"Siapa kamu? Kenapa aku harus menuruti keinginanmu?"
Tatapannya tajam terarah pada Livi yang sejak tadi tertunduk seraya meremas jarinya sendiri. Satu kebiasaan yang seketika mengingatkan Arch pada seseorang. "Namaku Nakaia Livi." Begitu Livi menyebutkan nama, asisten Arch bergerak cepat mencari tahu. Hanya dalam sekejap, pria itu mengulurkan ponselnya pada Arch, diiringi senyum tipis penuh makna. Arch sesaat mengerutkan dahi melihat ekspresi sang aspri. "Kejutan" bibir sang aspri bergerak tanpa suara. Namun setelah Arch melihat ponsel pria tadi, barulah dia paham. "Oke, teruskan!" Pinta Arch, sementara jari pria itu menggulir layar ponsel asistennya. "Kita dalam kondisi yang sama." "Kita tidak sama. Aku bisa putuskan sendiri langkahku selanjutnya." "Sial!" Livi memaki dalam hati. Pria di hadapannya ternyata lumayan sulit diajak nego. Padahal dia adalah negosiator ulung. Hati Livi mendadak perih kala dia teringat hal itu. Dulu, demi mendapat investor untuk perusahaan Axel. Livi rela kepanasan juga kehujanan untuk mencari klien. Bernegosiasi dengan mereka yang pada awalnya sangat meremehkannya. Kini setelah perusahaan mereka berkembang pesat, baru para investor ini memandang dirinya. Dulu ternyata sebodoh itu dirinya. "Tapi bukankah kita punya satu hal yang harus dijaga. Reputasi?" Pancing Livi tidak kalah cerdik. Banyak sosok berkuasa mampu berlaku seenaknya. Namun jika menyangkut reputasi, nama baik, mereka akan menjaganya sepenuh jiwa. Pria di depannya mendengus lirih. "Aku tidak peduli dengan reputasi. Itu hanya omong kosong." "Double sial!" Pria macam apa yang tengah Livi hadapi. Kenapa keras kepalanya melebihi batu dari luar angkasa. Sungguh, kemampuan negosiasi Livi sedang dipertaruhkan. Pria tersebut sudah hampir beranjak ketika Livi mengeluarkan kartu AS-nya. "Reputasi orang tua." Sudut bibir Livi tertarik, pria itu kembali duduk meski wajahnya kian dingin. Tanpa ekspresi dengan rasa tidak suka makin besar. Setidaknya itu penilaian Livi. Walau dia tadi sempat melihat Arch melengkungkan bibir meski hanya sedikit juga sekilas. Pelit senyum sekali orang ini. Padahal senyum itu salah satu bentuk ibadah. "Lalu?" Livi merasa terintimidasi oleh tatapan Arch. Pria itu benar-benar membuatnya mati kutu. "Tuan, bisakah kita percepat pernikahan ini. Atau kita akan kehabisan waktu." Asisten Arch kembali memberikan ponselnya. Ekspresi Arch berubah muram. Detik setelahnya kalimat itu terucap dari bibirnya. "Baik, mari menikah." Wajah Livi berubah senang. Dalam hati langsung bersorak, "Yes, aku berhasil! Axel, lihat saja. Aku tidak akan terpuruk meski kau khianati." .... Axel tampak panik, sudah setengah jam Livi menghilang. Dia telah mencari ke seluruh gedung. Tapi hasilnya nihil. Dua orang tuanya ikut panik. Kepalanya pusing, nyaris meledak saking marahnya. Dia harus menikahi Livi, dengan begitu masa depannya baru bisa terjamin. Namun sampai detik ini orang-orangnya belum berhasil menemukan Livi. Rencana akad sudah lewat. Bahkan sejumlah tamu undangan mulai pamit. Mereka tentu orang sibuk yang punya jadwal padat. "Axel ini bagaimana?" Sang mama bertanya. "Jangan tanya Axel, Ma. Axel pusing." Di tengah kepanikan dan kebingungan yang melanda, asisten Axel tiba-tiba datang dengan napas terengah. "Tuan, para tamu pindah ke ballroom sebelah." Axel perlu beberapa detik untuk mencerna, sebelum dia berlari keluar ruangan, diikuti Sandra dan orang tuanya. Dia penasaran dengan pernikahan di ball room sebelah. Pintu gerbang ball room sebelah sangat megah dan mewah. Pertanda si empunya hajat bukan kalangan biasa. Axel menerobos masuk. Begitu berada di dalam ball room, bola mata pria itu nyaris melompat keluar dari tempatnya. Di depan sana, terekam oleh kamera, ditayangkan melalui layar besar di empat penjuru ruangan. Tampak Livi sedang duduk di samping seorang pria yang tengah mengucapkan akad. Jantung Axel berdebar, dadanya lekas diliputi