Thanksgiving merupakan hari bahagia bagi sebuah keluarga untuk bisa merayakan tradisi dan berkumpul bersama. Tapi tidak dengan Jonathan, undangan yang diterimanya dari James siang itu benar-benar membuatnya sakit kepala.
Keluarga besar William Walker akan merayakan Thanksgiving dan mengundang hampir seluruh keluarga dekat. “Aku mohon luangkan waktumu untuk datang, Nathan,”ucap James di seberang telepon. “Kita ini keluarga. Apapun yang terjadi. Apapun masalahmu dengan Pamela dan Jacob, kuharap tidak membuat kita terpisah sebagai keluarga.” Jonathan menghela nafas panjang. Satu hal yang paling dibencinya adalah berada di rumahnya dan mengenang berbagai kenangan buruk masa kecilnya. “Entahlah, James, Aku banyak kerjaan.” “Meskipun di hari libur?” Jonathan memaki dalam hati. Alasan yang buruk sekali. “Kau bisa mengundang temanmu juga, Nath,”bujuk James lagi. “Atau kekasihmu,”James sedikit menyelidik. Jonathan tidak bersuara. Ia tidak ingin berbagi kehidupan pribadi dengan saudara-saudaranya. “Akan aku pertimbangkan.” “Usahakan jangan dipertimbangkan,”tuntut James sedikit memaksa. “Oke.” Jika bukan James yang meminta, ia tidak akan segelisah ini. Ia akan dengan tegas menolak. Tapi Jonathan tidak pernah bermasalah dengan James, bahkan James selalu bersikap baik padanya. Jonathan mengetik sesuatu di ponselnya. “Bisakah aku meminta bantuanmu?” Emily yang menerima pesan tersebut segera membalas. “Tentu saja.” “Temani aku di acara Thanksgiving keluargaku Jumat ini.” “Oke.”Balas Emily singkat. “Siapkan beberapa pakaian ganti, kita akan menginap.” Emily mengerutkan kening. Menginap?Sebelum ia mengetik sesuatu untuk memberi alasan penolakan, Jonathan memberi emoticon sedih dan memohon, membuat Emily luluh. Di hari Jumat sore itu. Perjalanan menuju rumah Jonathan membutuhkan waktu hampir satu jam dari apartemen pria itu. Sepanjang waktu berkendara, wajahnya tampak suram. “Ada masalah?”tanya Emily menyadari sesuatu. Jonathan tak menjawab, detik selanjutnya ia menoleh sekilas. “Aku sedang menyiapkan nyali, Em.” Emily teringat pembicaran Paula waktu itu. Jonathan sering mendapat perlakuan buruk dari saudara tirinya hingga ia memutuskan pergi dari rumah dan tinggal di Manchester dengan saudara ibunya. “Kau tidak keberatan untuk cerita?Setidaknya aku tahu harus bagaimana jika bertemu saudara-saudaramu.” Jonathan diam sesaat. Sepertinya ia butuh kekuatan dan konsentrasi penuh untuk bercerita, akhirnya ia menepikan mobil di bahu jalan. Jonathan mematikan mesin mobil, membuka jendela dan menghirup udara yang menyerbu melalui jendela mobil. “Ibuku adalah istri kedua ayahku, mungkin kau sering mendengar gosip itu.” Emily mengangguk saat Jonathan menoleh padanya. “Istri pertama ayahku meninggal saat Jacob berusia dua tahun. Mereka memiliki tiga anak, James, Pamela dan Jacob. Setahun kemudian, Ayah bertemu ibuku saat pertemuan bisnis di Manchester. Mereka satu universitas. Seperti yang pernah kudengar dari ibu, dulu mereka pernah berpacaran waktu kuliah meski hanya beberapa bulan.”Jonathan meraih botol air mineral di samping kemudi dan meneguknya sesaat. “Mereka akhirnya memutuskan menikah. Setelah itu lahir aku dan adik bungsuku Kai. Aku dan Kai selisih dua belas tahun.”Jonathan memejamkan mata sesaat. Menghela nafas panjang. “Awalnya Pamela dan Jacob hanya usil menggangguku. Waktu itu aku masih berusia tiga tahun. Semakin lama mereka semakin keterlaluan. Saat ayah dan ibu pergi ke luar kota atau ke luar negeri untuk urusan bisnis, saat itulah neraka ku