Empat hari sudah Nathan terbaring lemah di rumah sakit dalam keadaan koma. Mytha begitu khawatir melihat kondisi anaknya, apalagi terkadang ia melihat air mata Nathan mengalir dengan sendirinya.
"Dokter, kenapa Nathan belum juga sadar?" tanya Mytha pada Sunardi--dokter yang menangani Nathan di rumah sakit tersebut.
"Mohon sabar ya, Bu. Benturan di kepala anak Ibu cukup parah, saya tidak bisa memastikan kapan ia akan sadar," jawab Sunardi.
Mytha dan Sunardi bicara di ruangan Nathan karena Sunardi baru saja melakukan pemeriksaan rutin pada pasiennya. Begitu banyak yang Mytha tanyakan terkait dengan kondisi Nathan. Hingga saat Mytha tengah asyik membicarakan Nathan ia melihat mulut anaknya tersebut bergerak seperti sedang bicara.
"Dokter, apakah saya salah lihat? Sepertinya mulut Nathan bergerak." Mytha mendekatkan telinganya pada mulut Nathan.
"Sabrina," ujar Nathan lemah.
Mytha tidak percaya dengan apa yang ia dengar hingga membuat Sunardi penasaran dan ikut mendekatkan telinganya pada Nathan.
"Sabrina," lirih Nathan kali ini ia bicara sambil mengeluarkan air mata.
Mytha semakin kesal dan marah, karena Nathan malah menyebut nama orang lain bukan dirinya yang jelas-jelas sudah melahirkannya.
"Maaf, Bu Mytha, siapa itu Sabrina? Bu Mytha kenal?" tnya Sunardi.
"Bukan siapa-siapa, Dok," jawab Mytha cepat.
"Sepertinya orang itu adalah orang yang penting ya bagi anak Ibu?" Sunardi lanjut bertanya.
"Dia ... itu ... anu, dia cuma temannya Nathan, Dok." Mytha bingung mau menjelaskan kalau dia tidak suka membahas tentang Sabrina.
"Oh teman ya? Ibu kenal orangnya?" tanya Sunardi.
"Ke ... tidak, saya tidak kenal, Dok, cuma sekedar tau," kata Mytha.
"Sepertinya orang ini sangat penting bagi anak Ibu, apa bisa panggil dia ke sini? Sepertinya dia bisa membantu anak Ibu sadar." Kata-kata Sunardi membuat Mytha semakin marah pada Sabrina, kenapa harus dia yang Nathan butuhkan?
"Kenapa harus dia, Dok? Saya kan ibunya," sewot Mytha.
"Mungkin Sabrina ini orang yang spesial bagi nak Nathan, Bu," jelas Sunardi.
"Tapi kenapa harus dia, Dok? Kenapa bukan saya? Saya kan ibunya." Mytha tidak terima.
"Ini kondisi medis yang tidak bisa kita atur, Bu. Meskipun pasien dalam keadaan koma, tapi alam bawah sadarnya masih bekerja." Sunardi menjelaskan.
Mytha menatap kecewa pada Nathan yang masih tidak sadarkan diri. Kondisi Nathan saja cukup membuatnya terluka, karena Nathan memilih pergi untuk menemui Sabrina dan meninggalkan keluarganya.
Hari-hari berikutnya masih tidak ada perubahan, yang terjadi malah Nathan semakin sering menyebut nama Sabrina.
"Pa, apa kita harus membawa wanita itu ke sini?" tanya Mytha pada suaminya.
Bram menghela nafas berat. "Sepertinya kita tidak punya pilihan lain, Ma. Pak Martin terus mendesak agar perjodohan Nathan dan Amelia disegerakan."
"Ya sudah kalau begitu, Pa, biar Mama saja yang berangkat besok, Papa kan harus kerja." Mytha langsung setuju karena ia pikir lebih baik Amelia daripada Sabrina.
***
"Dokter, saya sudah membawa Sabrina, apa yang harus dia lakukan?" Mytha menarik tangan Sabrina agar mendekati Sunardi untuk mendengarkan arahan.
