LOGIN“Ada makan malam bareng member gym malam ini. Di kafe dekat apartemen Grand View. Datang, ya?”
Notifikasi pesan masuk di ponsel Jane berbunyi lembut. Ia baru saja meletakkan koper terakhir di pojok apartemennya—tempat yang sudah lama tak ia kunjungi sejak menikah.
Jane membaca pesan itu dua kali, memastikan ia tak salah baca. Kafe itu hanya beberapa blok dari tempatnya sekarang. Ia menggigit bibirnya karena ragu.
Makan malam bersama? Dengan Brian di sana?
Setelah hari panjang yang melelahkan secara emosional, dia ingin menolak. Tapi, mungkin malam ini, sedikit udara segar tidak akan membunuhnya.
Jane berjalan ke lemari kecil di sudut kamar. Tangannya menyingkap beberapa pakaian yang masih tergantung rapi di sana, sisa masa lalu yang kini terasa asing.
Ia memilih dress sederhana warna navy, selutut dengan potongan V di leher, lalu menguncir rambutnya ke atas membentuk sanggul santai.
Sedikit foundation dan lipstik lembut ia oleskan di wajahnya agar tidak tampak terlalu pucat.
Saat menatap bayangan dirinya di cermin, ia hampir tak percaya. ‘Beginikah wajah seorang wanita yang baru saja kehilangan segalanya?’ pikirnya getir.
Namun ada sesuatu di balik matanya malam itu — kekuatan kecil yang mulai tumbuh pelan-pelan.
Saat Jane keluar dari unit apartemen, langkahnya berhenti mendadak.
Di depan lift, berdiri seorang pria berpostur tinggi mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku, menampakkan urat-urat tangan yang jelas.
Brian.
Jane hampir tidak percaya. “Brian?”
Pria itu menoleh cepat dan ekspresinya terkejut namun berubah lembut dalam hitungan detik. “Kau tinggal di apartemen ini?”
Jane mengangguk pelan. “Iya ... aku tinggal di sini sejak sebelum menikah. Aku ... baru pindah lagi hari ini.”
Ada keheningan kecil yang menggantung di antara mereka. Lift terbuka, tapi tak satupun dari mereka segera melangkah masuk.
Tatapan Brian turun perlahan, memperhatikan gaun yang dikenakan Jane malam itu. “Kau kelihatan berbeda,” katanya akhirnya. “Lebih hidup dari pertama kali aku melihatmu di gym.”
Jane sedikit gugup mendengarnya. “Terima kasih, aku hanya tidak ingin terlihat seperti orang yang baru saja kehilangan rumah tangganya.”
Brian menatapnya dengan alis terangkat. “Oh. Jadi, rumah tanggamu memang sedang bermasalah?”
Jane menelan salivanya lalu mengangguk kecil. “Ya. Suamiku selingkuh dan memiliki seorang anak. Setelah empat tahun menikah, dan anak itu sudah berusia tiga tahun. Rasanya akulah selingkuhannya.”
Brian menatapnya tanpa sedikit pun menyela. Mendengarkan dengan saksama dan akhirnya mengangguk dengan pelan.
“Tapi, keputusanmu sudah sangat bagus, Jane.”
Jane menoleh pelan ke arah Brian. “Maksudmu?” tanyanya dengan pelan.
Brian menatap lekat wajah Jane dan berhasil membuat wanita itu kembali kaku.
“Melampiaskan semuanya dengan membentuk tubuh yang indah. Aku rasa itu adalah balas dendam yang baik.”
Jane terdiam cukup lama dan hanya menatap Brian yang tubuhnya terlalu dekat dengannya. Bahkan Jane bisa mencium aroma sabun dan cologne dari tubuh Brian, aroma segar yang maskulin, yang berhasil membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Setibanya di basement, Brian menahan tangan Jane dan membuat wanita itu menoleh.
“Ikut denganku saja.”
“Huh? Aku … aku bisa naik taksi, Brian. Lagipula ... bagaimana kalau member lain salah paham?”
Senyum tipis muncul di bibir pria itu. “Salah paham tentang apa?”
“Kita datang bersama.”
“Lalu?” Brian mencondongkan tubuhnya sedikit dan matanya mengunci pada milik Jane. “Apakah ada sesuatu di antara kita sampai orang lain harus salah paham?”
Nada suaranya memang terdengar tenang, tapi tatapannya menusuk, terlalu dalam untuk dianggap sekadar candaan. Jane menelan ludah, wajahnya mulai hangat.
“Kau suka menggoda, ya?”
“Aku hanya jujur,” ucapnya lalu membukakan pintu mobil untuk Jane. “Masuklah, Jane.”
