaan gila Papa! aku gak sudi menyayangi Intan, dan aku tak mau menerima dia, sampai kapan pun!" Pintu pun terbuka tanpa aku sadari, Papa berdiri di belakangku. "Intan, kamu ...," panggil Papa dengan nada panik.
Tangan Mas Arkan menggapai kemana-mana, jemarinya yang lincah terus menyusuri setiap lekuk. Suhu tubuhku kini naik drastis begitu panas, itulah yang aku rasakan saat permukaan kulitku dan Mas Arkan saling bersentuhan, dan saling menyatukan. "Mas." Aku menahan nafas, seraya melengkungkan badan ke belakang. Mas Arkan mengecup leherku yang mungkin akan meninggalkan jejak merah di sana. "Mas, jangan sampai berbekas! Nanti Mas Anton akan bertanya padaku," lanjutku, kedua tanganku mencengkram rambutnya, mengangkat kepala Mas Arkan agar melepaskan leherku. Mas Arkan melepas kecupannya, "Biarkan saja!" jawabnya dengan suara rendah. "Jangan Mas! Nanti malah berbahaya untuk hubungan kita, aku gak mau sampai ada yang tahu," tolakku mendorong tubuhnya.
"Sudah selesai belum?" tanya Mas Arkan padaku yang masih bersolek di depan cermin. "Sebentar lagi, Mas," jawabku sambil mengoles lipstik warna nude. "Kamu sudah cantik, malah lebih cantik dari biasanya," puji Mas Arkan yang terus memandangku seakan tak berkedip. "Ni, dah beres," ujarku bangkit, dan duduk di atas tempat tidur. "Cantik," gumamnya dengan senyuman termanis. "Terima kasih, Mas. Kamu selalu memujiku," ucapku balas tersenyum, "Yuk, Mas!" ajakku pada Mas Arkan, yang sedang melipat lengan bajunya, dia berdiri di dekat ranjang yang aku duduki. Malam ini kukenakan chif
"Intan ... gimana kabarmu?" tanya Kania ramah, perempuan bertubuh mungil dengan balutan dress tunik, dia temanku sejak SMP. Kami saling berjabat tangan dengan senyuman yang mengembang, di masing-masing bibir kami, lalu disusul cipika-cipiki. "Baik," jawabku singkat, "Lalu, kamu sendiri bagaimana?" Aku balik bertanya. "Baik dong, Tan, kamu gak nyuruh aku duduk gitu?!" ucap Kania. "Iya, silahkan duduk! aku sampai lupa, hehe, Maaf ya! Saking senengnya, aku ketemu kamu di sini," ucapku. Masih dengan sikap agak kaku karena canggung. Canggung karena khawatir, takutnya, dia sempat melihat kejadian tadi sewaktu aku dengan Mas Arkan seperti halnya sepasang kekasih yang sedang dinner.
"Aku, sebenarnya." Tanganku meremas tissue yang ada di dalam genggaman, untuk menetralkan perasaanku, yang masih dengan keadaan gelisah, saat Kania mendesak. "Apa ...?" Dia malah lebih penasaran lagi, dan menekanku, hingga aku terpaksa buka mulut. "Tapi, jangan bilang siapa-siapa ya! Kamu harus janji!" pintaku dengan wajah memelas. Kania memang tak bisa di bohongi. "Ok!" Dia menjentikkan jari kelingkingnya. "Ya udah, aku jujur." Aku menyambut jari kelingking dia, dan saling mengaitkan, mengisyaratkan bahwa dia sungguh-sungguh berjanji padaku. Kami saling melepas jari, dan meletakan kedua tangan di meja. "Ayo, ngomong!" desaknya seraya menatapku dalam. "Aku, me
Untung saja aku tak menyebut nama Mas Arkan, jika saja aku menyebut nama itu, Mas Anton pasti akan curiga padaku. "Mas, kamu kok pulang gak bilang-bilang sih? Katanya besok malam Mas baru kembali. Emang pekerjaanmu sudah selesai?" tanyaku dengan perasaan gugup karena bibir ini nyaris, menyebut nama Mas Arkan saat tadi aku memeluknya. Ku kira yang menungguku di dalam kamar ini adalah orang yang sedang kudambakan, sengaja dia pulang duluan untuk membuat kejutan ulang tahunku. Menurut spekulasiku. Namun ternyata yang berada di dalam kamar, adalah Mas Anton suamiku. Lelaki bertubuh tinggi. Namun, tubuhnya tak se-kekar tubuh kekasihku. Dia melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya, dan memutar tubuh, menghadap ke arahku.
"Eh, gak apa-apa, Mas. Aku cuma terkejut, kukira Mas gak akan pulang malam ini, di hari ulang tahunku, makanya aku pergi sama Kania, sambil merayakan hari kelahiranku," "Mas sengaja memberi kejutan untukmu, sayang." Mas Anton tersenyum genit menggodaku, aku tak tergoda dan terpesona sama sekali. Ia mengapit daguku, dan menengadahkan wajah ke arahnya, hingga wajah kami tak berjarak. "Bentar Mas!" Aku menepiskan wajah, ketika bibirnya hampir mendarat di bibirku. "Kenapa?" tanya Mas Anton dengan tatapan penuh tanya. "Lampunya, mati-kan dulu!" pintaku tanpa menatapnya. Wajah. Kutundukkan, dengan hati agak sedikit gusar, takut Mas Anton melihat tanda merah di