Sunardi menatap tidak yakin pada Sabrina tetapi ia tetap mengajak mereka masuk ke ruangan Nathan. "Kita masuk dulu, Bu."
"Coba bicara dulu pada pasien," titah Sunardi pada Sabrina.
"Saya bicara apa, Dok?" Sabrina khawatir jika ia salah bicara, terlebih ia sedang diawasi oleh Mytha.
"Bicara apa saja boleh, dia pasti mendengar kok," jawab Sunardi.
Sabrina duduk di kursi dekat ranjang Nathan dan mulai bicara pelan memanggil Nathan dengan mulut bergetar dan mata yang menahan tangis. "Nathan, bangun yuk, aku datang."
Mytha dan Sunardi mempertahankan Nathan dengan harapan ia akan segera bangun. Tetapi apa yang mereka harapkan tidaklah terjadi. Nathan masih tidak bereaksi setelah Sabrina bicara.
"Mungkin kita coba lain kali, Bu. Hal ini tidak bisa di lakukan hanya dengan sekali percobaan," ujar Sunardi lalu pamit keluar dari ruangan Nathan.
Mytha menghela nafas kasar dia duduk di sofa yang terletak di ruangan tersebut.
"Kamu! Sini sebentar," panggil Mytha pada Sabrina.
Sabrina mendekat dengan perasaan takut. Sejak pertemuan pertama mereka tidak ada kebaikan yang Sabrina terima.
"Jangan duduk di situ, duduk di bawah!" bentak Mytha pada Sabrina yang akan duduk di dekatnya.
Sabrina menurut saja, kepalanya terus menunduk takut pada Mytha. "Tuhan, apakah saya salah berani mencintai orang dari keluarga berada ini?" pikir Sabrina.
"Pokoknya dalam dua hari kamu harus bisa membuat Nathan sadar," tegas Mytha.
"Baik, Tante, tapi ...." Sabrina ingin protes tapi tidak berani.
"Tapi apa? Bicara yang jelas," ketus Mytha.
"Tapi saya tidak bisa menjamin Nathan akan sadar, Tante," lirih Sabrina.
"Tidak bisa kamu bilang? Dokter Sunardi saja meminta saya agar membawamu ke sini. Lalu apa gunanya kamu kalau tidak bisa membuat anak saya tidak bisa bangun?" marah Mytha.
Tangis Sabrina pun luruh, luntur sudah pertahanan yang sejak tadi ia tahan untuk tidak menangis. Ia tidak kuat dimarahi dan di bentak sejak pertemuan pertama mereka. Tapi ia tahan demi Nathan, namun yang ia dapat hanya amarah.
***
Keesokan harinya, Mytha tidak bisa menunggu Nathan karena ada masalah di restorannya. Dengan terpaksa ia membiarkan Sabrina menemani Nathan.
"Saya ada urusan sebentar dan akan kembali secepatnya. Kamu jangan berani macam-macam pada anak saya," pesan Mytha sebelum berangkat.
Sabrina mengangguk, dalam hati ia bersorak gembira karena ia merasa tenang jika tidak di awasi. Berbekal info dari internet yang ia cari semalam membuatnya lebih bersemangat untuk menyadarkan Nathan.
"Sayang, bangun. Aku rindu kamu." Sabrina berkata pelan sambil menggenggam tangan Nathan.
Nathan masih tidak bereaksi apa-apa tetapi Sabrina tidak menyerah. Diambilnya tisu basah yang sudah ia sediakan di dalam tasnya. Lalu dengan perlahan membersihkan tubuh Nathan menggunakan tisu tersebut.
Selesai membersihkan tubuh Nathan, Sabrina kembali mengajaknya bicara. Bicara apa saja tentang hubungan mereka. Tanpa dia sadari kalau Mytha sudah kembali dan mengawasinya di depan pintu.
"Sayang, kapan kamu bangun? Bukannya kamu janji sama aku hanya pergi satu bulan. Tapi ini sudah lebih dari satu bulan, kenapa kamu tidak mau bangun? Kamu mau ninggalin aku?" Sabrina bicara banyak sambil menggenggam erat tangan Nathan, air matanya tidak berhenti mengalir.
