Share

Tiga

Siang itu Wira dan komunitasnya sedang melakukan penanaman di lereng gunung terdekat dari SMA Dirgantara, kegiatan yang setiap enam bulan sekali dia adakan di tempat yang berbeda. Tujuannya tentu saja untuk menjaga alam agar tetap seimbang.

Wira masih sibuk dengan cangkul di tangannya, mengali tanah untuk mencapkan bibit pohon mahoni ke dalam jantung bumi, menitipkan satu harapan agar dunia selalu lestari untuk puluhan tahun yang akan datang. Bibit yang dia dan teman-temannya beli dari iuran juga dari perusahaan ayahnya Tara yang kali ini mau mendanai.

"Nih ambil." Seseorang mengulurkan sebotol air mineral kepada Wira. Dia adalah Grizalle Arabelle, teman satu komunitas yang bergabung sejak satu tahun lalu. Gadis cantik berwajah lembut itu adalah orang yang selalu membantu Wira dalam segara situasi, dalam beberapa kesempatan bahkan Ara pun membantu Wira untuk menyusun proposal juga perizinan. Sifat Ara yang loyal membuantnya menjadi orang yang paling sering Wira ajak berdiskusi.

"Makasih Ara." Kata Wira lantas menerima air minum pemberian Arabelle tanpa berfikir dua kali.

Dari jauh dia melirik Tara yang duduk berselonjor kaki di bawah rindangnya pohon jati, perempuan yang nampak cantik meskipun sedang kelelahan itu mengibas-ngibaksan tangan di depan wajah, barangkali sambil mengutuk matahari dan sinarnya yang sedang terik hari ini.

"Kamu masih punya air gak?" Tanya Wira kemudian, membuat Ara memandangnya sebentar.

"Ada di pos. Mau Ara ambilkan?" Jawabnya balas bertanya.

Wira tersenyum lembut, hal yang jarang sekali dia perlihatkan kepada orang lain selain orang-orang terdekat. "Enggak usah Ra, nanti saja sekalian pulang saya ambil sendiri. Minuman ini mau saya kasih ke orang yang lebih butuh, kamu gak keberatan kan?"

Kening Ara berkerut dalam, diikutinya arah pandangan Wira dan kemudian dia tak dapat lagi menyembunyikan senyum. "Iya gak apa-apa kok, buat Tara aja." Jawabnya tak kalah tenang.

Ara mengerti Wira adalah orang yang terlampau peduli meski itu tak pernah tanpak dari wajah tenangnya, hal yang membuat Ara belajar akan ketulusan tanpa adanya imbalan.

Bagi Ara pribadi, Wira bukan sekedar ketua kelompok mereka saja, tapi juga cerminan dari bagimana seharusnya sosok lelaki bersikap. Lembut, pekerja keras, peduli dan tanpa pambrih.

"Saya nyamperin Tara dulu yah." Kata Wira Lagi.

Ara mengangguk dan tersenyum kecil lantas mengalihkan pandangannya, segera beralih fokus mengurusi peralatan bertanam miliknya, memasukan satu persatu perkakas itu ke dalam ransel.

"Nih minum. Tapi cuma air putih, kalau kamu mau teh manis saya gak punya."

Tara melirik malas kepada sumber suara, semua aktifitas alam ini membuat seluruh sendi di ototnya nyeri. Sungguh dia menyesali keputusannya untuk ikut bergabung dengan komunitas pencinta alam yang Wira geluti, jika bukan karena rasa takut pada ancaman pak Bagas, dia tak akan sudi mendaki sejauh ini demi mengikut sertakan diri.

"Mau apa lagi sih lo?" sewot Tara seperti respon di hari–hari sebelumnya, dia mulai menyalahkan rasa lelah itu kepada Wira, bagaimana dengan kejamnya lelaki tersebut membawa Tara ketempat ini hanya untuk sesuatu yang dia anggap tidak penting.

"Haus kan?" tanya Wira, nampak tidak terpengaruh dengan nada sinis sang lawan bicara. Dengan mantap dia masih menyodorkan botol minumnya, menanti Tara menerima pemberiannya. "Nanti malah dehidrasi."

