Share

Empat

Hari ini berjalan sangat panjang, aktifitas belajar mengajar masih berlangsung di kelas 12 A, dimana lagi-lagi Tara harus duduk sendirian tanpa Harsa di sampingnya. Kemarin Harsa mengirimkan foto bersama sanak saudara dalam sebuah acara pernikahan yang sedang berlangsung, Tara tersenyum mengingat moment itu meski kini Harsa kembali sulit dihubungi.

Dia tidak akan menyalahkan situasi, sudah sepatutnya Tara mafhum akan kesibukan kekasihnya, kadang kala sisi egois Tara menginginkan dia menjadi prioritas utama, namun Tara sadar dunia Harsa tak selalu berotasi di dalam dirinya saja.

Guru fisika resmi di sekolah ini tidak mengajar anak-anak kelas 12 A – entah karena apa. Jadi yang mengantikannya adalah bu Yani, seorang guru kimia yang cara mengajarnya tidak pernah gagal membuat murid-murid menguap.

Bu Yani sedang bicara tentang alam semesta di depan sana, sementara tak sedikit siswa mengamatinya dengan tatapan malas. Tiba-tiba dia menunjuk Tara dengan mistar kayu di tanganya.

"Kamu, coba jelaskan bagaimana proses terjadinya ledakan Bigbang." Kata Bu Yani, tampak jelas membuat Tara terkejut.

"Tapi Bigbang bukan ledakan, bu..." Respon Tara meragu. Beberapa orang mulai memperhatikan dia termasuk Wira yang repot-repot menengok ke belakang.

Bu Yani terkenal tidak suka diintrupsi, ditatapnya Tara dengan malas. "Jadi kamu ingin meluruskan sesuatu Tara?" Tanya bu Yani lagi. Sedikit ketus.

Degan semua perhatian orang-orang di kelas, suara Tara tak terdengar seyakin ketika kembali mengulang. "Maksud saya begini, ledakan timbul karena perbedaan suhu dan tekanan yang terjadi di sekitarnya. Sementara pada saat itu belum ada apa-apa. Jadi tidak mungkin terjadi ledakan, saya rasa istilah paling tepat untuk menggambarkan fenomena ini adalah perluasan."

Diam-diam Wira tersenyum mendengar jawaban itu, mendadak dia jadi merasa sangat antusias dengan topik terbentuknya alam semesta, terlebih lagi karena gadis secantik Tara ternyata tau banyak tentang Bigbang.

Di sisi lain, tampaknya buk Yani tidak terkesan sama sekali, dia mengkerlingkan mata. "Dari mana kamu tau?" Tanyanya.

"Saya menontonnya dari Youtube." Jawab Tara.

Dan seisi kelas bergumam, beberapa orang di sana bahkan terang-terangan tersenyum mencemoh. Wira tau Tara dan dirinya hidup di dunia yang berbeda. Untuk ukuran siswa seperti Tara mengkoreksi guru Fisika mereka jelas mustahil, namun gadis itu berhasil membuktikannya. Mempertahankan argumen yang dia rasa benar.

"Semua hal yang berahir baik itu selalu dimulai dari diri sendiri, Tara." Tanpa sebab yang jelas, kata-kata Wira tempo hari berhasil memotivasi Tara untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik, meski beberapa orang memandang Tara tak ubahnya seperti badut.

"Saya mengerti." Kata bu Yani dengan senyuman masam di bibirnya. Dia bukanlah guru favorit Wira, caranya mengajar seperti malas-malasan. Sebenarnya jika bu Yani ingin, dia bisa mengembangkan pernyataan Tara untuk bahan diskusi di kelas mereka, bukan malah berkata "Lain kali jangan terlalu mempercayai apa yang kamu lihat di internet." Mebuat Tara nampak konyol.

Tiba-tiba Wira mengangkat tangan.

"Ya Wira, ada yang ingin kamu sampaikan tentang kesalah pahaman ini?" Tanya bu Yani dengan cepat merespon anak paling pintar di kelas mereka.

