Share

6. Aku Yang Mengundangmu

"Wah, bukankah itu Evin Ji?"

"Itu Evin Ji."

"Iya, itu Evin Ji."

"Dia sangat tampan jika dilihat langsung."

"Benar. Dia adalah orang yang akan menerima kekuasaan tertinggi di Lissel Group."

"Aku belum pernah melihat pria seperti itu, dia terlalu sempurna."

Sejak kehadiran pria itu, mulailah terdengar bisikan-bisikan dari para tamu, membicarakan tentang Evin. Para wanita begitu memuja dan memuji sosok Evin Ji. Mereka tidak tahu siapa sebenarnya Evin, jika mereka tahu — mereka tidak akan pernah mengatakan hal-hal yang membuat nama Evin melambung tinggi. Tapi bagaimanapun juga, Evin tetap menjadi yang nomor satu meskipun dia bejat. Karena dia tertolong secara financial dan fisik. Jika dia miskin atau jelek, dia sudah dihujat habis-habisan. Jika kau kaya atau tampan/cantik, kau akan aman.

"Bagaimana, Nona Maria? Apa menurutmu Evin Ji pria yang tampan?" tanya Nyonya Mo padaku.

"Tidak munafik, sebagai wanita saya mengakui kalau Evin Ji adalah pria yang tampan dan sempurna."

"Apa dia termasuk target ayahmu, Nona Maria?"

"Tentu saja tidak, Nyonya Mo. Orang seperti kami tidak sepadan dengan keluarga Ji dan Lissel Group," jawabku merendah.

"Jika dia bukan target ayahmu, maka aku tidak perlu bersaing dengan ayahmu. Aku memiliki putri yang sangat cantik, sayangnya dia tidak di negara ini. Apa menurutmu Evin Ji cocok dengan putriku?"

"Putri anda sangat cantik dan berbakat, tentu dia akan menjadi pendamping yang sepadan untuk Evin Ji. Lagipula latar belakang keluarga anda juga sangat mendukung, saya yakin anda memiliki kepercayaan diri untuk mendapatkan hati keluarga Ji."

"Kau mengenal putriku? Bukankah kalian tidak pernah berteman? Bahkan kau tidak pernah satu sekolah dengan putriku."

"Saya pernah bertemu satu kali di Los Angeles saat saya melakukan perjalanan bisnis." Dan kami bertemu di sebuah kelab, putri anda sedang 'bersenang-senang' bersama seorang pria yang kukenal. Sejak saat itulah hubunganku dengan kekasihku berakhir. Tentu anda tidak tahu tentang hal itu, Nyonya Mo. Sebagai seorang ibu kandung, anda tidak tahu sifat asli anak anda. anak anda itu, memang sangat cocok dengan Evin Ji. Sangat cocok.

"Oh, begitu rupanya?" balas Nyonya Mo tak berminat.

Aku tersenyum. Membahas tentang putri Nyonya Mo membuatku teringat kembali pada kisah kelam di malam itu. Bahkan aku berharap putri Nyonya Mo tidak kembali ke negara ini.

Kami makan malam bersama dengan suasana damai dan menyenangkan, ditemani alunan saxophone bernuansa romantis dan mewah. Para tamu tampak menikmati jamuannya karena rasanya memang enak dan semua menu yang disajikan mendapat begitu banyak pujian. Aku yakin, pasti pihak Lissel Group memikirkan segalanya dengan matang supaya kami puas. Tentu saja, karena Lissel Group adalah perusahaan terpandang yang wajahnya tidak boleh ternodai sedikit pun oleh aib.

Usai makan malam, para tamu menyapa tuan rumah dan berbincang sebentar, sedangkan aku diam-diam meninggalkan aula karena ada orang yang harus kuhindari.

Aku tidak langsung kembali ke kamar, melainkan pergi ke kafetaria yang berada di lantai bawah. Di sana menyediakan berbagai macam minuman, dessert dan makanan ringan. Aku hanya memesan latte. Kafe cukup ramai di malam hari, tentu bukan para tamu pesta yang meramaikan, melainkan orang-orang yang sengaja menginap di sini untuk liburan, pertemuan bisnis atau mungkin pasangan yang bulan madu.

Sama seperti di aula makan malam, di sini juga ditemani oleh alunan musik bernuansa romantis, hanya saja di sini menggunakan music player, sedangkan di aula makan malam langsung dari saksofonis terkenal.

Setelah bosan di kafe aku jalan-jalan ke tempat-tempat khusus di Del Express. Kolam renang, taman indoor, tempat olahraga dan tempat hiburan lainnya. Namun, celaka! Aku lupa jalan kembali. Di mana letak lift? Aku berputar-putar menelusuri lorong, tak kutemukan satu pun petugas Del Express.