Jane akhirnya duduk. Saat Brian masuk ke sisi pengemudi, aroma kulit dan parfum di dalam mobil bercampur dengan detak jantungnya yang makin tak stabil. Mobil melaju perlahan keluar dari parkiran.
Beberapa menit pertama hening. Hanya suara mesin dan musik lembut yang mengalun dari radio. Hingga Brian memecah kesunyian.
“Jadi, apa langkahmu selanjutnya?”
Jane menoleh. “Langkah?”
“Dengan suamimu yang sudah mengkhianatimu itu. Siapa namanya?”
“Andrew,” jawabnya kemudian menghela napas panjang dan menatap ke luar jendela. “Aku akan menceraikannya.”
Nada suaranya datar, tapi ada keteguhan di sana.
Brian tidak langsung menanggapi. Ia menatap jalan di depannya dan rahangnya menegang sedikit.
“Berani juga kau mengambil keputusan itu dengan cepat,” gumamnya.
Jane tersenyum pahit. “Setelah tahu dia punya anak dengan wanita lain sejak awal pernikahan kami, apalagi yang harus kupikirkan lama-lama?”
Brian melirik sekilas, suaranya rendah. “Tapi kadang, keputusan seperti itu tidak sesederhana yang terlihat. Kau masih mencintainya?”
Pertanyaan itu jatuh seperti batu ke dalam dada Jane. Ia terdiam dan hanya menatap jalan yang diterangi lampu kota.
Mobil meluncur melewati deretan toko dan restoran, tapi pikirannya melayang jauh.
Apakah dia masih mencintai Andrew?
“Aku tidak tahu,” akhirnya Jane berkata dengan lirih. “Mungkin aku mencintai kenangan tentang dia. Pria yang dulu aku kira baik. Tapi sekarang, aku hanya ingin sembuh.”
Brian mengangguk perlahan. “Kalau begitu, kau berada di jalur yang benar.”
“Jalur?”
“Jalur untuk menemukan dirimu sendiri lagi.”
Ia menatap Jane sesaat, tatapan tajam dan terlalu dalam sampai membuat Jane menelan ludahnya berkali-kali.
“Dan mungkin menemukan seseorang yang jauh lebih pantas untuk kau perjuangkan dan kau cintai.”
Dunia seolah berhenti sejenak. Andrew memandang Jane dengan raut terkejut, matanya lalu berpindah ke Brian—tinggi, tegap, dengan wajah tampan yang membuat siapa pun tampak kalah dalam perbandingan.Tatapan Andrew langsung berubah dingin. “Siapa dia?” tanyanya dengan nada tajam.Jane tidak bisa bicara. Mulutnya kering. Tapi sebelum sempat menjawab, Brian melangkah setengah maju dan berdiri sedikit lebih dekat ke Jane.“Brian,” katanya pelan, tenang tapi penuh wibawa.Andrew menyipitkan mata. “Brian? Aku baru tahu kau punya teman bernama Brian.” Nada sarkastis itu cukup menusuk.Audi lalu menatap Jane dengan senyum tipis yang penuh sindiran.Jane mengepalkan tangan. Hatinya bergetar antara marah, malu, dan sakit.Setelah semua yang Andrew lakukan—pengkhianatan, penghinaan—ia masih punya keberanian untuk bertanya seperti itu?Brian menatap Jane sekilas, seolah memberi ruang baginya untuk memutuskan. Dan dalam sekejap, keputusan itu keluar dari hatinya yang sudah terlalu lelah.Jane melan
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan kafe dengan lampu kuning temaram. Dari luar, sudah terlihat beberapa member gym duduk di meja besar sambil tertawa dan berbincang.Brian mematikan mesin mobil tapi tidak segera keluar. Ia menatap Jane sekali lagi.“Kau tak perlu takut dilihat datang bersamaku. Mereka tidak akan peduli.”Jane tersenyum tipis. “Kau yakin?” ucapnya dengan pelan.“Yakin.” Dia mendekat untuk membukakan seatbelt di pinggang Jane. “Tapi kalau kau masih khawatir, aku bisa parkir di belakang, dan kita masuk lewat pintu lain.”Jane menatapnya dan tidak bisa menahan tawa kecil. “Kau ini benar-benar—”“Apa?”“Berbahaya,” katanya setengah berbisik.Brian tersenyum samar. “Kau baru menyadarinya?” godanya dengan suara beratnya.Jane hanya diam sambil menatap lurus ke depan.Pintu mobil pun terbuka. Udara malam yang hangat menyambut mereka saat keluar dari mobil. Tapi bagi Jane, udara itu terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup, lebih bergetar.“Ayo,” ajak Brian sambil
