"Jadi, kita mulai malam ini?" suara Adrian memecah keheningan yang menyelimuti mobil mewah itu. Tatapannya sekilas melirik ke arah Ara, mencoba membaca ekspresi wanita yang duduk di sampingnya.
Ara mengangguk pelan, meskipun ia tak bisa menyembunyikan ketegangan di wajahnya. Tangannya mencengkeram clutch kecil di pangkuannya, jemarinya bergerak gelisah di atas kain satin yang lembut.
"Ya... kalau itu yang harus aku lakukan," jawabnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Adrian mengangguk, seolah puas dengan jawaban itu. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke jalan, mengemudi dengan tenang. Di luar, lampu-lampu kota Jakarta berpendar seperti bintang-bintang yang terlalu dekat dengan bumi.
Namun, di dalam mobil itu, suasana terasa berat, penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan.
"Tak perlu khawatir," kata Adrian akhirnya, memecah keheningan lagi. "Aku sudah mengatur semuanya. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengikutiku dan memainkan peranmu. Sisanya, aku yang urus."
Ara menghela napas, mencoba meredakan kegelisahan di dadanya. "Aku hanya... aku tidak ingin mengecewakanmu," katanya jujur. Matanya menatap lurus ke depan, tetapi suaranya menunjukkan keraguan yang dalam.
Adrian menoleh sedikit, dan senyum kecil muncul di sudut bibirnya. "Aku yakin kau tidak akan mengecewakanku, Ara."
Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Ara merasa tidak sepenuhnya yakin dengan kata-kata itu. Ia tahu Adrian adalah pria yang sulit ditebak—terlalu banyak lapisan dalam dirinya, terlalu banyak misteri yang tersimpan di balik sikap tenangnya.
Mobil berhenti di depan sebuah hotel mewah, dengan pintu masuk yang diterangi lampu kristal yang berkilauan seperti berlian. Seorang valet membuka pintu untuk Ara, dan seketika udara malam yang dingin menyentuh kulitnya.
Ia melangkah keluar dengan hati-hati, mengenakan gaun hitam sederhana yang dipilih Adrian untuk malam ini. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, membuatnya merasa sedikit asing dengan dirinya sendiri.
Adrian muncul di sampingnya, mengenakan jas hitam yang disesuaikan dengan sempurna. Ia menoleh ke Ara, memberikan lengan untuk ia pegang. "Kita masuk bersama," katanya singkat, tetapi nada suaranya lembut.
Ara ragu sejenak sebelum menyentuh lengan Adrian. Kulitnya terasa hangat di bawah kain jas itu, memberikan sedikit rasa aman di tengah semua kegugupan yang ia rasakan.
Mereka melangkah masuk ke dalam hotel, di mana lorong megah dengan karpet merah dan ornamen emas menyambut mereka.
Di ballroom, keramaian sudah dimulai. Musik klasik mengalun lembut, menciptakan suasana yang elegan. Pria dan wanita berbalut pakaian mahal bercengkerama sambil memegang gelas anggur, sementara pelayan berlalu-lalang membawa nampan perak berisi canapés.
Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga segar yang menghiasi setiap sudut ruangan.
Ara merasa seperti terlempar ke dunia yang sepenuhnya asing baginya. Ia mencoba menyesuaikan diri, menjaga posturnya tetap tegak seperti yang Adrian ajarkan.
Namun, matanya tidak bisa berhenti mengamati detail-detail kecil di sekelilingnya: kilauan perhiasan di leher wanita-wanita yang hadir, cara mereka tertawa dengan nada yang terdengar dibuat-buat, dan cara para pria berbicara dengan senyum tipis yang menyembunyikan sesuatu.
Adrian menggenggam tangannya ringan, membawa Ara keluar dari lamunannya. "Ingat," bisiknya di dekat telinganya, "kau ada di sini sebagai pendampingku. Tidak perlu merasa gugup. Kau lebih dari cukup untuk acara ini."
Ara menatapnya, mencoba menemukan ketulusan dalam kata-katanya. Ia hanya bisa mengangguk sebelum Adrian menariknya menuju kerumunan.
Seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu menyambut Adrian dengan senyum lebar. "Adrian!" serunya, suaranya berat tetapi ramah. "Akhirnya kau datang. Dan siapa ini?" Matanya berpindah ke Ara, penuh rasa ingin tahu.
Adrian memperkenalkan Ara dengan tenang, seolah wanita itu sudah lama menjadi bagian dari hidupnya. "Ini Ara," katanya. "Dia pendampingku malam ini."