"Saya rasa apa yang di sampaikan Tara benar, bu." Lugas Wira, pupus sudah harapan bu Yani untuk lelaki itu mendukung pernyataannya tadi. "Bukan ledakan dari objek material ke ruang. Tapi Bigbang merupaka perluasan ruang itu sendiri dan juga waktu dari satu titik singularitas." Lanjutnya.

Saat Wira selesai menyampaikan pendapatnya, bu Yani diam sejenak. Terlihat jelas wanita itu kini sedang menyembunyikan rasa kesal sebelum menjawab. "Cuma masalah nama. Ayo kita lanjutkan pelajaran."

Dan dari jauh Tara memandang Wira, lelaki itu tidak sedang memperhatikannya, tenang-tenang Wira duduk sambil membuka buku catatan. Tara sama sekali tidak mengerti dengan sikap Wira barusan, beberapa pertanyaan muncul dalam benak Tara seperti, apakah Wira sengaja angkat bicara untuk membuat Tara tidak tampak bodoh?

                                                                                 ★☆★

"Sayang, kamu gak mau ke kosan aku?" Di mobil Harsa diam dan tak menjawab, jika tak punya kesabaran extra kemacetan di ibu kota memang rawan bikin gila. Suasana yang biasanya ramai oleh lagu-lagu tahun 2000an mendadak jadi hening.

Harsa berpaling dan menatap lembut gadis cantik berambut panjang yang duduk di sebelahnya. "Boleh Salma, tapi cuma malam ini aja yah. Besok aku harus pulang, nanti kalau ke Jakarta lagi aku temenin kamu setiap hari." Jawab Harsa.

Meski kecewa namun gadis yang Harsa panggil Salma itu mengukir senyum, dia mendekat kearahnya dan menyandarkan kepala di bahu Harsa yang kokoh. "Kok sebentar banget sih? Bulan depan kamu kesini lagi kan?" tanya Salma.

Harsa mengangguk sesaat sebelum mengecup puncak kepala gadis itu. "Aku usahakan yah." Jawab Harsa.

Dia Salma Adisty, gadis yang baru saja Harsa kenal dua bulan lalu itu resmi jadi kekasihnya selama seminggu terakhir, tentu saja tanpa sepengetahuan Tara. Mereka bertemu di sebuah pameran seni yang perusahaan ayah Harsa selanggarakan.

Salma adalah anak dari salah satu seniman terkenal yang saat itu menjadi bintang tamu, sosok Salma yang cantik berhasil menarik perhatian Harsa hingga dia nekad mendekat, meski tau Salma tiga tahun lebih tua darinya.

"Jangan cemberut gitu dong, nanti catiknya hilang." Harsa mencoba bergurau, dicubit hidung bangir kekasihnya dengan gemas, seketika saja gadis itu mengulum senyum.

"Tapi janji yah, bulan depan ke Jakarta lagi? Aku masih kangen banget soalnya."

"Iya Salma, apa sih yang enggak buat kamu."

Ada hal yang berdeda antara Tara dan kekasih-kekasih Harsa yang lain. Dengan uang dan juga wajah yang tampan gampang bagi Harsa mendapatkan apa yang dia inginkan. Beberapa di antaranya bahkan terang-terangan membuka pintu kos mereka dan mengizinkan Harsa bermalam di sana. Sementara Tara? Jangankan tidur, mencium bibirnya saja tidak pernah Harsa lakukan.

Bukannya Harsa tidak mau, namun ada sesuatu di dalam hati Harsa yang terang-terangan ingin menjaga Tara agar tetap utuh. Kemudian lucunya dia bisa menyentuh bahkan berciuman dengan gadis lain sementara otaknya terus memikirkan Tara.

                                                                                     ★☆★

Jika sudah begini, terkadang Tara merindukan kehadiran sosok ibunya, perempuan lembut yang murah senyum itu selalu memberikan cinta yang tak pernah ada batasnya. Saat itu ibu Tara berusia 38 tahun, Tara baru saja lulus SMP ketika dokter memvonis wanita itu mengalami kanker otak, kemudian satu tahun berselang Tuhan memanggil dia.