dimulai. Mereka sering mengurungku di gudang. Tanpa makan, hanya minum. Awalnya aku ketakutan tapi lama kelamaan menjadi terbiasa.” “Tak ada yang menolongmu?” “Tak ada seorang pembantu pun yang berani melawan Pam dan Jacob. Mereka berdua mengancam akan membuat mereka yang berani menolongku akan dipecat.” Emily tertegun. “Bagaimana dengan James?” “James bersekolah di asrama dan jarang pulang.” “Kau tidak mengadukan hal itu pada orang tuamu?” Jonathan tertawa getir. “Jika aku mengadu, perlakuan mereka selanjutnya akan lebih kejam.” Emily terkesiap. “Seberapa kejam?” “Jacob yang terparah. Dia sering memukuliku dengan brutal. Waktu usiaku lima tahun dia pernah menendangku hingga tulang rusukku patah, dan mereka mengatakan pada ayah jika aku terjatuh dari tangga.” Mulut Emily menganga ngeri membayangkan kejadian itu. “Tapi itu bukan apa-apa Em,”ucap Jonathan parau. Ia menoleh menatap Emily. “Tendangan dan pukulan masih bisa kuatasi. Dikurung di dalam gudang tanpa makananpun aku masih bisa tahan. Yang mengerikan adalah saat mereka menyekapku di sebuah bilik sempit dan gelap di tengah hutan, kau tahu, itu sangat mengerikan.”Tangan Jonathan mengenggam kemudi dengan erat. “Tiba-tiba saja aku seperti berhenti bernafas.” Jonathan memejamkan mata sesaat. Tangannya sedikit bergetar. Emily meraih tangan pria itu. Menggenggamnya erat. “Karena itu aku memintamu menemaniku, Em. Aku butuh seseorang untuk menjaga kewarasanku. Setiap kali melihat mereka rasanya aku ingin membunuh keduanya.” Emily mengangguk paham. “Tenang, ada aku di sampingmu.” Beberapa saat kemudian Jonathan tampak kembali tenang. “Terima kasih, Em.”Jonathan menatap Emily. “Sama-sama, bos.”Emily balas tersenyum. Keduanya telah tiba di pintu gerbang mansion keluarga Jonathan. Pria itu menekan sebuah tombol di samping pagar sebelum akhirnya pagar terbuka. Jalanan menuju Mansion dikellilingi pepehonon yang rimbun di samping kanan dan kiri. Mobil melewati jalanan yang cukup panjang untuk sampai di depan rumah. Rumah besar bergaya Victoria itu tampak menjulang megah. Mobil berhenti tepat di depan Mansion. Jonathan tidak segera turun. Ia mengetukkan jari di kemudi mobil. Menghela nafas panjang berkali-kali. “Inilah ‘monster’ku, Em.” “Jangan kuatir, aku akan menjagamu,”Emily tersenyum menenangkan. “Baiklah, ayo turun.” Dari arah pintu depan Mansion keluar sosok lelaki berambut pirang menyambut keduanya dengan senyum lebar. “Selamat datang, Nathan.”James membuka kedua tangan lebar dan memeluk adiknya sesaat. “Bagaimana kabarmu.” “Baik.”Jonathan menoleh ke arah Emily. “Perkenalkan ini kekasihku.” Senyum Emily memudar, terkejut dengan kalimat Jonathan. Belum ada pembicaraan tentang sandiwara sepasang kekasih. Emily harus bagaimana? “Hai, aku James, aku kakak tertua Jonathan.”James menjabat tangan Emily. “Emily.”Emily tersenyum tulus. “Jonathan selalu membuat kejutan, bukan?Dia sudah memiliki kekasih hanya dalam hitungan bulan tinggal di Manhattan.” “Dia memang selalu penuh kejutan,”balas Emily penuh makna. Jonathan mengedipkan sebelah mata dengan senyum saat Emily menatapnya meminta penjelasan. Ketiganya beriringan masuk ke dalam Mansion. Di ruang keluarga tampak dua orang tengah duduk berhadapan di sebuah sofa besar melingkar. Sosok tinggi berambut coklat mirip Jonathan tersenyum menyambut ketiganya. “Hei, apa kabar?”lelaki itu menyapa Jonathan dengan pelukan singkat. “Baik, bagaimana kabarmu, Kai?” “Baik, siapa ini?”tanyanya saat melihat Emily. “Dia kekasihku, Emily.” “Wow, Jonathan yang