Share

Bab 4

Author: H.S.X
Aku mengeluarkan laporan keguguran itu dari dalam saku. Tanganku gemetar saat menaruhnya bersama berkas-berkas lainnya.

Air mataku jatuh, membasahi kertas itu, seolah menjadi sebuah salam perpisahan. Aku menarik napas dalam-dalam.

Saat hendak memasukkannya ke dalam koper, suara Andika tiba-tiba terdengar dari belakang, penuh kebingungan.

“Sedang apa?”

Aku panik menutup koper, menyeka air mata di sudut mata.

Andika berjalan mendekat, pandangannya jatuh tepat pada koper itu.

“Kenapa kembali?” tanyaku canggung, sengaja mengalihkan topik.

Alih-alih menjawab, Andika mengangkat tangannya dan menyentuh sudut mataku.

“Kamu… menangis?” tanyanya.

Dia terpaku melihat basah di ujung jarinya, seolah tak tahu harus berbuat apa.

Aku lantas tersenyum.

“Namanya juga bumil, suasana hati gampang banget berubah. Nanti juga baikan,” jawabku asal.

Andika menghela napas lega.

“Syukurlah. Oh ya, aku tadi lupa tanya, kamu mau ikut nggak minta jimat keselamatan?” tanyanya.

“Aku ingat betul kamu begitu menganggapnya penting,” imbuhnya.

Aku tertegun sejenak, tak menyangka dia masih mengingatnya.

“Nggak perlu. Dua hari ini aku cukup sibuk, kamu saja yang pergi,” jawabku.

Andika mengangguk, lalu berbalik hendak keluar.

Hanya saja… sebelum menutup pintu, dia memastikan sekali lagi.

“Kamu yakin baik-baik saja?”

“Kalau aku bilang ada masalah, memangnya kamu akan tinggal di sini menemaniku?”

Andika terdiam sejenak, lalu berkata sambil tersenyum, “Bella, jangan bercanda. Olivia masih di rumah sakit menungguku.”

“Aku sudah transfer sepuluh miliar lagi ke rekeningmu. Jangan tidur larut malam, nggak usah menungguku,” ucapnya.

Pintu pun ditutup.

Hanya menyisakan diriku sendiri terpaku untuk waktu yang lama.

Butuh waktu lama untukku sebelum akhirnya tawa pahit keluar dari mulutku.

'Andika… aku sudah lama berhenti menunggumu.'

….

Malam itu, aku membereskan semua koper.

Aku juga meminta bibi pengasuh membantuku menurunkan sembilan puluh sembilan tas ke lantai bawah.

Begitu api dinyalakan, satu per satu tas itu kubakar.

Saat api berkobar hebat, aku benar-benar merasa lega, luar dan dalam.

….

Keesokan harinya, aku menenteng koper, bersiap pergi ke bandara.

Andika mengirimiku sebuah pesan singkat.

[Jimat keselamatan sudah kudapatkan.]

Dia juga memintaku ke rumah sakit untuk mengambilnya.

Sesampainya di rumah sakit, Andika tak ada di tempat.

“Bella, ada perlu apa kamu mencari Andika?” tanya Olivia sembari tersenyum padaku.

“Aku mau ambil jimat keselamatan. Kira-kira ditaruh mana sama Andika?”

Olivia pura-pura terkejut, lalu berbalik ke kamar mandi. Dia mengambil jimat keselamatan yang masih basah dari dalam toilet dan melemparkannya ke lantai.

“Ini yang kamu maksud?”

“Andika bilang, aku boleh meminjamnya dua hari. Tapi waktu ke toilet tadi, tanganku licin, jadi nggak sengaja jatuh ke kloset.”

“Tapi kupikir… toh memberikannya pada orang yang sudah mati. Simpan saja. Siapa tahu bayimu di bawah sana justru lebih suka,” ucapnya panjang lebar.

Olivia tersenyum puas, seolah tak sabar melihatku hancur dan hilang kendali.

Aku menatapnya, mengambil jimat itu, lalu menyumpalkannya ke dalam mulutnya.

Bau amis busuk dari air toilet memenuhi mulut Olivia. Dia mendorongku sekuat tenaga, lalu berlari ke toilet, muntah.

Aku tertawa puas lalu berbalik pergi.

...

Sepuluh menit kemudian, aku naik taksi menuju bandara.