Duka yang membawa awan mendung ke dalam keluarga Tara. Ayahnya berubah menjadi pribadi yang dingin dan sulit digapai. Dulu David tak pernah berhenti memanjakan Tara dengan kasih sayang, namun sekarang semuanya membeku, seolah tak ada lagi yang berharga dalam hidup David.

Satu-satunya yang Tara miliki hanya Harsa, lelaki yang mampu mencairkan hati yang membeku karena luka di masalalu. Hangatnya bagai matahari yang sekali lagi memberi Tara harapan untuk tetap hidup. Sayangnya menurut David, Harsa bukan lelaki yang baik. Anak itu adalah pengaruh buruk bagi Tara meski Tara sendiri tidak mengerti dengan penilaian David sendiri.

Ketika David berubah dari lelaki yang hangat menjadi lelaki keras setelah peninggalan istrinya, Tara sering berharap bahwa dia tak punya orang tua seperti David, harapan yang mungkin akan ia sesali suatu hari nanti.

"Sini jurnalnya." Lagi-lagi Wira. Tanpa Tara duga lelaki itu kembali datang menghampirinya, dengan bulpoint hitam merk PILOT di tangan jelas Wira sudah siap untuk mengisi kesaksian atas kontribusi Tara dalam kelompok Renganis.

Tanpa banyak bicara Tara menyerahkan jurnal itu kepada Wira, dan dengan cekatan Wira menandatangani.

"Ini hari terakhir hukuman kamu kan? besok udah gak perlu ke sini lagi. Makasih udah mau bantu." Kata Wira, tanpa sedikitpun dia palingkan wajah dari lembaran kertas itu.

Sore ini Tara merasa tidak punya tenaga untuk mengajak Wira berdebat, entah karena sebab apa dari tadi hatinya mendadak gusar, seperti akan terjadi hal buruk kepadanya yang enggan untuk Tara pikirkan.

"Makasih yah." Ucap Tara sesaat setelah Wira menyerahkan jurnal itu kembali yang hanya dijawab dengan sebuah anggukan acuh.

"Buat yang tadi di kelas juga."

Baru setelah itu Wira memfokuskan pandangan kepada Tara. "Santai. Saya cuma meluruskan apa yang perlu diluruskan kok."

"Apapun deh. Makasih karena udah bikin gue enggak keliatan bego di depan anak-anak."

Wira medengus. Sebulan sudah mereka terlibat kerja sama yang tidak pernah diencanakan. Sejak kedatangan Tara, gadis itu memang bukan tipekal orang yang ramah kepada semua orang, bahkan di awal-awal kehadirannya, Wira sendiri bingung kenapa Tara seperti sangat membenci dia. Kalimat Tara selalu ketus, nadanya selalu dingin, namun tampaknya metode untuk bersikap acuh cukup ampuh dalam menaklukan batu sekeras Tara, setidak-tidaknya sekarang Tara tau cara berterimakasih.

Tara baru akan bicara lagi ketika seseorang datang menghampiri mereka. Pakaiannya begitu rapih, persis seperti kebanyakan orang-orang kantoran di luar sana, tentu saja Tara mengenali pria bertubuh tegap tersebut, Davian – paman Tara atau lebih tepatnya adik dari David.

"Tara, papah kamu...." Gumam Davian.

Terkadang Tara tidak mengerti dengan ketetapan Tuhan, saat Tara berdoa dengan sepenuh hati untuk kesembuhan ibunya, Tuhan seperti enggan mendengar. Namun ketika doa yang Tara ucapkan bukan berasal dari kesungguhan hati, ternyata Tuhan mau mengabulkan.

Segala sesuatu di dalam dunia Tara runtuh, badai datang menghampiri. Dari tempat duduk di samping jendela mobil Tara bisa melihat bayangan sang Ayah. Hatinya hancur, jiwanya pilu, ada sedih yang tak dapat dia ungkapkan bahkan tidak untuk sekedar menangis.