Awalnya Mytha akan marah, tetapi ia melihat Nathan mulai bereaksi. Matanya perlahan terbuka tapi Sabrina tidak menyadari itu. Dengan cepat Mytha mendekati Sabrina untuk melakukannya dari Nathan tetapi terlambat, Nathan sudah melihatnya.
"Kamu siapa?" tanya Nathan pelan pada Sabrina yang masih menangis di sampingnya.
Mytha dan Sabrina sama-sama terkejut. Kesedihan Sabrina semakin bertambah ketika mendengar pertanyaan Nathan. Sementara Mytha tersenyum licik.
"Apa Nathan amnesia dan melupakan wanita itu?" pikir Mytha.
Dengan cepat Mytha mendekati dan menjawab pertanyaan Nathan . "Dia ...."
Di sebuah ruangan yang lembab dengan sedikit pencahayaan yang masuk terbaring seorang wanita yang tidak sadarkan diri. Ruangan itu sedikit kotor dan berdebu karena jarang dikunjungi, gudang.Sudah hampir satu jam wanita itu tak kunjung sadar. Hingga ia terkejut dan langsung terbatuk-batuk akibat sedikit parfum yang disemprotkan ke wajahnya.Amelia, pelaku penyemprotan parfum tersebut berkata dengan sinis, "Akhirnya, sadar juga.""Di mana aku?" Sabrina masih belum bisa mencerna karena baru saja siuman."Oh, masih linglung rupanya. Mau ku bantu ingatkan?" tanya Amelia."Anda siapa?" Sabrina menatap wajah Amelia."Hei, jangan melihatku seperti itu!" bentak Amelia."Ma-maaf." Sabrina tergagap.Sabrina yang masih bingung berusaha keras mengingat-ingat sebelum ia berada di gudang tersebut. Perlahan ia ingat ketika akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Leon."Sofia, di mana anak saya?" Sabrina langsung menanyakan keberadaan Sofia pada Amelia, matanya langsung memindai isi gudang ters
"Kamu ... kenapa ada di sini?" tanya Sabrina dengan kesal."Mengikuti mu.""Untuk apa? Aku tetap tidak akan mau," tegas Sabrina."Aku akan berusaha."Sabrina menatap tidak suka pada orang di depannya yang tidak lain adalah Antoni. Kali ini Antoni mengenakan pakaian yang lebih rapi untuk menemui Sabrina. Tetapi Sabrina tidak peduli, sekalipun Antoni berubah menjadi baik tapi hati Sabrina masih menyimpan Nathan. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Nathan di hatinya."Jangan harap," sinis Sabrina.Ekspresi wajah Antoni sedikit berubah ada kemarahan yang tidak bisa langsung ia hilangkan. Tetapi kali ini Sabrina tidak takut lagi terhadap Antoni, sebab para pekerja sudah mulai berdatangan. Tidak mungkin Antoni berani melakukan hal yang buruk padanya di saat seperti itu.Karena ada Antoni, Sabrina tidak meninggalkan Sofia sendirian di gubuk. Ia membawa Sofia untuk membersihkan rumput saja di kebun cabai yang sudah mulai tinggi. Sementara Antoni duduk di teras gubuk sambil terus mengamati
"Kamu, aaaargh ...!" jerit Antoni.Sabrina segera berlari setelah tangannya dilepas Antoni yang kepedasan karena cabai. Untung saja dia cepat mengambil dan meremas cabai tersebut dan tanpa ragu ia lemparkan ke mata Antoni.Sabrina sudah di depan rumah Nuraeni dengan nafas ngos-ngosan. "Assalamualaikum, Bibi, Sofia."Mendengar suara ibunya Sofia langsung keluar dan menghampiri Sabrina. "Mama.""Kok baru pulang?" Nuraeni keluar dengan wajah masam."Maaf, Bi, cabainya sudah tidak banyak yang tua jadi nyarinya lama, harus di semua pohon," ujar Sabrina."Ya sudah sana timbang dulu," titah Nuraeni."Baik, Bi." Sabrina segera masuk dan menimbang cabai tersebut agar cepat pulang.Nuraeni mengikuti Sabrina masuk dan mengawasinya menimbang cabai. Seperti biasa cabai yang dipetik Sabrina tidak pernah kurang, lebihnya pun hanya sedikit. Itu semua karena Sabrina sudah terbiasa dan hafal dengan beratnya."Cabainya lima kilogram, Bi, semua sudah aku bungkus dan ini lebihnya," kata Sabrina."Ya sudah