Pendirian sang gadis goyah. Diam-diam dia membayangkan kesegaran yang akan menjalar ke tenggorokan begitu dia meneguk semua isinya. Tak lama Tara pun menyerah, gadis angkuh ini menurunkan gengsi dengan mengambil botol air di tangan Wira.

"Sama-sama." Gumam Wira setengah berbisik.

Sambil pura-pura tidak mendengar, Tara meneguk airnya hingga tandas. "Jangan tersinggung yah, menurut gue aja nih. Lo sama kelompok lo ini aneh tau gak?" Ungkapnya berusaha membuat Wira kesal untuk menyematkan harga diri.

"Aneh kenapa?" Tanggap Wira, nampaknya dia berniat meladeni sampai di mana gadis itu mengujinya.

"Ya aneh aja. Ngapain juga jauh-jauh ke sini buat nanam pohon segala. Kan cape. Lagian masih banyak orang yang juga peduli sama alam kok, kenapa harus lo yang repot-repot ngurusin ginian. Kayak gak ada kerjaan lain." Cerca Tara.

Mata Wira menyipit, bibirnya membentuk senyuman manis meski tetap saja terlihat menyebalkan di mata Tara. "Semua perubahan yang akan berakhir baik selalu dimulai dari dalam diri sendiri, Tara. Hukum itu berlaku dalam hal apapun termasuk melestarikan alam. Bukannya bagus kalau ada lebih banyak orang yang peduli?" Wira menatap Tara dalam, ada begitu banyak hal yang Tara tangkap dari matanya dan membuat setitik perasaan tidak nyaman tumbuh.

Segera Tara berpaling. "Klise, efeknya juga gak akan bisa langsung lo rasain kan?" Jawab Tara acuh.

Wira tersenyum lagi. "Sebenarnya setiap orang punya pilihan termasuk untuk peduli atau tidak kok. Tapi tidak semua orang punya kesempatan memberikan kontribusi positif untuk orang lain. Saya tau ini gak akan berdampak secepat apa yang kamu bayangkan, tapi pohon yang kita tanam hari ini akan menjadi sumber oksigen untuk umat manusia di masa depan nanti."

Tara bergeming, tak lagi menjawab. Perempuan itu sibuk bermonolog dalam hatinya perihal Wira. Sifat idealis Wira yang benar-benar membuatnya jegah. Entah kenapa Tara selalu kesal saat Wira sudah bertindak dengan keyakinan kokoh atas apapun persoalan yang sedang dia hadapi. Wira menjadi sosok yang tidak bisa Tara ikuti meski sebenarnya dia ingin.

"Yaudah siap-siap gih, lima belas menit lagi kita turun." Kata Wira lagi, lantas berlalu meninggalkan gadis itu dan kebisuan di dalam dirinya.

                                                                                         ★☆★

"Aku mau keluar kota, nemenin sepupuku ngurusin nikahannya, kasian udah 35 tahun tapi baru mau nikah. Selama ini kan dia sibuk ngurusin kerjaan papah." Tara beranjak dari pelukan Harsa, menatapnya dalam seolah-olah mempertanyakan keputusan lelaki itu yang terbilang mendadak.

"Kok baru bilang sekarang sih? Sepupu kamu yang mana?" Tanya Tara cemas, pandangannya menajam.

"Itu loh, bang Tio, yang anak teknik itu, kamu ingatkan?" Jelas Harsa tenang.

Tara mengangguk, meski masih diingat-ingat lagi sosok Tio yang Harsa bilang barusan. Hal itu membuat kekasihnya gemas, Harsa tersenyum, dia mengusap pipi Tara dengan sayang. "Kamu enggak apa-apa kan kalau aku tinggal sendirian?"

Sebuah senyuman terbit dari bibir Tara yang tipis, dia menatap kekasihnya lagi. "Aku rasa aku gak punya pilihan lain." Jawab Tara sambil menutup buku di pangkuannya dan meluruskan punggung.

"Janji deh begitu acaranya selesai aku bakal langsung pulang ke Bandung." Bisiknya. Sekarang Harsa sedang berusaha menenagkan khawatir di hati Tara. Satu pelukan peredah gunda mendekap tubuh Tara hangat. 

Sore teramat sendu, Tara sibuk memikirkan bagaimana caranya mengatasi rindu saat Harsa tidak di sana. Cinta yang besar itu membuat Tara semakin candu, lantas meyakini kemanapun Harsa pergi lelaki itu pasti akan selalu menjaga cinta darinya.

Suasana yang tenang membuat mereka betah berlama-lama menghabiskan waktu di atap sekolah. Dua hari lagi masa hukuman Tara selesai, tentu saja hal itu menjadi kabar baik untuk keduanya, Harsa yang sejak lama memang tidak menyukai Wira, bisa bernafas lega mengetahui sebentar lagi kekasihnya akan terhidar dari eksistensi seorang Wira di sekolah mereka.

"Aku harus pergi sekarang." Tiba-tiba Tara berucap, dia bangkit dan membuat pelukan Harsa terlepas.

"Kemana?" Tanya Harsa, keningnya berkerut dalam, jelas meminta penjelasan.

"Ke sanggar anak-anak Renganis." Jawab Tara lugas. "Kamu taulah konsekuensinya kalau aku enggak kesana."

Dihembuskannya nafas berat, nampak jelas Harsa tak suka dengan jawaban Tara. "Aku tungguin yah?" Tawar Harsa.

"Enggak usah, kamu kan harus siap-siap buat ngurusin nikahan sepupu kamu itu. Nanti aku minta jemput supir keluarga aja."

Sesaat Harsa bergeming, matanya menatap Tara dengan lebih dalam. "Beneran gak apa-apa?"

Tara mengangguk. "Iya enggak apa-apa, tenang aja aku bisa handle sendiri kok. Udah yah, aku udah telat nih. Dadah Harsa." Buru-buru Tara berlalu, dan yang  bisa Harsa lakukan hanya mengamati punggung kekasihnya yang semakin lama semakin mengecil termakan jarak.

                                                                                   ★☆★

"Kamu telat satu jam tiga puluh menit." Adalah kalimat yang Wira lontarkan begitu Tara membuka pintu ruangan yang tidak terlalu besar.

Tara mendelik. "Iya-iya sorry, tadi gue ada urusan. Yang lain kemana?" Tanyanya begitu tidak dia dapati orang lain selain mereka di sana.

"Udah pulang." Jawab Wira dingin.

Gadis di depannya mengigit bibir bawah, pijar aneh berkilat dari matanya yang coklat. Mendadak Tara menjadi tidak enak hati. "Terus kenapa lo masih di sini?" Tanya Tara mencoba untuk menyembunyikan perasaan, meski samar-samar masih terdapat gunda dalam air wajahnya.

"Karena kamu bakalan nyamperin saya ke sini." Jawab Wira langsung ke point.

"Ge-er lo?"

Nada itu yang mampu membuat Wira tersenyum sinis. Mengasihani nasib yang menggaris bawahi takdir mereka.

"Kamu butuh tanda tangan saya buat bukti atas baik terlaksana hukuman kamu. Saya tau kamu pasti akan cari saya, Tara."

Sebenarnya bukan hanya itu alasan Wira bertahan lebih lama untuk menunggu Tara, tapi juga karena dia tidak mau membuat Tara kehilangan satu saja bukti penyelesaian hukuman. Wira enggan mengambil resiko kalau-kalau pak Bagas tidak puas lantas memperpanjang masa kebersamaan mereka.

Wira tak ingin terjebak lebih lama dengan situasi ini, jadi sebisa mungkin dia akan membantu Tara agar menyelesaikan tugas dengan baik. Dan jika Tara enggan menemuinya maka Wira sendiri yang akan pergi mendatanginya.

Dengan tenang Wira mengulurkan tangan. "Jadi mana jurnal yang harus saya isi?" Gesturnya semakin membuat Tara gelisah, ada bagian menarik dari dalam diri Wira yang kentara saat dia membeku di hadapan orang lain, hal yang mati-matian Tara sangkal.