Sejak mendapat kabar dari Davian, pikiran Tara mendadak kosong. Setibanya di rumah Tara melihat sudah banyak orang datang melayat, bahkan karangan bunga yang bertuliskan 'Turut berduka cita' berjajar memenuhi halaman rumah. 

Tara masih bergeming, belum ada satu patah kata pun yang dia lontarkan sejak dijemput dari sekolah. Semua sudah diurus oleh sanak saudara juga rekan-rekan kantor David, termasuk proses pemakaman yang akan segera berlangsung.

"Ra... yang sabar yah sayang." Kata salah satu kolega David, ibu berumur 43 tahun ini mengusap punggung tangan Tara dengan penuh rasa iba. 

Tara masih tidak bisa berkonsentrasi. Satu-satunya hal yang menarik perhatian Tara adalah sosok David yang terbujur kaku di lantai dan hanya beralaskan karpet tipis. Tiba-tiba sekujur tubuh Tara bergetar, dia menangis, tangisan terpilu yang pernah didengar dunia.

Tiga jam lalu, saat memimpin rapat di perusahaan, David mengalami serangan jantung mendadak dan langsung dinyatakan meninggal. Batin Tara menjerit dengan takdir hidupnya yang pedih, kenapa Tuhan bisa setega itu mempermainkan dia, setelah ibu sekarang ayahnya.

Tara kehilangan kontrol atas diri dan ketika dia kembali sadar Tara telah berada di kamarnya, dalam rumah yang besar dan kosong. Tara mencoba menguatkan diri, hal pertama yang dia lakukan adalah menghubungi Harsa. Dia ingin berbagi duka ini pada kekasihnya sementara berfikir Tara akan menemukan kedamaian di dalam sana. Namun beberapa kali Tara mencoba, Harsa tak kunjung menjawab panggilan. Ini sudah pukul sebelas malam, mungkin Harsa sudah tidur – pikir Tara.

Akhirnya tanpa sebab yang jelas dia malah menghubungi Wira, dan hanya berselang seperkian detik sejak telepon itu terhubung, Wira menjawab.

"Sebenarnya dari tadi saya mau telepon kamu, tapi takut kamu sedang repot ngurusin banyak hal." Adalah kalimat pertama yang Tara dengar dari bibir Wira.

Gadis itu tersenyum getir, kenapa disaat seperti ini malah orang lain yang ada untuknya, orang yang selama ini tidak pernah Tara pikirkan kehadirannya. Tak ada jawaban dari mulut Tara, tatapannya kosong kemudian tanpa diminta air mata itu turun begitu saja.

Ada begitu banyak hal yang ingin Tara pertanyakan kepada dunia, namun dengan kesedihan ini hatinya merasa lelah. Tara tak sanggup bahkan untuk sekedar berbicara.

Di dalam kamar yang tidak terlalu besar Wira terdiam, isakan samar terdengar dari balik telepon gengam, mewakili kerapuhan seorang Tara - si gadis angkuh yang judesnya luar biasa itu. Wira tau bagaimana rasanya ditinggal orang tua, saat bingung meracuni otak membuatnya ragu untuk menentukan langkah lebih jauh, Tara perlu diselamatkan, kemudian diam-diam Wira berharap Tara akan cukup kuat untuk menjalani hidupnya kelak.

"Besok mau makan mie gak?" Tanya Wira, canggung.

"Mie apa?"

"Mi Tuhan."

Meski garing namun Tara malah tertawa dan Wira mengukir senyuman.

"Pulang sekolah besok kita makan mie yah, saya tau penjual mie kocok Bandung terenak di kota."

"Kenapa gue harus makan mie?"

"Ya karena lapar mungkin?"

Tak ada jawaban lagi. Malam itu dimulai dengan kepribadian Wira yang tiba-tiba berubah menjadi cerewet. Berkali-kali Wira meminta Tara untuk makan, namun hal tersebut dijawab dengan sebuah tangisan. Kehilangan sosok seorang ayah membawa penyesalan tersendiri untuk Tara, dan Wira mafhum dengan keadaannya. 

✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status