Share

BAB 7

Author: Dafin
last update Last Updated: 2025-08-25 05:48:52

Minggu itu, kamar Daffa kembali dipenuhi dengan laptop, catatan, dan diagram proyek mini crypto simulasi yang sedang mereka rancang. Daffa dan Bima tengah fokus menyusun modul tutorial dan simulasi transaksi virtual.

Suasana serius namun penuh semangat, ketika tiba - tiba ponsel Daffa berbunyi.

Sebuah pesan muncul di grup kelas online mereka:

“Hahaha, proyek crypto kalian cuma buang - buang waktu. Jangan harap bisa sukses, ini semua cuma teori, kalian cuma sok pintar!”

Daffa menatap layar, wajahnya tegang. Bima memandanginya dengan heran. “Siapa yang kirim itu?” tanya Bima.

“Sepertinya Rival kelas kita, Reza,” jawab Daffa pelan. Reza terkenal suka menonjolkan diri, selalu berkomentar sinis setiap ada proyek yang berbeda. “Dia pasti ingin menjatuhkan reputasi kita.”

Bima menghela napas. “Aku tahu dia bisa bikin masalah, tapi jangan biarkan itu mengganggu fokus kita. Kita sedang membangun sesuatu yang nyata.”

Daffa menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Ia tahu perasaan marah dan kesal mulai muncul, tapi juga sadar bahwa emosi bisa merusak fokus. Ia berkata pada diri sendiri: “Fokus, disiplin, jangan terganggu oleh komentar negatif.”

Sejak itu, muncul beberapa pesan lagi di grup online: komentar sinis, pertanyaan provokatif, bahkan kritik yang mencoba menyinggung modul simulasi yang mereka buat. Daffa dan Bima memutuskan untuk tidak membalas di grup. Sebaliknya, mereka berdiskusi secara pribadi: bagaimana menanggapi persaingan ini dengan bijak.

“Daffa, mungkin kita bisa pakai ini sebagai motivasi,” kata Bima. “Kalau kita berhasil menunjukkan hasil, mereka akan lihat sendiri. Jangan biarkan komentar merusak kerja kita.”

Daffa tersenyum tipis. “Iya, benar. Aku belajar satu hal penting: disiplin dan fokus lebih berharga daripada membalas provokasi.”

Namun, gangguan tidak hanya datang dari kata-kata. Di platform simulasi online, muncul rival baru: akun anonim yang menantang strategi investasi mereka. Akun ini terus mengunggah komentar sinis dan mencoba memprovokasi Daffa dan Bima dalam eksperimen grafik harga dan tren pasar.

Suatu sore, saat mereka sedang memeriksa hasil simulasi, muncul pesan dari rival:

“Wah, strategi kalian kelihatan konyol. Aku yakin kalian bakal rugi kalau pakai ini di dunia nyata. Hahaha!”

Bima menggerutu kecil, tetapi Daffa menepuk pundaknya. “Santai, Bima. Ini ujian kecil. Fokus pada pekerjaan kita. Jangan biarkan mereka memancing emosi kita.”

Mereka berdua memutuskan untuk melakukan eksperimen lebih kompleks, mencoba strategi baru yang lebih aman dan terukur. Alih - alih membalas komentar, mereka membuktikan kemampuan melalui hasil simulasi yang baik.

Dalam beberapa hari, grafik simulasi mereka menunjukkan peningkatan keuntungan kecil tapi stabil. Hasil ini menjadi bukti nyata bahwa strategi mereka tidak konyol, meski ada gangguan dari rival. Daffa merasa bangga: mereka tidak hanya belajar tentang crypto dan blockchain, tetapi juga tentang mengelola tekanan eksternal dan konflik.

Selain gangguan dari rival, muncul konflik internal kecil. Bima ingin mencoba strategi lebih agresif untuk mendapatkan keuntungan cepat, sedangkan Daffa tetap pada rencana disiplin dan aman. Diskusi memanas beberapa kali:

“Kalau kita beli lebih banyak sekarang, bisa untung cepat!” kata Bima, wajahnya tegang.

“Tapi risiko juga tinggi, Bima. Kita sudah belajar dari simulasi sebelumnya. Kita harus disiplin,” jawab Daffa tegas.

