"Sayang, aku pergi dulu ya. Kalau sudah sampai aku kabarin." Dengan perasaan sedih Nathan mencoba kuat saat berpamitan pada Sabrina, kekasihnya.
Sabrina mengangguk. "Hati-hati di jalan," ujar Sabrina.
Dengan langkah berat Nathan pergi meninggalkan kekasihnya. Wanita yang sudah lama ia cintai lewat media sosial itu bernama Sabrina, seorang janda muda beranak satu. Hari itu adalah hari terakhirnya di desa tempat Sabrina berada. Ia berpamitan untuk kembali ke Jakarta untuk meminta restu orang tuanya sekaligus untuk melamar Sabrina.
***
Taxi yang Nathan tumpangi sudah sampai, dengan langkah pasti Nathan menuju rumahnya.
"Assalamu'alaikum," ucap Nathan di depan pintu rumah, ia tidak langsung masuk meski tahu rumahnya tidak di kunci. Sebab sudah ada security yang menjaga gerbang didepan rumahnya.
"Iya, sebentar!" jawab asisten rumah tangga di rumah itu.
Pintu rumah terbuka dan Surti keluar menyapa tamunya.
"Maaf, cari siapa ya?" Tanya Surti pada Nathan yang berdiri membelakanginya.
Nathan berbalik dan kembali mengucap salam. "Assalamu'alaikum, Bi Surti."
Surti terbelalak kaget menatap Nathan, apalagi saat Nathan mencium punggung tangannya dan juga mengucap salam sebelum masuk. Hal itu bukanlah hal biasa yang Nathan lakukan. Nathan pulang dan jadi sosok pria yang sangat baik, tidak seperti sebelumnya yang jauh dari Tuhan.
"Masya Allah, Nathan, sudah pulang?" tanya Surti dengan mata berkaca-kaca.
"Iya dong, Bi," jawab Nathan. "Mama sama papa ada, Bi?"
"Tuan ada di ruang kerjanya, kalau nyonya sedang keluar," jawab Surti.
Nathan melangkah masuk diikuti Surti yang menatapnya dengan tatapan takjub. Ketika Nathan menuju kamarnya Surti bergegas menuju dapur dan menyiapkan makanan untuk makan siang majikannya yang tinggal sebentar lagi.
"Lho, Bi, kok makannya banyak banget? Bukannya mama lagi di luar ya?" tanya Nathan sambil mengambil air putih.
" Oh itu? Tadi tuan sudah bilang kalau sebentar lagi nyonya akan pulang." Surti menjawab sambil menata makanan di atas meja.
Nathan tidak lagi bertanya, ia meminum habis segelas air di tangannya.
"Nathan, ini beneran anak papa?" Bram datang menghampiri Nathan.
"Pa," ucap Nathan sambil mencium punggung tangan papanya.
Bram menatap heran pada Nathan, ia pun bertanya pada Surti. "Bi, ini beneran Nathan kan?"
"Iya, Tuan," jawab Surti yang kembali terharu menatap Nathan.
"Papa sama Bi Surti kenapa sih? Kok aneh gitu?" Nathan bertanya heran.
"Ka ...." Baru akan bicara Bram berhenti ketika mendengar suara istrinya.
"Yuhu, any body here?" Mytha, istri Bram datang menghampiri keluarganya.
"Ma." Nathan melakukan hal yang sama pada mamanya seperti yang ia lakukan pada Bram dan Surti.
Mata Mytha terbelalak, ia menyentuh pundak Nathan namun membiarkan Nathan mencium punggung tangannya.
"Pa, ini Nathan? Anak kita?" tanya Mytha dengan tatapan aneh.
"Iya, Nonya, ini Nathan," jawab Surti antusias sementara Bram hanya melihat Nathan dengan tatapan bingung.
Mendengar jawaban Surti membuat Mytha semakin heran, pegangnya pipi Nathan dengan kedua tangannya lalu bertanya. "Ya ampun Nathan ini beneran kamu?"
"Iya dong Ma, Pa, ini aku Nathan," jawab Nathan.
"Kok kamu jadi gini? Kenapa sekarang dekil?" tanya Mytha.
