Share

LIMA

Author: brokolying
last update Last Updated: 2025-07-04 19:10:33

Ponsel di tangan Utara terasa lebih berat dari biasanya. Ia menatap angka-angka di layar cukup lama, seolah berharap bahwa dengan sekali coba, yang menjawab nanti akan langsung berkata: Halo, ini Casa.

Tapi tentu tidak semudah itu.

Dering pertama berlalu.

Kedua…

Ketiga..

Empat…

Perut Utara mulai mules karena gugup.

“Halo? Siapa nih?”

Bukan suara Casa. Yang ini sedikit lebih ramah di kuping Utara.

“Uhm, maaf. Ini nomornya Casa kan?”

Well, itu tergantung kamu siapa,” balas suara itu dramatis.

“Utara. Saya dikasih nomor ini sama Damian.”

“Damian? Hm. Tadi nama lo siapa?”

“Utara,”

“Oooooh jadi lo? Berani banget lo nyari Casa. Apalagi setelah lo bikin dia marah semarah-marahnya,” jelas wanita di ujung telepon itu.

“Gue tahu. Tapi ini penting. Darurat. Gue butuh bantuan dia,” usaha Utara meyakinkan.

“Kalo darurat, panggil ambulans. Telpon Damkar. Jangan nyari temen gue!” makin kesini, nada itu makin ketus.

“Gue nggak mau nyari ribut sama lo. Gue cuma butuh ngomong ke Casa. Gini aja. Lo kasih nomor Casa ke gue, dan gue bakal bayar lo berapapun,” Utara memulai kalimat transaksinya. Membuat lawan bicaranya hening.

“Pantes Casa benci banget sama lo ya. Ternyata memang lo seangkuh ini,”

“Oke-oke sorry kalau gue terdengar angkuh. Tapi lo harus nolong gue. ini soal Eyang gue, dan Casa tau itu,”

Listen, gue nggak kenal lo siapa. Dan apapun itu, bukan urusan gue,” tepis suara yang sangat tidak nyaman di kuping Utara. Suara yang membuat kesabaran pria itu habis.  Dia meremas telepon genggamnya. Rahangnya juga meruncing.

“Eyang gue lagi di ICU, dan satu-satunya nama yang dia cari sebelum dia kolaps hanya nama temen lo. Jadi sesama manusia, kali ini aja, please, tolong gue.”

Kini gantian wanita itu yang terdiam. Seperti berpikir. Mempertimbangkan sesuatu yang hanya dia yang tahu.

Hening.

Tapi dada Utara berisik.

“Yaudah gini aja. Gue nggak bisa ngasih nomor Casa tanpa seiizin orangnya, tapi gue bisa ngasih tahu dia lagi dimana,”

“Oh thank you,”

“Dan gue mau lo inget kalau gue ngelakuin ini bukan karena lo atau Casa. Tapi karena gue juga punya Eyang dan gue mungkin bakal lakuin hal yang sama kalau ada di posisi lo,” jelasnya panjang lebar.

Thank you,”

“Sekarang Casa harusnya lagi di RS. Emerald Tadika, nemenin salah client buat Medical Checkup. Kalau lo beruntung, mungkin lo bisa ketemu dia di sana.”

Dan telepon itu ditutup. Tanpa basa basi. Tapi buat Utara tidak apa-apa. Info itu sudah cukup untuk membawanya ke Casa.

Dia melajukan mobilnya.

Ke Emerald Tadika.

Tempat dimana eyangnya dirawat.

Tempat dimana seharusnya Casa berada.

*

Casa mengatur langkahnya agar tetap sejajar dengan pria paruh baya di sampingnya. Namanya Pak Purwoto, seorang pensiunan pengusaha properti yang sekarang lebih sibuk mengatur pola makan dibanding laporan keuangan.

Beliau termasuk klien penting di tempat Casa bekerja. Dan sejak tadi, pria itu masih saja bercerita panjang soal perjalanan dietnya sebelum berlanjut dengan penjelasan ringan tentang manfaat air kelor.

“Dulu saya kira medical checkup itu cuma taktik rumah sakit buat narik keuntungan,” gumam Pak Purwoto sambil merapikan topi fedoranya yang entah kenapa selalu tampak baru. “Tapi tenyata, orang tua seperti saya ini memang butuh.”

Casa terkekeh pelan. “Lebih baik dicek saja. Kan tidak ada salahnya, Pak.”

“Betul sekali. Sayangnya istri saya terlalu sibuk sama gengnya, jadi jadwal checkup kami harus dibedakan begini. Bandel dia tuh, padahal lututnya suka sakit kalau jalan jauh,”

“Nggak apa-apa. Toh berikutnya bapak bisa temenin Ibu buat kontrol. Yang penting bapak sudah saya kenalkan tadi dengan dokter Ari,” jelas Casa berusaha sehalus mungkin.

“Betul-betul. Terima kasih ya Nak.”