Sialan! Bagaimana caranya aku bisa kembali ke kamar?

Siapa desainer hotel ini? Membuat lorong berputar-putar membuat orang bingung. Seharusnya di sisi tertentu diberi tanda atau apa pun itu. Kalau begini aku kesulitan mencari lift atau tangga darurat.

"Tersesat, Nona?"

Aku berbalik dengan perasaan kaget. Seorang pria memakai setelan jas berwarna hitam berdiri di belakangku. Pria ini tinggi sekali sampai aku harus mengangkat wajah untuk melihat wajahnya.

"S-siapa?" tanyaku saat aku memastikan tidak ada logo Del Express di bajunya, itu artinya dia bukan petugas hotel.

"Calon suamimu." balasnya ambigu.

Aku mengernyit tidak mengerti. Bagaimana bisa orang gila bisa masuk ke Del Express?

"Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku.

Sekarang gantian pria ini yang mengerutkan dahi. "Belum sehari kau sudah lupa?"

"Belum sehari? Seharian ini aku tidak bertemu dengan anda, sebelumnya aku hanya bertemu..." Aku menghentikan kalimat karena teringat sesuatu. Teringat pria aneh yang masuk kamarku tanpa izin dan mandi di sana, juga mengaku sebagai calon suamiku. "Anda... pria gila yang masuk kamarku tadi? Apa  benar pria itu anda?" tanyaku akhirnya menyadari.

"Jadi menurutmu aku gila?"

"T-tidak, maksudku... sikap anda tadi sangat aneh, jadi aku sempat berpikir... kalau anda tidak waras. Maaf. Lagipula anda sangat aneh, mengaku sebagai calon suamiku. Sepertinya anda salah mengenali orang."

Pria ini tersenyum miring. "Ya, mungkin. Jadi apa yang kau lakukan di sini? Bukankah acara makan malam belum selesai?"

"Aku hanya ingin melihat-lihat di daerah sini. Tapi... bagaimana anda tahu kalau aku adalah tamu undangan di sini?" tanyaku dengan spontan.

"Karena aku yang mengundangmu."

"Apa?" Aku sungguh kaget dan tidak bisa mencerna kalimatnya.

"Bukankah kau ingin keluar dari sini? Mau kubantu?" Pria ini malah mengalihkan pembahasan. Saat pertemuan pertama juga begitu, dia selalu menghindari pertanyaanku.

"Boleh saja, tapi sebelum itu katakan siapa anda. Bukankah kita tidak saling kenal?"

"Kita saling kenal."

"Tidak."

"Terserah."

Pria itu pergi meninggalkan aku, selain ketus dia juga sedikit aneh. Karena aku tidak tahu jalan, terpaksa aku mengikutinya di belakang tapi dengan jarak sekitar dua meter untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya: dia secara tiba-tiba mencekikku atau semacamnya. Aku tidak mau mati sekarang. Mungkinkah dia orang yang ditugaskan untuk menyakiti aku? Tapi jika itu memang niatnya, aku sudah disakiti sejak tadi saat kami bertemu di kamar.

Berkat mengikuti dia, akhirnya aku menemukan lift. Pria itu menekan tombol lift, tak lama kemudian lift terbuka.

"Silakan masuk," ucapnya.

Aku sempat ragu, tapi akhirnya aku masuk ke dalam lift karena di dalam lift ada orang lain, kurasa akan aman karena di dalam lift ada cukup banyak orang. Dia menekan tombol sepuluh, itu adalah lantai di mana kamarku berada.

"Apa anda juga menginap di lantai sepuluh?" tanyaku basa-basi.

"Iya."

Hening.

"Berapa nomor kamar anda?" tanyaku lagi.

"Apa kau mau mampir ke kamarku?"

"Bukan begitu, aku hanya... ingin tahu."

"Kalau sudah tahu apa kau mau mampir ke kamarku?"

"Ah, sudahlah! Lupakan! Anggap saja aku tidak pernah bertanya."

Hening. Setelah itu aku tak mengajukan pertanyaan lagi karena jawaban pria ini membuatku merasa dipermalukan. Keheningan menguasai sampai kami tiba di lantai sepuluh.

Kami keluar dari lift bersama-sama dan pria ini memimpin jalan menuju kamarku. Aku merasa bersyukur karena aku pun lupa letak kamarku di mana.

"Ini kamarmu, bukan?" tanyanya saat kami tiba di depan kamar nomor 1024.

Setelah mengecek nomornya, ternyata benar kamarku. "Terima kasih atas bantuannya."

Pria ini mengangguk singkat. "Sampai jumpa, Nona Maria Tan." Dia berbalik dan pergi, padahal aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan padanya.

"T-tunggu!" Aku berusaha mencegah, tapi pria itu tetap berjalan tanpa berbalik. Memberi respon pun tidak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status