tak pernah berubah.”Terdengar suara wanita dari balik tubuh Kai. Pamela. Wanita berambut pirang dengan polesan bibir semerah darah berjalan mendekat. “Apa kabar, Pamela ?” “Selalu baik, tampan. Berapa lama kita tidak bertemu semenjak kematian ayah?”Dia tampak mengingat-ingat. “Ah ya, enam bulan ya?Dan…ck..ck.”Pamela menatap Emily penuh penilaian. “Dan kau sudah mendapat kekasih secantik ini?” “Apa kabar?Namaku Emily,”Emily mengulurkan tangan menjabat tangan Pamela yang sehalus sutra. Beberapa perhiasan mewah menghiasi jari tangan wanita itu. “Aku penasaran bagaimana kalian bertemu?Kau tahu kan di lama tinggal di Manchester. Dan kudengar sesuatu,”ucap Pamela seakan-akan berbisik. “Dia itu punya banyak kekasih di Manchester.”Pamela tertawa. Emily tersenyum. “Jangan kuatir, aku sudah tahu. Dia memang sangat menawan bukan?”Balas Emily membuat tawa Pamela terhenti. Pamela tampak kesal tak berhasil membuat situasi kacau. “Oh kau sudah tahu rupanya kalo dia itu playboy?” Emily tersenyum geli. Ia mendekati Pamela dan berbisik. “Dan dia sangat hebat di ranjang.” “Ough,”Pamela tersentak kaget . “Kau.”Pamela kehabisan kata. Dia bergegas keluar ruangan dengan wajah memerah. Emily menahan senyum. Jonathan menatapnya penuh rasa penasaran. Apa yang dikatakan Emily hingga membuat Pamela sewot? “Hei..kita kedatangan tamu cantik rupanya.” Dari luar ruangan, masuk sosok lelaki bertubuh kurus dengan pandangan mata aneh. Tampak lingkaran hitam di bawah matanya. “Jonathan adikku, apa kabar,”Lelaki itu menepuk Pundak Jonathan sebelum beralih pada Emily. “Halo cantik, namaku Joseph.”Ia mengulurkan tangan. Emily membalas jabat tangan Joseph. Tapi sepertinya lelaki itu enggan melepas genggaman tangannya. “Aku Emily,”sapa Emily dengan senyum. “Kau beruntung sekali, Nathan.”seru Joseph mengamati Emily yang merasa tak nyaman dipandangi seperti itu. Jonathan mendekat dan menarik tangan Emily. “Jangan ganggu dia, Joseph.” Keadaan berubah tegang. Jonathan menutup jarak antara Emily dan Joseph. “Hei, rileks dude, aku hanya ingin mengenal kekasih barumu.”Joseph mengangkat tangannya. Wajah Jonathan tampak suram. Tatapannya penuh ancaman. Dari segi postur tubuh, Joseph kalah tinggi dibanding Jonathan. Joseph sedikit mendongak saat menatap Jonathan. “Menyingkirlah,”kata Jonathan penuh penekanan. Keduanya saling memandang. Saling mengukur kekuatan. Jonathan tak gentar sedikitpun. Ia bukan anak kecil yang mudah ditakuti seperti dulu. James ingin melerai keduanya saat terdengar suara manis Emily. “Nathan sayang, aku lelah,”ucap Emily mengalihkan suasana tegang. Jonathan segera tersadar. Ia menoleh ke arah Emily. Wanita itu meraih tangan Jonathan dan menatap mesra. “Aku lelah, Sayang.”Emily mengulang ucapannya. Jonathan tertegun sesaat. “Maafkan aku,”Ia buru-buru merengkuh pundak Emily dan memaksakan senyum. “Kami akan istirahat sebentar.”Ia memandang James meminta ijin. James memanggil kepala pelayan rumah dan memerintahkan untuk mengantar Jonathan dan Emily ke kamarnya. Sebelum berlalu pergi, James mendekati Joseph. “Jaga kelakuanmu, Joseph. Jangan membuat keributan. Dia adikmu. Bersikaplah dewasa.” Joseph hanya mendengus dengan senyum sinis. Dia sudah merencanakan banyak hal. Joseph masih belum menerima kenyataan jika di surat wasiat yang ditulis ayahnya, Jonathan menjadi pemimpin di Weston Corp. Joseph memang mendapat bagian sebuah rumah mewah dan sejumlah uang bernilai cukup besar, tapi itu tak sebanding dengan yang diterima Jonathan sebagai pemimpin Weston Corp