LOGINWaktu berjalan dengan cepat. Setelah satu jam, sesi latihan berakhir. Jane duduk di lantai sambil menyeka keringat di dahinya. Punggungnya pegal, lengannya nyeri, tapi ada perasaan ringan di dadanya.
Brian duduk bersandar di dinding seberang dan mengamatinya dalam diam.
“Bagaimana rasanya?” tanyanya akhirnya.
“Sakit,” jawab Jane jujur, lalu tersenyum. “Tapi menyenangkan.”
Brian mengangguk kecil. “Rasa sakit itu tanda bahwa kau sedang berubah.”
Dia pun berdiri lalu mengulurkan tangan pada Jane. “Bangun. Jangan biarkan lantai jadi tempat nyamanmu.”
Jane menatap tangan itu sejenak sebelum akhirnya menggenggamnya. Jari Brian hangat dan kuat, kontras dengan jemari Jane yang dingin dan lemah.
Begitu Jane berdiri, jarak mereka hanya tinggal beberapa inci. Tatapan mereka bertemu lagi dan kali ini, tak ada yang berusaha menahan apa pun.
“Terima kasih,” ucap Jane lirih.
Brian menatapnya cukup lama. “Jangan berterima kasih padaku. Ini baru awal.”
Senyap beberapa detik. Hanya napas mereka yang terdengar.
Lalu Brian menambahkan dengan nada lebih rendah, hampir seperti gumaman, “Dan, Jane, mulai besok, jangan sembunyikan wajahmu di balik rambutmu. Dunia perlu lihat matamu. Itu bagian terbaik dari dirimu.”
Jane menunduk malu, tapi bibirnya melengkung samar, campuran antara gugup dan geli. “Baiklah, Coach,” jawabnya dengan pelan.
Saat dia berbalik dan berjalan ke arah loker, Brian memperhatikannya dalam diam.
Ada sesuatu dalam cara Jane berjalan, masih terlihat canggung, tapi mulai percaya diri. Seolah setiap langkahnya adalah perlawanan kecil terhadap masa lalunya.
Dan entah kenapa, Brian tahu satu hal pasti: Wanita itu bukan hanya datang ke gym untuk membentuk tubuh. Ia datang untuk menyembuhkan luka.
“Aku rasa ada sesuatu yang Jane tutupi dariku. Matanya terlihat kosong, seperti baru saja disakiti oleh sesuatu.”
**
Jane datang ke rumah suaminya untuk mengambil barang-barang yang akan dia bawa ke apartemen lamanya sebelum dia menikah dengan Andrew.
Mulai hari ini, Jane tidak mau tinggal serumah lagi dengan suaminya. Dia tidak ingin semakin terluka dan memutuskan untuk berpisah. Jane sendiri yang akan menggugat Andrew.
Rumah yang dulu menjadi istananya bersama Andrew kini terasa asing—seperti rumah orang lain yang penuh kenangan busuk.
Udara di dalamnya masih membawa aroma familiar: campuran parfum Andrew dan wangi kayu manis dari pengharum ruangan yang dulu ia pilih sendiri.
Tapi kini, semua itu hanya memuakkan. Jane berdiri di ruang tamu beberapa detik sebelum langkah kakinya terhenti ketika mendengar tawa melengking seorang wanita dari arah ruang keluarga.
Tawa yang terlalu dikenalnya. Tawa yang menghancurkan rumah tangganya.
Audi.
Dan di sana, wanita itu berdiri dengan pakaian mewah berwarna krem menatap Jane seolah rumah itu sudah sepenuhnya miliknya.
Di pangkuannya duduk seorang bocah kecil berusia tiga tahun—anak hasil pengkhianatan Andrew.
Bocah itu tengah memegang mainan mobil kecil sambil tertawa riang, tanpa tahu bahwa keberadaannya adalah simbol dari kehancuran seorang wanita.
“Oh, Jane,” suara Audi mengalun manis, namun penuh racun. “Kau datang juga. Aku kira kau sudah tidak akan kembali ke sini setelah pesta ulang tahun anak kami.”