Tak lama setelah itu, Andika yang sudah menyelesaikan urusannya pun kebetulan kembali ke rumah sakit.

“Olivia… tadi waktu aku nggak ada, Bella datang ke sini, nggak?”

Olivia masih menahan rasa mual, menyimpan jimat itu ke dalam selimut.

“Nggak ada tuh, tadi nggak ada orang yang ke sini.”

Andika mengangguk. Dia mengambil apel lalu mengupasnya.

“Baiklah. Kamu menyimpan jimat keselamatanku, ‘kan?”

“Sore nanti aku pulang bentar. Mau kasih jimat itu ke Bella,” tambah Andika.

Olivia hanya mengangguk, menerima potongan buah apel itu.

Tiba-tiba…

Tok, tok.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar.

Seorang perawat masuk, lalu bertanya, “Siapa keluarga dari Ibu Bella Utami? Beliau lupa mengambil obat kegugurannya.”
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta yang Mengalir Pergi   Bab 10

    Andika masih ingin mencariku. Dia masih ingin bersamaku, ingin menebus semua kesalahannya.Namun… aku juga sudah mengatakannya.Aku tak ingin bertemu dengannya selamanya.Awalnya dia mengira, hal yang membuatnya sakit hati adalah saat Olivia mencoba bunuh diri.Namun kini dia baru mengerti.Hal yang paling membuatnya sakit adalah saat kepergianku.Namun semuanya sudah terlambat.Kepala kantor polisi ternyata adalah teman lama Andika. Setelah tahu maksud kedatangan Andika, pria itu dengan cepat menjelaskan kronologi kejadian.Sebenarnya, memang pihak rumah sakit sudah melaporkan Olivia. Hanya saja, karena luka yang perawat derita tak parah, kasus ini semula hendak diselesaikan secara damai.Pihak rumah sakit hanya meminta Olivia mengucapkan permohonan maaf dan urusan selesai.Namun siapa sangka, entah kesetanan apa, Olivia justru mengamuk, menolak meminta maaf dan membuat keributan besar di rumah sakit.Itulah sebabnya dia ditahan semalaman.Andika mengusap keningnya, menahan rasa kesal

  • Cinta yang Mengalir Pergi   Bab 9

    Bibi pengasuh menyeka air matanya.“Tuan bilang… cuma hamil, ‘kan? Buat apa harus lebay begitu.”“Tuan… hati Tuan benar-benar kejam.”Andika tampak linglung.“Tapi, aku sudah membelikannya tas, ‘kan?” gumamnya pelan.Penyakit Olivia pertama kali kambuh di tengah malam. Aku tak tenang saat itu. Aku menggunakan segala untuk menahannya agar tak pergi.Andika terlihat gelisah, lalu mengeluarkan ponsel dan memintaku untuk memilih sebuah tas.“Bella… aku janji hanya akan menemani Olivia sembilan puluh sembilan kali. Saat pergi, aku akan memberimu sebuah tas. Sampai jumlahnya genap sembilan puluh sembilan, kamu bawa semua struk itu padaku. Aku pasti akan pulang bersamamu.”Sejak hari itu, ruang lemari itu menjadi hal yang paling berharga untukku.Berkali-kali asistennya memberitahu dia, betapa bahagianya aku saat menerima tas itu.Namun, dia tak tahu. Kebahagiaanku bukan datang dari tas itu, tapi karena jarak ke angka sembilan puluh sembilan semakin dekat. Yah, sebuah janji palsu untuk menah

  • Cinta yang Mengalir Pergi   Bab 8

    Andika tampak terhuyung. Rasa sakit membanjiri hatinya sepertinya air bah yang tak terbendung.Anakku… karena aku…Tatapan matanya tertuju pada jimat keselamatan di tangannya. Dalam sekejap, dia sadar akan sesuatu. Dia menggila buru-buru keluar dari ruangan.Pulang!Bella!Saat ini, Andika tak lagi mengingat Olivia.Segala isi hati dan pikirannya hanya kembali ke sisiku. Dia ingin meminta maaf. Dia ingin menebus semua kesalahannya.Olivia mulai pank, seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang lepas kendali.Dia buru-buru mengejar Andika, tapi dihadang oleh kepala perawat.“Kamu nggak boleh pergi!”Dihadang seperti itu, tentu membuat Olivia kesal.“Kenapa aku nggak boleh pergi? Ini rumah sakit, apa kalian mau menahanku secara paksa di sini?”Kepala perawat lantas mencibir.“Kamu memang pintar menuduh seenaknya. Sudah melukai orang, nggak minta maaf, nggak ganti rugi, eh malah mau kabur.”“Jujur saja, aku baru saja mengirim orang untuk melapor polisi. Kamu duduk dan tunggu saja.”Begitu me

