Share

6

Malamnya aku menghabiskan waktu untuk menonton Contagion. Salman mengirimiku tautan untuk mengunduh film tersebut. Tidak seperti October Sky yang sulit ditemukan, Contagion ada di mana-mana.

Film yang dirilis tahun 2011 ini memang tidak cukup tenar untuk membuatnya masuk ke dalam Box Office pada masa itu, tapi ia cukup laku dan sukses dalam penjualannya. Mungkin tidak cukup banyak orang yang tertarik akan film ini pada tahun tersebut.

Bagaimana dengan sekarang?

Tentu saja aku yakin pasti banyak orang mencari Contagion. Film ini memuat cerita yang sama persis kejadiannya seperti Corona. Penyebarannya, gejalanya, bahkan tempat asalnya. Ini seperti sebuah film yang meramalkan masa depan.

Jika kau mengira bahwa ini adalah sebuah film yang penuh dengan teori konspirasi, maka kau akan kecewa. Film ini murni membahas penyebaran virus akibat sebuah “kecelakaan”.

Apakah Corona juga demikian?

Entahlah, kuharap juga demikian. Terlalu jahat apabila ada pihak yang berkonspirasi menggunakan nyawa manusia sebagai taruhannya. Meskipun ya, kemungkinan itu masih tetap ada. Tapi aku sendiri kurang yakin. Aku justru yakin bahwa manusia tidaklah sejahat itu.

Aku tidak akan membocorkan akhir cerita Contagion di sini. Kau bisa mencarinya sendiri di internet. Aku yakin banyak di antara kalian yang memiliki tautannya.

Yang aku kagumi dari film ini adalah kesamaannya dengan kondisi dunia saat ini. Itu saja.

Kutunjukkan film itu kepada Mama dan kami menyaksikannya bersama-sama. Tentu saja dengan tetap menjaga jarak tubuh kami.

Dan betul, itu berarti aku menyaksikannya sekali lagi, demi Mama. Aku memang tidak pernah bermasalah untuk menonton film yang sama berkali-kali. Aku rasa kau juga bisa menilai sifatku itu sejak pertama kali membaca catatan ini.

Seperti yang sudah kuduga, Mama pun menunjukkan kekagumannya akan film Contagion tersebut.

“Kok bisa persis ya?” tanya Mama.

“Ya, aku juga heran, Ma.” Jawabku.

“Semuanya benar-benar persis. Cuma nama virusnya saja yang beda.” Kata Mama.

“Kok bisa ya ada yang terilhami bikin film seperti ini? Padahal di zaman itu Mama yakin belum ada yang terbayang soal Corona. Film ini kayak tukang ramal yang bisa memprediksi masa depan.” Lanjut Mama.

“Ya, barangkali yang bikin emang tukang ramal.” Kataku tertawa.

Mama masih asyik menyaksikannya. Hingga akhirnya film tersebut berakhir, ia nampak puas dibuatnya.

“Mama harap akhir film ini bisa jadi kenyataan.” Kata Mama usah adegan penutup.

“Iya, aku harap juga begitu.” Jawabku.

Ya, kau benar, film ini berakhir bahagia. Tapi aku tidak membocorkan terlalu banyak ‘kan?

Siangnya aku kembali mengikuti diskusi grup di Zoom. Isinya sama seperti sebelumnya. Mirka selalu mengisi grup dengan ceramah dan betapa beruntungnya kami.

Ia juga menanyakan apakah di antara kami ada yang merasakan gejala Corona. Tidak ada seorang pun dari anggota grup yang menjawab bahwa mereka memiliki gejala.

Tentu saja tidak, perlu usaha lebih untuk sebuah pengakuan. Itu pun jika memang benar-benar ada di antara mereka yang menyembunyikan gejala tersebut di tubuhnya. Aku berasumsi bahwa sebagian orang di sana masih menganggap mengidap Corona sebagai aib. Aku juga tidak menyalahkan mereka. Keadaan dan media yang membuat mereka jadi berpikir demikian.

Diskusi grup dilanjutkan kembali dengan ceramah Mirka. Seperti biasa, ia mendominasi semua pembicaraan. Seperti biasa juga, aku merasa bosan dengan cara diskusi di grup ini. Mungkin ini lebih tepat bukan disebut sebagai “diskusi”, tapi “ceramah Mirka” karena peserta hanya sesekali dimintai pendapat di sela paparan yang dilakukan pria itu.

Tapi tetap harus kulakukan karena aku menghargai Lyna. Meskipun ia tidak akan tahu jika aku absen atau bahkan tidak pernah menghadiri grup lagi untuk seterusnya. Cukup kulaporkan bahwa diriku mengikuti grup ini setiap kali diadakan sesinya, maka aku yakin Lyna akan percaya. Tapi entah juga, siapa tahu Lyna memiliki teman di grup ini.

Jika tidak, dari mana ia bisa memiliki informasi tentang grup tersebut dan memberikannya kepadaku, bukan?

Entahlah, aku juga tidak terlalu memikirkannya. Satu hal yang membantu dari grup ini adalah membuatku memiliki sesuatu untuk menghabiskan waktu yang membosankan. Mungkin kau berpikir kenapa aku tidak belajar saja dan bersiap apabila dipanggil untuk wawancara atau tes dari lamaran pekerjaan.

Untuk hal ini harus kuberitahu bahwa sekarang, dengan kondisi pandemi begini, mayoritas perusahaan menunda perekrutan pegawai baru. Informasi ini kudapatkan langsung dari teman-temanku yang sedang melamar pekerjaan.

Mungkin bisnis mayoritas perusahaan di dalam negeri maupun mancanegara sedang menurun. Karena itu, alih-alih merekrut pegawai baru, mungkin mereka justru tengah melakukan perampingan pegawai dalam perusahaannya. Dengan kata lain, Pemutusan Hubungan Kerja, atau PHK, atau bisa disebut juga dengan istilah pemecatan.

Karena itulah, dengan minimnya lowongan pekerjaan yang tersedia, aku belum memiliki bayangan atau motivasi tentang apa yang harus kupersiapkan. Seharusnya memang aku belajar dan berlatih, tapi aku belum tahu apa yang harus kupelajari dan kulatih. Selain, tentunya, aku mengingat-ingat keahlian yang telah kudapatkan dari bangku kuliah.

Selebihnya, seperti yang telah kuceritakan, kegiatanku adalah begitu-begitu saja. Termasuk mengikuti diskusi atau ceramah di grup Mirka, yang untuk kesekian kalinya harus kuceritakan kepadamu, itu sangat membosankan.

Untungnya Salman meneleponku setelah sesi grup berakhir di hari tersebut. Salman memilih untuk menggunakan panggilan video seperti biasa. Itu sangat berarti bagiku, dan benar-benar mengobati kebosananku.