"Aku lapar, Ma, boleh kita makan dulu?" tanya Nathan yang langsung duduk dan memasukkan nasi ke piringnya.
Mereka pun makan bersama sambil berbincang dan menanyakan kabar.
Selesai makan Nathan mengajak orang tuanya untuk berbicara serius, ia ingin mengutarakan niatnya untuk melamar Sabrina.
"Pa, Ma, aku mau nikah," ujar Nathan langsung tanpa berbasa-basi.
"Apa?" tanya kedua orang tua Nathan hampir bersamaan.
"Aku mau nikah, Ma, Pa. Aku mau minta restu Mama sama Papa, sekaligus minta tolong buat melamar wanita yang kucintai." Nathan bicara serius tetapi kedua orang tuanya malah saling pandang, merasa tidak percaya.
"Kamu mau nikah sama siapa, Nak?" tanya Mytha.
Nathan mengambil ponselnya dan mencari foto Sabrina lalu menunjukkan pada orang tuanya.
"Aku mau nikah sama dia, Ma, Pa." Nathan menyerahkan ponsel pada Mytha sambil menceritakan tentang Sabrina. "Namanya Sabrina, dia wanita yang hebat, sopan, baik dan juga tangguh. Dia juga sangat manis."
"Anak kecil di pangkuannya ini siapa?" tanya Mytha, matanya tidak lepas dari foto Sabrina.
"Itu anaknya, Ma," jawab Nathan.
Mytha terkejut mendengar jawaban Nathan. "Apa? Dia janda? Kamu mau menikahi janda?"
"Iya, Ma. Tapi Mama tenang aja, aku bisa kok menerima anaknya." Nathan menjawab tanpa ragu.
"Astaga, Nathan, kamu ini bagaimana sih? Kamu masih muda lho, baru juga selesai kuliah, masa mau nikah sama janda kampungan seperti dia, Nak." Bram langsung tidak setuju, apalagi dia sudah sepakat menjodohkan Nathan dengan anak dari rekan bisnisnya.
"Papa kok ngomongnya gitu? Dia memang orang kampung, Pa, tapi bukannya Mama sama Papa juga berasal dari kampung?" Nathan tidak terima kekasihnya disebut kampungan.
"Bukan begitu, Nathan, Papa sudah menyetujui kamu nikah dengan anak Pak Martin," tegas Bram.
"Amelia, si cewek manja itu? Aku nggak mau, Pa," tolak Nathan.
"Tapi dia setara dengan keluarga kita, Nathan. Kalau kamu menikah dengan Amelia maka perusahaan kita juga untung besar," tegas Bram.
"Perjodohan bisnis," sinis Nathan. "Papa mau jual aku demi keuntungan bisnis, Pa?"
"Ini juga demi kebaikanmu, Nathan, biar kamu tidak tertipu dengan janda kampungan itu." Bram marah karena Nathan menolak.
Tanpa berkata-kata lagi Nathan langsung meninggalkan kedua orang tuanya dan kembali ke kamar dengan perasaan kecewa.
***
Hari demi hari berganti, perang dingin antara Nathan dan orang tuanya masih belum ada titik terang. Nathan tetap pada pendiriannya dan tidak mau menerima Amelia sedangkan Bram tetap menolak Nathan menikahi Sabrina.
Nathan semakin gelisah, sudah hampir satu bulan dia tidak mendapatkan restu. Padahal dia berjanji pada Sabrina dalam waktu sebulan akan datang kembali dan melamarnya. Karena tidak mendapatkan titik terang, ia memutuskan untuk kabur dari rumah.
Di perjalanan menuju bandara Nathan baru sadar kalau ia sedang diikuti oleh anak buah Bram. Ketika sudah sampai di bandara Nathan keluar dengan hati-hati dari taxi yang ia tumpangi. Ia mencoba untuk mengecoh anak buah Bram. Namun nahas, Nathan kurang memperhatikan jalan. Saat dia berusaha menghindari anak buah Bram, sebuah mobil dengan kondisi rem yang tidak berfungsi melaju cepat ke arahnya. Tabrakan pun tidak dapat dihindari, Nathan terpental ke arah pembatas jalan.
