Home / Romansa / Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam! / Bab 5: Kau Pantas Bahagia

Share

Bab 5: Kau Pantas Bahagia

last update Last Updated: 2025-11-02 11:37:05

Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan kafe dengan lampu kuning temaram. Dari luar, sudah terlihat beberapa member gym duduk di meja besar sambil tertawa dan berbincang.

Brian mematikan mesin mobil tapi tidak segera keluar. Ia menatap Jane sekali lagi.

“Kau tak perlu takut dilihat datang bersamaku. Mereka tidak akan peduli.”

Jane tersenyum tipis. “Kau yakin?” ucapnya dengan pelan.

“Yakin.” Dia mendekat untuk membukakan seatbelt di pinggang Jane. “Tapi kalau kau masih khawatir, aku bisa parkir di belakang, dan kita masuk lewat pintu lain.”

Jane menatapnya dan tidak bisa menahan tawa kecil. “Kau ini benar-benar—”

“Apa?”

“Berbahaya,” katanya setengah berbisik.

Brian tersenyum samar. “Kau baru menyadarinya?” godanya dengan suara beratnya.

Jane hanya diam sambil menatap lurus ke depan.

Pintu mobil pun terbuka. Udara malam yang hangat menyambut mereka saat keluar dari mobil. Tapi bagi Jane, udara itu terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup, lebih bergetar.

“Ayo,” ajak Brian sambil membukakan pintu untuk Jane.

Jane keluar dari mobil tersebut dan Jane melangkah masuk di samping Brian, masih sempat melirik pantulan dirinya di kaca pintu.

Dress sederhana berwarna biru tua yang dia kenakan membuat kulitnya tampak lebih cerah. Ia bukan tipe wanita yang senang berdandan, tapi malam ini, dia ingin terlihat sedikit berbeda. Mungkin karena Brian.

Meja panjang di tengah ruangan sudah dipenuhi oleh beberapa orang yang tertawa, berbincang, dan sesekali menepuk bahu satu sama lain dengan akrab.

Seorang pria berwajah ramah dan berotot, dengan senyum lebar menyambut mereka. “Ah, jadi ini dia yang baru! Selamat datang, Jane!” seru pria itu sambil mengulurkan tangannya.

Jane membalas senyum itu. “Terima kasih. Anda pasti—”

“James,” potong pria itu sambil tertawa. “Aku pemilik gym tempat Brian melatih. Senang akhirnya bisa melihat wajah baru di tim kami.”

Jane mengangguk sopan, meski dalam hatinya gugup. Ia tak menyangka akan disambut dengan begitu hangat.

Brian menepuk bahu James dengan pelan. “Dia cukup keras kepala, tapi cepat belajar,” ujarnya ringan.

Jane menoleh cepat menatap Brian tajam. “Aku tidak keras kepala,” bantahnya.

“Oh?” Brian menunduk sedikit dan bibirnya menekuk nakal. “Lalu siapa yang menolak istirahat lima menit padahal hampir pingsan?”

Beberapa member lain pun tertawa kecil. Jane berusaha ikut tertawa, tapi pipinya panas luar biasa.

James menunjuk kursi kosong di sebelahnya. “Duduklah, Jane. Di sini, di sebelah Brian.”

Seketika Jane ingin menolak—tapi kursi lain sudah penuh. Tidak ada pilihan lain, dia pun duduk di samping Brian, begitu dekat hingga bisa merasakan aroma tubuh Brian yang selalu membuatnya candu.

Saat makanan datang, Jane sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia menatap piringnya sambil mencoba memotong steak yang cukup tebal.

“Tunggu,” ujar Brian dengan pelan tapi tegas. Ia mengambil pisaunya, lalu dengan mudah memotongkan steak Jane menjadi beberapa potongan kecil.

“Aku bisa sendiri,” protes Jane, meski suaranya lemah.

“Anggap saja aku ingin memastikan kau makan malam dengan benar, bukan cuma menatap piring.” Brian menatapnya sekilas lalu mengulurkan garpu dengan salah satu potongan steak. “Coba.”

Jane menatap garpu itu lama. Tatapan Brian menunggu, begitu tenang tapi juga penuh intensitas. Dengan jantung berdebar, Jane membuka mulutnya dan menerima potongan daging itu.

Rasanya jauh lebih lembut dari seharusnya. Atau mungkin karena dia merasakan jari Brian yang masih menggenggam garpu itu terlalu dekat dengan bibirnya.

Ia cepat-cepat menunduk sambil berpura-pura mengunyah. Tapi Brian tidak melepaskan pandangan.

Bahkan ketika orang-orang mulai bercanda di sekitar mereka, tatapannya tetap pada Jane, membuat napasnya semakin berat.

