Share

Lima

Dari gerbang terlihat Wira yang buru-buru memarkirkan sepedah motornya, kemudian berjalan cepat berusaha menghindari volume air yang jatuh. Kedatangaan Wira mencuri perhatian beberapa orang yang sedang sibuk dengan aktifitas masing-masing, tak sedikit dari mereka memperhatikan meski tidak ada yang berkata apapun.

"Maaf yah telat, saya harus benerin databese siswa dulu di ruang BK." Ucap Wira pada Ara yang saat itu berada tepat di hadapannya.

"Iya enggak apa-apa, kita ngerti kok." Jawab Ara tenang. Gadis cantik bermata bulat itu mengambil jeda sejenak dari aktifitasnya mendata pengeluaran organisasi mereka. "Baju kamu basah, ganti dulu gih. Aku bawa jaket tuh." Lanjutnya sambil menunjuk jaket yang tergantung di balik pintu.

Wira menggeleng dengan canggung, sejak pertamakali mengenal Ara, gadis ini memang sudah menjadi orang yang paling memperdulikan Wira dalam segala keadaan. Ara adalah seorang teman sekaligus ibu baginya. Terkadang sifat Ara yang hangat itu jugalah yang membuat Wira betah berlama-lama mengobrol dengan dia.

"Engak usah Ra, buat kamu aja." Jawab Wira, merasa tidak enak hati.

Kening Ara berkerut dalam, ditatapnya Wira seolah sedang memperotes. "Ih Wira kok gitu ngomongnya. Sengaja aku bawa jaket lebih buat kamu, orang kamu enggak pernah bawa jaket."

Dari ujung ruangan Tara memperhatikan komunikasi mereka berdua yang tampak sangat hangat, bibirnya mengukir senyuman simpul, barangkali memang benar Wira adalah pribadi yang baik, oleh sebab itu banyak orang yang sayang kepadanya. Dengan apa yang sudah Wira lakukan untuk Tara, gadis itu tak mungkin menafikan, meski di sisilain Tara mengerti ada hal berbeda di mata Ara yang lebih dari sekedar peduli saat dia menatap Wira.

"Yaudah kalo gitu, makasih ya Ra. Saya balikin kalau udah dicuci." Kata Wira akhirnya meraih jaket yang tergantung di balik pintu.

Ara tersenyum kemudian mengangguk sebelum kembali dalam aktifitasnya. Sementara Wira mengarahkan pandangan ke seluruh ruangan, matanya dan mata Tara bertemu dalam satu titik yang sama, ruangan jadi dua kali lipat lebih hening, dan saat Wira tersenyum Tara ikut tersenyum juga.

"Masih mau nunggu kan? Hujan soalnya." Kata Wira, sambil mendudukan diri di depan gadis itu.

Tara mengangguk tenang. "Iya, gue juga tau kok kalau ini hujan." Jawabnya, mempus cemas dalam hati Wira meski tak banyak.

"Ya barangkali kamu maksa pengen pergi."

"Gue gak senekad itu kalik." 

Semenjak percakapan dengan Wira malam tadi, Tara memutuskan untuk tidak terlalu keras terhadap keadaan, bukan hal buruk ketika dia mau menerima kehadiran Wira dalam hidupnya, meski tanpa Tara sadari perasaan nyaman yang tumbuh itu mulai mempengaruhi hatinya.

Kabar kematian ayah Tara sudah tersebar keseluruh penghuni sekolah, dan sampai juga di telinga Farazz yang notabane adalah sahabat Harsa. Berulang kali lelaki berwajah charming itu menghubungi Harsa namun sial tak satu pun berhasil dia lakukan. Kebiasaan buruk Harsa pasti kumat lagi – begitu pikir Farazz.

Saat Farazz hendak mendatangi Tara untuk secara pribadi menyampaikan belasungkawa, dia malah melihat gadis itu sedang berjalan bersama Wira di koridor sekolah. Waktu sudah menunjukan pukul empat sore, seharusnya semua kegiatan belajar mengajar sudah selesai, meski Farazz tau Wira dan Tara adalah teman sekelas tetap saja kejadian tersebut mengundang banyak pertanyaan dalam benak Farazz.