“Hei Sari, kau masih ingat Markus ‘kan?” tanya Salman.

Ah, kupikir dia akan menanyakan kabarku atau apa. Ternyata tentang Markus. Jangan-jangan dia menghubungiku untuk membicarakan Markus, dan bukan tentangku.

Eh, nggak boleh begitu, Markus juga temanmu, ‘kan, batinku.

“Ya, tentu saja. Kenapa?” jawabku.

“Sepertinya dia perlu teman.” Katanya lagi.

“Oh ya?” tanyaku singkat.

Bukankah kita semua perlu teman?

“Iya, kulihat ia selalu murung.” Katanya.

“Ya sih, aku juga sering melihatnya seperti itu.” jawabku.

“Kau tahu bahwa dia juga suka sepakbola?” kata Salman lagi.

“Markus? Benarkah?” aku menjadi mulai tertarik.

“Iya. Karena itu dia punya kesamaan hobi dengan kita.” Jawab Salman.

“Bagus dong kalau gitu. Kita bisa banyak ngobrol tentang sepakbola dengan Markus.” Kataku.

“Aku ingin mengajaknya main FIFA.” Lanjut Salman.

“FIFA?” aku mencoba mengonfirmasi, jangan-jangan aku salah dengar.

“Ya, kamu tahu ‘kan? Masa penggila bola nggak tahu.” Tanya Salman.

“Iya, aku tahu. Cuma penasaran aja mainnya sambil ngajak dia, dan bareng kamu juga. Caranya gimana? Main lewat X-Box?” aku mengonfirmasi.

“Begitulah, kita main FIFA di X-Box saja.” Jawab Salman.

“Gimana caranya? Berarti ‘kan kita mesti ketemu. Kamu dan aku sama-sama tahu bahwa itu nggak mungkin saat ini.” aku masih penasaran dengan rencana Salman.

“Ketemu? Kenapa harus ketemu?” ia justru balik bertanya.

“Lho, buat main X-Box, ‘kan?” aku bertanya balik.

“Waduh, Sari...” Salman tertawa.

“Kenapa?” tanyaku bingung.

“Kamu ini ‘kan sudah lama jadi penggemar bola.” Katanya.

“Iya, lalu?” aku masih belum paham maksudnya.

“Kamu nggak pernah main game bola di konsol?” tanya Salman.

“Pernah, tapi memangnya kenapa?” aku balik bertanya.

“Kamu main sama siapa saja?” ia justru balik bertanya lagi.

“Ya, sama teman-temanku, kadang-kadang.” Jawabku.

“Selalu di konsol yang sama?” tanya Salman lagi.

“Maksudmu di X-Box punyaku? Iya, pastinya.” Kini aku yang balik bertanya.

“Jadi kamu belum pernah main FIFA secara online?” tanyanya.

“Main FIFA online? Memangnya bisa?” ini hal yang baru kudengar sekarang.

Salman tertawa lagi. Sebenarnya aku tidak suka ia menertawakanku, tapi toh kubiarkan saja. Aku masih penasaran dengan rencana dirinya.

“Kamu ke mana saja, Sari? Sekarang orang main FIFA itu bareng seluruh dunia.” Kata Salman.

“Oh ya? Berarti mereka main lewat internet?” tanyaku.

“Begitulah. Konsol kita bisa kita sambungin ke internet, lalu setelahnya kita akan bisa main apa pun bareng semua orang di dunia. Untuk FIFA, kita bisa tanding sama orang-orang di negara mana pun. Jadi kita bisa kayak main Piala Dunia betulan.” Terang Salman.

“Wah, sepertinya seru ya.” Aku mulai tertarik.

“Seru pake banget, kamu harus coba. Ini akan sangat menyenangkan. Kamu jarang main game ya?” tanyanya lagi.

“Ya begitulah, aku bukan pecandu game sejati. Tapi sebenarnya aku cukup sering main. Hanya akhir-akhir ini sudah jarang.”

“Padahal kamu ‘kan punya X-Box, berarti selama ini kalau nggak main sendiri, kamu mainnya sama teman-teman saja di rumah?” tanya Salman.

“Iya, paling kayak gitu.” Jawabku.

“Sayang sekali kamu baru tahu sekarang. Nanti kita main bareng bertiga ya. Asyik lho, kamu pasti ketagihan.” Kata Salman dengan nada yakin.

“Mungkin juga, sepertinya akan asyik, dan kita nggak perlu ketemu buat bisa main.” Timpalku.

“Iya, salah satunya itu, biar nggak harus ketemu dulu.” Ia balik menimpali.

“Kayaknya aku mulai tertarik.” Kataku.

“Jangan cuma tertarik, ayo main!” ajaknya lagi.

“Eh, iya ya.” Aku tertawa.

“Nanti agak sore, gimana?” kejar Salman.

“Boleh, Markus sudah kamu kasih tahu?” tanyaku.

“Nanti aku kasih tahu.” Jawabnya.

“Memangnya dia pasti mau?” aku masih belum yakin.

“Aku jamin dia bakal mau.” Tapi nada Salman terdengar amat yakin.

“Baiklah. Nanti kasih tahu aja jam berapa mau mulai.” Kataku akhirnya.

“Siap, nanti aku kabarin. Ini pasti akan jadi seru.” Ia masih berkata dengan nada yang sangat yakin.

“Mungkin juga. Tapi memang sih aku kayaknya kuper banget. Aku baru tahu kalau FIFA bisa dimainin lewat online.” Kataku sambil tertawa nyengir.

“Yahhh, ke mana aja?” Salman tertawa.

Aku tersipu.

“Bagaimana kabarmu?” ia bertanya lagi.

Ah, akhirnya nanya kabar, setelah ngobrol begitu panjang.

“Baik, kamu sehat?” jawabku balik bertanya.

“Ya, sejauh ini aku sehat.” Jawabnya.

“Syukurlah.” Ucapku.

“Kamu sendiri gimana?” kini ia yang balik bertanya.

“Sehat juga, nggak ada gejala aneh-aneh.” Jawabku.

“Syukurlah.” Ucapnya.

“Kamu juga nggak ada gejala aneh-aneh ‘kan?” tanyaku.

“Nggak, sejauh ini nggak. Kuharap kita semua nggak akan ada yang menunjukkan atau mengalami gejala-gejala Corona.” Jawabnya.

“Nggak cuma gejala Corona, tapi gejala penyakit apa pun. Baik penyakit berat atau pun ringan. Semoga kita semua dijauhkan dari penyakit-penyakit, segala macam penyakit, apa pun.” Timpalku sambil berdoa.

“Aamiin. Doamu sudah cukup lengkap, jadi aku mengaminkan saja.” Salman tertawa.

“Jadi, bagaimana rasanya dikarantina?” ia bertanya.

