Share

Bab 2

Author: Makjos
Di awal tahun kedelapan kami bersama, Aryan sangat sibuk dengan kariernya.

Namun, dalam setiap pesan harian kami yang sedikit, selalu ada sosok gadis lain.

Aku bertanya kepada Aryan apa dia sudah makan, dia bilang juniornya membelikannya makanan dan rasanya sangat pedas.

Aku bertanya apa dia ingin menonton film, dia berkata semua orang sedang merayakan penerbitan artikel juniornya dan mengadakan pesta makan.

Kemudian, aku jatuh sakit dan bertanya apa dia bisa pulang untuk mengunjungiku, dia bilang juniornya telah mengacaukan eksperimen dan dimarahi, jadi dia tidak bisa pergi. Dia harus membereskan kekacauan itu.

Aku menangkap nuansa halus yang tersirat dalam kata-kata itu.

Tak lama kemudian, intuisiku terkonfirmasi.

Pada kencan rutin bulanan kami, aku meminta seseorang untuk membeli tiket konser favorit Aryan.

Namun, selama waktu kebersamaan yang berharga itu, Aryan sering kali menunduk untuk membalas pesan.

Aku agak kesal, tetapi aku memikirkan lagi betapa sibuk dan kerasnya dia bekerja.

Jadi aku bertanya pelan, “Siapa yang mengganggumu di hari liburmu?”

Aryan menjawab dengan santai, “Farah meniru eksperimenku, tapi datanya salah, jadi dia bertanya padaku.”

Farah adalah junior Aryan.

Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu.

Aku hanya merasa sayang sekali karena kami berdua belum benar-benar menonton konser yang sudah susah payah kubeli.

Dalam perjalanan pulang, Aryan kembali mengeluarkan ponselnya untuk membalas pesan.

Aku tak tahan lagi dan menutup ponselnya dengan tanganku.

Aryan mengerutkan kening ke arahku.

Aku menatapnya tajam, bertanya dengan nada bercanda, “Kamu sudah dua kali melewatkan kencan bulanan kita. Akhirnya aku berhasil mengajakmu, tapi kamu malah sibuk terus dengan ponselmu.”

“Kamu juga terus-terusan menyebut nama Farah, aku mulai cemburu.”

Kupikir Aryan akan berhenti dan lebih jarang menyebut nama Farah setelah aku mengucapkan kalimat itu.

Namun, aku tak pernah menyangka Aryan justru marah.

Ekpsresi wajahnya tiba-tiba berubah dingin. “Arumi, sejak kapan kamu jadi orang yang cuma mikirin calon pacar, terus pengen aku jaga jarak sama lawan jenis?”

“Aku membantunya hanya agar dia berkembang lebih cepat, tidak lebih.”

Setelah malam itu, Aryan mulai bersikap dingin padaku.

Dia tidak membalas satu pun pesan yang kukirim padanya.

Pada hari ketiga perang dingin, aku menerima pesan dari Aryan.

[Aku tidak nafsu makan. Buatkan aku makanan yang ringan dan bawakan ke Lembaga Riset.]

Bagiku, ini sama saja dengan sinyal berbaikan.

Jadi, aku izin cuti dan pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan.

Begitu selesai memasak, aku bergegas ke Lembaga Riset.

Tetapi ketika aku membuka pintu, aku melihat Aryan berjongkok di depan seorang gadis, memijat perutnya dengan lembut.

Suara dingin dan acuh tak acuh yang telah kupuji berkali-kali kini terdengar sangat lembut.

“Bagaimana rasanya? Sudah mendingan?”

“Ya, sudah mendingan, Kak.”

Melihat kejadian itu kepalaku rasanya hampir meledak, berbagai pikiran berkecamuk, membuat hatiku sakit.

Gadis itu tiba-tiba mendongak dan langsung mendorong Aryan menjauh dengan malu-malu.

“Kak Aryan, sudah cukup, ada orang.”

Aryan kemudian melihatku berdiri di pintu. Dia berdiri, mengerutkan kening. “Rumi, ini Lembaga Riset, kenapa tidak ketuk pintu?”

Aku menatapnya tanpa ekspresi, senyum mengejek tersungging di wajahku. “Kalau aku ketuk pintu, bukankah aku akan melewatkan apa yang baru saja terjadi?”

Gadis itu berdiri di samping Aryan, dengan malu-malu menjelaskan dengan suara rendah, “Kakak salah paham. Aku lagi sakit perut karena haid sampai nggak bisa ikut eksperimen, jadi Kak Aryan terpaksa memijit perutku.”

Aryan menghampiriku, ingin mengambil bekal itu.

“Lembaga Riset sedang kekurangan staf saat ini. Farah sedang tidak enak badan, tidak nafsu makan, dan belum makan. Berikan padaku bekalnya.”

Dia berkata dengan santai, seolah itu hal biasa.