  • Cinta yang Mengalir Pergi   Bab 7

    Orang-orang di sekeliling akhirnya ikut tenang. Namun, tatapan mereka penuh ejekan pada Olivia.Andika tak menyadari hal itu. Begitu melihat reaksi mereka, wajahnya pun berubah dingin.“Apa maksud kalian? Tugas kalian sebagai tenaga medis bukankah untuk menyelamatkan nyawa seseorang? Tapi rasa empati saja kalian nggak punya!” seru Andika kesal.Kepala perawat memutar bola matanya.“Memangnya kenapa dengan tenaga medis? Mereka juga manusia, pantas dihormati. Dia memukul orang, apa itu artinya dia punya empati?”“Cukup sampai di sini, jangan banyak omong. Cepat minta maaf, rumah sakit bukan tempat kalian buat keributan.”Orang-orang di sekitar pun ikut angkat suara.“Ya, betul. Cepat minta maaf.”“Kalau nggak, kami akan lapor polisi.”“Huh… orang-orang macam ini benar-benar ada.”Olivia tak tahan dengan teguran itu. Amarahnya meledak, dia lantas menghampiri kepala perawat.“Kalian...”“Apa itu yang menempel di bajumu?” sahut Andika tiba-tiba. Tatapan matanya tajam tertuju pada jimat kese

  • Cinta yang Mengalir Pergi   Bab 6

    Begitu terprovokasi oleh ucapan perawat, dia seketika menggila. Dia ambil pisau buah yang ada di lantai dan melemparkannya ke arah perawat.“Hentikan!” teriak Andika saat menoleh dan melihat adegan itu.Namun… sudah terlambat.Pisau buah itu menggores sudut mata perawat dan meninggalkan guratan darah panjang.“Aaaa…” teriak perawat saat menyentuh darah di sudut matanya. Dia pun mendorong pintu dengan keras.“Tolong! Cepat, ada orang yang membuat keributan di sini!” lanjut perawat berteriak keluar.Beberapa dokter dan perawat buru-buru masuk. Saat melihat guratan darah di wajah perawat, mereka pun tampak terkejut.Lukanya memang kecil, tapi hampir menggores sudut matanya. Seandainya sedikit lebih jauh, yang terluka sudah pasti matanya.“Erika, apa yang terjadi?” tanya kepala perawat penuh prihatin sembari hati-hati mengelap lukanya menggunakan kapas antiseptik.Erika baru saja diterima bekerja di rumah sakit tahun ini. Saat ini pun, usianya baru menginjak dua puluhan tahun, ditambah dia

  • Cinta yang Mengalir Pergi   Bab 5

    Klang!Pisau buah jatuh ke lantai. Dentingannya memecah keheningan. Kulit buah berserakan di lantai, tapi tak ada seorang pun yang peduli.Andika sontak berdiri.“Ka… Kamu bilang apa barusan?” tanyanya tak percaya.Perawat tampak terkejut, menatapnya penuh keheranan.“Apa Anda keluarga dari Ibu Bella?”“Beberapa hari lalu, Ibu Bella dirawat di sini karena keguguran. Dia lupa mengambil obatnya.”“Tadi saya lihat Ibu Bella keluar dari kamar ini, jadi saya ke sini untuk menanyakan, siapa di antara kalian yang keluarganya?”Andika mengatupkan bibirnya hendak bicara, wajahnya seketika berubah pucat.“Aku… aku suaminya.”Mendengar itu, sikap perawat yang semula ramah langsung berubah. Dia menyapu Andika dari atas sampai bawah, sorot matanya dipenuhi ejekan.“Oh?”“Jadi kamu suami Ibu Bella yang nggak bertanggung jawab itu?”“Istrimu keguguran dan dirawat di rumah sakit begitu lama, tapi sekali pun kamu nggak pernah menjenguknya. Hebat sekali kamu sebagai suami!”Bola mata Andika bergetar heb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status