“Aku tidak nyaman kalau kau terus menatap begitu,” ucap Jane pelan, tanpa berani menoleh.

“Kenapa? Takut?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa wajahmu jadi merah?”

Jane menahan diri untuk tidak menatap balik. Tapi pipinya terasa terbakar. “Karena lampunya terlalu hangat,” jawabnya cepat.

Brian terkekeh dengan suara rendah dan dalam. “Lampu, huh?”

Sesi makan malam itu berlanjut dengan tawa dan obrolan santai. Jane perlahan mulai rileks, bahkan tertawa kecil ketika James bercerita tentang kejadian lucu di gym.

Ia baru sadar betapa lama dirinya tidak tertawa seperti itu. Betapa lama ia tidak merasa bebas.

Namun, setiap kali dia tertawa, Brian memperhatikannya. Bukan dengan tatapan sekadar kagum, tapi lebih dalam—seolah ingin mengingat setiap ekspresi Jane malam itu.

Setiap senyum, setiap debar kecil yang muncul di sela-sela tawa.

Ketika malam semakin larut, mereka semua mulai beranjak. Jane dan Brian keluar lebih dulu.

Udara malam menyapa lembut kulit Jane dan membuat rambutnya yang terurai sebagian berayun pelan.

“Tadi kau terlihat bahagia,” ucap Brian.

“Mungkin,” jawab Jane singkat sambil menatap ke arah lampu jalan. “Aku lupa kapan terakhir kali punya waktu seperti itu.”

Brian menatapnya dalam diam. “Kau pantas bahagia, Jane.”

Ucapan itu memang terdengar sederhana, tapi cukup untuk membuat Jane menoleh.

Tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu di sana—kehangatan yang berbahaya, yang membuat Jane hampir lupa napas.

Namun, sebelum sempat ia berkata apa pun—

“Jane?”

Suara itu membuat seluruh tubuhnya menegang. Ia menoleh cepat, dan di sana berdiri Andrew. Dan di sampingnya, Audi.

"Andrew ....?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 6: Aku tidak Keberatan

    Dunia seolah berhenti sejenak. Andrew memandang Jane dengan raut terkejut, matanya lalu berpindah ke Brian—tinggi, tegap, dengan wajah tampan yang membuat siapa pun tampak kalah dalam perbandingan.Tatapan Andrew langsung berubah dingin. “Siapa dia?” tanyanya dengan nada tajam.Jane tidak bisa bicara. Mulutnya kering. Tapi sebelum sempat menjawab, Brian melangkah setengah maju dan berdiri sedikit lebih dekat ke Jane.“Brian,” katanya pelan, tenang tapi penuh wibawa.Andrew menyipitkan mata. “Brian? Aku baru tahu kau punya teman bernama Brian.” Nada sarkastis itu cukup menusuk.Audi lalu menatap Jane dengan senyum tipis yang penuh sindiran.Jane mengepalkan tangan. Hatinya bergetar antara marah, malu, dan sakit.Setelah semua yang Andrew lakukan—pengkhianatan, penghinaan—ia masih punya keberanian untuk bertanya seperti itu?Brian menatap Jane sekilas, seolah memberi ruang baginya untuk memutuskan. Dan dalam sekejap, keputusan itu keluar dari hatinya yang sudah terlalu lelah.Jane melan

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 5: Kau Pantas Bahagia

    Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan kafe dengan lampu kuning temaram. Dari luar, sudah terlihat beberapa member gym duduk di meja besar sambil tertawa dan berbincang.Brian mematikan mesin mobil tapi tidak segera keluar. Ia menatap Jane sekali lagi.“Kau tak perlu takut dilihat datang bersamaku. Mereka tidak akan peduli.”Jane tersenyum tipis. “Kau yakin?” ucapnya dengan pelan.“Yakin.” Dia mendekat untuk membukakan seatbelt di pinggang Jane. “Tapi kalau kau masih khawatir, aku bisa parkir di belakang, dan kita masuk lewat pintu lain.”Jane menatapnya dan tidak bisa menahan tawa kecil. “Kau ini benar-benar—”“Apa?”“Berbahaya,” katanya setengah berbisik.Brian tersenyum samar. “Kau baru menyadarinya?” godanya dengan suara beratnya.Jane hanya diam sambil menatap lurus ke depan.Pintu mobil pun terbuka. Udara malam yang hangat menyambut mereka saat keluar dari mobil. Tapi bagi Jane, udara itu terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup, lebih bergetar.“Ayo,” ajak Brian sambil

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 4: Sudah Berada di Jalur yang Benar