Hal paling biasa di dunia.

Tetapi saat ini yang ingin kulakukan hanyalah tertawa, menertawakan diriku sendiri karena bersikap seperti badut.

Rasa sakit yang menusuk di hatiku membuatku melontarkan apa pun yang terlintas di pikiranku.

“Perutnya sakit, jadi kamu berlutut dan memijatnya.”

“Dia tidak nafsu makan, jadi kamu akhiri pertengkaran kita dan menyuruhku memasak untuknya.”

“Sejak kapan kamu begitu perhatian dan peka terhadap orang lain, Aryan?”

Kupikir aku berteriak sekeras-kerasnya, tetapi suaraku ternyata serak dan tak terdengar jelas.

Aryan yang tampaknya tak menunjukkan kesalahan apa pun, berbicara dengan acuh tak acuh, “Farah adalah anggota tim yang sangat penting. Jika dia dalam kondisi yang baik, penelitian kami baru bisa ada perkembangan. Bisa nggak berhenti memaksakan konsep rumitmu tentang hubungan lawan jenis pada kami?”

Aku menatapnya sejenak, lalu berbalik dan pergi membawa bekal yang kubuat.

Lebih baik aku berikan makanan ini pada anjing!

Setelah itu, Aryan tiba-tiba merebut bekal itu dari tanganku.

Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai, beserta bekalku.

Makanan yang telah kusiapkan dengan penuh perhatian selama dua jam kini menjadi tumpukan sampah.

Ekspresi Aryan berubah kesal, dia menegurku dengan dingin, “Setelah membuat keributan seperti ini di siang bolong, sekarang kamu puas?”

Aku berlutut tanpa suara di lantai, telapak tanganku terasa perih akibat pecahan porselen, berlumuran darah.

Aryan terkejut, lalu mengulurkan tangannya untuk membantuku.

Aku mendorongnya menjauh, menggertakkan gigi untuk menahan rasa sakit, lalu berbalik dan pergi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta yang Jatuh Tanpa Gema   Bab 8

    Setelah kuceritakan kejadian hari ini, Gibran mengerutkan kening dan mulai mengemasi pakaiannya.Melihatnya tiba-tiba begitu sibuk berkemas, aku bertanya, “Kamu sedang apa?” Gibran tampak serius.“Sayang, aku takut orang itu akan mengganggumu lagi.”“Ayo kita pindah ke rumah Ibu dan Ayah. Mereka sudah berkali-kali mendesakku untuk pulang. Lagipula, di sana punya pengasuh, pembantu, dan satpam di rumah. Orang itu tidak akan bisa mendekatimu lagi.”Melihat ekspresinya yang ketakutan, aku mencubit pipinya dengan lembut.“Apa yang kamu takutkan? Dia tidak akan berani berbuat apa-apa padaku. Memangnya kenapa kalau dia datang? Aku akan mengusirnya setiap kali dia datang!”Tetapi akhirnya, aku dan Gibran tetap pulang ke kampung halaman, berencana untuk tinggal di sana sampai hari perkiraan persalinanku.Mertuaku sangat senang karena kedatangan kami, bahkan kakaknya Gibran yang selalu sangat sibuk mengurus perusahaannya juga datang berkunjung.Aku merasa sangat nyaman di rumah ini.Hanya saja

  • Cinta yang Jatuh Tanpa Gema   Bab 7

    Aryan mencoba menjelaskan.“Ketika Farah melompat, kami memeriksa rekaman CCTV. Aku melihat seorang perempuan dengan postur tubuh yang mirip denganmu, dia juga mengenakan pakaian yang sama denganmu. Kupikir…”“Apa kamu melihat wajah orang itu dengan mata kepalamu sendiri?”“Apa kau mendengar orang itu berbicara dengan telingamu sendiri?”Aryan menggeleng, wajahnya memucat.Aku geram, “Banyak sekali orang dengan bentuk tubuh yang mirip, banyak yang pakai pakaian yang sama. Apa kamu pikir aku akan begitu terang-terangan mengirim surat seperti ini? Apa kamu tidak merasa aneh? Apa kamu tidak berpikir ada yang sengaja membiarkanmu melihatnya?!”“Aku rasa kamu tidak pernah memikirkan ini, tapi kamu masih saja ngotot menyalahkanku, padahal kamu tidak punya bukti apa pun.”“Karena dibandingkan denganku, yang sudah bersamamu selama delapan tahun dan kamu sudah bosan, kamu lebih suka juniormu yang lembut dan muda, jadi yang kamu pikirkan hanyalah mendapatkan keadilan untuknya.”Aryan nampaknya h