Mereka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan radiologi dan kini sedang berjalan menyusuri lorong menuju lobby. Casa menggenggam map hasil pemeriksaan sambil tetap menjaga sikap ramah. Berharap dari keramahannya, akan menghasilkan bonus-bonus saat gajian nanti.

“Eh, itu siapa duduk di situ? Kayaknya saya kenal deh,” kata Pak Purwoto sambil menyipitkan mata ke arah ruang tunggu kecil di sisi lorong.

Di dalamnya, duduk sepasang suami istri yang mungkin seumuran dengan kliennya itu. Seorang bapak-bapak yang mengenakan rompi rajut biru dongker, duduk merangkul bahu istrinya yang sedang sibuk membaca brosur diet jantung sehat.

“Pak Darmawan!” seru Pak Hadinoto sambil melambaikan tangan. “Nah bener kan itu Darmawan.”

Mau tidak mau, Casa ikut mendekat, dan senyum pun bertukar dengan cepat. Dia berdiri di sisi kliennya itu, tersenyum sopan sambil menunduk kecil saat diperkenalkan.

“Kenalin, ini Casa,” kata Pak Purwoto sambil menepuk lengan Casa. “Dia yang nemenin saya hari ini buat medical checkup. Bosnya, ponakan saya, tiba-tiba gak bisa nemenin karena punya jadwal lain. Jadi saja Casa dititipin tugas di luar job desk-nya gini,” jelas pria berperut sedikit tambun itu panjang lebar.

“Wah, enak ya kalau checkup ditemenin sama anak cantik gini. Jadi semangat sehatnya Pak Pur,” senyum istri Pak Darmawan itu sambil menatap Casa ramah.

Casa menanggapi dengan senyuman dan nada yang tak kalah ramahnya. “Saya juga jadi banyak belajar soal resep herbal dari Pak Pur, Bu. Jadi lumayan menyenangkan walaupun di luar Job desk.”

Obrolan mereka mulai melebar ke topik-topik ringan. Perubahan cuaca, teh kelor, dan tempat pijat refleksi yang buka sampai malam.

Tapi, di tengah obrolan ringan yang sudah lama tidak bersua itu, sebuah suara menyela dari belakang. Laki-laki. Cukup pelan untuk terdengar, tapi cukup jelas untuk diabaikan.

“Mah, Eyang udah sadar belum?”

Casa mematung. Ia tahu suara itu. tanpa babibubebo, dia berdoa. Semoga ingatannya salah.

Perlahan, ia memutar tubuhnya.

Dan di sana, berdiri seseorang yang selama sebulan terakhir hanya ia temui di benaknya. Di antara kalimat yang belum terucap dan amarah yang tertahan.

Utara.

Pria itu berdiri di dekat pintu. Hanya beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Bajunya tampak asal dikenakan. Kemeja putih setengah kusut, celana abu yang seperti tak disetrika. Rambutnya acak-acakan, dan wajahnya?

Ah, wajah itu. Lelah. Pucat. Tapi matanya tetap sama. Tajam, gelisah, dan seperti menahan sesuatu yang lebih dari sekadar kantuk.

Casa menegang. Map di tangannya mendadak terasa sangat berat.

Sementara itu, di sisi lain, Utara hampir terjatuh. Lututnya nyaris terlipat ketika mendapati wanita yang membuatnya berkeliling rumah sakit hampir tiga puluh menit belakangan, kini berdiri di hadapannya, justru saat ia hampir menyerah.

Casa di sana.

Menatapnya dengan mata terkejut.

Menatapnya dengan… Khawatir?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   LIMA

    Ponsel di tangan Utara terasa lebih berat dari biasanya. Ia menatap angka-angka di layar cukup lama, seolah berharap bahwa dengan sekali coba, yang menjawab nanti akan langsung berkata: Halo, ini Casa.Tapi tentu tidak semudah itu.Dering pertama berlalu.Kedua…Ketiga..Empat…Perut Utara mulai mules karena gugup.“Halo? Siapa nih?”Bukan suara Casa. Yang ini sedikit lebih ramah di kuping Utara.“Uhm, maaf. Ini nomornya Casa kan?”“Well, itu tergantung kamu siapa,” balas suara itu dramatis.“Utara. Saya dikasih nomor ini sama Damian.”“Damian? Hm. Tadi nama lo siapa?”“Utara,”“Oooooh jadi lo? Berani banget lo nyari Casa. Apalagi setelah lo bikin dia marah semarah-marahnya,” jelas wanita di ujung telepon itu.“Gue tahu. Tapi ini penting. Darurat. Gue butuh bantuan dia,” usaha Utara meyakinkan.“Kalo darurat, panggil ambulans. Telpon Damkar. Jangan nyari temen gue!” makin kesini, nada itu makin ketus.“Gue nggak mau nyari ribut sama lo. Gue cuma butuh ngomong ke Casa. Gini aja. Lo kas