"Dia hanya seorang yang Mama tugaskan untuk menjagamu di sini, Nathan," ujar Mytha sambil tersenyum puas.Pertanyaan Nathan saja cukup mengejutkan bagi Sabrina, ditambah lagi dengan pernyataan Mytha membuat hati Sabrina sakit. Ia langsung keluar dari ruang ICU sambil menangis."Dokter, ada apa dengan Nathan?" tanya Mytha.Sunardi yang datang tidak lama setelah Mytha masuk belum bisa memastikan sebelum memeriksa kondisi Nathan."Biar saya periksa dulu ya, Bu," ujar Sunardi."Iya, Dok, kalau begitu saya pamit keluar sebentar." Mytha buru-buru keluar mencari Sabrina.Di luar Mytha melihat Sabrina yang sedang duduk di kursi tunggu. Ia segera menghampiri dan menyodorkan sebuah amplop pada Sabrina."Ambil ini dan ingat kamu jangan pernah muncul lagi di hadapan anak saya," ujar Mytha penuh penekanan.Sabrina menoleh dan bertanya dengan heran. "Apa ini, Tante?""Itu bayaran karena sudah membuat Nathan kembali sadar Sekaligus bayaran untukmu yang mengincar harta keluarga kami agar segera kamu
Empat hari sudah Nathan terbaring lemah di rumah sakit dalam keadaan koma. Mytha begitu khawatir melihat kondisi anaknya, apalagi terkadang ia melihat air mata Nathan mengalir dengan sendirinya."Dokter, kenapa Nathan belum juga sadar?" tanya Mytha pada Sunardi--dokter yang menangani Nathan di rumah sakit tersebut."Mohon sabar ya, Bu. Benturan di kepala anak Ibu cukup parah, saya tidak bisa memastikan kapan ia akan sadar," jawab Sunardi.Mytha dan Sunardi bicara di ruangan Nathan karena Sunardi baru saja melakukan pemeriksaan rutin pada pasiennya. Begitu banyak yang Mytha tanyakan terkait dengan kondisi Nathan. Hingga saat Mytha tengah asyik membicarakan Nathan ia melihat mulut anaknya tersebut bergerak seperti sedang bicara."Dokter, apakah saya salah lihat? Sepertinya mulut Nathan bergerak." Mytha mendekatkan telinganya pada mulut Nathan."Sabrina," ujar Nathan lemah.Mytha tidak percaya dengan apa yang ia dengar hingga membuat Sunardi penasaran dan ikut mendekatkan telinganya pada
"Sayang, aku pergi dulu ya. Kalau sudah sampai aku kabarin." Dengan perasaan sedih Nathan mencoba kuat saat berpamitan pada Sabrina, kekasihnya.Sabrina mengangguk. "Hati-hati di jalan," ujar Sabrina.Dengan langkah berat Nathan pergi meninggalkan kekasihnya. Wanita yang sudah lama ia cintai lewat media sosial itu bernama Sabrina, seorang janda muda beranak satu. Hari itu adalah hari terakhirnya di desa tempat Sabrina berada. Ia berpamitan untuk kembali ke Jakarta untuk meminta restu orang tuanya sekaligus untuk melamar Sabrina.***Taxi yang Nathan tumpangi sudah sampai, dengan langkah pasti Nathan menuju rumahnya."Assalamu'alaikum," ucap Nathan di depan pintu rumah, ia tidak langsung masuk meski tahu rumahnya tidak di kunci. Sebab sudah ada security yang menjaga gerbang didepan rumahnya."Iya, sebentar!" jawab asisten rumah tangga di rumah itu.Pintu rumah terbuka dan Surti keluar menyapa tamunya."Maaf, cari siapa ya?" Tanya Surti pada Nathan yang berdiri membelakanginya.Nathan b