Marko mengambaikan panggilan Maya. Marko kembali sibuk menyandarkan kepalanya untuk mengistirahatkan badannya yang sedang lelah. "Bagaimana Maya? Apa kamu berhasil menghubungi Marko?" tanya Lidya."Panggilanku tidak diangkat.""Yah, kalau begini kita gak bisa pulang deh," balas Lidya sembari melihat mobilnya yang mogok dipinggir jalan. "Tenang, aku akan menghubungi Marko lagi.""Gak usah Maya. Percuma.""Iya, percuma. Kamu punya pacar gak guna Maya. Gak bisa dimintai pertolongan," sahut Mita."Iya, betul.""Mungkin saja Marko sedang sibuk sekarang. Makanya dia gak tahu kalau aku menelponnya.""Terus saja dibelain. Nanti kalau sudah bosen gak bakalan dibelain."Maya tidak menyanggah ucapan mereka seperti biasanya. Maya hanya diam dengan perasaan kesalnya. Jam berdetak meninggalkan putarannya. Sepanjang malam. Debi terus terjaga dari tidurnya. Debi tidak bisa tidur sampai pagi menyambut. Debi tidak tenang memikirkan keadaan Rafa saat ini. Dretttt dretttt drettttDebi terkejut saat m
"Selamat pagi Pak Juna," sapa Doni dengan tersenyum."Selamat pagi Doni.""Bagaimana keadaan Pak Juna? Apakah Pak Juna baik-baik saja?""Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja." "Kenapa Pak Juna bisa seperti ini?" sahut Renata yang terlihat cemas. "Mungkin karena saya kurang berhati-hati dalam berkendara." "Lain kali Pak Juna harus berhati-hati agar tidak seperti ini lagi."Perhatian yang diberikan Renata mengundang ketidak nyamanan pada Rafa. Apalagi saat ini ada Debi, membuat Rafa sangat berhati-hati. Rafa tidak mau perhatian Renata mengundang kesalahpahaman antara dia dan Debi. Rafa melihat Debi yang masih diam di tempatnya. Debi hanya melihat kearah Rafa tanpa berucap. "Sepertinya Kak Renata memang suka sama Pak Juna. Tapi Pak Juna suka sama aku. Aku harus bagaimana ini? Aku tidak mau ada masalah antara aku dan Kak Renata," bisik Debi.Pandangan Debi terus tertuju pada mereka. Debi tidak berani mendekat. Ia lebih memilih diam dengan pemikirannya saat ini. Mereka yang di
"Terima kasih Mas Doni," kata Debi yang turun dari motor. Tidak lupa, Debi memberikan helm yang ia pakai pada pemiliknya. "Iya, sama-sama." "Mas Doni mau mampir dulu?""Enggak deh, aku langsung pulang aja." "Ya sudah kalau gitu. Aku masuk dulu ya," balas Debi yang membalikkan badannya. Debi melangkahkan kakinya masuk ke dalam kos-kosannya. "Eh, Debi. Tunggu.""Iya Mas Doni, ada apa?" balas Debi yang menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. "Pak Juna itu orang yang baik. Sama baiknya kayak kamu. Kenapa sesama orang baik gak bersama aja?" "Maksudnya Mas Doni apa?" "Enggak apa-apa. Aku hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuk kalian. Ya sudah, aku pulang dulu." Doni melajukan motornya meninggalkan Debi yang masih termenung di tempatnya. "Apa Mas Doni tahu yang sebenarnya?" Cklek"Sudah selesai telponnya?" "Sudah Om," balas Marko yang berjalan mendekati omnya. "Ada apa? Kenapa wajah kamu sampai ditekuk kayak gitu? Kak Carina bikin ulah lagi?""Enggak kok Om, bukan kar
"Debi!!!!!" teriak Lisa yang terkejut, saat melihat darah segar keluar dari perut Debi. "Tolong......"BrukkkkSeketika itu Debi ambruk dan tak sadarkan diri. Mereka yang ada di sana pun panik. "Angkat Debi. Kita bawa dia ke rumah sakit sekarang juga," kata karyawan lainnya. Mereka yang ada di sana bergegas mengangkat Debi, dan membawa Debi keluar dari dalam ruangan.Semua orang panik. Bahkan pengunjung yang datang pun tak kalah panik. Mereka yang membawa Debi keluar dari dalam cafe dan menuju mobil manager mereka. "Cepat Pak, aku tidak mau Debi kenapa-kenapa," kata Lisa yang tak berhenti menangis. Mobil itu pun langsung melaju pergi meninggalkan parkiran cafe. Krukkk krukkk krukkkMarko memegang perutnya yang tak berhenti berbunyi. Marko lapar, karena memang pagi ini Marko belum makan apapun. Marko terlalu sibuk mengurus omnya sampai melupakan sarapannya. "Kamu lapar Marko?" "Iya Om," balas Marko sembari meringis. "Kalau kamu lapar. Cari makan dulu sana." "Tapi bagaimana den
