Share

bab 4

Masih.

Sampai saat ini Istriku belum mengetahui, bahwa ada suara-suara aneh yang pernah kudengar saat malam tiba. Karena memang, aku tidak pernah menceritakannya.

Hanya karena menginginkan agar ia tidak merasakan ketakutan.

****

*******

Makan malam selesai.

Istriku segera membereskan sisa makan malam, sedangkan aku memilih duduk ke teras untuk santai sejenak setelah makan malam.

Sunyi.

Kampung ini terasa semakin sunyi. Beberapa orang hanya keluar saat ada keperluan mendesak. Jika tidak, mereka lebih memilih mengunci diri di dalam rumah.

Beberapa saat kemudian, Istriku keluar dan duduk bersama di teras. Terlihat wajahnya seperti memendam sesuatu. Seperti raut kesal atau kemarahan.

Aneh, tidak seperti biasanya ia seperti ini. Beberapa tahun hidup dengannya, aku sudah paham bagaimana wataknya.

"Ibu ada masalah?" tanyaku.

"Sedikit, Yah. Ibu cuma sedikit merasa kesal saja."

"Kesal? Kepada siapa, Bu?"

"Ahh ... sudahlah, Yah. Tidak penting membicarakannya sekarang."

"Bagaimana tidak penting? Apa ayah tidak boleh tahu apa yang sedang Ibu pikirkan?"

.

Istriku menghela napas panjang.

Terlihat, ia sedang menenangkan diri untuk mengatakan sesuatu hal kepadaku. Heran, sikap seperti ini tidak pernah ditunjukkannya selama ini.

"Begini, Yah. Ibu cuma kesal, melihat tetangga kita berbicara seperti itu pada Ayah. Apa tujuannya dia bercerita seperti itu? Apa memang dia ingin membuat Ayah takut dan mengajak kita pindah dari rumah ini?"

Aneh.

Kenapa hal seperti itu saja membuatnya seakan begitu kesal. Padahal, tidak ada sedikitpun sangkut paut dengannya.

"Tidak seperti itu, Bu. Maksud suami Bu Lastri itu, supaya kita lebih berhati-hati lagi. Jangan sembarangan keluar malam, jika mendengar sesuatu saat tengah malam. Toh juga demi kebaikan kita, bukan?"

"Itu urusan kita, Yah. Bukan dia! Tapi ya sudahlah, dia yang tahu apa resikonya kalau berani membicarakan wanita itu. Ya sudah, Ibu mau buatkan teh dulu. Setelah itu mau tidur."

"Ya, Bu."

**

****

Usai membuatkan teh. Istriku langsung ke kamar untuk tidur. Semua perkataannya sangat aneh buatku, apa salahnya Bapak itu? Menurutku itu hal biasa. Malah baik.

Tapi, sudahlah.

Aku tidak menginginkan perdebatan malam ini. Seusai minum teh, aku pun segera masuk ke kamar untuk istirahat. Sebelumnya memastikan setiap pintu dan jendela sudah terkunci rapat. Agar tidak ada hal yang tidak diinginkan terjadi.

.

Pukul 01.15.e

Entah kenapa tidurku begitu gelisah. Rasanya, ada sesuatu yang begitu mengganggu.

Benar saja, tak lama berselang aku kembali mendengar suara gesekan sebuah benda seperti besi yang digesekkan ke tembok.

Apa itu? Apa itu wanita misterius yang akan memakan korban lagi?

Saat itu juga, terlihat Istriku tidak ada di tempat tidur.

Kemana dia?

Tidak. Aku tidak ingin ia mendengar atau terjadi sesuatu padanya. Gumamku.

Perlahan, aku melangkahkan kaki menuju ke luar kamar. Jantung ini begitu terasa semakin kencang berdegub. Apalagi, suara itu terasa begitu dekat dengan jendela kamar ini.

"Buu ... Ibu ...." suaraku berbisik pelan.

Tidak ada.

Tidak ada jawaban sama sekali. Perlahan kubuka pintu kamar dan melihat ke Nayla. Biasanya, jika tidak ada di kamar. Ia pasti tidur di kamar Nayla.

Semakin lama, suara tersebut semakin jauh terdengar. Sementara, aku terus menuju ke kamar Nayla.

Krekk!

Kubuka pintu kamar Nayla, tetapi tidak ada Istriku di sana.

Kemana dia?

Apa dialampu ruang tamu sudah terlihat terang. Sepertinya, Istriku masih belum tertidur.

"Assalamualaikum," ucapku.

"Wa'alaikumsalam, Yah. Bagaimana keadaan di sana? Apa suami Bu Lastri benar-benar sudah meninggal?"

"Sudah, Bu. Kasihan Bu Lastri. Anaknya masih kecil-kecil, kini harus ditinggal Suaminya."

"Iya, Yah. Sementara, selama ini Suaminya yang sudah menjadi tulang punggung dalam keluarga. Sementara Bu Lastri, hanya membantu dengan berjualan di rumah."

"Iya, Bu. Ayah tidak pernah bayangkan kalau itu

Suaminya."

"Iya, Yah. Sementara, selama ini Suaminya yang sudah menjadi tulang punggung dalam keluarga. Sementara Bu Lastri, hanya membantu dengan berjualan di rumah."

"Iya, Bu. Ayah tidak pernah bayangkan kalau itu seandainya terjadi dengan kita."

"Tidak, Yah. Itu tidak mungkin terjadi pada keluarga kita. Tidak ada yang bisa mengganggu keluarga kita. Siapapun itu," tegas Istriku.

"Tetapi, Bu. Namanya ajal kita tidak pernah tahu. Apalagi, keadaan di kampung ini sudah semakin tidak aman. Begitu mudahnya orang-orang di bunuh tanpa sebab yang jelas. Ayah masih berpikir, pasti wanita itu bukan lagi manusia. Tapi iblis. Jika dia manusia, pasti manusia yang berhati iblis."

Diam.

Istriku hanya diam tanpa menjawab. Ia hanya mendengarkan sambil mengelap rambutnya dengan handuk. Belakangan ini, Istriku sering sekali membasahi rambutnya saat tengah malam.

Aku sempat menanyakan hal itu, tapi ia menjelaskan itu adalah caranya mengurangi sakit di kepala yang sering datang secara tiba-tiba. Padahal, sudah beberapa kali Istriku di bawa ke dokter untuk konsultasi mengenai penyakitnya. Tetapi sampai kini, belum ada kurangnya sama sekali.

Anehnya lagi.

Dokter tidak pernah menemukan penyebab sakit itu secara pasti. Dokter hanya memberikan obat penenang dan penghilang rasa sakit. Jujur, aku sangat sedih mengenai hal ini. Bagaimana pun, Istriku adalah orang yang selama ini menemaniku di saat susah dan senang. Bahkan dahulu, saat kami masih hidup dalam kemiskinan. Ia adalah orang yang sedikitpun tidak pernah mengeluh tentang keadaan keluarga.

Di mana kami masih mengontrak rumah ke sana ke mari, dari kampung satu ke kampung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status