yang tentunya bisa menghasilkan kekayaan lebih banyak darinya.Kepala pelayan dengan ramah membawa mereka ke sebuah kamar di lantai dua. “Silahkan masuk tuan Jonathan, kami akan membawa barang bawaan anda segera.” “Terima kasih, Paul.” Paul mengangguk dan membungkuk hormat sebelum berlalu pergi. “Apakah kita akan tinggal dalam satu kamar, Sir?”tanya Emily gugup. Ia mengamati sekeliling. Lampu chandelier bergantung di tengah ruangan. Di samping tempat tidur tampak tirai mewah model overlay warna coklat senada dengan sprei ranjang. “Kita ini sepasang kekasih, Em, tak mungkin mereka memberi kita kamar berbeda.”Jonathan menahan senyum. Suasana hatinya telah berubah. “Dan biasakan memanggilku sayang seperti tadi, oke?”Ia tersenyum puas. “Oh come on, Sir,” “Hei..” “Sayang…” “Itu lebih baik,”seru Jonathan “Tapi dimana aku harus tidur?”Emily memperhatikan, meski kamar tidur itu tampak luas dan berinterior mewah, tapi hanya ada satu ranjang dan sofa kecil . “Tentu saja di ranjang, Sayang, ”goda Jonathan. “Berdua?” “Tenang, tidurku
“Sialan!”Jonathan memaki pelan.”Emily.”Ia memanggil wanita di sebelahnya. Emily terbangun dari tidurnya saat tangan kokoh Jonathan mengguncang tubuhnya pelan. Suasana kamar gelap gulita. Emily ingat jika dirinya tidak pernah mematikan lampu kamar. Ia ingat kata-kata Jonathan jika saat tidurpun ia selalu menyalakan lampu. “Tunggu sebentar.”Emily sadar kepanikan yang mulai menyerang Jonathan. Entah sejak kapan lelaki itu berusaha membangunkannya. Emily mengambil handphone dari atas nakas di samping tempat tidur dan menekan tombol senter. Kamar sedikit terang. Emily menoleh ke arah Jonathan yang terduduk di ranjang sembari menyadarkan kepala di sandaran ranjang. Dengan sedikit terburu, Emily turun dari tempat tidur dan menyalakan saklar lampu. Tampaknya mati lampu. Ia segera bergerak perlahan menuju jendela, menyibakkan gorden untuk memastikan di luar juga mati lampu. Suasana taman gelap gulita. Hanya sedikit penerangan dari cahaya bulan. “Bagaimana keadaanmu?”Emily bergerak ke
Jonathan menyiram tubuhnya sebanyak mungkin berusaha meredam gejolak hasratnya. Menjelang pagi tadi ia terbangun dan menyadari Emily tertidur dengan memeluk lengannya. Sialnya itu membuat hasratnya tiba-tiba bangkit dan ia memaki berkali-kali berusaha menahan gairah. Ini pertama kalinya bagi Jonathan harus berjuang menekan hasratnya sendiri. Baginya sangat mudah mendapat wanita untuk penyaluran nafsu seks. Mereka juga dengan sukarela tanpa imbalan apapun melayaninya. Tapi dengan Emily tidak akan semudah itu. “Hidupku sudah seperti pastor,”keluhnya membatin. Sudah hampir enam bulan ia tidak berhubungan seks dengan wanita manapun. Bayangan Emily membuatnya tak berminat mencari wanita lain. Gila!Runtuknya lagi dalam hati. Perasaan apa ini? Jonathan keluar dari kamar mandi dan segera menyadari Emily tak ada di ruangan. Kemana wanita itu? Pintu kamar tertutup rapat tapi jendela menuju balkon terbuka lebar hingga membuat tirai kamar beberapa kali bergerak tertiup angin. Jonathan bergeg