“Ah, aku cuma ingin lihat hasilnya lebih cepat!” gerutu Bima.

Setelah beberapa menit diskusi, mereka akhirnya sepakat untuk tetap pada strategi disiplin, tetapi mencatat ide strategi agresif sebagai eksperimen di akun simulasi lain. Hal ini mengajarkan mereka kompromi dan manajemen risiko internal: tetap fokus, tetapi tidak menutup peluang belajar dari pendekatan berbeda.

Malam itu, Daffa menulis refleksi panjang di jurnal pribadinya:

Hari ini aku belajar bahwa gangguan dan persaingan akan selalu ada, baik dari teman sekelas maupun rival online. Fokus dan disiplin lebih penting daripada membalas provokasi. Konflik internal juga bisa muncul, antara dorongan untuk cepat untung dan prinsip belajar disiplin. Semua pengalaman ini mengajarkan kesabaran, manajemen emosi, dan ketekunan.

Bima menatap layar laptop sambil tersenyum. “Aku senang kita tetap fokus, Daffa. Aku rasa pengalaman ini lebih berharga daripada sekadar angka di grafik.”

Daffa mengangguk. “Betul. Dunia digital itu penuh tantangan, tapi setiap tantangan adalah pelajaran. Rival, gangguan, perdebatan kecil semua bagian dari proses belajar. Yang penting kita tetap disiplin, evaluasi hasil, dan terus mengembangkan proyek kita.”

Hari itu berakhir dengan rasa lega dan motivasi baru. Mereka sadar bahwa persaingan dan gangguan adalah bagian dari perjalanan kreatif dan edukatif mereka. Kesuksesan bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga bagaimana mereka mengelola tekanan, tetap fokus, dan disiplin di tengah gangguan.

Senja itu terasa lebih berat dari biasanya bagi Daffa. Cahaya matahari yang memantul di kaca jendela kamarnya seakan mengingatkannya akan kegagalan yang baru saja dialami. Selama beberapa minggu terakhir, Daffa dan Bima telah bekerja keras: membuat strategi investasi virtual, menganalisis grafik harga, memahami volatilitas, dan menyusun rencana disiplin.

Mereka telah merasakan kesuksesan kecil yang membangkitkan percaya diri, tetapi hari ini, satu kesalahan besar memberi pelajaran yang pahit.

“Daffa… lihat ini,” kata Bima, suaranya rendah dan tegang sambil menunjuk layar laptop.

Grafik token simulasi yang mereka pilih anjlok drastis. “Aku rasa strategi agresif kita terlalu berisiko. Kita kehilangan hampir setengah saldo simulasi kita.”

Daffa menatap layar, jantungnya berdegup cepat. Angka kerugian terlihat jelas, mengikis sebagian besar keuntungan yang sebelumnya mereka raih. Ia menutup mata sejenak, merasakan kecewa dan rasa bersalah. “Aku… aku pikir kita bisa menangkap tren itu. Tapi ternyata… salah perhitungan,” gumamnya.

Bima duduk diam, wajahnya pucat. “Aku juga salah… seharusnya kita tidak mencampur strategi agresif dengan akun utama. Ini pelajaran besar.”

Suasana kamar terasa hening. Hanya suara kipas angin yang berputar dan detak jantung mereka yang terdengar. Daffa menarik napas panjang. Ia tahu bahwa kegagalan ini bukan akhir, tetapi tetap saja rasanya pahit.

Malam itu, Daffa memutuskan untuk mengirim pesan kepada mentor mereka, Pak Arga. Beberapa menit kemudian, telepon video Pak Arga muncul di layar laptop. Senyum hangat mentor itu muncul, tetapi Daffa bisa melihat ada nada serius dalam matanya.

“Daffa, Bima… aku dengar kalian mengalami kerugian besar hari ini,” kata Pak Arga. “Aku tahu rasanya menyakitkan. Tapi ingat satu hal: kegagalan adalah guru terbaik.”

Daffa menunduk. “Pak, aku merasa kecewa… aku takut semua usaha kami sia - sia.”