Di kantor, Bram sedang menerima telepon dari anak buahnya. Dia marah karena mereka tidak bisa menjaga Nathan dan membawanya pulang.
"Papa kenapa marah-marah gitu?" Mytha sengaja datang mengunjungi kantor suaminya ketika Bram sedang memaki anak buahnya.
Bram terkejut melihat Mytha yang sudah ada di kantornya. "Mama kok tiba-tiba ada di sini?"
"Sekalian lewat tadi, Pa, Mama merindukan tempat ini," jawab Mytha. "Papa kenapa marah-marah?"
"Eh, itu, Ma, anu ...." Bram bingung mau menjelaskan dari mana.
"Itu apa, Pa?" tanya Mytha penasaran.
"Nathan kecelakaan, Ma," jawab Bram.
"Apa? Terus kondisinya bagaimana, Pa?" Mytha panik.
Bram menjawab dengan ragu. "Nathan, dia ...."
"Ka ...." Jaka menghentikan ucapannya setelah melihat Martin mendekat ke arahnya."Apa yang kalian lakukan di belakang rumah saya?" Martin melangkah semakin mendekat, menatap satu persatu wajah Jaka dan teman-temannya bergantian."A-anu, Pak. Kami ...." Jaka kebingungan."Mereka habis memperbaiki gudang, Pak," jawab Rahma.Martin menatap Rahma, asisten rumah tangganya itu mengangguk dengan wajah tenang. "Benarkah? Tapi saya rasa gudang dalam keadaan baik-baik saja, tidak ada yang perlu diperbaiki."Martin melangkah menuju gudang untuk memeriksa, tetapi dengan cepat Rahma menahannya. "Maafkan saya, Pak, sebaiknya anda jangan masuk, di dalam berbahaya. Saya tidak sengaja membuat kaca jendelanya pecah."Martin berbalik dan menatap Rahma dengan tatapan curiga lalu bertanya, "Pecah? Kok bisa?""I—iya, Pak, saat menaruh barang di gudang saya tidak sengaja menyenggol tangga dan membuat tangga itu roboh tepat mengenai kaca jendela," jawab Rahma yang tentu saja berbohong.Jaka dan teman-temann
"Anu .... Mungkin dia merindukan papanya? Iya, rindu," ajar Amelia gelagapan.Nathan mengangguk tanpa bertanya lagi, ia memperhatikan Sofia yang diam dalam pelukannya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu, sebuah kerinduan yang dalam pada gadis kecil yang sedang memeluknya erat."Apa alasan ibunya membuang gadis kecil yang malang ini?" tanya Nathan.Amelia terdiam sejenak, ia menatap Rahma dan memberi kode untuk meninggalkan mereka bertiga saja. Setelah Rahma pergi, Amelia menjawab pertanyaan Nathan yang tentu saja dengan jawaban yang ia karang."Kalau ku lihat-lihat ibunya seperti mengalami gangguan jiwa, ia terlihat depresi. Makanya aku berinisiatif membawa anaknya. Aku takut kalau Sofi terus ikut dengan ibunya akan mengalami hal yang merugikan buat masa depannya."Jawaban Amelia begitu meyakinkan, ia menjawab dengan wajah serius seakan-akan jawabannya memang benar sehingga Nathan percaya saja padanya."Siapa namanya tadi, Sofi?" tanya Nathan."Iya, namanya Sofi," jawab Amelia. Ia sengaja
"Aku .... Than, kamu benar-benar tidak ingat Sabrina?" tanya Leon."Sabrina siapa sih, kok kamu dari kemarin nanyain dia?" Nathan penasaran."Astaga, Nathan, aku harus jelasin bagaimana lagi sih? Dia itu orang yang selama ini kamu kejar sampai ke luar pulau," ujar Leon."Hah, segitunya?" Nathan tidak yakin.Leon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hilangnya Sabrina belum ada titik terang dan sekarang Nathan malah datang di waktu yang tidak tepat."Sini masuk, biar ku jelaskan semuanya."Leon mengajak Nathan masuk ke rumahnya untuk menceritakan tentang Sabrina, berharap Nathan bisa mengingatnya. Ia pikir mumpung Amelia tidak ada merupakan kesempatan bagus, sebab biasanya Nathan selalu bersama Amelia yang selalu menghalangi Leon untuk menceritakan tentang Sabrina."Duduk dulu, aku haus mau ambil minum. Kamu mau minum apa?" tanya Leon.Nathan duduk sambil menjawab pertanyaan Leon. "Apa aja boleh kok, Le."Leon bergegas ke dapur lalu menyiapkan minuman dan cemilan untuk menemani mereka