“Kamu ‘kan lebih tahu, soalnya kamu lebih senior daripada aku.” Jawabku.

“Hah? Senior gimana?” ia seperti orang bingung mendengarnya.

“Ya, senior karena lebih dulu dikarantina.” Aku tertawa.

“Lah, ada juga istilah senior karantina. Kupikir di sekolah dan kuliah aja yang ada senioritas.” Timpalnya.

“Memang, karena aku yang bikin istilah itu.” kataku sambil tertawa lagi.

Salman ikut tertawa.

“Kapan bikinnya?” canca Salman.

“Baru aja tadi.” Balasku.

“Barusan banget? Waktu kita mulai ngobrol tadi, sudah kepikir belum?” selidiknya.

“Belum lah.” Jawabku enteng.

“Hebat, kamu kreatif.” Pujinya.

“Kayak gitu kok dibilang kreatif.” Aku mengelak.

“Kreatif itu nggak ada batasnya. Apa pun kreasi kita, jika kita bisa membuatnya, itu namanya kreatif.” Ia mulai berceramah.

“Berarti aku memang kreatif ya?” tanyaku sambil memuji diri sendiri.

“Iya dong, pake banget.” Salman justru memujiku.

“Berlebihan. Lebay!” seruku.

Kami sama-sama tertawa.

Kurang lebih dua jam kemudian, Salman kembali menghubungiku.

“Yuk, ikut main.” Katanya.

“FIFA?” tanyaku.

“Iya, seperti yang kita bicarakan tadi.” Jawab Salman.

“Markus sudah tahu?” aku mencoba mengonfirmasi karena kurang yakin bahwa anak itu akan mau diajak main FIFA.

“Iya, dia senang banget. Dia bakal gabung dengan kita.” Jawabnya.

Wah, aku justru tidak menyangka bahwa dia justru akan senang kami ajak main game FIFA ini.

“Ya udah, ayo main. Aku nyalain X-Box dulu.” Kataku.

“Gimana caranya?” tanyaku setelah X-Box menyala dan game FIFA diaktifkan.

Salman mengajariku cara menghubungkan X-Box ke internet. Entah bagaimana, aku baru sadar bahwa ternyata diriku sekuper ini. Padahal aku pemain FIFA yang cukup rajin, jika itu bisa dibilang sebagai sesuatu yang membanggakan.

Setelah selesai, aku bisa melihat bahwa Salman sudah terhubung denganku. Markus juga ternyata telah bergabung bersama kami di layar FIFA. Kami lalu memasang headset dan melakukan pemeriksaan sambungan untuk memastikan bahwa kami bertiga bisa saling mendengar dan berkomunikasi.

“Tes, Sari?” kata Salman.

“Ya, masuk!” jawabku.

“Markus, sudah bisa?” kata Salman lagi.

“Iya, kak, semua terdengar!” jawab Markus.

“Dengar, Markus. Kau akan satu tim dengan Sari. Kalian berdua akan melawanku.” Kata Salman.

“Sombong, memangnya kau seyakin apa untuk bisa mengalahkanku?” tanyaku.

“Lihat saja.” Kata Salman.

“Kau bisa main, Markus?” tanyaku.

“Bisa.” Jawab Markus.

“Dia baru kenal FIFA beberapa hari lalu.” Kata Salman.

“Apa? Tapi kau tahu caranya ‘kan?” tanyaku kepada Markus.

Aku sedikit gelisah mendapati kenyataan ini.

Markus baru tahu FIFA kemarin dulu?

Harusnya sih aku bisa menduganya.

Tapi, lalu apa nanti yang akan kami lakukan?

Apakah aku akan bisa bermain bersamanya dengan keadaannya yang sangat pemula itu?

“Iya, tahu.” Jawab Markus.

Tetap saja kata-katanya terdengar kurang meyakinkan bagiku.

“Kita bungkam kak Salman, Markus. Dia tadi meremehkan kita.” Akhirnya aku berkata demikian juga.

Setidaknya aku harus memberi semangat kepada Markus. Kuberitahu diriku sendiri bahwa ini bukanlah kompetisi. Ini adalah permainan demi membuat Markus merasa memiliki teman. Ya, ia memang benar-benar memiliki teman, tidak hanya sebatas merasa.

Dan temannya adalah kami.

Semua itu kuucapkan berulang-ulang dalam hatiku. Aku ingin meniadakan hasrat ingin dan harus menang di permainan kali ini. Memang butuh upaya keras, karena selama ini aku selalu menang dalam FIFA. Aku memang jarang memainkannya, tapi skeali lagi, aku selalu menang.

Sekarang, hasrat untuk mempertahankan rekor kemenangan tersebut harus kusingkirkan jauh-jauh. Ini semua tidak lain adalah demi Marku.

“Siap, kak!” jawab Markus.

Aku tersentak sekaligus tersadar oleh jawaban Markus. Rupanya sejak tadi aku terlalu lama melamun dan berbicara kepada diriku sendiri. Semoga saja aku sejak tadi berbicara sebatas dalam hati. Artinya aku berharap agar ucapanku sejak tadi tidak sampai kuucapkan secara tidak sadar lewat mulutku.

Jika tidak, aku tentunya akan terlihat sedang berbicara sendiri. Aku bisa dianggap gila. Ya, ODP yang gila. Atau mungkin saja ODP yang menjadi kurang waras karena frustrasi.

Ah, aku ini bicara apa sih?

Kok malah meracau seperti ini?

“Lihat saja siapa sebenarnya yang meremehkan.” Timpal Salman.

Aku tersentak lagi dan kembali ke dunia nyata.

“Jangan banyak bicara, ayo buktikan!” kataku.

Kami mulai bermain. Salman, sudah kuduga, memakai Barcelona.

Aku mengalah kepada Markus dengan memakai AS Roma. Padahal aku ingin sekali memainkan Milan.

Salman menyerang dengan manuver Messi, sementara tidak ada pemain belakang Roma yang bisa mengikuti gerakannya. Selain itu, serangan Messi selalu berasal dari sisi kanan, sisi yang dipegang Markus.

Aku sendiri memegang sisi kiri.

Ah, tentu saja semua manuver Salman akan lolos. Markus yang merupakan seorang pemula terlihat jelas masih sering bingung dalam mengendalikan permainannya sendiri. Tidak jarang ia salah mengambil arah dan menggerakkan pemain sehingga pemain-pemain Barcelona milik Salman justru melenggang bebas. Sementara itu, garis pertahanan yang dijaga pemain-pemain Markus justru berlarian ke arah lain.

Aku kebingungan menanggapi hal ini. Betapa tidak, tentunya aku tidak mungkin beralih dari sisiku untuk membantu Markus. Sisi bagianku bisa kosong sehingga Salman akan dapat mengalihkan bola ke sisi tersebut dan mencetak gol tanpa ada hambatan apa pun.