Dulu Harsa pernah bilang kalau Tara juga membenci Wira. Lalu kenapa sekarang mereka malah tampak asik bersama? Diam-diam Farazz mengikuti arah langkah mereka, Tara mengantar Wira ke toilet sekolah dan menungguinya di depan pintu. Tak lama Wira keluar dengan mengunakan jaket hitam yang sebelumnya ia pegang, kemudian berlalu setelah Farazz berhasil mengabadikan moment kebersamaan mereka dalam sebuah foto.

Farazz berdesis, senyuman masam terukir di bibirnya yang tipis. "Gak ceweknya gak cowoknya kelakuan mereka sama aja." Guman Farazz sebelum mengirimkan foto-foto itu kepada Harsa.

                                                                                  ★☆★

Harsa membuka pesan tersebut setelah dia bertolak ke Bandung, wajahnya mengeras, gigi-giginya merapat. Ada sebuah perasaan yang tumbuh dan sulit untuk dia ungkapkan, antara marah dan kesal melihat kekasihnya bersama lelaki lain terlebih lelaki itu adalah Wira – rival Harsa di sekolah.

Cengkraman pada ponsel menguat, jika bukan karena keberadaan ibu dan ayahnya di dalam mobil, mungkin sekarang Harsa sudah melempar ponsel itu keluar jendela kemudian mengumpat dengan berbagai macam sumpah serapah yang ada. Beruntung Harsa adalah orang yang pandai menyembunyikan perasaan, dengan tenang bisa dia kendalikan amarah yang sedang bergemuruh di dalam dada.

Melihat perubahan ekspresi Harsa, ibunya bertanya. "Kenapa dek? Kamu sakit?" Sambil mengusap pelan rambut Harsa dan menyisirnya kebelakang.

Harsa tersenyum lembut. "Papahnya Tara meninggal bu, pas nyampe Bandung Harsa boleh kan langsung ketemu Tara?"

Sang bunda tanpak terkejut dengan pernyataan itu, pun ayahnya ikut menyimak obrolan mereka meski tetap diam tanpa kata.

"Yaampun, kasihan Tara. Iya nak, kamu kesana aja, temenin Tara yah, dia pasti sedih banget."

Harsa mengangguk pelan sambil mengusap punggung tangan ibunya. "Iya, makasih yah bu." Ucapnya lembut.

Sepanjang perjalanan Harsa tidak juga berhasil mengusir amarah itu, benak Harsa dipenuhi berbagai macam prasangka tentang apa yang sudah terjadi selama dia tidak mengawasi Tara, dan alasan-alasan mengapa Tara tampak begitu dekat dengan Wira?

Selama ini Harsa selalu berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan, ketika Harsa sudah mengklaim sesuatu sebagai miliknya, maka dia tidak akan pernah melepaskan, termasuk Tara. Harsa berjanji kepada diri sendiri, setibanya Harsa di Bandung nanti dia akan langsung membuat perhitungan dengan orang yang sudah berani macam-macam kepadanya.

                                                                                    ★☆★

Suhu kota sedang tidak bersahabat kala Tara menikmati secangkir teh hangat di dalam kedai sederhana penjual mie kocok Bandung terenak menurut Wira. Sementara di dapur Arya sedang mengintrogasi Wira tentang asal mulasal kedatangan Tara ke kedai mereka. Berbagai macam pertanyaan seperti "Ada hubungan apa Wira dan Tara?" terlontar dari mulut Arya, tak jarang membuat Wira tertawa menyaksikan kehiperbolan saudaranya.

Lelaki itu mengenal Wira dengan baik, sebagai pribadi yang cuek Wira tak pernah kedapatan terjebak cinta monyet layak remaja pada umumnya, baru Tara saja yang dia bawa kemari, dan itu pun langsung kehadapan Arya, membuat Arya curiga.

"Namanya Tara, temen sekelas saya, a." Wira sedang mengaduk mie yang sudah diberi bumbu sebelumnya, menuangkan beberapa tetes minyak wijen dan mengaduknya lagi. "Papahnya baru saja meninggal, saya bawa dia kesini biar dia bisa sejenak lupa sama rasa sedihnya." Jawab Wira mencoba memberikan Arya pengertian.

"Kalau bunda tau, serumah bisa heboh tuh." Kening Arya berkerut, sesekali dia perhatikan Tara dari balik jendela.

"Makanya aa jangan bilang-bilang dong, nanti bunda malah kepikiran yang macam-macam."