Tak ada lagi yang bisa dilakukan Jonathan. Sepanjang pagi hingga menjelang siang ia tak sekalipun keluar kamar. Untuk makan siang pun, Jonathan meminta Paul membawakan makanan untuknya dan Emily. Sebuah ketukan terdengar saat waktu makan siang berakhir. Jonathan membuka pintu dan menemukan wajah khawatir Nyonya Averie, sang ibu “Sayang.”Averie memeluk putranya. “Aku khawatir sekali, kudengar tadi di bawah kekasihmu hampir tenggelam.” “Ya ma.”Jonathan mengurai pelukan .”Apakah kau baru datang?” “Iya, maaf kemarin aku ada acara di tempat lain jadi tak bisa kesini.”Avery melangkah masuk dan mendapati Emily yang tengah duduk berbaring di ranjang. “Apakah ini kekasihmu?Apakah dia Emily?”Wajah Averie masih cantik di usianya yang 60 tahun lebih. Pakaian yang dikenakannya sederhana tapi terkesan anggun dan mahal. Dia membuka kedua tangan lebar memeluk Emily. “Oh sayang, apakah kamu baik-baik saja?”Dia memeluk erat Emily. “Aku sudah membaik Nyonya Averie,”Emily balas memeluk. "Apa k
Jonathan memutuskan untuk mempercepat acara menginap. Malam itu ia mengajak Emily pulang. “Aku akan mengantarmu pulang,”ujar Jonathan singkat saat mereka berdua telah berada di dalam mobil. “Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja.”Emily berpaling ke arah Jonathan di sampingnya. “Bukankah acara malam ini penting untuk keluarga besarmu?” “Yang terpenting keselamatanmu, Em. Aku tak tahu lagi cara menemukan pelakunya. Apa kau tidak ingat apapun saat kejadian itu?” Emily mencoba mengingat sesuatu. “Maaf, saat itu aku panik, aku tidak ingat apapun.” “Tak apa, kita pulang sekarang.” Keduanya berkendara pulang. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhir tahun di Weston Corp. Kesibukan dimulai di awal bulan Desember. Mulai dari audit internal hingga persiapan libur Natal dan tahun baru. Padatnya jadwal meeting Jonathan dengan seluruh divisi membuatnya jarang bertemu Emily. Hanya menyempatkan mengirim pesan pesan singkat. “Kamu lembur lagi malam ini?”Jonathan mengi
Emily tiba di Manchester International Airport sore hari. Jonathan harus menyelesaikan urusan pekerjaan meski di hari libur. Pria itu akan menyusul segera, hanya itu yang bisa diucapkannya tanpa janji pasti kapan. Emily telah berada di terminal kedatangan setelah melalui pemeriksaan imigrasi. Dari kejauhan tampak Averie melambaikan tangan memanggilnya. Emily menyeret koper berjalan menghampiri. “Sayang, apa kabar?”sapa Averie ramah. Ia memeluk Emily erat, meminta sopir pribadinya membawakan koper milik Emily. “Baik, ma.”Emily mencium kedua pipi wanita paruh baya itu. “Kamu pasti sangat lelah, ayo kita pergi.” Sepanjang perjalanan, Averia bercerita dengan riang tentang kampung halamannya. Hingga setengah jam kemudian keduanya tiba di Queens Road, Oldham, kediaman Averie. Rumah yang cukup besar dengan nuansa klasik khas British. Dindingnya dihiasi bata expose. Tampak hangat meski cuaca di Manchester hampir sedingin es. Emily merapatkan mantelnya saat telah berada di luar mo
"Aku sangat merindukanmu, Em.”Jonathan memeluk Emily erat. Emily ingin mengatakan hal yang sama. Hampir sebulan mereka tidak bertemu karena kesibukan kantor yang luar biasa. Hanya sempat berkirim pesan. Jonathan melepas pelukan. Nafasnya sedikit tersengal dan matanya berkabut. Dengan gerakan cepat ia mencium bibir Emily, sedikit bernafsu dan buru-buru. Emily tidak menolak. Ia juga ingin menyentuh pria itu sebanyak mungkin. Jonathan mengisap bibirnya, menggigit nya pelan sebelum lidahnya menjelajah, membelit lidah Emily. Emily terhanyut, dadanya berdebar liar. Jonathan melepas mantelnya. Ia mendorong Emily hingga tubuh wanita itu menempel di dinding. Jonathan tak melepas pagutan bibirnya hingga Emily mendorongnya lembut. “Aku tak bisa bernafas.”Emily tersengal. Wajahnya merona merah. Jonathan tersenyum. Ia menatap Emily lekat. Meraih wajah wanita itu dan mencium dengan lembut setiap jengkal wajah Emily. Dada Emily berdesir. Apalagi saat Jonathan mencium lembut bibirnya.