Jane menatap tajam tanpa menjawab. Matanya beralih ke arah Andrew yang berdiri di dekat sofa, wajahnya tampak tegang namun tak mengucap sepatah kata pun.
“Tenang saja,” lanjut Audi dengan senyum menyeringai. “Aku hanya mampir untuk membicarakan sesuatu yang penting dengan Andrew. Lagi pula, aku sudah sering di sini, kan, Sayang?”
Wanita itu sengaja mengelus lengan Andrew dengan lembut, dan Jane tahu itu bukan hanya sentuhan—itu tantangan.
Andrew tidak menepis. Dan itu yang paling menyakitkan.
Jane menarik napas panjang sambil mencoba menahan diri. “Aku hanya datang untuk mengambil barang-barangku,” ucapnya datar.
“Oh?” Audi menaikkan alis. “Barangmu? Aku pikir kau sudah meninggalkan semuanya. Rupanya kau baru mau beres-beres, ya?”
Jane tidak mau meladeni Audi yang tampaknya sengaja ingin membuat hatinya semakin porak-poranda. Dia memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamarnya.
“Jadi, Andrew, kapan kau akan menceraikan Jane, hm? Aku sudah memberimu anak, tapi sampai sekarang aku masih berstatus ‘wanita lain’. Kau tidak kasihan padaku?”
Wanita itu mengerling genit, pura-pura merajuk, lalu memeluk lengan Andrew dengan sensual.
Jane menghentikan langkahnya usai mendengar pertanyaan dari suara manja yang dibuat-buat. Ia menggertakkan rahangnya menahan diri untuk tidak menampar wajah sombong Audi.
‘Tidak tahu malu,’ pikirnya getir. ‘Kau sudah merebut suami orang, bahkan berani menuntut lebih di depan mata istrinya.’
Andrew masih diam. Diam yang semakin membuat Jane muak. Sampai akhirnya, dia kembali melangkah menuju kamar. Ia tidak ingin mengotori lidahnya dengan perdebatan murahan.
Kamar itu masih seperti dulu. Tempat tidur besar dengan sprei biru laut, lemari kayu jati, dan foto pernikahan mereka yang masih tergantung di dinding—foto yang kini hanya menjadi ironi.
Jane berjalan pelan dan menatap foto itu beberapa detik sebelum menurunkannya dari dinding dan meletakkannya di lantai.
Ia mulai memasukkan bajunya ke koper, satu per satu dengan gerakan tegas. Tidak ada air mata kali ini. Hanya kemarahan yang membatu.
Ketika dia tengah menutup koper, pintu kamar terbuka. Andrew berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kemeja putih yang sedikit terbuka di bagian dada.
“Jane,” suaranya rendah. “Kau tinggal di mana sekarang?”
Jane menoleh perlahan dan menatapnya dengan dingin. “Bukan urusanmu.”
“Aku hanya bertanya.”
“Dan aku sudah menjawab. Urus saja kekasih gelapmu itu,” balasnya tajam.
Andrew menghela napasnya menatap Jane dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kau tidak perlu pergi seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik.”
Jane mendengus lalu tertawa pendek tapi getir. “Baik-baik? Setelah empat tahun aku bertahan dengan kebohonganmu? Setelah aku tahu kau punya anak dari wanita lain, Andrew?”
Jane menghela napasnya menatap Andrew yang hanya diam seribu bahasa.
“Kau tahu apa yang paling menyakitkan dari semuanya? Bukan karena kau berselingkuh. Tapi karena kau membuatku merasa aku tidak cukup. Kau bilang aku terlalu kurus, terlalu kusam, padahal aku hanya terlalu mencintaimu.”
Senyap. Kalimat itu menggantung di udara seperti racun yang tak bisa ditarik kembali.
Andrew menggigit bibirnya, namun tidak ada pembelaan keluar dari mulutnya. Ia hanya berdiri di sana, terlihat bersalah namun terlalu pengecut untuk meminta ampun.
Jane menghela napas berat sambil menatap koper yang sudah tertutup. “Kau tahu, Andrew, aku datang ke sini bukan untuk meminta maaf atau menunggu kata ‘maaf’ darimu. Aku hanya ingin menutup bab ini.”