Jika begini terus, kami sama sekali tidak punya peluang untuk menang. Jangankan menyerang dan mencetak gol, bahkan sekedar mengimbangi permainan Salman pun kami tidak bisa. Kami masih berjibaku mengikuti manuver Salman di area pertahanan kami.

Akhirnya Salman berhenti mempermainkan kami. Dengan Barcelona miliknya, ia mengoperkan bola dari Messi kepada Suarez. Suarez di bawah kendali Salman benar-benar lolos tanpa penjagaan di depan gawang Roma milik kami yang tinggal dijaga oleh penjaga gawang.

“Markus, tutup!!!” teriakku.

Tapi ia tidak tahu bagaimana cara menutup pertahanan. Sepertinya Markus juga tidak mengerti caranya menggerakkan pemain belakang untuk menutup serangan lawan. Terutama serangan yang siap untuk berubah menjadi gol karena sudah berada di depan gawang.

Tidak ayal, Salman menggerakkan Suarez tepat di depan gawang. Ia pun menekan tombol tembakan, dan Suarez segera menembak dengan kekuatan penuh ke gawang kami. Penjaga gawang Roma tidak bisa berkutik. Ia bahkan tidak sempat bergerak saat Suarez melakukan tembakan keras.

Salman pun berhasil membobol gawang kami.

Aku mengembuskan napas panjang.

Bola kembali ke tengah. Aku berusaha membangun serangan. Tapi pikiranku selalu tidak sejalan dengan Markus. Nampak jelas bahwa ia memang baru pertama kali ini bermain FIFA. Atau mungkin juga sepertiku, sebenarnya Markus adalah pemain FIFA yang ulung. Tapi ia tidak terbiasa bermain dengan cara berbagi tim seperti ini.

Ah, tapi dari caranya menggerakkan pemain dan melakukan tindakan atas bola-bola yang didapatnya, sepertinya Markus memang pemain FIFA amatiran.

Kami pun selalu gagal dalam menyerang Salman. Serangan yang kami coba bangun selalu berakhir dengan salah operan atau tembakan ngawur yang tidak perlu. Bahkan terkadang kami memberikan bola kepada pemain milik Salman.

Sementara situasi sebaliknya terjadi di tim milik Salman. Gol demi gol mengalir dari Barcelona di bawah kendalinya. Aku tidak melihat papan skor hingga akhir pertandingan. Baru setelah itu, aku bisa mengumpulkan keberanian untuk melihat papan penanda skor di ujung kiri atas layar.

Jumlahnya tidak perlu disebutkan, Salman mencetak gol hingga mencapai dua digit. Ia bahkan tidak memberikan kami gol sama sekali.

Markus nyengir usai pertandingan.

Eh, dia nyengir!

Aku membatin sebal. Lebih tepatnya, sebal sekaligus gemas.

Lalu, dia malah tertawa!

Ini kesekian kalinya dia tertawa sejak aku mengenalnya. Memang, baru beberapa hari sih aku kenal dia. Tapi cukup jarang dia tertawa seperti itu. Mungkin kami harus lebih sering bermain FIFA agar aku lebih sering juga melihat Markus tertawa.

“Maaf ya kak...” katanya sambil masih nyengir.

“Nggak apa-apa, udah bagus kok. Tinggal ditingkatin lagi.” Kataku.

Ini ‘kan cuma permainan, batinku. Sebenarnya aku membatin lebih sebagai penghiburan diri. Aku tidak pernah kalah di FIFA sebelumnya, apalagi sememalukan ini.

Tapi memang sih, selama ini ‘kan lawanku hanya berkisar di antara mereka yang amatiran. Tidak sulit bagiku mengalahkan mereka. Bahkan yang dilakukan Salman terhadap kami tadi adalah hal yang biasa kulakukan kepada teman-temanku. Sekarang aku jadi tahu bagaimana rasanya dibantai demikian.

Menyakitkan!

Sungguh menyakitkan!

“Kamu manis sekali.” Kata Salman lewat panggilan video usai FIFA online dimatikan.

“Eh, manis gimana maksudmu?” aku bertanya bingung.

“Tadi ke Markus. Kamu manis sekali waktu menghiburnya.” Jawabnya.

“Oh...” aku tidak tahu harus berkomentar bagaimana.

“Padahal aku tahu kalau kamu kesal.” Kata Salman lagi.

“Ah, tahu dari mana kalau aku kesal?” tanyaku.

“Pemain FIFA mana pun pasti kesal dengan pertandingan tadi.” Jawab Salman.

“Tapi kamu tetap saja membobol gawangku tanpa henti seperti itu.” aku merenggut.

“Ya, sengaja, iseng aja.” Katanya jahil.

“Dasar!” aku mengepalkan tanganku di depan layar.

Salman tertawa.

“Filmnya sudah dapat?” tanyaku.

“October Sky?” Salman bertanya balik.

“Ya, apa lagi? Kan cuma itu yang kamu janjiin.” Jawabku.

“Belum, masih aku cari.” Kata Salman.

“Nggak perlu buru-buru.” Aku menenangkan.

“Tapi kan aku udah janji.” Katanya lagi

“Iya, dan aku juga nggak maksa.” Aku tidak mau kalah.

“Maksudmu dengan ‘nggak maksa’ gimana?” tanyanya.

“Kalau nggak ketemu ya nggak apa-apa.” Jawabku.

“Aku akan berusaha sampai ketemu.” Ia masih bersikeras.

“Aku nggak maksa lho yaaa.” Aku ikut bersikeras.

“Iya, aku tahu, hanya sebagai lelaki aku ingin menepati janjiku.” Terangnya.

“Berarti kalau bukan laki-laki nggak apa-apa buat nggak menepati janji?” tanyaku.

“Itu kamu yang bisa jawab.” Jawabnya.

“Kok aku?” aku bingung dengan jawabannya.

“Ya ‘kan kamu yang bukan laki-laki. Aku sih masih merasa laki-laki, jadi nggak bisa jawab itu.” terangnya sambil tertawa.

Kini giliran aku yang tertawa.

“Terima kasih.” Kataku.

“Terima kasih untuk apa?” tanya Salman.

“Untuk mengisi hari-hari karantinaku.” Jawabku.

“Ya, sama-sama lah kita. Kamu juga sudah mengisi hari-hari karantinaku dengan menyenangkan. Ayo kita sama-sama saling menguatkan.” Ajaknya.

“Kamu sangat menguatkan aku.” Pujiku.

Salman tersenyum.

Aku membalas senyumnya.

Esoknya, Salman tidak menghubungiku seharian lamanya. Ini membuatku cukup merasa bingung karenanya. Aku terus bertanya-tanya ke mana dia.