"Apa yang terjadi Jonathan? " tanya Emily panik. Jonathan tak bereaksi. Sepertinya ia memiliki firasat akan terjadi sesuatu yang buruk dan Ia tak ingin meninggalkan Emily sendirian. "Jangan khawatir, Em. Kita tunggu di sini. " Lima menit kemudian terjadi kekacauan. Tampaknya ada perkelahian di lorong menuju toilet. Brian berlari menuju meja mereka. “Jonathan, kau harus membantu Andrew.” Jonathan bangkit berdiri. “Kau tunggu disini, Em.” Andrew tampak kewalahan melawan 3 orang di depannya. “Hei, hentikan. Kalian mabuk!”Teriak Jonathan berusaha melerai. Tapi tampaknya seorang diantara mereka yang mabuk berat tak mempedulikan. Ia merangsek maju dengan beringas. Tapi dengan keahlian bela diri yang dimiliki Jonathan apalagi dalam keadaan sadar, Jonathan berhasil menangkis beberapa pukulan yang diarahkan dengan ngawur. Dua yang lain tak mau ketinggalan melihat temannya gagal memukul Jonathan. Ketiganya dengan brutal menyerang. “Hei, hentikan!”teriak Jonathan pada akhirnya b
Proses persalinan Emily dibantu oleh seorang Widwife ramah bernama Adelle. Emily baru diperbolehkan masuk ke ruang bersalin setelah pembukaan lima. Jonathan mendampingi istrinya selama proses berlangsung.“Ma’am, anda harus berjalan-jalan untuk mempercepat proses kelahiran,” saran Adelle saat bukaan Emily tak kunjung bertambah. Emily telah menjalani serangkaian proses persalinan mulai mencek detak jantung bayi dalam kandungan hingga proses induksi untuk merangsang kontraksi.Jonathan membantu Emily berkeliling rumah sakit. Setelahnya proses induksi kedua kembali dilakukan. Ada beberapa pilihan pain killer yang ditawarkan Midwife untuk mengurangi sakit saat kontraksi dan Emily memilih mandi dengan air hangat. Jonathan dengan sabar mengganti bath tub dengan air hangat agar Emily bisa berendam dengan nyaman. Hampir empat jam hingga kontraksi semakin terasa luar biasa menyakitkan. Proses persalinan berlangsung sekitar satu jam. Jonathan hampir tak kuasa menahan air mata saat bayi mungil
Jonathan mengantar Emily hingga ke dalam apartemen. "Kembalilah bekerja," ucap Emily sembari berjalan menuju kamar. "Aku tidak akan tenang sebelum kamu memaafkan ku. " Jonathan masih membayangi langkah istrinya hingga ke kamar. Emily ingin mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan hati Jonathan, tapi entah mengapa lidahnya kelu, moodnya memburuk. "Sayang, " panggil Jonathan meraih pinggang Emily dan merapatkan ke tubuhnya. "bagaimana lagi aku harus menjelaskan, Em? " "Tidak perlu, aku tidak butuh penjelasanmu, aku ingin tidur. " Emily melepaskan tangan Jonathan dengan wajah cemberut. "Jangan begini, Sayang." "Sudah, pergilah." Emily beranjak menuju ranjang dan merebahkan tubuh Jonathan melirik jam tangan sekilas. Waktu tutup supermarket satu jam lagi. Ia bergegas pergi menuju tempat kerjanya. Membantu Thomas hingga waktu tutup toko. Setelah pamit pada Thomas, ia pulang dengan tergesa. Jonathan mandi sebentar sebelum merebahkan tubuh di samping istrinya. Emily be