Ia berdiri dan menatap Andrew lurus-lurus. “Jadi, kau tidak perlu repot-repot melayangkan gugatan cerai. Aku yang akan menggugatmu. Dan kali ini, aku akan pastikan aku yang meninggalkanmu, bukan sebaliknya.”
Jane melewati Andrew tanpa menoleh. Aroma parfum pria itu masih sama seperti dulu, tapi kini hanya membuat perutnya terasa mual.
Begitu dia tiba di ruang tamu, Audi langsung bersandar manja di sofa sambil memainkan rambutnya.
“Oh, kau sudah selesai?” tanya Audi dengan nada mengejek. “Kau benar-benar pergi kali ini?”
Jane menatapnya dingin. “Ya,” ucapnya sambil melewati wanita itu. “Tapi ingat, Audi. Hasil merebut tidak akan sesempurna yang kau harapkan. Hukum karma akan segera berlaku!"
Dunia seolah berhenti sejenak. Andrew memandang Jane dengan raut terkejut, matanya lalu berpindah ke Brian—tinggi, tegap, dengan wajah tampan yang membuat siapa pun tampak kalah dalam perbandingan.Tatapan Andrew langsung berubah dingin. “Siapa dia?” tanyanya dengan nada tajam.Jane tidak bisa bicara. Mulutnya kering. Tapi sebelum sempat menjawab, Brian melangkah setengah maju dan berdiri sedikit lebih dekat ke Jane.“Brian,” katanya pelan, tenang tapi penuh wibawa.Andrew menyipitkan mata. “Brian? Aku baru tahu kau punya teman bernama Brian.” Nada sarkastis itu cukup menusuk.Audi lalu menatap Jane dengan senyum tipis yang penuh sindiran.Jane mengepalkan tangan. Hatinya bergetar antara marah, malu, dan sakit.Setelah semua yang Andrew lakukan—pengkhianatan, penghinaan—ia masih punya keberanian untuk bertanya seperti itu?Brian menatap Jane sekilas, seolah memberi ruang baginya untuk memutuskan. Dan dalam sekejap, keputusan itu keluar dari hatinya yang sudah terlalu lelah.Jane melan
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan kafe dengan lampu kuning temaram. Dari luar, sudah terlihat beberapa member gym duduk di meja besar sambil tertawa dan berbincang.Brian mematikan mesin mobil tapi tidak segera keluar. Ia menatap Jane sekali lagi.“Kau tak perlu takut dilihat datang bersamaku. Mereka tidak akan peduli.”Jane tersenyum tipis. “Kau yakin?” ucapnya dengan pelan.“Yakin.” Dia mendekat untuk membukakan seatbelt di pinggang Jane. “Tapi kalau kau masih khawatir, aku bisa parkir di belakang, dan kita masuk lewat pintu lain.”Jane menatapnya dan tidak bisa menahan tawa kecil. “Kau ini benar-benar—”“Apa?”“Berbahaya,” katanya setengah berbisik.Brian tersenyum samar. “Kau baru menyadarinya?” godanya dengan suara beratnya.Jane hanya diam sambil menatap lurus ke depan.Pintu mobil pun terbuka. Udara malam yang hangat menyambut mereka saat keluar dari mobil. Tapi bagi Jane, udara itu terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup, lebih bergetar.“Ayo,” ajak Brian sambil
“Ada makan malam bareng member gym malam ini. Di kafe dekat apartemen Grand View. Datang, ya?”Notifikasi pesan masuk di ponsel Jane berbunyi lembut. Ia baru saja meletakkan koper terakhir di pojok apartemennya—tempat yang sudah lama tak ia kunjungi sejak menikah.Jane membaca pesan itu dua kali, memastikan ia tak salah baca. Kafe itu hanya beberapa blok dari tempatnya sekarang. Ia menggigit bibirnya karena ragu.Makan malam bersama? Dengan Brian di sana?Setelah hari panjang yang melelahkan secara emosional, dia ingin menolak. Tapi, mungkin malam ini, sedikit udara segar tidak akan membunuhnya.Jane berjalan ke lemari kecil di sudut kamar. Tangannya menyingkap beberapa pakaian yang masih tergantung rapi di sana, sisa masa lalu yang kini terasa asing.Ia memilih dress sederhana warna navy, selutut dengan potongan V di leher, lalu menguncir rambutnya ke atas membentuk sanggul santai.Sedikit foundation dan lipstik lembut ia oleskan di wajahnya agar tidak tampak terlalu pucat.Saat mena