    “Ada makan malam bareng member gym malam ini. Di kafe dekat apartemen Grand View. Datang, ya?”Notifikasi pesan masuk di ponsel Jane berbunyi lembut. Ia baru saja meletakkan koper terakhir di pojok apartemennya—tempat yang sudah lama tak ia kunjungi sejak menikah.Jane membaca pesan itu dua kali, memastikan ia tak salah baca. Kafe itu hanya beberapa blok dari tempatnya sekarang. Ia menggigit bibirnya karena ragu.Makan malam bersama? Dengan Brian di sana?Setelah hari panjang yang melelahkan secara emosional, dia ingin menolak. Tapi, mungkin malam ini, sedikit udara segar tidak akan membunuhnya.Jane berjalan ke lemari kecil di sudut kamar. Tangannya menyingkap beberapa pakaian yang masih tergantung rapi di sana, sisa masa lalu yang kini terasa asing.Ia memilih dress sederhana warna navy, selutut dengan potongan V di leher, lalu menguncir rambutnya ke atas membentuk sanggul santai.Sedikit foundation dan lipstik lembut ia oleskan di wajahnya agar tidak tampak terlalu pucat.Saat mena

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 3: Mengakhiri Semuanya

    Waktu berjalan dengan cepat. Setelah satu jam, sesi latihan berakhir. Jane duduk di lantai sambil menyeka keringat di dahinya. Punggungnya pegal, lengannya nyeri, tapi ada perasaan ringan di dadanya.Brian duduk bersandar di dinding seberang dan mengamatinya dalam diam.“Bagaimana rasanya?” tanyanya akhirnya.“Sakit,” jawab Jane jujur, lalu tersenyum. “Tapi menyenangkan.”Brian mengangguk kecil. “Rasa sakit itu tanda bahwa kau sedang berubah.”Dia pun berdiri lalu mengulurkan tangan pada Jane. “Bangun. Jangan biarkan lantai jadi tempat nyamanmu.”Jane menatap tangan itu sejenak sebelum akhirnya menggenggamnya. Jari Brian hangat dan kuat, kontras dengan jemari Jane yang dingin dan lemah.Begitu Jane berdiri, jarak mereka hanya tinggal beberapa inci. Tatapan mereka bertemu lagi dan kali ini, tak ada yang berusaha menahan apa pun.“Terima kasih,” ucap Jane lirih.Brian menatapnya cukup lama. “Jangan berterima kasih padaku. Ini baru awal.”Senyap beberapa detik. Hanya napas mereka yang te

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 2: Sesi Awal yang Menegangkan

    “Ya. Sudah sangat siap,” jawabnya dengan pelan. Matanya masih menatap wajah pria berusia tiga puluh tiga tahun itu dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kalau begitu, silakan ganti dulu pakaianmu.”Jane langsung mengerjapkan matanya. “Oh. Aku … aku tidak membawa baju olahraga. Karena niatku untuk membentuk tubuh ideal sangat mendadak ketika melihat—”Jane langsung berhenti dan membuat Brian menaikan alisnya karena Jane langsung menutup mulutnya.“Melihat apa?” tanya Brian.Jane menggeleng dengan pelan. “Melihat banner di jalan,” jawabnya dengan senyum canggung di bibirnya.“Tenang saja, Nona Jane. Kami menyediakan pakaian olahraga di sini,” kata staff bernama Alice itu.“Syukurlah. Kalau begitu, aku beli di sini saja,” ucapnya dengan pelan.Alice langsung mengantar Jane menuju ruang salin untuk mengganti bajunya.Lima menit kemudian, dia berdiri di depan cermin besar dan sudah mengenakan pakaian olahraga baru yang bahkan masih terasa asing di kulitnya.Legging hitam ketat dan tank top

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 1: Harga Diri yang Diinjak-injak

    “Suamimu selingkuh, Jane. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang menghadiri pesta ulang tahun anaknya di hotel.”Brak!Pintu aula hotel terbuka dengan hentakan yang membuat semua kepala menoleh. Seketika itu Jane langsung datang ke hotel yang disebut oleh teman kantornya bahwa dia melihat Andrew sedang merayakan ulang tahun seorang anak kecil yang diduga adalah anaknya.“Tidak mungkin …,” matanya langsung terbelalak menatap Andrew—sang suami yang tengah menggendong seorang anak dengan kue ulang tahun terpampang nyata di hadapannya.Tiga tahun. Lilin yang menempel di kue ulang tahun itu sudah memberi jawaban bahwa Andrew telah memiliki seorang anak berusia tiga tahun.Jane membeku di tempat menatap nyalang wajah Andrew yang bahkan tak terkejut sama sekali melihatnya di sana.“Padahal usia pernikahan kami baru berjalan empat tahun. Itu artinya … perselingkuhan itu dimulai hanya beberapa bulan setelah kami menikah?”Atau mungkinkah dia yang sebenarnya menjadi selingkuhan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status