“Ada makan malam bareng member gym malam ini. Di kafe dekat apartemen Grand View. Datang, ya?”Notifikasi pesan masuk di ponsel Jane berbunyi lembut. Ia baru saja meletakkan koper terakhir di pojok apartemennya—tempat yang sudah lama tak ia kunjungi sejak menikah.Jane membaca pesan itu dua kali, memastikan ia tak salah baca. Kafe itu hanya beberapa blok dari tempatnya sekarang. Ia menggigit bibirnya karena ragu.Makan malam bersama? Dengan Brian di sana?Setelah hari panjang yang melelahkan secara emosional, dia ingin menolak. Tapi, mungkin malam ini, sedikit udara segar tidak akan membunuhnya.Jane berjalan ke lemari kecil di sudut kamar. Tangannya menyingkap beberapa pakaian yang masih tergantung rapi di sana, sisa masa lalu yang kini terasa asing.Ia memilih dress sederhana warna navy, selutut dengan potongan V di leher, lalu menguncir rambutnya ke atas membentuk sanggul santai.Sedikit foundation dan lipstik lembut ia oleskan di wajahnya agar tidak tampak terlalu pucat.Saat mena
Waktu berjalan dengan cepat. Setelah satu jam, sesi latihan berakhir. Jane duduk di lantai sambil menyeka keringat di dahinya. Punggungnya pegal, lengannya nyeri, tapi ada perasaan ringan di dadanya.Brian duduk bersandar di dinding seberang dan mengamatinya dalam diam.“Bagaimana rasanya?” tanyanya akhirnya.“Sakit,” jawab Jane jujur, lalu tersenyum. “Tapi menyenangkan.”Brian mengangguk kecil. “Rasa sakit itu tanda bahwa kau sedang berubah.”Dia pun berdiri lalu mengulurkan tangan pada Jane. “Bangun. Jangan biarkan lantai jadi tempat nyamanmu.”Jane menatap tangan itu sejenak sebelum akhirnya menggenggamnya. Jari Brian hangat dan kuat, kontras dengan jemari Jane yang dingin dan lemah.Begitu Jane berdiri, jarak mereka hanya tinggal beberapa inci. Tatapan mereka bertemu lagi dan kali ini, tak ada yang berusaha menahan apa pun.“Terima kasih,” ucap Jane lirih.Brian menatapnya cukup lama. “Jangan berterima kasih padaku. Ini baru awal.”Senyap beberapa detik. Hanya napas mereka yang te
“Ya. Sudah sangat siap,” jawabnya dengan pelan. Matanya masih menatap wajah pria berusia tiga puluh tiga tahun itu dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kalau begitu, silakan ganti dulu pakaianmu.”Jane langsung mengerjapkan matanya. “Oh. Aku … aku tidak membawa baju olahraga. Karena niatku untuk membentuk tubuh ideal sangat mendadak ketika melihat—”Jane langsung berhenti dan membuat Brian menaikan alisnya karena Jane langsung menutup mulutnya.“Melihat apa?” tanya Brian.Jane menggeleng dengan pelan. “Melihat banner di jalan,” jawabnya dengan senyum canggung di bibirnya.“Tenang saja, Nona Jane. Kami menyediakan pakaian olahraga di sini,” kata staff bernama Alice itu.“Syukurlah. Kalau begitu, aku beli di sini saja,” ucapnya dengan pelan.Alice langsung mengantar Jane menuju ruang salin untuk mengganti bajunya.Lima menit kemudian, dia berdiri di depan cermin besar dan sudah mengenakan pakaian olahraga baru yang bahkan masih terasa asing di kulitnya.Legging hitam ketat dan tank top
“Suamimu selingkuh, Jane. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang menghadiri pesta ulang tahun anaknya di hotel.”Brak!Pintu aula hotel terbuka dengan hentakan yang membuat semua kepala menoleh. Seketika itu Jane langsung datang ke hotel yang disebut oleh teman kantornya bahwa dia melihat Andrew sedang merayakan ulang tahun seorang anak kecil yang diduga adalah anaknya.“Tidak mungkin …,” matanya langsung terbelalak menatap Andrew—sang suami yang tengah menggendong seorang anak dengan kue ulang tahun terpampang nyata di hadapannya.Tiga tahun. Lilin yang menempel di kue ulang tahun itu sudah memberi jawaban bahwa Andrew telah memiliki seorang anak berusia tiga tahun.Jane membeku di tempat menatap nyalang wajah Andrew yang bahkan tak terkejut sama sekali melihatnya di sana.“Padahal usia pernikahan kami baru berjalan empat tahun. Itu artinya … perselingkuhan itu dimulai hanya beberapa bulan setelah kami menikah?”Atau mungkinkah dia yang sebenarnya menjadi selingkuhan