Tara berjalan menghapiri Wira, mempersempit jarak di antara mereka kemudian menyerahkan buku di tangannya. Wira menerima tanpa berucap, segera dia mengisi kolom yang tersisa kemudian memberikan cap organisasi sebelum membumbuhkan tanda tangan.

"Thanks yah Wir." Tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari bibir Tara yang tipis, pelan namun mampu membuat Wira mengalihkan pandangan. Tara sendiri kaget dengan apa yang baru saja dia ucapkan, seperti kata-kata itu keluar begitu saja tanpa pernah dia minta.

Tara pikir Wira akan mengejeknya, terlebih karena sikap angkuh yang selama ini Tara tunjukan, namun ternyata tidak. Wira hanya mengangguk kecil sambil mengembalikan buku itu.

"Udah mau magrib, sanggar juga udah mau saya tutup. Kamu pulang dianter Harsa kan?"

Ada keraguan di mata Tara saat hendak menjawab pertanyaan itu, kaku Tara menggeleng. "Harsa udah balik duluan, ada urusan keluarga." Katanya sambil mengangkat bahu enteng.

"Okay saya anterin." Kata Wira, seperti sama refleksnya dengan ucapan terimakasih Tara.

"Eh enggak usah, maksud gue, makasih sebelumnya tapi gue bisa pulang sendiri kok. Udah ada supir yang jemput." Tara gelagapan.

"Beneran?"

"Iya, gue pulang sendiri aja, gak apa-apa kok . Sekali lagi thanks ya Wir."

Segala sesuatu terasa cepat berlalu, termasuk kepergian Tara yang masih menyiratkan segudang tanda tanya. Wira menatap pintu sanggar pencinta alam yang sudah tertutup dengan air wajah membeku.

                                                                                         ★☆★

Tara berjalan pelan di luar kawasan SMA Dirgantara sambil mencoba menghubungi supir keluarganya, tanpak wajah cemas Tara saat dia tak juga dapat jawaban. Sekali lagi Tara mencoba menghubungi namun sambungan telepon kembali terputus.

Langit sudah gelap kala Tara mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel, dia memandang sekeliling, sepi, tidak ada angkot, tidak ada mobil atau motor, bahkan angin pun tidak menunjukan eksistensinya.

Tara memutuskan untuk mendudukan diri di bangku halte bis yang dia temukan, beberapa kali dia mengetik nomor ponsel Harsa namun kembali dihapusnya, Tara tidak ingin menganggu kesibukan Harsa dengan memintanya menjemput Tara sekarang, lagipula tadi Tara sudah bilang kalau dia akan pulang sendiri kepada Harsa.

Tiba-tiba Tara mendengar suara segerombolan anak laki-laki mendekat kearahnya, dalam keadaan bingung dia kembali dibuat panik saat seorang dari mereka bersiul menggoda.

"Neng, kok sendirian aja? Udah malem enggak takut?"

Tangan Tara gemetar, berusaha untuk tetap tenang dengan tidak merespon perkataan orang itu. Tara kembali mencoba menghubungi supir keluarganya.

"Bisu ternyata, coba kamu samperin gih, siapa tau dia mau ikut sama kita. Kasian kalau dibiarin sendirian nanti malah dibawa pulang om-om." Kemudian tawa mereka pecah. 

Sementara suasana hati Tara semakin tidak karuan, dengan segenap keberanian yang tersisa Tara berusaha bangkit dan berjalan menjauh. Namun diluar perkiraan, orang-orang itu malah mengikuti kemana langka kaki membawa Tara pergi.

Tara semakin panik, rasa takut yang luar biasa menjalar keseluruh urat nadi. Dia mempercepat langakah sambil menahan diri untuk tidak menangis. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menarik pergelangan tangan Tara, lelaki yang tampak jauh lebih tua dari dirinya itu menyeringai, hidungnya yang besar tampak kembang kempis.

"Cantik-cantik sombong, enggak baik cewek cantik malem-malem jalan sendirian. Mending kita temenin aja yah, mau kan?" katanya, dan hanya disambut tawa oleh temannya yang agak bungkuk itu.