Waktu berjalan dengan cepat. Setelah satu jam, sesi latihan berakhir. Jane duduk di lantai sambil menyeka keringat di dahinya. Punggungnya pegal, lengannya nyeri, tapi ada perasaan ringan di dadanya.Brian duduk bersandar di dinding seberang dan mengamatinya dalam diam.“Bagaimana rasanya?” tanyanya akhirnya.“Sakit,” jawab Jane jujur, lalu tersenyum. “Tapi menyenangkan.”Brian mengangguk kecil. “Rasa sakit itu tanda bahwa kau sedang berubah.”Dia pun berdiri lalu mengulurkan tangan pada Jane. “Bangun. Jangan biarkan lantai jadi tempat nyamanmu.”Jane menatap tangan itu sejenak sebelum akhirnya menggenggamnya. Jari Brian hangat dan kuat, kontras dengan jemari Jane yang dingin dan lemah.Begitu Jane berdiri, jarak mereka hanya tinggal beberapa inci. Tatapan mereka bertemu lagi dan kali ini, tak ada yang berusaha menahan apa pun.“Terima kasih,” ucap Jane lirih.Brian menatapnya cukup lama. “Jangan berterima kasih padaku. Ini baru awal.”Senyap beberapa detik. Hanya napas mereka yang te
“Ya. Sudah sangat siap,” jawabnya dengan pelan. Matanya masih menatap wajah pria berusia tiga puluh tiga tahun itu dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kalau begitu, silakan ganti dulu pakaianmu.”Jane langsung mengerjapkan matanya. “Oh. Aku … aku tidak membawa baju olahraga. Karena niatku untuk membentuk tubuh ideal sangat mendadak ketika melihat—”Jane langsung berhenti dan membuat Brian menaikan alisnya karena Jane langsung menutup mulutnya.“Melihat apa?” tanya Brian.Jane menggeleng dengan pelan. “Melihat banner di jalan,” jawabnya dengan senyum canggung di bibirnya.“Tenang saja, Nona Jane. Kami menyediakan pakaian olahraga di sini,” kata staff bernama Alice itu.“Syukurlah. Kalau begitu, aku beli di sini saja,” ucapnya dengan pelan.Alice langsung mengantar Jane menuju ruang salin untuk mengganti bajunya.Lima menit kemudian, dia berdiri di depan cermin besar dan sudah mengenakan pakaian olahraga baru yang bahkan masih terasa asing di kulitnya.Legging hitam ketat dan tank top
“Suamimu selingkuh, Jane. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang menghadiri pesta ulang tahun anaknya di hotel.”Brak!Pintu aula hotel terbuka dengan hentakan yang membuat semua kepala menoleh. Seketika itu Jane langsung datang ke hotel yang disebut oleh teman kantornya bahwa dia melihat Andrew sedang merayakan ulang tahun seorang anak kecil yang diduga adalah anaknya.“Tidak mungkin …,” matanya langsung terbelalak menatap Andrew—sang suami yang tengah menggendong seorang anak dengan kue ulang tahun terpampang nyata di hadapannya.Tiga tahun. Lilin yang menempel di kue ulang tahun itu sudah memberi jawaban bahwa Andrew telah memiliki seorang anak berusia tiga tahun.Jane membeku di tempat menatap nyalang wajah Andrew yang bahkan tak terkejut sama sekali melihatnya di sana.“Padahal usia pernikahan kami baru berjalan empat tahun. Itu artinya … perselingkuhan itu dimulai hanya beberapa bulan setelah kami menikah?”Atau mungkinkah dia yang sebenarnya menjadi selingkuhan