Jonathan datang lebih awal hari ini. Antrian panjang tampak di depan pintu masuk supermarket bahkan sebelum toko dibuka. Beberapa personel keamanan bersiap di pintu masuk memastikan pengunjung tetap mematuhi peraturan toko meski hari ini adalah hari khusus, dimana harga hampir semua barang yang ada di supermarket di diskon mulai empat puluh persen. "Kau lihat antrian di depan pintu, Jonathan? " tanya Thomas mengenakan jaket khusus toko. Ia bersiap pergi. "Ya, aku lihat." Jonathan melirik jam dinding. "sepuluh menit lagi, aku akan bersiap. " Jonathan mengenakan jaket yang sama seperti yang dipakai Thomas. Hari ini akan menjadi hari tersibuk sepanjang pekan ini. Meski pengunjung memadati supermarket, tetapi pengaturan yang telah dibuat Thomas membuat antrian tidak terlalu panjang. Area kasir ditambah dua lagi sehingga pengunjung toko bisa dilayani dengan cepat. Tak ada jeda waktu. Waktu makan siang pun dipercepat karena pengunjung tak juga berkurang hingga menjelang mala
Keesokan pagi ditemani Jonathan, Emily menyerahkan sampel urine ke laboratorium klinik sesuai arahan dokter Roberta. Setelah mengantar Emily pulang, Jonathan berangkat menuju tempat kerja. Hari ini hari tersibuk menjelang akhir pekan. Menjelang Black Friday banyak barang baru berdatangan, bertepatan dengan ketidakhadiran Thomas karena sakit. Jonathan menggantikan tugas Thomas sementara waktu. Ia memantau pekerjaan di gudang hingga penataan barang di rak-rak pajangan. Belum lagi beberapa komplain dari pelanggan yang mengomel karena antrian panjang di area kasir. Jonathan berinisiatif menambah area kasir darurat. Saat waktu makan siang, tiba-tiba muncul Claire di ambang pintu ruangan kantor Jonathan. "Hai, apa aku mengganggu? " tanya Claire ceria. Jonathan tersenyum. "Tidak, ada apa Claire? " "Aku hanya ingin mampir. " Jonathan teringat Brianna, Claire tampaknya seumuran dengan Brianna. "Bagaimana kabar Thomas?Apa dia sudah membaik? " Claire mendekat, tanpa diminta ia d
Dua bulan lagi adalah Black Friday. Dikenal dengan hari belanja besar-besaran dengan diskon sangat menarik. Black Friday jatuh pada hari Jumat setelah Thanksgiving di bulan November. Jonathan membuat proposal tentang penawaran menarik khusus di Black Friday. Siang itu sebelum makan siang ia menyerahkan proposal itu pada Thomas. “Aku membuat konsep tentang diskon saat Black Friday,” ucapnya. “Baik, akan kupelajari.” Thomas menerima lembaran kertas itu. “Kau makan siang di luar?” “Tidak, aku membawa bekal.” Jonathan meringis menahan kikuk. “istriku memaksaku membawa bekal untuk berhemat.” Thomas tertawa. Ia menunjukkan wadah bekal makan siangnya. “Tidak usah malu, aku selalu membawa bekal. Ayo makan bersama di sini,”ajak Thomas kemudian. Jonathan menurut. Keduanya makan bersama di meja Thomas saat setengah jam berlalu, terlihat wajah Claire muncul dari balik pintu. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketertarikannya saat mendekati Jonathan. “Hai, kudengar dari papa, kau pengganti
Jonathan terpaksa menjual penthousenya dengan harga di bawah pasar, itu dilakukan demi segera mendapatkan uang membayar gaji dan tunjangan pisah karyawan resort. Pihak asuransi properti masih dalam penyelidikan tentang penyebab kebakaran sehingga tidak bisa mengupayakan pencairan asuransi kebakaran dalam waktu dekat.Jonathan meminta James untuk memperkerjakan kembali Simon di Weston dan juga merekomendasikan Mateo untuk bekerja di sana.Jonathan dan Emily melakukan persiapan untuk berangkat ke Manchester setelah sebelumnya berpamitan pada Aldera.“Jaga diri baik-baik, Sayang.” Aldera memeluk Emily dan Jonathan saat keduanya berpamitan pergi“Ibu jaga kesehatan, ya.”Emily mengurai pelukan. “Tolong sampaikan Eden, untuk biaya kuliahnya, akan kutransfer setiap bulan ke rekeningnya seperti biasa, jadi dia tak perlu khawatir.”Aldera mengangguk dengan mata berkaca-kaca.“Jaga Emily, Jonathan.”“Aku janji,” kata Jonathan sebelum keduanya berlalu pergi.Saat tiba di mansion, hanya James d