Terlebih, aku juga bertanya-tanya apakah aku telah berbuat sesuatu yang salah kepadanya. Tidak biasanya Salman absen dalam menghubungiku seperti ini.

Memang kami baru saling mengenal selama beberapa hari. Tapi saat ini pun terasa aneh apabila ia tidak menghubungiku. Entah kenapa sebabnya.

Apakah ini berarti dirinya sudah menjadi bagian dari hidupku?

Aku sendiri merasa aneh atas sikapku. Kenapa aku justru merasa seperti ini akibat tidak dihubungi oleh orang yang baru saja kukenal?

Aneh, ini memang aneh. Aku tidak ingin pikiran seperti ini menguasaiku terus menerus.

Maka aku pun menghubungi Lyna, hanya untuk mengisi kebosananku. Kupikir ia pasti tidak punya banyak aktivitas. Toh, ia belum diwisuda sepertiku. Kegiatannya pasti belum menyibukkan dan mungkin hanya berkisar di antara aktivitas rumahan.

Ternyata aku salah.

Lyna justru sudah bekerja. Ia sudah menjadi seorang pegawai trainee di sebuah perusahaan produsen consumer goods berskala multinasional. Kabar itu kudapatkan dari Lyna sendiri. Ia baru membalas pesanku di malam hari, padahal aku sudah menghubunginya sejak sore.

“Wah, maaf, aku dari pagi sudah di kantor. Mungkin kalau jam istirahat aku akan cepat membalasmu.” Kata Lyna di pesan jawaban W******p.

Aku tertegun membaca pesan tersebut. Dalam benakku aku berpikir bahwa betapa asyiknya hidup Lyna. Ia bisa menghabiskan waktunya di luar, beraktivitas di kantor, membuat keberadaan dirinya memiliki arti untuk perusahaan serta orang-orang yang terkait dengan tempatnya bekerja tersebut.

Lalu aku melihat diriku yang hanya berada di rumah selama hari-hari terakhir ini. Sungguh jauh jika dibandingkan dengan apa yang telah diraih oleh Lyna. Aku seperti tidak ada apa-apanya.

“Nggak apa-apa, wah ternyata sekarang sudah kerja nih ya?” balasku sambil bertanya untuk mengonformasi.

“Iya nih, hahaha.” Lyna membalas dengan emoticon nyengir.

“Wah, berarti kemarin waktu kamu nyuruh aku ikut grup, saat itu kamu udah mulai kerja dong?” tanyaku.

“Oh itu justru hari pertamaku masuk kerja.” Jawab Lyna.

“Pantes aja kamu buru-buru gitu nyuruh akunya, nggak mau diganggu nih ya?” godaku.

“Hahaha, enggak, enggak kok. Cuma waktu itu aku memang lagi di jalan, dan nggak mau datang telat di hari pertama. Bisa rusak citraku nanti.” Lyna memasang emoticon tertawa.

“Iya, iya, paham kok. Syukurlah kamu udah dapat kerja ya.” Kataku dengan perasaan sedikit cemburu.

“Iya, syukurlah. Aku juga nggak nyangka sebenarnya. Setelah beres sidang, aku ngirim-ngirim lamaran ke banyak tempat lewat internet. Sebenarnya niatku cuma untung-untungan sih, nggak terlalu terburu-buru dan menggebu-gebu buat dapetin kerjaan dengan cepat. Tapi ya ternyata seperti yang kuceritakan, tahu-tahu aku dapat notifikasi di surat elektronik bahwa diriku lolos tahap administratif. Terus disuruh ikut tes deh.” Cerita Lyna.

“Wah, hebat! Terus tesnya di mana?” tanyaku.

“Cerita lewat panggilan video aja yuk, biar nggak capek ngetik.” Kata Lyna sambil memberikan emoticon melet.

“Ah, dasar, capek ya yang habis kerja sampai nggak kuat ngetik?” jawabku dengan juga memberikan emoticon yang sama.

“Iya, hahaha.” Lyna memberikan emoticon tertawa.

“Ya sudah, ayo.” Aku menekan tombol panggilan video.

Lyna segera menerimanya. Dan di layarku segera nampak sosoknya. Ia masih mengenakan blus dan rambutnya nampak kusut.

“Wah, baru pulang kerja?” tanyaku.

“Iya nih, belum mandi.” Jawabnya.

“Capek ya? Sibuk dong seharian?” tanyaku lagi.

“Iya, begitulah. Tapi syukurlah sudah pulang, sekarang lagi santai kok.” Jawab Lyna.

“Syukurlah. Lanjutin dong yang tadi ceritanya. Gimana bisa diterima kerja dan seterusnya. Kamu ngirim lamaran online atau pakai pos? Terus gimana prosesnya?” Pintaku.

“Online, kok. Sekarang zamannya ‘kan sudah online semua. Jadi semua proses lamarannya juga lewat online. Terus ‘kan aku dites. Tesnya itu juga online.” Cerita Lyna.

“Tes online? Gimana tuh ceritanya?” aku semakin tertarik.

Aku memang sudah sering mengikuti tes secara online. Bahkan beberapa kali aku mengikuti simulasi TOEFL lewat online. Bahkan ujian nasional pun sekarang sudah bisa online. Tapi aku penasaran bagaimana tes penerimaan kerja bisa dilakukan secara online.

“Ya biasa. Kamu pasti tahu gimana ujian IELTS atau TOEFL lewat online ‘kan? Nah, ini juga sama, kira-kira begitu. Jadi ada beberapa tahap, di antaranya psikotes dan tes kemampuan. Kalau psikotes, ya sama dengan psikotes biasa. Dikasih waktu untuk ngerjain soal-soal yang pilihan berganda atau kalau yang harus pakai narasi, ya diketik.” Jawab Lyna.

“Tapi kalau psikotes ‘kan ada yang ngegambar gitu, caranya gimana kalau online?” tanyaku penasaran.

“Nah ini uniknya. Mungkin beda ya di tiap tempat, tergantung perusahaan atau penyelenggaranya. Tapi yang kualami justru disuruh gambar pakai kursor gitu.” Lyna antusias saat menceritakannya.

“Pakai kursor? Gimana caranya?” aku semakin penasaran.

“Kamu udah sering pakai “Paint” di komputer ‘kan? Nah kayak gitu caranya. Jadi kita ngegambar kayak kalau lagi pakai Paint.” Terangnya.

“Waaah, iya, iya, aku kebayang. Wah, wah, sekarang sudah bisa gitu ya. Terus tadi ‘kan kamu bilang ada tes kemampuan yang lewat online juga, itu gimana caranya?” tanyaku lagi.