Pak Arga menggeleng. “Tidak, Daffa. Justru dari sini kalian belajar banyak hal: pengelolaan risiko, disiplin, analisis keputusan, dan pengaturan emosi. Semua itu jauh lebih berharga daripada keuntungan instan. Ingat, dunia digital dan investasi itu penuh ketidakpastian. Yang menentukan bukan seberapa sering kalian menang, tetapi seberapa banyak kalian belajar dari setiap kesalahan.”

Bima ikut menatap mentor dengan wajah serius. “Jadi… kerugian ini bukan akhir dunia?”

“Tidak,” jawab Pak Arga. “Ini adalah kesempatan untuk evaluasi. Catat setiap langkah yang kalian ambil, alasan membeli, alasan menjual, dan apa yang menyebabkan kerugian. Buat jurnal pengalaman. Evaluasi, belajar, dan lakukan percobaan baru dengan strategi yang diperbaiki.”

Daffa menatap layar, perlahan menerima kata-kata mentor. Ia merasa sedikit lega, meski kecewa belum hilang sepenuhnya. “Aku mengerti, Pak. Kita harus belajar dari kesalahan, bukan menyerah.”

Pak Arga tersenyum. “Betul. Aku bangga kalian tetap disiplin dan mau belajar. Ingat, mental yang kuat sama pentingnya dengan strategi yang baik.”

Setelah telepon berakhir, Daffa dan Bima duduk bersama, membuka jurnal mereka. Mereka mulai menulis secara rinci:

Token apa yang dipilih, alasan membeli, dan analisis awal.

Strategi yang digunakan dan keputusan agresif yang membuat kerugian besar.

Emosi yang muncul: takut, kecewa, marah, dan bagaimana mereka bereaksi.

Pelajaran yang diambil: manajemen risiko, disiplin, evaluasi keputusan, dan kontrol emosi.

“Menulis ini membuatku tenang,” kata Daffa sambil menulis. “Aku bisa melihat semua langkah dengan jelas dan memahami kesalahan kami.”

Bima mengangguk. “Aku juga. Aku merasa lebih siap menghadapi percobaan berikutnya. Kalau kita belajar dari kesalahan, kemungkinan mengulang kesalahan yang sama lebih kecil.”

Hari - hari berikutnya, mereka fokus pada evaluasi dan eksperimen simulasi. Mereka mencoba strategi konservatif, membeli token dengan fluktuasi rendah, menahan posisi, dan menilai hasil secara berkala.

Daffa belajar bagaimana menahan dorongan untuk serakah atau panik, serta memahami bahwa kerugian kecil adalah bagian dari proses belajar.

Suatu sore, Daffa menatap grafik dan tersenyum tipis. “Lihat, Bima… strategi baru ini lebih stabil. Tidak ada lonjakan drastis, tetapi kita bisa belajar membaca pola pasar tanpa stres besar.”

Bima tersenyum. “Iya, aku juga senang. Kita mulai memahami volatilitas, manajemen risiko, dan psikologi pasar. Kegagalan sebelumnya justru membuat kita lebih kuat.”

Selain strategi, mereka juga menambahkan catatan refleksi ke dalam jurnal:

1. Kegagalan adalah guru terbaik: setiap kerugian mengajarkan disiplin dan pengelolaan risiko.

2. Manajemen emosi: jangan terbawa panik atau serakah. Tetap fokus pada strategi.

3. Evaluasi rutin: catat setiap langkah, alasan, dan hasil transaksi.

4. Perbaikan strategi: gunakan kesalahan sebagai dasar untuk eksperimen berikutnya.

5. Kolaborasi: diskusi dengan teman atau mentor membantu menemukan perspektif baru dan solusi.

Malam itu, Daffa menulis refleksi panjang di jurnal pribadinya:

Hari ini aku belajar bahwa kegagalan bukan akhir dari perjalanan. Kerugian signifikan membuatku kecewa, tapi juga membuka mata tentang pentingnya strategi, disiplin, dan pengaturan emosi. Mentor mengingatkan bahwa setiap kegagalan adalah pelajaran berharga. Aku sadar bahwa dunia digital dan investasi bukan soal keberuntungan, tetapi tentang belajar dari pengalaman, evaluasi, dan ketekunan.