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   EMPAT

    Sudah dua jam Utara duduk di ruang tunggu rumah sakit, memelototi layar ponselnya yang kosong. Eyangnya terbaring di ruang rawat intensif. Dokter bilang kondisinya stabil, tapi isi kepala Utara? Amburadul.Rumah sakit itu tidak seharusnya terasa seperti freezer raksasa, tapi begitulah rasanya pagi ini. Dingin, sunyi, dan penuh tekanan. Di ruang tunggu lantai dua, Utara duduk di kursi plastik abu-abu yang tidak pernah terasa cukup nyaman meski dicoba dari segala sudut.Eyangnya lagi-lagi dilarikan ke rumah sakit semalam setelah kolaps mendadak karena tekanan darah dan komplikasi jantung. Sejak itu, semua orang seketika jadi lebih sensitif. Termasuk orang tuanya yang kini duduk di sisi berlawanan, dengan wajah tak kalah tegangnya.“Sampai kapan kamu mau diam seperti itu, Utara?” suara Papanya berat, dengan nada bariton yang tak pernah lepas kontrol. “Kamu tahu kan, kamu harus menepati janji yang kamu buat ke Eyangmu?”Utara tidak menjawab. Tangannya ia tekuk di depan dada, dan matanya j

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   TIGA

    Casa duduk rapi di kursinya diam seribu bahasa. Dia bahkan meneguk jus apel dari pramugari tadi dalam sekali teguk karena gugup. Sedangkan manusia di sebelah kirinya tidak henti menatapnya tajam sejak tadi berulang kali.Dari semua orang yang bisa secara kebetulan duduk di sampingnya, entah alasan apa Tuhan mengirim dia.Dan lucunya apa? Kali ini dia bahkan nggak bisa memaki karena sudah berbuat semaunya lebih dulu. Yang tersisa hanyalah diam, meratapi nasib sambil berdoa agar tidak terjadi turbulensi lagi, dan pesawat itu lekas mendarat secepatnya.Dan berhasil.Saat pesawat itu baru saja mendaratkan semua bannya, dengan gerakan serba pelan, Casa melepaskan seat belt-nya tanpa menengok ke kiri sekalipun.Di kepalanya terus terulang gambaran bagaimana tadi dia menarik tangan itu tanpa izin dan meremasnya keras. Casa menggeleng-gelengkan kepalanya sedikit kencang berharap ingatan memalukan itu terlempar keluar dari otaknya.“Sepertinya kamu sudah keterlaluan ngikutin saya sampai segin

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   DUA

    Udara pagi itu menyelinap masuk dengan begitu lembut, seolah takut mengganggu dunia yang masih terlelap. Sinar matahari juga tidak mau kalah, memancar hangat dari balik tirai tipis yang melambai manja, membentuk siluet keemasan di seluruh ruangan. Sedang di atas ranjang berlapis seprai putih yang rapi, Casa masih terlelap. Menikmati sisa-sisa mimpi yang akan segera dia lupa ketika membuka mata.Tubuhnya terbungkus selimut, satu lengannya menjulur santai seolah enggan terlepas dari kenyamanan. Rambutnya terurai lembut di atas bantal, lalu sebagian lain jatuh menutupi pipinya yang diterpa lembut cahaya matahari Bali. What a cuti, katanya.Tirai tembus pandang di sisi lain kamar itu juga mengayunkan mimpi yang belum sepenuhnya usai. Di balik kaca jendela besar, langit pagi Bali terbentang hangat. Segalanya terasa lambat di ruangan itu. Di kota itu.Tak ada suara bising, tak ada hiruk pikuk. Hanya hembusan udara segar, aroma seprai linen bersih, dan cahaya pagi yang menari di permukaan ku

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   SATU

    “Kalaupun bisa memilih, saya juga nggak bakal mau menikah dengan perempuan yang tidak bisa menghargai dan menjaga harga dirinya sendiri.”Mendengar kalimat yang terdengar barusan, mulut Casa reflek menganga, hampir menyentuh meja makan di hadapannya. Matanya melotot lurus menatap seorang pria yang masih menikmati irisan wagyu ribeye yang baru saja dia suapkan ke dalam bibirnya yang hampir dia lempari gelas itu.“Untuk ukuran manusia yang nggak bisa jaga omongannya sendiri, kamu lumayan berani buat komentarin orang lain ya?” balas Casa penuh emosi.“Loh memangnya ada yang salah dari kalimat saya tadi? Saya hanya ngomongin fakta kok,” sanggahnya tidak merasa terancam sedikitpun.“Manusia jelek sok tahu!” crocos mulut Casa tanpa ampun. Dia tiba-tiba kehilangan selera makan. Padahal beberapa menit yang lalu, dia lapar selapar-laparnya. Di kepalanya sudah dipenuhi dengan visual Farfalle alla Rose yang hangat, gurih dan creamy.“Memangnya kamu cantik, berani ngatain saya jelek?”“BANGET. Ca

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status