amarah. Dia ingin menerjang maju, tapi tiga bodyguard super besar memblokade langkahnya. "Minggir, dia calon istri saya. Bagaimana bisa dia menikah dengan orang lain. Livi! Nakaia Livi! Kamu tidak boleh menikah dengan orang lain!" Teriakan Axel sampai ke telinga Livi. Perempuan sesaat melihat ke arah Axel. Dia cukup terkejut melihat Axel muncul di sana dalam keadaan kacau. Namun rasa terkejut Livi lekas sirna begitu melihat Sandra tersenyum puas ke arahnya. Dalam hitungan menit, Livi sah jadi istri Arch. Saat prosesi akad selesai. Dia buru-buru menemui keluarganya guna minta maaf. "Livi, kenapa jadi begini?" Sang mama bertanya. Livi masih sedikit syok, lantaran semua terjadi begitu cepat. Dia bahkan masih tidak percaya kalau dia baru menikahi orang lain, bukan Axel. "Nanti Livi jelaskan. Tidak sekarang," bisik Livi pada keluarganya. Saat itulah, Axel menerobos kerumunan tamu, dia menarik tangan Livi. Lalu berujar dengan amarah tertahan. "Kenapa kamu batalkan pernikahan kita?" Ekspresi Axel seolah ingin menunjukkan kalau Livilah penjahatnya. "Livi, kenapa kamu permalukan Axel? Salah dia apa? Lima tahun ini dia selalu cinta sama kamu." Livi lekas menoleh ke sumber suara. Rasa mual seketika menyerangnya. "Kenapa kalian tidak tanya sama diri kalian sendiri. Kenapa aku sampai membatalkan pernikahan ini?!" Oktaf Livi meninggi, suaranya bergetar menahan sedih, kecewa, marah sekaligus patah hati. "Aku tidak tahu maksudmu, Liv. Aku tidak melakukan kesalahan, tapi kenapa kau membatalkan pernikahan kita." Axel terus bertanya. "Livi, kamu jangan menuduh sembarang. Axel setia sama kamu." Sandra tetap membela Axel. "Oh iya, setia katamu. Lalu ini apa?" Semua orang mendadak bergumam heboh begitu layar besar di empat penjuru menayangkan adegan dua satu plus antara Sandra dan Axel. "Kau ingin menikah? Nikahi saja selingkuhanmu itu. Axel, lo gue END!""Sampah? Lelaki sepertiku hanya sampah?"Kalimat dari Arch menghantam sisi paling rapuh dalam diri Axel. Fakta dia telah menyakiti juga menyia-nyiakan dua perempuan baik dalam hidupnya, membuka mata hati Axel.Tangannya turun perlahan, diikuti wajahnya yang berubah muram.Pria itu seketika disadarkan oleh kenyataan kalau dia memang brengsek, jahat, tidak punya hati. Egois juga tidak memiliki perasaan."Kau selamanya tidak akan masuk ke DL Grup. Mau mencoba dari sisi manapun. Kau tidak punya celah. Kau tidak memiliki kualifikasi untuk berada di jajaran direksi perusahaan yang aku pimpin.""Kau, tidak bermoral, tidak kompeten, kau juga tidak punya skill memadai untuk mendapatkan izin dariku!"Tangan Axel terkepal. Arch benar-benar menguliti dirinya. Mengupas semua kesalahan juga menguak sisi kelam dalam dirinya. Namun tiap kata yang Arch ucapkan, Axel sama sekali tidak bisa membantahnya.Sebab yang Arch sebutkan adalah kebenaran. Tidak ada satupun yang bisa membuat Axel denial akan hal
"Masih marah?"Arch menahan lengan Livi yang berjalan mendahuluinya. Wanita itu manyun tapi parasnya tidak sejengkel tadi. Ada binar kelegaan dalam mata coklat Livi."Masih," balas Livi lirih.Arch menghela napas. "Sekarang bilang, aku harus apa biar kamu gak marah lagi."Livi mengerutkan dahi, tampak berpikir. Hingga satu ide muncul di kepalanya. "Temani aku main seharian.""Main apa dulu?" Seringai Arch muncul begitu mendengar kata main."Jalan-jalan. Pikiranmu itu kasur saja isinya."Arch terbahak. "Habisnya enak sih, bagaimana dong."Lihat, betapa mudahnya pria itu mengubah ekspresi wajahnya. Padahal lima menit yang lalu, Livi dibuat merinding oleh sikap Arch yang menurutnya sangat menakutkan.Sekarang pria itu telah kembali ke mode tengilnya. Sebenarnya yang mana kepribadian Arch yang asli. Livi jadi bingung."Memang kamu mau jalan-jalan ke mana?"Arch mengejar langkah Livi yang hampir mencapai mobilnya. Livi baru akan menjawab ketika seseorang memanggilnya."Livi, bisa kita bica
