Share

bab. 5

Suaminya."

"Iya, Yah. Sementara, selama ini Suaminya yang sudah menjadi tulang punggung dalam keluarga. Sementara Bu Lastri, hanya membantu dengan berjualan di rumah."

"Iya, Bu. Ayah tidak pernah bayangkan kalau itu seandainya terjadi dengan kita."

"Tidak, Yah. Itu tidak mungkin terjadi pada keluarga kita. Tidak ada yang bisa mengganggu keluarga kita. Siapapun itu," tegas Istriku.

"Tetapi, Bu. Namanya ajal kita tidak pernah tahu. Apalagi, keadaan di kampung ini sudah semakin tidak aman. Begitu mudahnya orang-orang di bunuh tanpa sebab yang jelas. Ayah masih berpikir, pasti wanita itu bukan lagi manusia. Tapi iblis. Jika dia manusia, pasti manusia yang berhati iblis."

Diam.

Istriku hanya diam tanpa menjawab. Ia hanya mendengarkan sambil mengelap rambutnya dengan handuk. Belakangan ini, Istriku sering sekali membasahi rambutnya saat tengah malam.

Aku sempat menanyakan hal itu, tapi ia menjelaskan itu adalah caranya mengurangi sakit di kepala yang sering datang secara tiba-tiba. Padahal, sudah beberapa kali Istriku di bawa ke dokter untuk konsultasi mengenai penyakitnya. Tetapi sampai kini, belum ada kurangnya sama sekali.

Anehnya lagi.

Dokter tidak pernah menemukan penyebab sakit itu secara pasti. Dokter hanya memberikan obat penenang dan penghilang rasa sakit. Jujur, aku sangat sedih mengenai hal ini. Bagaimana pun, Istriku adalah orang yang selama ini menemaniku di saat susah dan senang. Bahkan dahulu, saat kami masih hidup dalam kemiskinan. Ia adalah orang yang sedikitpun tidak pernah mengeluh tentang keadaan keluarga.

Di mana kami masih mengontrak rumah ke sana ke mari, dari kampung satu ke kampung balita.

Sampai akhirnya, kami harus kehilangan anak pertama karena Istriku keguguran saat hamil muda.

Aku tahu, itu semua karena ia terlalu kelelahan saat bekerja dulu. Tetapi, saat aku melarang ia tidak pernah mau. Dengan alasan masih sanggup dan tidak ingin bosan di rumah saat kutinggalkan bekerja. Entahlah.

**

****

"Ya sudah, Bu. Ayah mau kebelakang dulu, cuci muka. Habis itu mau kembali ke sana untuk menjaga jasad Suami Bu Lastri. Ibu berani di rumah sendirian?"

"Berani, Yah. Ya sudah pergilah. Ibu mau siapkan baju buat Ayah, karena gak baik pakai baju tidur seperti itu."

"Ya, Bu. Jika ada apa-apa langsung saja telfon ayah."

"Iya, Yah."

Aku pun segera menuju ke dapur untuk mencuci muka. Anehnya, kembali aku melihat ada tetesan darah di lantai dapur hingga menuju gudang. Masih, darahnya masih sangat segar. Apa ini?

Tidak menuju kamar mandi, aku justru terus mengikuti arah tetesan darah itu. Mulai dari pintu kamar mandi, terus menuju ke pintu belakang rumah.

Entah kenapa.

Saat ini perasaanku begitu tidak enak. Seperti ada sesuatu misteri di balik darah yang selama ini sering bercucuran di dapur rumah. Menakutkan.

Sampai di pintu belakang, darah itu pun menghilang. Tidak ada bercak lagi di lantai. Setelah memperhatikan sekitar, ternyata salah. Aku salah, bukan tidak ada. Tetapi darah itu menempel di handel pintu belakang. Aneh, kenapa darah bisa sampai di sini?

Darah apa ini?

.

Melihat ini semua, aku berinisiatif untuk ke kamar mandi dan mengambil sebuah kain lap basah untuk membersihkannya.

Begitu kubalikkan badan, betapa terkejutnya aku melihat Istriku sudah berdiri di sana sambil menatapku tajam. Mengerikan.

"Loh ... Ibu kok di sini?" tanyaku heran.

"Ini ... ibu mau membersihkan ceceran darah tikus di lantai. Sudah Ayah ke kamar mandi sana."

"Ini memang darah tikus, Bu?"

"Ya pastilah, Yah. Terus darah apalagi?"

"Mengapa sebanyak ini? Lagian, sejak kapan ada tikus di rumah ini, Bu?"

"Makanya ... sesekali Ayah bantu ibu membereskan gudang di belakang rumah. Biar bisa lihat tikus," cetusnya.

.

Baiklah.

Mungkin memang iya. Aku cuma yang terlalu parno karena kejadian beberapa waktu belakangan ini. Apalagi, tadi aku baru saja melihat mayat bekas pembunuhan secara langsung. Bisa jadi, hal itu yang membuatku seperti ini sekarang.

Selesai mencuci muka dan mengganti baju, aku pun langsung berangkat ke rumah Bu Lastri. Setelah terlebih dahulu memastikan keadaan sekeliling rumah baik-baik saja.

.

Dalam perjalanan, entah kenapa perasaanku tiba-tiba saja tidak enak. Sepertinya, ada yang sedang mengikuti dari rumah tadi.

Entahlah, perasaan ini benar atau tidak. Yang jelas, di setiap langkah kaki ini aku merasakannya.

Sesampainya di rumah ahli musibah, ternyata sudah banyak orang yang berdatangan. Tetapi, ada yang aneh. Aku tidak melihat lagi jenazah ada di sana. Hanya beberapa keluarga dekat rumah yang ada di ruang tamu.

Karena merasa penasaran, aku langsung menanyakan kepada salah satu warga yang ikut berjaga pada malam itu.

"Malam, Pak. Kemana jenazah Almarhum? Kenapa saya tidak melihatnya?" ucapku sambil bersalaman, dengan Bapak yang cukup tua tersebut.

"Malam, Nak. Tadi dibawa oleh pihak kepolisian. Katanya mau difisum."

"Jadi, malam ini juga langsung dibawa, Pak?"

"Iya, Nak. Kebetulan keluarga semua menyetujui. Jadi ya langsung saja dibawa. Memangnya kenapa, Nak?"

"Ahh ... tidak, Pak. Cuma saya heran saja melihat jenazah kok tidak ada di dalam rumah."

.

Sementara, di salah satu sudut rumah. Aku melihat beberapa pria sedang berbincang, kepada salah satu tetangga dekat rumah Bu Lastri. Sepertinya itu dari pihak kepolisian.

Percuma menurutku.

Karena tidak akan ada yang berani menceritakan kejadian yang sebenarnya, kepada pihak penyelidik. Karena memang, mitos tentang larangan bercerita itu sudah menyebar ke seluruh warga.

Termasuk aku. Yang baru saja mempercayainya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status