Pria itu mengangguk, tersenyum hangat pada Ara. "Senang bertemu denganmu, Ara. Adrian jarang sekali membawa seseorang ke acara seperti ini."
Ara tersenyum kecil, meskipun ia tidak tahu harus mengatakan apa. Di sebelahnya, Adrian tetap tenang, mengontrol percakapan dengan mudah. Ia memimpin Ara dari satu kelompok ke kelompok lain, memperkenalkannya dengan cara yang halus tetapi penuh otoritas.
Namun, setiap kali mereka berpindah, Ara merasa seperti sebuah objek yang dipamerkan. Pandangan mata tamu-tamu lain seolah menembusnya, mengupas setiap lapisan dirinya.
Ia merasa kecil di tengah kilauan kemewahan ini, tetapi Adrian tetap ada di sisinya, menjaga agar ia tidak tenggelam dalam rasa canggung.
Setelah beberapa waktu, Ara meminta izin untuk pergi ke toilet. Adrian mengangguk, memberinya senyuman samar sebelum melanjutkan percakapan dengan seorang kolega.
Ara melangkah keluar dari ballroom, napasnya terasa lebih ringan begitu ia menjauh dari keramaian.
Di cermin toilet yang besar, ia memandang dirinya sendiri. Wajahnya masih sama, tetapi ada sesuatu yang berubah. Matanya, yang biasanya lembut, kini tampak lebih tajam, penuh dengan beban yang baru.
"Apa aku benar-benar bisa melakukan ini?" bisiknya pada dirinya sendiri.
Namun, sebelum ia bisa menjawab pertanyaannya, suara langkah mendekat. Pintu toilet terbuka, dan seorang wanita masuk. Ia cantik, dengan gaun merah yang mencolok dan perhiasan berlian di lehernya.
Wanita itu menatap Ara melalui cermin, senyumnya tipis tetapi penuh arti.
"Kau pasti Ara," katanya dengan nada lembut, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat Ara merasa tidak nyaman. "Aku melihatmu dengan Adrian tadi. Kalian tampak... cocok."
Ara berusaha tersenyum, meskipun ia tidak tahu harus mengatakan apa. Wanita itu melangkah lebih dekat, menatap Ara dengan mata yang tajam. "Kau tahu, Adrian bukan pria biasa. Dia penuh misteri, penuh rahasia. Kau harus hati-hati dengannya."
Ara merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Sebelum ia sempat menjawab, wanita itu sudah berbalik, melangkah keluar dengan cara yang anggun. Namun, kata-katanya tetap tertinggal, seperti bayangan yang tak bisa Ara abaikan.
Ketika Ara kembali ke ballroom, Adrian langsung menyadari keberadaannya. Ia melangkah ke arahnya, matanya memeriksa wajahnya sejenak sebelum berbicara. "Kau baik-baik saja?"
Ara mengangguk. "Ya, aku hanya... perlu mengambil napas sebentar."
Adrian mengangguk, seolah mengerti. Namun, di matanya, ada sesuatu yang menunjukkan bahwa ia tahu lebih dari yang ia katakan. Ia menggandeng tangan Ara lagi, membawanya kembali ke keramaian.
Tetapi kali ini, Ara merasa ada sesuatu yang berbeda. Kata-kata wanita tadi terus terngiang di kepalanya. "Penuh misteri, penuh rahasia."
Ketika malam berakhir dan Adrian mengantarnya pulang, Ara masih tidak bisa menghilangkan rasa gelisah itu. Ketika mobil berhenti di depan rumahnya, Adrian menoleh ke arahnya, menatapnya dengan mata yang penuh perhatian.
"Kau melakukannya dengan baik malam ini," katanya lembut. "Aku tahu ini sulit, tapi kau mengatasinya dengan sempurna."
Ara hanya tersenyum kecil, tidak mampu berkata-kata. Ketika ia keluar dari mobil, Adrian tetap diam di tempatnya, matanya mengikuti setiap langkahnya hingga ia masuk ke dalam rumah.
Di dalam, Ara berdiri di depan jendela, menatap mobil Adrian yang perlahan pergi. Ia merasa seperti sedang berdiri di atas jurang, dengan angin dingin yang meniup kencang di sekitarnya.
Keputusan yang ia buat telah membawanya ke tempat ini, tetapi ia tidak tahu apa yang menunggunya di sisi lain.
Namun, satu hal yang pasti—jalan ini tidak akan mudah, dan misteri yang mengelilingi Adrian mungkin akan lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m
Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m
Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci
Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian