Arsitek muda di depannya enak juga diajak diskusi. Meski memberikan sanggahan, tapi dia tahu waktu yang tepat untuk menyela dan menjelaskan. Berbeda dengan Barra yang langsung to the point saja jika merasa tak suka. Bagus juga karena jujur tapi terkesan tidak sopan dan terkadang membuat lawan bicara tidak nyaman. Ini penilaian Delia akan sosok dua lelaki itu. Mungkin memang Delia tidak menyadari jika Barra memperhatikan interaksinya dengan Xavier. Dia tidak paham sikapnya telah memantik rasa tak suka di hati suaminya. Makanya sesuka hati Barra untuk membantah.Meeting selesai tepat di jam makan siang. Delia, Xavier, Pak Feri, Mbak Ida, dan seorang laki-laki perwakilan dari Barra lunch bersama. Xavier penasaran dengan sosok laki-laki yang menjadi suaminya Delia. Apa dia tidak satu perusahaan dengan istrinya? Hendak bertanya segan juga."Maaf, Mbak Delia. Pak Barra ingin bicara?" Wakil dari Barra memberikan ponselnya dengan sopan pada Delia. Perempuan itu berdiri dan menjauhi meja maka
"Kurasa sekarang kamu pasti menyadari, dia perempuan seperti apa. Tentunya nggak gila seperti yang kamu duga sebelumnya. Cerdas malah." Remy terkekeh setelah bicara. Dia ingat ketika sahabatnya itu cerita kalau akan menikahi gadis depresi. Ternyata sekarang posisi sudah terbalik. Siapa yang depresi untuk saat ini?Sebagai sahabat yang tahu banyak tentang Barra, termasuk hubungan rumitnya antara Delia dan Cintiara. Ia yakin bosnya itu sudah menyimpan rasa pada sang istri. Hanya saja masih gengsi untuk mengakui. Sebab selama ini Barra memandang sebelah mata pada Delia yang kala itu terganggu mentalnya."Andai saja waktu itu kamu mendengarkan saranku. Tentu masalahmu nggak akan serumit ini. Sadar atau enggak, kamu sekarang mulai jatuh cinta, tapi kamu masih terikat dengan kisah lama. Satu menuntut ingin dilepaskan, satunya ingin agar kamu mempertahankannya. Coba saja kamu sudah tegas di awal. Aku nggak nyalahin Delia yang mau cerai, karena kamu mencintai wanita lain dari masa lalumu. Aku
Mentari belum menampakkan diri karena mendung kelabu menutupi langit pagi. Barra telah rapi dengan baju kerjanya dan menatap langit dari balkon kamar. Sedangkan Delia baru saja keluar dari kamar mandi dan buru-buru berganti pakaian. Setelan celana panjang dan blouse lengan panjang warna beige dengan aksen tali yang bisa diikat membentuk pita di kerahnya."Hari ini, maukah kamu menemaniku?" tanya Barra hati-hati pada Delia yang duduk di kursi meja rias."Ke mana?""Menemui Tiara dan keluarganya. Biar kamu percaya dengan keputusanku.""Aku nggak ingin terlibat dalam hubunganmu dengan mereka. Mas, selesaikan saja sendiri," tolak Delia."Aku ingin kamu percaya dengan keputusanku."Delia hanya menggedikkan bahunya. Banyak faktor yang bisa menjadi alasan Barra ingin mempertahankan pernikahan dengannya. Tapi Delia tidak yakin karena alasan cinta. Bagaimana mungkin semudah itu ia melupakan perempuan yang telah dipacarinya bertahun-tahun demi orang yang baru dikenalnya beberapa bulan ini. Dia
Delia memejamkan matanya lebih rapat lagi. Berharap lekas terlelap. Nyatanya tak bisa. Semua pergerakan Barra di belakangnya masih bisa dirasakan. Getar ponsel di nakas juga masih ia dengar. Siapa yang menghubungi malam-malam begini kalau bukan perempuan itu. Tidak mungkin Relasi bisnis. Mereka orang-orang profesional yang tahu waktu untuk membahas pekerjaan. Barra bergeser dan memeluk pinggangnya. Spontan Delia memindahkan lengan itu."Kamu belum tidur?" tanya Barra.Perlahan Delia merubah posisi. Kemudian menoleh dan memandang sepasang mata yang bernaung di bawah alis tebal hitam laksana kepak sayap burung elang itu. Mereka bersitatap, lalu Delia yang lebih dulu mengalihkan pandangan. Banyak hal yang membuncah dalam dada, tapi tidak tahu mana yang harus diutarakannya. Tentang keraguannya, tentang rasa sakit yang masih terasa, atau tentang perasaan Barra terhadapnya.Hampir lima bulan ini Barra tidak hanya curang diam-diam di belakangnya. Namun melakukan dengan jelas di depan matany
Diam sejenak. Mungkin di antara mereka bertiga hanya Barra yang tahu tentang perasaan Samudra."Aku kehilangan Mbak Melia, Van. Aku depresi cukup lama karena peristiwa itu.""Aku tahu. Seorang teman menceritakan tentang itu padaku. Tapi saat itu aku nggak bisa pulang karena ada sedikit masalah di sana.""Nggak apa-apa. Aku sudah waras kok sekarang," jawab Delia terkekeh. Yovan ikut tersenyum haru. Di matanya, Delia tetap menjadi sosok yang menyenangkan."Kamu sudah menikah?"Yovan menggeleng. Delia jadi canggung.Dari percakapan mereka, Barra bisa tahu sejauh mana keakraban Yovan dengan keluarga Delia. Mereka ternyata sudah begitu dekat. Sekarang ia tahu bagaimana rasanya tak dianggap meski ada di depan mata. Dia melakukan hal yang sama pada Delia di awal pernikahan mereka hingga beberapa bulan kemudian. Begini saja sangat terasa kalau tidak dihargai, bagaimana dengan perasaan Delia waktu dirinya bermesraan meski hanya dengan kata-kata via telepon.Sorot mata lelaki itu terlihat masih
Suasana hangat dan penuh canda di ruang makan rumah Pak Irawan. Anak-anak dan menantunya berkumpul untuk dinner bersama. Menu kesukaan masing-masing tersedia di meja. Kebetulan kegemaran Samudra, Delia, dan Barra sama. Ayam rica-rica. Nira lebih suka lapis daging. "Papa bahagia jika ada kesempatan kalian bisa ngumpul seperti ini," ujar Pak Irawan sambil memperhatikan satu per satu putra-putrinya."Apalagi kalau nanti ditambah suara tangisan bayi. Iya kan, Mbak?" Nira dengan riang menggoda Delia. Sementara yang digoda, dengan tenangnya menikmati hidangan. Barra melirik sekilas sang istri. Bu Hesti juga menatap putrinya. Wanita itu sudah rindu dengan tangisan bayi di rumah besar mereka.Percakapan beralih tentang bisnis. Pak Irawan mengingatkan Samudra mengenai sarannya dulu untuk membuka usaha dalam bidang penyediaan peralatan kesehatan. Tentang bisnis dan seluk beluknya, Delia sudah menguasai. Sementara dalam bidang kesehatan, Samudra juga ahlinya. Klop kan untuk membentuk sebuah pe
Samudra, Delia, dan Nira masuk kamar masing-masing. Tinggal Pak Irawan dan Bu Hesti yang masih duduk di ruang keluarga. Mereka merasa lega setelah mengungkapkan rahasia yang disimpan demikian lama.Di kamarnya, Samudra berdiri di dekat jendela. Menatap gerimis dalam pekatnya malam. Walaupun ini merupakan kejutan yang luar biasa, tapi tidak ada rasa kecewa dalam hatinya. Ia bisa menerima. Mengambil hikmahnya, mungkin dengan begini ia bisa melupakan cintanya pada Delia. Harus bisa. Ia sama sekali tidak menyesalkan kenapa tidak diberitahu sejak dahulu, agar perasaannya pada Delia tidak sedalam ini. Namun ia kembalikan semuanya pada takdir. Mungkin memang harus begini jalan hidup yang digariskan untuknya. Toh, papanya tidak pernah membedakan kasih sayangnya. Mama Hesti juga merengkuh seperti putranya sendiri. Samudra kagum dengan hati mama tirinya. Dia wanita hebat berhati malaikat.Setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu bersamaan, mengajarkan Samudra untuk kuat menjalani kehi
Samudra duduk bersandar di kepala ranjang setelah usai praktek, mandi, dan Salat Isya. Di tangannya ada album lama berisi foto keluarganya. Zaman sejak dia masih bayi hingga berumur sepuluh tahun, terakhir mereka foto keluarga bersama.Dua orang tersenyum menghadap kamera sambil memangku seorang bocah yang kira-kira umur empat tahun. Samudra kecil tersenyum menampakkan giginya yang rapi dan putih.Rasa haru menembus hingga ke jantung. Rindu, ia rindu pada mereka. Terlalu singkat kebersamaan itu dan sekarang tinggallah kenangan yang tak akan mungkin Samudra lupakan.Sungguh tak mengira, laki-laki yang dulu dipanggilnya Om Irawan ternyata adalah ayah kandungnya. Dalam kesempatan tertentu mereka akan liburan bersama-sama. Dia akan bermain dengan Melia dan Delia. Keharmonisan dua keluarga itu menyimpan kisah pilu yang menyayat hati. Namun mereka bisa menjalaninya dengan saling menjaga perasaan masing-masing. Sungguh langka menemui situasi seperti itu di zaman sekarang ini. Bagi sebagian