"Kepikiran yang macem-macem bagaimana? Wajar saja kalau anak seusia kamu udah punya pacar dek. Lagian dilihat-lihat kalian cocok kok, kamu enggak jelek-jelek amat."

Mendengar itu Wira lantas menghembuskan nafas berat, tangannya bersedekap di depan dada, dia menatap Arya gusar. "Gini-gini adikmu banyak yang naksir loh a." gurau Wira meski tak terdengar berlebihan dengan kenyataan yang ada.

Tawa mereka pecah, membawa suasana hangat di malam yang dingin. "Iya, bercanda. Bunda bilang kamu ganteng kok biarpun lebih ganteng aa. Jadi benarkan Tara itu pacar kamu?"

"Bukan." Bantah Wira. "Enggak mungkin juga. Orang dia udah punya pacar."

Nampak ekspresi terkejut Arya di wajah lembutnya, dipandangnya Wira dalam-dalam. "Jadi kamu bawa kabur pacar orang?" Tanyanya sambil berdecak. "Culas juga yah!" cerca Arya.

"Hush sembarangan! Bukan gitu konsepnya. Pacarnya Tara lagi di luar kota jadi gak bisa bawa jalan-jalan dulu. Lagian udah terlanjur janji mau ngajak makan di sini, jadi saya gak punya pilihan."

Arya berdecak sebal mendengar jawaban itu, dia melirik Wira dengan ekor mata, entah apa yang lelaki itu pikirkan saat dia berkata. "Cuma dijadiin pelarian toh? Hati-hati nyaman, nanti sakit sendiri."

Wira tidak merespon, ekspresinya sudah kembali datar seperti biasa. Kemudian setelah mie-nya jadi dia pun berlalu untuk menghampiri Tara.

"Silankan." Wira letakan semangkuk mie itu di depan Tara, membuyarkan lamunan sang gadis sambil terseyum hangat.

Tara memandang mie tersebut. Teringat dia pada kata-kata mendiang ibu tentang bagaimana cinta mempertemukan wanita itu dengan David. Karena semangkuk mie kocok di kedai sederhana yang menjadi menu makan malam anak kos pada masanya.

Sudah lama David memperhatikan Karin – ibunya Tara – yang selalu datang satu jam lebih dulu untuk mengantri mie di kedai langanan, David nekat mendatangi dan menanyakan nomor telepnnya untuk bisa berhubungan lebih jauh. Dia telah lama menyimpan rasa.

Butuh keberanian lebih ketika David menghampiri Karin di antara teman-temannya, terlebih tak sedikit dari mereka yang malah menggoda Karin dan David. David yang sejatinya adalah tipe lelaki pendiam dan lebih banyak memperhatikan ketimbang menghampiri duluan, untuk pertamakalinya jatuh cinta pada perempuan yang tidak mau diam seperti istrinya. Sifat David yang pasif itu pun tak jarang membuat Karin menilainya aneh, yang kemudian hanya disambut oleh tawa kecil dari bibir sang lelaki.

Bandung menjadi kota dengan berbagai cerita untuk mereka, itu sebabnya David pun Karin enggan meninggalkan Bandung dan lebih memilih membuka pusat bisnis keluarga di kota ini. Tara tersenyum tipis, berfikir mungkin tidak yah mie yang dia lihat saat ini adalah mie yang sama dengan mie yang sering dimakan ayah dan ibunya sewaktu dulu?

Tara menyentuh mangkuk itu, meletakan kedua telapak tangannya ke pinggiran kaca. Suhu panas berhasil menetralkan udara malam yang dingin, tepat pada saat dia mencicipi rasa mie kocok buatan Wira tiba-tiba saja hatinya menjadi hangat, sesuatu mengingatkan Tara pada sang bunda.

Air mata Tara mengalir tanpa diminta. Tatapannya kosong. "Enak." Bisik Tara, sangat pelan hingga nyaris tak terdengar. Ketenangan dari masalalu yang sepat hilang datang menghampirinya, susah payah Tara mengusap air mata yang jatuh karena rindu. "Maaf jadi nangis. Mienya enak banget, mirip sama buatan mamah."

Mendengar perkataan itu Wira berusaha keras menahan diri untuk tidak senyum, namun dia gagal. Sementara Tara masih memandangi semangkuk mie bersama begitu banyak kenangan di dalam matanya.