Livi tak membalas sepatahkatapun. Dia pandangi sang suami yang sedang melahap makanannya dengan tenang juga elegan. Pria di depannya memang kerap terlihat demikian.Wanita itu kadang sampai bingung. Bingung menerka isi kepala suaminya. Arch sesekali tampak misterius. Seolah ada rahasia besar di balik sikapnya yang datar, tanpa riak emosi sedikitpun.Arch juga selalu bertindak cepat untuk mengatasi masalah yang muncul di antara mereka. Mengurai kesalahpahaman yang sering kali terjadi karena Livi overthinking.Seperti sekarang. Tanpa banyak kata, Livi langsung disuguhi kebenaran dari foto kemarin."Jadi semua ini bagian dari rencana tantemu?"Arch mengangguk, mengusap sudut mulutnya dengan serbet. Lantas menyesap kopi miliknya. Livi sendiri diam-diam menarik sudut bibirnya. "Dan dia sengaja membuatku terjebak dengan wanita itu, supaya aku tidak datang menolongmu."Tersirat kesal dalam perkataan Arch. "Maaf," lanjutnya."Tidak masalah. Ada pak Yo yang bantuin aku.""Kai langsung kroscek
"Jangan cemberut, itu pawangnya datang."Irfan menunjuk arah belakang Livi dengan dagunya. Wanita itu menoleh, hingga dia melihat Arch dan Satria datang bersamaan."Kita tersesat, Yang. Mereka cuma bikin kita mupeng aja," seloroh Satria yang langsung duduk di samping Farah. Tanpa minta izin langsung menyedot orange juice milik Farah hingga nyaris habis.Si empunya jus melotot. Tapi Satria dengan santai mengelus puncak kepala sang kekasih. Tangannya lantas memanggil pelayan."Makanya halalin, biar gak mupeng," sindir Irfan yang sejak tadi melihat interaksi Arch dan Livi yang terlihat "aneh""Mereka bertengkar?" Bisik Irfan di telinga Tina."Ehem, kata Livi Arch selingkuh," jawab Tina ikutan berbisik.Irfan menggulung senyum. Ini seru. Lihat bagaimana Arch coba membujuk Livi tapi sang istri tetap acuh."Kai tidak ikut?" Arch akhirnya biarkan Livi, walau tangannya tidak mau lepas dari jemari istrinya."Sibuk ngadon mereka," cibir Satria."Iri bilang bos," sindir Irfan tajam.Satria mende
"Ini bukan seperti ini.""Terus seperti apa? Aku sibuk menghajar mereka yang mau menjebakku, kamu malah asyik-asyikan sama perempuan lain."Arch memejamkan mata, coba menahan diri untuk tidak ikut terpancing emosi. Dia tahu Livi punya sisi meledak-ledak dalam dirinya."Aku bisa jelaskan.""Gak mau dengar."Juga sifat kekanakan yang terkadang sering muncul. Livi banyak benar minusnya. Tapi tidak masalah, yang penting Arch cinta. Bukankah tidak ada manusia yang sempurna."Nyonya De Leon cemburu?" Arch banting stir jadi menggoda istrinya, alih-alih sibuk menjelaskan."Idih, siapa juga yang cemburu. Aku cuma, cuma ... ndak suka!"Livi pilih kabur ke kamar meninggalkan Arch yang terbahak sebelum dia menghubungi Satria."Siapa aspri tuan Roland?"Jawaban datang sejurus Arch selesai bertanya. Sudut bibir lelaki itu tertarik. Seperti sang tante mulai berani macam-macam.Tidak masalah, Arch akan ikuti permainan tantenya....."Lesu amat," komen Farah yang baru datang. Dia melihat Livi dan Tin
"Itu cuma salah paham, Sayang. Aku tidak bermaksud menjelekkan Livi. Aku hanya ingin menyelidiki."Livi mendengus dalam hati, sedang di parasnya terukir senyum palsu. Di depannya ada Melanie yang sibuk menjelaskan pada Miguel soal kejadian tadi."Kamu harusnya minta maaf sama Livi. Kamu sudah fitnah dia."Wajah Melanie menegang sesaat sebelum akhirnya berpaling ke arah Livi. "Livi, Tante minta maaf. Tante asal tuduh tadi.""Lain kali jangan diulangi ya Tante. Takutnya orang-orang itu gak cuma saya tampar. Tapi bisa saya masukkan ke polisi. Atau malah saya aniaya dulu sebelum diserahkan ke polisi."Melanie bergidik ngeri. Dia baru tahu kalau Livi mampu bertingkah badas macam tadi. Melanie pikir, Livi cuma anak manja yang tahunya merengek, tanpa tahu bertindak.Siapa sangka jika Livi nyaris menghajar lelaki yang hampir menyentuhnya tadi. Andai Miguel tidak menghalangi."Kamu bisa lakukan apapun yang kamu mau. Jika hal ini sampai terulang lagi. Om, akan dukung kamu."Miguel memandang han