“Nah, itu juga nggak jauh beda sama psikotes. Tapi ya agak lebih lama dan panjang prosesnya, soalnya pertanyaannya lebih banyak dan lebih menjurus ke spesifik keahlian memecahkan masalah yang dibutuhkan perusahaan. Intinya sih sama, kita dikasih waktu ngerjain soal-soal pertanyaan, ada yang pilihan ganda ataupun uraian.” Terang Lyna.

“Hmmm, aku mulai kebayang.” Timpalku.

“Bahkan setelah lulus tes ‘kan ada tahap wawancara, itu juga dilakukannya lewat Skype.” kata Lyna lagi.

“Wawancaranya lewat Skype? Bisa kayak gitu ya sekarang.” Aku tertarik dengan cerita Lyna ini.

“Iya, sekarang ternyata memang sudah diarahkan buat seperti itu oleh perusahaannya. Bahkan mungkin sekarang semua perusahaan yang melakukan rekrutmen trennya sudah melakukan segala macam prosesnya lewat online.” Terang Lyna.

“Mungkin karena situasi pandemi Corona ini juga, jadinya orang diarahkan untuk seminimal mungkin berinteraksi satu sama lain. Makanya sekarang semua serba online.” Kataku berpendapat.

“Iya ya, mungkin juga sih. Tapi nggak cuma terbatas pada ukuran rekrutmen kok. Sekarang hampir semua kegiatan yang nggak perlu pertemuan langsung sudah dilakukan secara online lho. Bahkan kemarin nih baru-baru saja kejadiannya, aku untuk pertama kalinya ikut rapat online.” Lyna melanjutkan ceritanya.

“Rapat online? Gimana caranya?” tanyaku.

“Nggak terlalu beda sama rapat-rapat pada umumnya. Prinsipnya ya tetap rapat. Tapi semua orang yang jadi peserta ikut berpartisipasi di rapat itu lewat Zoom.” Jawabnya.

Oh... seperti grup komunitasnya Mirka yang kuikuti. Aku heran, kenapa aku nggak bisa memahami apa yang diceritakan Lyna sejak awal, sampai-sampai ia harus menyebutkan Zoom terlebih dahulu baru aku mengerti. Apakah ini karena penurunan kapasitas otakku setelah berhari-hari dikarantina?

Ah, mungkin saja. Atau mungkin aku saja yang terlalu berlebihan.

“Hmmm, ya, ya, aku pernah dengar dan lihat itu di berita.” Timpalku.

“Laah, aku baru ingat, kamu ‘kan harusnya udah nggak aneh dengan hal kayak gitu. Bukannya grup yang kamu ikutin itu juga melakukan hal yang sama? Pakai Zoom juga ‘kan?” tanya Lyna.

“Iya, grup yang aku ikut gara-gara kamu itu.” aku tersenyum sambil melotot ke arahnya.

“Nah iya, kok tadi kayak yang bingung sih. Padahal kamu pasti sudah sangat familiar dengan hal kayak gitu. Aku jadi kayaknya buang-buang tenaga nerangin hal tadi ke kamu.” Kata Lyna tertawa.

Aku ikut tertawa.

Bagaimana pun aku hanya pura-pura kurang berkenan kepada Lyna tentang keikutsertaanku di grup tersebut. Aku justru seharusnya berterima kasih kepadanya. Karena mengikuti grup itu, kini aku mengenal Salman.

Dan juga Markus tentunya.

Tapi Salman, ah...

Aku jadi teringat lagi tentang dirinya yang belum menghubungiku. Lalu diriku bertanya-tanya kembali tentang kemungkinan apa saja yang bisa terjadi. Apakah aku membuat kesalahan?

Yah, aku jadi tenggelam lagi kepada urusan tentang dia. Segera kutepis bayangan Salman yang menari-nari dalam benakku. Aku menyadari bahwa tampilan Lyna masih nampak pada layar di depanku.

“Hei, kok ngelamun?” tanya Lyna.

“Eh, hahaha, maaf.” Aku tertawa.

“Hayo ngelamunin apa? Atau jangan-jangan, ngelamunin siapa?” goda Lyna.

“Ah, enggak, aku ikut bangga aja sama kamu yang udah kerja, selain kagum juga sama proses penerimaan kerja di zaman sekarang.” Jawabku.

Sebenarnya tadi aku ingin menceritakan soal Salman. Tapi urung kulakukan. Selain aku sedang tidak ingin memikirkan laki-laki itu, aku juga sedang tertarik dengan dunia kerja yang sekarang sedang digeluti oleh Lyna.

“Kamu juga pasti akan segera ngalamin kok. Jadi santai aja.” Timpal Lyna.

“Aamiin, aku mengaminkan aja deh, biar jadi kenyataan.” Kataku.

“Aamiin, aku aminkan juga.” Kata Lyna.

Kami tertawa bersama.

“Eh, terus, terus, gimana di kantor? Gimana dunia kerja? Cerita lagi dong.” Kejarku penasaran.

“Hahaha, kamu kepo banget sih.” Lyna tertawa.

“Ya ‘kan aku masih pengangguran yang terkurung, makanya kepo biar ada yang bisa aku kerjain.” Aku balas tertawa.

“Aku baru beberapa hari di sini, jadi belum terlalu familiar sama dunia kerja. Meskipun ya, sudah terbayang dengan beberapa hari pengalamanku ngejalanin semuanya.” Kata Lyna.

“Gimana, gimana? Cerita dong, pasti beda ya sama dunia kampus?” tanyaku lagi.

“Iya, jelas beda dong. Kalau di kampus ‘kan kita biasanya rajin secara musiman, yaitu waktu ada praktikum, tugas besar, atau ujian. Di luar itu, ya godaan buat santai pasti besar banget. Sementara di dunia kerja, wah, nggak bisa kayak gitu. Kita dituntut untuk doing great everyday. Bisa jadi kemarin kita melakukan sesuatu yang hebat. Tapi hari ini beda lagi, apa yang kita lakukan kemarin sudah terlupakan. Kalau hari ini kita bikin salah, ya tetap dimarahin. Nggak peduli sehebat apa kita kemarin.”

“Hmmm, gitu ya, beda banget pasti sama waktu di kampus.”

“Banget, aku aja sempet terkaget-kaget di hari-hari pertama. Eh, memang sekarang juga masih hari-hari pertama sih.” Lyna tertawa.

“Berarti masih kaget dong?” aku balas tertawa.

“Iya, begitulah.” Jawabnya.

“Eh, sorry, tapi balik dulu ke rekrutmen tadi, kamu ngelamar kerjanya pakai apa? Kan kamu belum dapat ijasah.” Tanyaku.

“Oh gampang itu, urusan kecil. Ijasah itu nomor sekian, sekarang nggak terlalu diperlukan. Memang sih masih pakai surat keterangan lulus, itu juga bisa dijadikan tanda keterangan pengganti ijasah. Tapi yang dipentingkan bukan itu. Yang penting kita kompeten dan memenuhi syarat. Ijasah nomor sekian.”