Di sebuah ruangan yang lembab dengan sedikit pencahayaan yang masuk terbaring seorang wanita yang tidak sadarkan diri. Ruangan itu sedikit kotor dan berdebu karena jarang dikunjungi, gudang.Sudah hampir satu jam wanita itu tak kunjung sadar. Hingga ia terkejut dan langsung terbatuk-batuk akibat sedikit parfum yang disemprotkan ke wajahnya.Amelia, pelaku penyemprotan parfum tersebut berkata dengan sinis, "Akhirnya, sadar juga.""Di mana aku?" Sabrina masih belum bisa mencerna karena baru saja siuman."Oh, masih linglung rupanya. Mau ku bantu ingatkan?" tanya Amelia."Anda siapa?" Sabrina menatap wajah Amelia."Hei, jangan melihatku seperti itu!" bentak Amelia."Ma-maaf." Sabrina tergagap.Sabrina yang masih bingung berusaha keras mengingat-ingat sebelum ia berada di gudang tersebut. Perlahan ia ingat ketika akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Leon."Sofia, di mana anak saya?" Sabrina langsung menanyakan keberadaan Sofia pada Amelia, matanya langsung memindai isi gudang ters
"Kamu ... kenapa ada di sini?" tanya Sabrina dengan kesal."Mengikuti mu.""Untuk apa? Aku tetap tidak akan mau," tegas Sabrina."Aku akan berusaha."Sabrina menatap tidak suka pada orang di depannya yang tidak lain adalah Antoni. Kali ini Antoni mengenakan pakaian yang lebih rapi untuk menemui Sabrina. Tetapi Sabrina tidak peduli, sekalipun Antoni berubah menjadi baik tapi hati Sabrina masih menyimpan Nathan. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Nathan di hatinya."Jangan harap," sinis Sabrina.Ekspresi wajah Antoni sedikit berubah ada kemarahan yang tidak bisa langsung ia hilangkan. Tetapi kali ini Sabrina tidak takut lagi terhadap Antoni, sebab para pekerja sudah mulai berdatangan. Tidak mungkin Antoni berani melakukan hal yang buruk padanya di saat seperti itu.Karena ada Antoni, Sabrina tidak meninggalkan Sofia sendirian di gubuk. Ia membawa Sofia untuk membersihkan rumput saja di kebun cabai yang sudah mulai tinggi. Sementara Antoni duduk di teras gubuk sambil terus mengamati
"Kamu, aaaargh ...!" jerit Antoni.Sabrina segera berlari setelah tangannya dilepas Antoni yang kepedasan karena cabai. Untung saja dia cepat mengambil dan meremas cabai tersebut dan tanpa ragu ia lemparkan ke mata Antoni.Sabrina sudah di depan rumah Nuraeni dengan nafas ngos-ngosan. "Assalamualaikum, Bibi, Sofia."Mendengar suara ibunya Sofia langsung keluar dan menghampiri Sabrina. "Mama.""Kok baru pulang?" Nuraeni keluar dengan wajah masam."Maaf, Bi, cabainya sudah tidak banyak yang tua jadi nyarinya lama, harus di semua pohon," ujar Sabrina."Ya sudah sana timbang dulu," titah Nuraeni."Baik, Bi." Sabrina segera masuk dan menimbang cabai tersebut agar cepat pulang.Nuraeni mengikuti Sabrina masuk dan mengawasinya menimbang cabai. Seperti biasa cabai yang dipetik Sabrina tidak pernah kurang, lebihnya pun hanya sedikit. Itu semua karena Sabrina sudah terbiasa dan hafal dengan beratnya."Cabainya lima kilogram, Bi, semua sudah aku bungkus dan ini lebihnya," kata Sabrina."Ya sudah