Bima menatap layar laptop sambil tersenyum. “Aku setuju, Daffa. Kegagalan membuat kita lebih matang. Aku merasa lebih siap menghadapi tantangan berikutnya.”

Daffa menutup jurnal, menarik napas panjang, dan menatap langit malam dari jendela kamarnya. Kota yang luas dengan lampu-lampu berkelap - kelip tampak seperti jaringan transaksi yang terus bergerak, penuh peluang dan risiko.

Dengan tekad baru, Daffa berkata pada diri sendiri:

“Aku akan terus belajar, memperbaiki strategi, dan tetap disiplin. Kegagalan ini hanyalah batu loncatan. Petualangan digitalku masih panjang, dan aku siap menghadapi setiap tantangan yang datang.”

Malam itu, mereka tidur dengan perasaan lega dan semangat baru. Kerugian yang awalnya menyakitkan kini menjadi fondasi untuk pengalaman lebih dalam, disiplin lebih kuat, dan kesiapan menghadapi tantangan digital berikutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 20

    Malam sudah larut. Jam dinding di kamar kos menunjukkan pukul 23.47. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air di kaca jendela. Suara tetesan masih terdengar, berpadu dengan dengung kipas angin tua yang berputar malas. Daffa duduk sendirian di kursi kayu kecil dekat jendela. Di hadapannya, laptop menyala dengan dashboard EduCoin yang menampilkan grafik transaksi token dan jumlah pengguna yang terus bertambah. Ada rasa bangga, tapi juga ada sesuatu yang mengganjal di hatinya: perasaan campur aduk antara puas, takut, dan bingung. Daffa menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. “Aku bahkan nggak percaya aku bisa sejauh ini.” Ia menutup mata, membiarkan pikirannya berputar ke masa lalu. Ia melihat dirinya dan Bima di perpustakaan kampus. Buku-buku menumpuk di meja, laptop terbuka dengan tab penuh artikel tentang blockchain. Daffa ingat rasa frustrasi saat itu. “Bim, ini maksudnya apa sih? Ledger, mining, peer-to-peer… kayak bahasa alien.” Bima tertawa kecil. “Tenang, Daf.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 19

    Pagi itu Daffa merasa hari berjalan seperti biasa. Ia bangun, berangkat ke kampus, mampir ke kantin. Tapi satu hal kecil mengubah segalanya: sebuah notifikasi berita di ponselnya.Di layar tertera judul besar:“Inovasi Anak Muda: EduCoin, Token Belajar untuk Pelajar Indonesia.”Tangannya refleks gemetar. Ia baca cepat artikel itu, menelusuri setiap kalimat: tentang ide awal mereka, tujuan edukasi, bahkan kutipan dari postingan mereka di forum crypto lokal.“Guys, kita masuk berita!” seru Daffa, bangkit dari kursi kantin.Karin hampir menjatuhkan sendok nasi gorengnya. “Apa?! Serius?”Bima langsung meraih ponselnya. Sinta dan Rizal mendekat, mereka berebut membaca. Saat benar-benar melihat artikel itu nyata, wajah mereka berbinar-binar.“Ini gila. Kita cuma bikin proyek kecil-kecilan, eh diliput media,” kata Fahri dengan nada tak percaya.Artikel itu sederhana, tapi efeknya luar biasa.Tak butuh waktu lama, tautan artikel dibagikan di Twitter, Instagram, hingga TikTok.Komentar publik

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 18

    Setelah melewati masa penuh tekanan, tim EduCoin memutuskan untuk mengadakan rapat besar di ruang komunitas kampus yang biasanya sepi di akhir pekan. Daffa berdiri di depan papan tulis, tangannya memegang spidol, wajahnya penuh tekad.“Kemarin kita dihantam masalah bertubi-tubi. Server down, bug, regulasi. Tapi aku percaya, ini bukan akhir ini justru jalan menuju solusi.”Semua anggota tim menatapnya dengan harapan. Karin duduk sambil memegang laptop, Bima siap dengan catatan, Fahri tampak masih lelah tapi fokus, Rizal menyalakan recorder agar rapat terdokumentasi, sementara Sinta menyiapkan slide presentasi sederhana.Daffa menuliskan tiga kata besar di papan tulis: Stabilitas – Strategi – Inovasi.“Ini tiga pilar kita sekarang,” ujarnya. “Tanpa stabilitas, pengguna nggak percaya. Tanpa strategi, kita kehilangan arah. Tanpa inovasi, kita akan ditinggalkan.”Fahri mendapat giliran bicara. Ia maju dengan membawa laptop.“Pertama soal server. Aku sudah riset beberapa opsi cloud service.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 17