  • Cinta yang Jatuh Tanpa Gema   Bab 6

    Setelah hari itu, aku tak pernah bertemu Alya lagi dan perlahan-lahan melupakan percakapan kami.Hidupku kini bahagia dan memuaskan. Aku punya suami yang tampan dan lembut, seorang bayi juga akan segera lahir.Seandainya ibuku melihat hidupku sekarang, dia pasti akan bahagia untukku.Tetapi aku tidak pernah menduga Aryan akan datang mencariku.Di usia kehamilan yang mamasuki bulan ke delapan, aku sering berjalan-jalan di taman komplek untuk berolahraga.Ini kawasan perumahan kelas atas, banyak anak dari keluarga kaya dan selebritas punya rumah di sini.Petugas keamanannya biasanya sangat bertanggung jawab. Makanan yang dipesan online saja akan diantarkan petugas keamanan, orang luar tidak diizinkan masuk.Jadi, ketika tiba-tiba aku berpapasan dengan Aryan, aku terkejut dan mengerutkan kening. “Bagaimana kamu bisa masuk?”Aryan menatapku tajam, tatapannya perlahan mendarat di perutku.Matanya langsung memerah.Aku bahkan melihat sedikit air mata di matanya.Sejak pertama kali melihat Al

  • Cinta yang Jatuh Tanpa Gema   Bab 5

    Perilaku Aryan yang tidak masuk akal dan sembarangan, membuatku kehilangan ibuku dan memutuskan hubunganku dengannya yang telah berjalan delapan tahun.Setelah mengurus pemakaman, aku mematuhi perintah mutasi perusahaan dan bekerja di perusahaan baru.Selama waktu itu, aku menjual rumah secepat mungkin.Lalu, dengan hanya sedikit barang yang tersisa, aku meninggalkan Kota Daro.Sebelum naik pesawat, aku memeriksa unggahan Aryan untuk terakhir kalinya.Dalam video ski terbarunya yang diunggah sepuluh menit yang lalu, dia dan Farah tampak tersenyum lebar, tertawa terbahak-bahak sambil mengumpulkan kepingan salju.Aku langsung memblokir dan menghapus semua akun dan nomor teleponnya.…Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku dan mengusir ingatan menyakitkan itu.Alya yang melihatku terdiam, mengurutkan keninganya.“Arumi, kamu sudah hampir 30 tahun, masih belajar kabur membawa janin di perutmu seperti tokoh utama di novel?”“Kamu sudah bersembunyi seperti ini selama hampir setahun hanya unt

  • Cinta yang Jatuh Tanpa Gema   Bab 4

    Dalam perjalanan pulang, aku menerima telepon dari rumah sakit.Aku mendapat kabar bahwa kondisi ibuku memburuk, beliau kini dirawat di UGD.Aku melupakan patah hatiku, menyuruh sopir untuk berbalik dan bergegas ke rumah sakit.Untuk saat ini, kondisi ibuku membaik.Dokter bilang kondisi yang memburuk seperti malam ini bisa saja terjadi lagi. Ibuku mungkin hanya punya waktu sebulan lagi untuk hidup.Aku duduk di samping ranjang ibuku, mataku bengkak karena menangis.Ibu membelai rambutku dengan lembut seperti biasa, “Nak, jangan menangis. Jika Ibu tiada, juga bukan hal buruk. Ibu takkan jadi beban lagi untukmu.”“Satu-satunya penyesalanku adalah tak bisa melihatmu menikah.”Aku menghapus air mataku, menggenggam tangan ibu erat-erat, dan berkata dengan sungguh-sungguh, “Aryan melamarku, sebenarnya aku berencana untuk menyampaikan kabar baik itu beberapa hari lagi. Bu, jangan khawatir, aku akan buat Ibu melihatku menikah.” Aku menelepon Aryan segera setelah meninggalkan rumah sakit.T

  • Cinta yang Jatuh Tanpa Gema   Bab 3

    Setelah itu, Aryan mengirimiku beberapa pesan.Aku tidak membalas, dia tidak mengirim pesan lagi.Ulang tahunku masih seminggu lagi.Kupikir aku akan merayakan ulang tahunku sendirian tahun ini.Tetapi tepat sebelum tengah malam.Aryan menerjang hujan deras, muncul di hadapanku sambil membawa kue.Dia memberiku hadiah kalung dan memasangkannya, lalu dengan tulus meminta maaf.“Apa yang terjadi hari itu adalah salahku.”“Aku tidak memberimu rasa aman yang cukup, yang membuatmu curiga padaku.”“Jangan khawatir, setelah proyek ini selesai, aku akan bicara dengan keluargaku tentang pernikahan kita.” Ini pertama kalinya dalam delapan tahun berpacaran dia memberiku janji seperti itu.Aku menghitung hari, dengan penuh harap menantikan pernikahanku yang telah lama kunantikan.Namun kemudian aku menyadari bahwa hari itu sebenarnya masih lama.Setelah berbaikan dengan Aryan, dia menemuiku setiap hari sepulang kerja untuk menikmati waktu bersama.Ini berlangsung selama setengah bulan sebelum Ary

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status