Semua hal yang ada di dalam pikiran Tara lenyap, bahkan hanya untuk melontarkan sepatah kata pun rasanya Tara tak sanggup. Tangan dan kakinya gemetar hebat, fikiran negatif telah sukses meracuni otak. Tara tidak bisa membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpanya nanti sampai,

"Jangan kasar sama cewek bang."

Entah sejak kapan suara Wira jadi terdengar lebih merdu di telinga Tara, tak dapat ia rasakan kebahagiaan yang lebih dari pada melihat seluet lelaki itu yang kini sedang berdiri di depannya, di belakang dua berandal yang sedang menganggu Tara ini.

Buru-buru Wira mendatangi mereka, meraih tangan Tara agar terlepas dari gengaman berandalan itu. Wira mengerti ketakutan di mata Tara, dia tersenyum lembut berusaha menenangkan.

"Yuk pulang, maaf yah aku jemputnya telat, kamu jadi harus nunggu lama." Kata Wira, entah apa maksudnya, Tara sendiri masih kesulitan untuk mencerna situasi. Dia merangkul Tara dengan erat selolah enggan melepaskannya walau sejenak, kemudian membawa Tara pergi.

"Alah paling juga cewek murahan, jam segini masih kelaran, sebentar lagi juga hamil."

Kalimat itu membuat langkah kaki Wira terhenti, sudah sejak beberapa menit lalu dia menahan diri atas apa yang baru saja terjadi, namun entah setan apa yang lewat karena dengan gerakan cepat Wira berbalik dan melemparkan helm di tangannya pada salah satu berandalan tadi.

Sementara berandalan-berandal itu mulai melontarkan berbagai macam umpatan untuk ulah Wira barusan, Wira menghampiri mereka. Sebuah tinju hendak menghantamnya namun dengan cekatan Wira menghindar, ditendangnya uluhati si hidung besar hingga dia jatuh terkapar. Temannya yang bungkuk merasa tidak terima, dia mencoba memukul Wira yang kali ini berhasil Wira tangkis sambil sebelah tangannya cepat meninju hidung si bungkuk. Kejadian itu haya berlangsung seperkian detik, membuat Tara membeku.

KRAKK+

Terdengar suara tulang yang patah, si bungkuk memekik sambil merasakan cairan kental yang mulai menetes ke bibirnya. Kesialan bagi mereka berdua sebab faktanya siswa SMA yang baru saja mereka hadapi ini adalah murid dari salah satu Dojo Bandung Karate Club yang sudah mendapatkan sertifikat resmi sabuk hitam pertamanya sejak dua tahun lalu. Si bungkuk mundur denga rasa panik yang tak kalah hebat, lari meninggalkan temannya yang masih tergeletak di jalan.

Wira merunduk meraih helm yang kacanya sudah berantakan. Sejenak dia lupa akan keberadaan Tara di sana, saat dia memandang gadis itu ternyata Tara juga sedang memandangnya dengan tatapan yang tidak terbaca. Ada jeda panjang diantara mereka, seseorang perlu memecahkan kesunyian. 

"Yuk saya anter pulang." Dan Wira lah yang memulai. Nafasnya begitu teratur untuk ukuran apa yang sudah terjadi barusan. Dia berjalan menghampiri Tara dan mengenggam tangan gadis itu untuk ia bawa pergi.

Telapak tangan Tara yang kecil tenggelam dalam genggaman tangan Wira yang dingin. Malam itu menjadi malam yang panjang sekaligus malam yang sunyi untuk Tara. Begitu banyak hal yang terjadi membuat Tara mulai mempertanyakan alasan dari kehadiran Wira dalam hidupnya, dan alasan mengapa takdir mempertemukan mereka dalam situasi ini.

Sementara sorot matanya masih nanar di hujani berbagai macam prasangka, dia menatap punggung lelaki di depannya yang kini sedang fokus membelah jalan raya.

✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Andria

Kak, aku rubah sedikit untuk memperbaiki tata letak serta kalimat

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status