    Setelah kampanye promosi pertama EduCoin sukses, antusiasme pengguna meningkat pesat. Dalam waktu singkat, jumlah akun pelajar yang mendaftar melonjak lebih dari dua kali lipat.Daffa menatap dashboard server dengan mata berbinar. “Lihat, traffic kita naik gila-gilaan! Dalam sehari ada 500 user baru.”Bima ikut mencondongkan badan. “Ini luar biasa, Daf. Kita bener-bener bikin sesuatu yang disukai.”Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Malam harinya, notifikasi merah memenuhi layar Daffa. Server down.“Tidak… jangan sekarang!” Daffa menepuk jidat.Besok paginya, grup chat tim penuh pesan panik.Sinta: “Daf! Aku nggak bisa login. Anak-anak yang pakai juga pada ngeluh.”Rizal: “Twitter kita udah rame. Banyak yang nanya kenapa aplikasi error.”Fahri: “Aku cek log. Sepertinya server nggak kuat menahan lonjakan traffic.”Daffa langsung ke rumah Fahri untuk memperbaiki sistem. Dengan wajah lelah, mereka berdua begadang semalaman, mencoba menstabilkan server.“Masalahnya bukan di k

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 16

    Beberapa hari setelah uji coba pertama EduCoin selesai, Daffa masih tenggelam dalam evaluasi. Ia duduk di kafe kecil dekat kampus, menatap layar laptop penuh catatan bug dan feedback dari siswa.“Desain aplikasimu keren sih, Daf,” kata Bima yang duduk di seberangnya. “Tapi jujur aja, tampilannya agak… kaku. Anak-anak suka fungsinya, tapi kalau tampilannya lebih menarik, pasti makin nempel.”Daffa menghela napas. Ia tahu itu kelemahannya: urusan desain dan tampilan. Ia bisa membangun sistem yang aman, algoritma yang efisien, tapi kalau soal estetika? Nol besar.Tiba-tiba, seseorang dari meja sebelah menoleh. Seorang gadis berambut sebahu, mengenakan hoodie biru tua, sedang menggambar di tablet grafis. Ia tersenyum tipis.“Maaf, aku nggak sengaja dengar obrolan kalian,” katanya. “Aku setuju sama temanmu. Sistem yang bagus perlu wajah yang ramah. Kalau nggak, orang males pakai.”Daffa dan Bima saling pandang. “Eh, iya… kamu siapa?” tanya Bima agak kikuk.Gadis itu memperkenalkan diri. “A

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 15

    Hari itu terasa berbeda bagi Daffa. Ia bangun lebih pagi, sarapan seadanya, lalu duduk di depan laptop dengan tangan agak gemetar. Hari ini adalah hari yang sudah mereka tunggu-tunggu: uji coba pertama EduCoin.Selama berminggu-minggu mereka bekerja siang malam. Daffa dengan coding, Bima dengan riset, Sinta dengan konten edukasi, Fahri dengan server, dan Rizal dengan komunikasi ke sekolah. Akhirnya, sebuah sekolah menengah di pinggiran kota bersedia menjadi tempat uji coba terbatas.Sekolah itu bukan sekolah elite, melainkan sekolah negeri dengan fasilitas sederhana. Justru di situlah Daffa merasa ide mereka lebih relevan. EduCoin bukan sekadar teknologi, tapi alat untuk memberi semangat baru bagi pelajar biasa.Di ruang guru, mereka diterima oleh Bu Rini, seorang guru yang dikenal progresif.“Jadi, kalian mau bikin eksperimen kecil di sekolah ini?” tanya Bu Rini dengan nada penasaran.Rizal menjawab dengan antusias, “Iya, Bu. Sederhana saja. Kami ingin mencoba memberi reward berupa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status