Deg"Ya Tuhan, Debi," ucap Rafa terkejut. Spontan Rafa mengulurkan tangannya. Saat Rafa hendak menyentuh wajah Debi. Tiba-tiba Rafa merasa pusing dan hampir saja terjatuh. Dengan cepat suster langsung menolongnya. "Sebaiknya Mas istirahat.""Tapi teman saya.......""Keadaan Mas masih belum stabil. Selain bisa membahayakan Masnya sendiri, juga orang lain.""Iya dok." Rafa pun pasrah dan mengikuti suster yang membawanya kembali menuju hospital bed. Awan yang cerah telah berganti gelap. Seiring itu Debi tak sadarkan diri. Mulai mengerjapkan matanya. "Aku di mana?" Debi mengedarkan pandangannya. Saat itu Debi melihat ia dikelilingi alat medis. Yah, Debi sadar saat itu dirinya berada di rumah sakit. Pandangan Debi menangkap seseorang yang terbaring di sampingnya. Debi memperhatikan seseorang itu. Deg"Rafa?" Debi pun terkejut melihat Rafa yang terbaring di ranjang sebelahnya. "Kenapa Rafa bisa ada di sini? Ini kan bukan ruangannya?" Perhatian Debi masih tak teralihkan. Debi melih
"Debi......"Deg Marko terkejut saat mendengar omnya menyebut nama seseorang yang sangat ia kenal. Perhatian Marko semakin terfokuskan pada wanita yang sampai detik ini tak bergeming dari tempatnya. "Debi, aku kembali ke ruanganku ya," ucap Rafa kembali. Rafa menunggu, namun Debi tak kunjung juga meresponnya. "Debi......," ulangnya, namun Debi tetap tak membalikkan badannya. Rafa semakin dibuat kecewa olehnya. Sementara Marko semakin penasaran. Yah, Marko ingin memastikan jika wanita itu bukan wanita yang ia kenal. Huh, Rafa menghela nafas panjang. Sepertinya Debi tidak ingin meresponnya. Dan Rafa harus sadar itu. "Kita kembali ke ruangan sekarang Marko." "Om tidak jadi menunggunya?" balas Marko sedikit kecewa. Yah, karena Marko benar-benar ingin memastikan. "Tidak perlu. Mungkin Debi sedang istirahat." "Oh, ya sudah, kalau begitu aku akan membawa Om kembali ke ruangan." Meski sedikit kecewa, namun Marko harus mengalihkan rasa penasarannya. Marko pun langsung membantu omnya
Pyarrrrrr Maya yang tengah bersama teman-temanya, tak sengaja menjatuhkan gelas di dekatnya. Maya yang terlalu fokus dengan ceritanya, sampai terkejut dibuatnya. "Hati-hati Maya," kata Lidya yang memunguti serpihan gelas, dan membuangnya. "Aku cemas, Lidya. Aku takut kalau Debi sampai melaporkan aku ke kantor polisi." "Lagian kamu juga gila Maya. Sampai melukai Debi kayak gitu." "Aku kebawa emosi, Mira. Marko mutusin aku, dan pasti itu gara-gara Debi." "Apa? Marko mutusin kamu?" balas mereka terkejut. "Iya, Marko mutusin aku. Pasti gara-gara Debi, Marko sampai mutusin aku." "Bener banget kalau ini Maya. Secara Marko kan cinta mati sama Debi, karena dia tidak bisa melupakan Debi. Makanya dia mutusin kamu." "Isssttttt, kesal sekali aku sama Debi. Kenapa sih dulu orang tuanya enggak bunuh dia aja. Kalau kayak gini kan nyusahin hidup orang," balas Maya yang kembali terbawa emosi. Maya sampai lupa dengan perbuatannya. "Tapi Maya, tetap saja apa yang kamu lakukan salah lo. Kamu su
"Pak Rafa?" kata Debi terkejut, saat tiba-tiba Rafa masuk ke dalam ruangannya. "Pak Rafa kok bisa ada di sini?" "Iya, aku sengaja mau jenguk kamu. Oh iya, maaf, tadi aku tidak sengaja mendengar obrolan kamu.""Oh, iya Pak. Tidak apa-apa." "Aku akan membantu kamu membayar biaya rumah sakit." "Enggak perlu Pak Rafa, aku bisa membayarnya sendiri." "Bukankah tadi kamu bilang kalau kamu enggak ada uang?" "Iya, tapi aku akan mencarinya." "Aku ikhlas menolong kamu, Debi." "Terima kasih, Pak Rafa sudah terlalu baik denganku. Aku gak mau terus-terusan ngerepotin Pak Rafa." "Aku enggak merasa direpotkan. Aku malahan senang bisa membantu kamu. Kamu mau kan aku bantu?" "Sekali lagi terima kasih Pak Rafa, aku akan usaha sendiri." "Baiklah, aku tidak akan memaksa kamu," balas Rafa kecewa. Debi yang terlalu sibuk dengan ponselnya sampai tak menyadari itu, namun tidak dengan Lisa. Lisa bisa melihat ketulusan Rafa untuk Debi. "Debi, aku keluar dulu ya.""Kamu mau kemana?""Aku mau nyari ma