"Kalau gitu dihabiskan yah, saya kasih gratis kok." Kata Wira yang tak butuh waktu lama langsung Tara jawab dengan sebuah anggukan penuh keyakinan.

"Saya mau ke dapur lagi, kalau butuh apa-apa panggil aja." Lanjutnya ketika Tara tak kunjung bicara.

Wira mengerti, terkadang dalam suasana seperti ini seseorang butuh diberi ruang untuk sendiri, untuk menikmati kesedihan agar esok hari dia dapat tersenyum kembali. Meski rasa kehilangan itu akan terus membekas di dalam hati Tara, namun Wira ingin Tara cepat berdamai dengan lukanya. Sangat menyebalkan bagi Wira melihat Tara yang cengeng daripada Tara yang galak seperti dulu.

                                                                                      ★☆★

Hujan kembali datang ketika Tara berniat meninggalkan kedai karena malam semakin larut. Dari balik kaca Tara mengamati tetesan-tetesan air yang jatuh menimpa bumi, betapa hujan tetap konsisten turun meski mereka tau akan hancur setelah jatuh. Seperti Tara yang juga harus tetap bertahan meski kehidupan yang keras datang menghantam.

Tiba-tiba Wira duduk di sebelah Tara, membuat sang gadis berpaling sejenak, suasana hatinya sudah tidak semendung tadi, mie yang Wira sajikan berhasil menghapus rasa sedih meski tak lebih.

"Mau pulang sekarang gak?" Tawar Wira, nampak sangat mencemaskan cuaca di luar sana. Selain kedai yang akan tutup, pukul sembilan malam juga adalah waktu yang sudah terlalu larut untuk seorang gadis berkeliaran di luar rumah, dan Wira mengerti tak sepantasnya Tara berada di sini lebih lama lagi.

Tara tersenyum kemudian menggeleng. "Papah gak suka gue kehujanan. Nanti sakit katanya." Jawab Tara.

"Kalau sakit kan bisa diobati."

"Kalau gue sakit biasanya papah yang suka ngobatin. Tapi sekarang gue sendirian Wir." Ujar Tara sambil menghelak nafas panjang.

Wira menegakan punggung, entah kenapa percakapan ringan mereka terasa begitu berat untuk Wira, tangannya saling mengenggam erat sementara memilih kata yang tepat.

"Tenang aja, kamu gak akan sakit sendirain kok Ra." Sahut Wira, matanya menatap jauh keluar jendela, dia memberi jeda untuk melanjutkan. "Kalau kamu sakit saya juga bakal ikut sakit. Kita kan hujan-hujanannya barengan."

Tara terperangah, refleks dia memandang Wira dengan sorot mata yang dalam, kesunyian ruangan itu jadi berlipat ganda, untuk pertamakalinya lagi Tara mendengar sebuah kalimat ajaib dari orang yang baru dia kenal, seorang Wira yang menegaskan diri akan sakit bersamanya jika Tara jatuh sakit. Hatinya menghangat, kemudian mungkin saja mulai saat itu hujan akan selalu mengingatkan Tara kepada lelaki ini.

"Kalau gitu ayo anter gue pulang." Ucap Tara. "Biar nanti kalau gue sakit lo juga ikut sakit." Lanjutnya yang Wira amini dengan senang hati.

Gerimis masih membasahi mereka tatkala keduanya sibuk membelah jalanan kota. Suasana pulang tidak secanggung saat mereka pergi, dalam beberapa kesempatan Tara dibuat tertawa oleh perkataan random Wira yang menjadikan alam semesta sebagai topik obrolan. Menghabiskan waktu bersama Wira ternyata tidak seburuk apa yang Tara pikir sebelumnya, Wira adalah pribadi yang hangat meski itu tak pernah tampak dari wajahnya.

Tak terasa bangunan rumah Tara yang megah sudah menjulang di depan mata, semakin dekat Wira membelokan motornya kearah portal gerbang yang belum sepenuhnya tertutup. Namun ketika mereka tiba di sana, sosok Harsa menatap dengan sepasang mata tajam, dia tersenyum masam dan berhasil menghapus gurat bahagia dalam wajah cantik Tara – menyisakan rasa kaget.

Harsa berucap dingin. "Jadi, habis dari mana aja nih?" 

✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status