Ya, memang, tidak perlu ijasah untuk bekerja. Cukup surat keterangan lulus dari universitas yang menyatakan bahwa ia memang benar mahasiswi di sana dan telah dinyatakan lulus.

Aku malah jadi minder sendiri mendapati kenyataan itu. Bagaimana tidak, Lyna yang lulus lebih lambat dariku justru sudah bekerja. Sementara aku yang lebih dulu diwisuda, malah terkurung seperti ini.

“Tapi sekarang trennya memang sudah mulai tidak mementingkan ijasah kok.” Lanjut Lyna.  

“Gimana maksudmu?” tanyaku.

“Ya, dari yang kuceritakan tadi sebenarnya sudah ada sebagian jawabannya. Tapi lebih tepat lagi bahwa sekarang dunia kerja dalam pencarian calon pegawainya nggak lagi mensyaratkan ijasah. Yang mereka inginkan adalah orang yang siap pakai. Seperti yang kuceritakan tadi, aku dites macam-macam sesuai dengan keahlianku. Kalau aku nggak bisa, ya out.” Jelasnya.

“Tapi ijasah tetap ditanyakan, bukan?” tanyaku.

“Iya, tapi hanya sebagai syarat awal. Istilahnya, syarat administratif lah. Untuk menyaring supaya nggak terlalu banyak yang masuk dan mempermudah kerjaan orang human resource mereka, maka diterapkan syarat ijasah dan lain-lain. Termasuk indeks prestasi, biodata, dan sebagainya. Tapi itu semua pada akhirnya hanya menjadi yang kusebutkan tadi, yaitu syarat administratif. Mereka hanya jadi seleksi secara administrasi supaya tersaring orang-orang yang persyaratannya lengkap saja. Seleksi yang sebenarnya adalah ketika tes-tes itu berlangsung. Di situlah keahlian kita dilihat dan dinilai apakah kita memang kompeten untuk lowongan pekerjaan yang kita lamar, serta apakah kita memang orang yang tepat untuk itu atau bukan.” Lyna nampak bersemangat sekali saat menerangkan panjang lebar seperti ini.

“Berarti kamu termasuk yang kompeten dan orang yang tepat dong, Lyn. Buktinya kamu bisa lulus dan diterima kerja di sana.” Godaku.

“Ya, semoga saja.” Jawabnya.

“Semoga gimana? Kan kamu sudah diterima di sana dan sudah juga mulai kerja.” Tanyaku.

“Masih ada tahap percobaan. Nah, aku masih dalam percobaan. Karena bisa saja aku bagus waktu dites tapi sebenarnya aku nggak mampu. Mereka sangat teliti soal ini. Jadinya mereka yang masuk diterima di sini akan mengalami masa percobaan selama tiga bulan untuk membuktikan bahwa dia memang layak diterima.” Terangnya.

“Berarti sekarang status kamu belum menjadi pegawai dong?” tanyaku lagi.

“Sebagai pegawai penuh, belum. Sekarang aku masih jadi pegawai percobaan.” Jawab Lyna.

“Setelah tiga bulan itu ya? Lalu habis itu, kamu jadi pegawai penuh?” tanyaku.

“Belum. Kalau aku lolos tiga bulan ini, maka aku akan jadi pegawai kontrak. Nah setelah itu aku akan menjalani masa kontrak selama satu tahun. Itu juga termasuk tahap percobaan sebenarnya, tapi lebih baik dan statusnya lebih tinggi daripada percobaan yang tiga bulan itu. Kalau setelah satu tahun itu aku dinyatakan layak, barulah aku dipromosikan menjadi pegawai tetap.” Lyna masih bersemangat menerangkannya.

Padahal aku tahu bahwa ia pasti lelah setelah berjuang di kantor seharian. Apalagi sebagai seorang pegawai percobaan, ia pasti harus bekerja jauh lebih keras daripada mereka yang sudah memiliki tempat aman sebagai pegawai penuh.

“Panjang juga ya proses untuk jadi pegawai penuh.” Komentarku.

“Ya begitulah. Tapi sekaligus membuat mereka yang menjadi pegawai penuh di sini adalah benar-benar orang-orang yang kompeten dan memenuhi syarat. Soalnya tahap yang harus mereka lalui saja berlapis-lapis banyaknya. Di sinilah zona nyaman sebenarnya terbentuk.” Jelasnya.

“Zona nyaman gimana maksudmu?” aku belum paham dengan istilah yang disebutkan oleh Lyna barusan.

Memang aku sangat familiar dengan istilah “zona nyaman”, tapi aku belum memahami apa kaitannya dengan cerita Lyna.

“Jadi gini,” jawab Lyna. “Setelah sekian banyak tahap dan proses yang dilalui, maka mereka yang lolos akan menjadi pegawai penuh atau istilah lainnya adalah pegawai tetap, seperti yang kuceritakan kepadamu tadi. Nah, setelah jadi pegawai tetap ini, status mereka sudah kuat dan bisa dibilang membuat nyaman. Kenapa membuat nyaman? Karena sebagai pegawai tetap, mereka nggak bisa dipecat, kecuali melanggar hukum.” Lanjutnya.

“Nggak bisa dipecat? Wah, enak dong.” Timpalku.

“Iya, memang enak. Makanya kusebut itu sebagai zona nyaman. Kalau perusahaan nggak suka dengan salah seorang yang sudah jadi pegawai tetap dan mereka ingin memecat dia, itu nggak bisa begitu saja mereka lakukan. Kalau orang itu nggak melakukan perbuatan kriminal, ya nggak akan bisa dipecat, kecuali melalui proses pengadilan. Dan itu akan memakan biaya banyak karena harus pakai pengacara, sidang, dan lain-lain. Makanya mereka benar-benar serius dalam menyeleksi orang-orang yang akan menjadi pegawai tetap. Nggak hanya kinerjanya yang dinilai, tapi juga perilakunya, kesehatannya, integritasnya, dan juga kewarasannya.” Terang Lyna lagi.

“Sebentar, kalau kinerjanya yang dinilai aku masih ngerti, tapi gimana dengan hal-hal lain yang kamu sebut tadi? Seperti misalnya kewarasan, kesehatan, dan lain-lainnya itu.” aku menjadi sangat tertarik atas keterangan Lyna.

“Ya jelas dong,” jawab Lyna. “Kesehatan misalnya, apakah dia punya riwayat atau justru potensi penyakit berat. Kalau dia sudah jadi pegawai tetap ‘kan itu akan jadi kewajiban perusahaan untuk menanggung biaya pengobatannya. Lalu integritas, kewarasan, dan sejenisnya. Itu buat mengidentifikasi apakah orang ini punya integritas, artinya setelah menjadi pegawai tetap, apakah dia akan tetap rajin atau malah jadi malas-malasan. Dia juga akan dinilai kewarasannya, yaitu potensi apakah dia bisa atau punya bakat untuk stres sehingga menderita gangguan jiwa. Lagi-lagi, itu akan jadi tanggung jawab perusahaan kalau dia sudah jadi pegawai tetap.” Paparnya lagi.