Jonathan berdiri di depan puing-puing bangunan resort bekas kebakaran. Ia terdiam lama. Emily ingin mendekat dan memberi semangat untuk Jonathan tapi ia enggan untuk mengganggu Jonathan yang tengah merenung. Lelaki itu tangguh. Hanya masalah seperti itu takkan menggoyahkan jiwanya. Emily yakin itu. Jonathan berbalik menghadapnya. Dengan senyum. "Aku sudah mengasuransikan properti ini. Tapi untuk membangunnya kembali butuh waktu lama. " Ia berbicara tidak hanya pada Emily, tapi juga ditujukan pada Lucas. "Dengan berat hati, aku harus menghentikan operasional resort. Aku akan bertanggungjawab memberikan hak kalian sesuai kesepakatan. " Sekarang ia benar-benar berdiri di depan Lucas. Lucas menghormati keputusan Jonathan. Setelah keduanya memberikan briefing singkat pada seluruh karyawan dan memberikan kesempatan untuk berpamitan, Jonathan dan Emily berkendara pulang. "Setelah urusan pembayaran gaji selesai, aku ingin kita pergi ke Manchester atau Wales, " ucap Jonathan saat kedu
Emily dirawat di rumah sakit karena terlalu banyak menghirup asap. Saluran pernapasan nya mengalami iritasi dan peradangan. Dalam kesempatan terakhir, Emily sempat hampir merasa dirinya telah mati. Kilasan kilasan peristiwa asing masuk ke dalam ingatannya dan Emily yakin mungkin inilah saat waktu nya telah berakhir di dunia. Tapi Tuhan masih menginginkan ia hidup. "Emily, kau sudah sadar? " Aldera yang pertama kali menyapanya. Emily mengerjapkan mata, suasana kamar yang serba putih dan bau khas rumah sakit membuatnya pening. "Ibu, apa yang terjadi? " "Kau pingsan saat resort kebakaran. " Emily terkesiap. "Kebakaran? " tanyanya panik. "Bagaimana orang-orang di dalam resort? " "Tak ada korban jiwa, Sayang. " Emily bersyukur dalam hati. "Kai yang membawa mu keluar dari ruangan. " "Kai?"Tiba-tiba ia teringat akan Kai. Juga sesuatu yang terjadi di masa lalu. Jonathan yang meminta maaf atas perbuatan adiknya yang berusaha menceburkan nya ke dalam kolam dan yang berusaha
Kebakaran cepat menyebar dari arah gudang persediaan. Suasana yang sebelumnya sunyi berubah menjadi riuh oleh suara alarm kebakaran dan lalu lalang orang yang panik menuju pintu keluar. Lucas menerima telepon dari keamanan resort tentang beberapa orang yang mencurigakan. "Dua orang cari pelakunya, yang lain segera amankan pengunjung, " perintah Lucas sembari mengeluarkan senjata api dari laci meja kamar tidurnya. Ia bergerak keluar kamar. Sebelumnya ia telah mengkoordinasi staff yang masih bekerja di sif malam untuk melakukan protokol kebakaran. Di luar kamar terlihat Simon dan Kai yang kebingungan mencari sesuatu. "Kau melihat Emily? " tanya Kai panik. Lucas menggeleng. "Kukira dia di kamarnya. " "Tidak ada, aku sudah mencarinya ke sana, " ucap Kai sembari melakukan panggilan telepon. "Aku juga tidak bisa menghubungi Mateo. " "Kau sudah mencarinya di gudang?" tanya Lucas "Gudang sudah terbakar habis, pemadam kebakaran sudah dalam perjalanan ke sini. " "Aku akan m