“Semua itu ada tim untuk memeriksanya?” tanyaku.

“Iya, jelas. Ada tim psikologi yang akan menilai hal tersebut.” Jawabnya.

“Berarti kalau seseorang sudah jadi pegawai tetap, itu berarti dia sudah terjamin nggak akan melakukan hal-hal yang termasuk ke dalam penyimpangan yang kamu sebutkan itu ya?” tanyaku lebih jauh.

“Nggak juga.” Jawab Lyna. “Namanya sistem buatan manusia, masih banyak bolongnya. Biarpun aku baru beberapa hari di sini, tapi cukup buatku untuk melihat kelakuan orang-orang di sini. Ada juga kok orang yang sudah jadi pegawai tetap tapi malas-malasan. Mereka mungkin merasa sudah aman dari pemecatan sehingga berlaku seperti itu. Padahal aku yakin dulunya mereka bekerja dengan sangat rajin saat masih percobaan. Aku yakin karena aku sedang mengalaminya. Dan orang seperti itu jumlahnya nggak hanya satu, tapi banyak.” Lanjutnya.

“Banyak? Artinya masih ada yang bisa lolos juga dong walaupun sudah diseleksi seketat itu?” tanyaku lagi.

“Ya, begitulah. Termasuk mereka yang setelah naik jabatan jadi terlibat politik kantor dan memainkan permainan kotor.” Jawab Lyna.

“Nah, aku tertarik nih sama politik kantor. Kebetulan kamu menyinggung itu. Aku sudah sering sih baca di berbagai media soal politik kantor itu. Tapi mumpung ada kamu yang udah menyaksikan langsung, cerita dong gimananya politik kantor itu.” pintaku.

“Sebenarnya nggak jauh dari apa yang sudah kita baca di media sih. Intinya sih ya gitu aja, perpolitikan, kayak di pemerintahan. Orang-orang yang berjuang untuk mendapatkan posisi lebih tinggi di kantor. Dan nggak ada yang salah dengan itu. Tapi memang ada juga yang suka main kotor.” Jawab Lyna.

“Nah, main kotor itu yang gimana contohnya?” galiku.

“Aku baru beberapa hari di sini, jadi baru sebatas dengar dari orang-orang. Tapi salah satunya ya mereka deketin bos yang lebih tinggi untuk mendapat promosi. Bahkan mereka melangkahi atasan langsungnya dan melapor ke bos yang lebih tinggi itu untuk cari muka. Termasuk juga jelek-jelekin, bahkan memfitnah mereka yang dianggap sebagai saingannya. Hal-hal yang nggak etis seperti itu bisa dilakukan demi mendapat promosi ke jabatan yang lebih tinggi lho.” Lyna menjabarkan.

“Wah, ternyata mengerikan juga ya dunia kerja. Beda sama dunia kampus kita dulu.” Komentarku.

“Lebih dinamis sih tepatnya, nanti juga terbiasa kok. Aku juga masih membiasakan diri. Dan di kampus juga bukan berarti nggak ada politik kantor lho.” Jawab Lyna.

“Di kampus politik kantor antara siapa? Dosen?” tanyaku penasaran.

“Iya, begitulah. Di dunia akademis kan ada juga persaingan buat jadi profesor, dekan, rektor, dan sejenisnya. Itu juga jangan dikira nggak ada politiknya. Aku juga baru sadar ini setelah terjun di dunia kerja. Lalu aku bayangin bahwa di kampus juga terjadi hal yang sama.” Jawab Lyna.

“Kupikir dunia akademis itu jauh dari hal kayak gitu.” Kataku tertawa.

“Nggak, sama sekali nggak. Sama aja, bahkan mungkin lebih kejam. Aku dikasih tahu sama seniorku di kantor, dia bilang bahwa nggak ada kantor yang nggak ada politiknya. Semua pasti ada, tinggal politiknya itu terlihat jelas terang-terangan, atau cukup cantik untuk disembunyikan. Tapi pasti ada di mana pun, dan kita nggak bisa menghindar dari hal seperti itu, walaupun kita ingin.” Lyna ikut tertawa setelah menjawab seperti ini.

“Gitu ya ternyata. Asik juga punya teman yang udah duluan berada di dunia kerja. Aku jadi bisa tahu apa yang terjadi di sana dan nyiapin diri.” Kataku.

“Makanya semoga semua ini segera berakhir, dan kehidupan kembali jadi normal. Jadi kamu bisa cepat dapat kerja dan ngerasain juga apa yang aku alamin sekarang. Enak kok kalau dinikmati. Kalau dirasain menderitanya ya pasti malah beneran menderita ke kitanya.” Timpal Lyna.

“Iya juga ya. Lanjut dong, ada cerita apa lagi?” pintaku.

Maka percakapanku dengan Lyna pun berlanjut. Percakapan itu sebenarnya kembali berlangsung dengan hanya dirinya yang bersemangat dalam bercerita. Ia menceritakan tentang detil pekerjaannya, lebih jauh tentang suasana di kantor barunya, serta teman-teman yang telah akrab dikenalnya di sana.

Entah kenapa perasaan itu muncul lagi. Aku jadi kembali semakin merasa minder akan keadaanku. Padahal tadi aku sangat bersemangat menggali cerita dari Lyna. Bahkan aku yang mengejar-ngejar informasi darinya tentang dunia barunya itu.

Kini aku seperti kembali down. Mungkin karena percapakapan ini didominasi oleh cerita Lyna. Aku sebenarnya juga ingin kebagian bercerita.

Tapi apa yang bisa kuceritakan kepadanya?

Bagiku sendiri justru cerita Lyna jauh lebih menarik.

Ah, sebenarnya ingin rasanya kuceritakan kepadanya tentang Salman. Juga tentang Markus, dan pengalamanku selama menjalani karantina ini.

Tapi apa yang menarik dari bermain FIFA online dengan sesama orang karantina?

Apa juga yang menarik dari perjuangan melawan bosan selama masa karantina?

Tentu kehidupan dunia nyata yang telah dialami Lyna jauh lebih menarik, setidaknya bagi dirinya. Apalagi ia bukan penggemar sepakbola. Tentu Lyna tidak akan tertarik jika kuceritakan soal FIFA.

Bahkan mungkin ia tidak tahu apa itu FIFA. Lebih jauh lagi, sepertinya ia tidak tahu sepakbola itu permainan seperti apa dan bagaimana peraturannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status