LOGINDi bawah sorot lampu putih pucat di ruang tunggu rumah sakit yang berhawa seperti freezer itu, Utara berdiri membatu. Rambut kusutnya dia sisir dengan jari-jarinya sendiri, dan lengan kemejanya terlipat tak simetris. Wajahnya letih, seakan puluhan jam telah dilalui dalam tiga puluh menit belakangan untuk menyusuri setiap lorong, bertanya pada setiap petugas, berdebar oleh kemungkinan buruk yang tak henti melayang, bagaimana kalau dia tidak bisa menemukan Casa?
Tapi kini, di hadapannya, Casa berdiri tanpa tahu apa yang baru saja dia lakukan. Gadis yang tengah memenuhi kepalanya, kini nyata di depannya. Tertawa pelan sambil berbincang dengan kedua orang tuanya, juga seseorang lagi yang tidak dikenalnya.
Utara lega, tapi merinding dengan kebetulan luar biasa itu.
Sedang di sisi lain, Casa seperti menyusut ketika mata mereka bertemu di udara. Suara-suara hilang, detail-detail ruangan kabur. Yang tersisa hanya tatapan Utara. Yang penuh amarah tapi juga kelegaan.
Jantungnya berdebar. Bukan karena rindu, bukan pula karena senang. Tapi karena takut. Takut drama apapun terulang, takut berada di pusaran emosi yang jujur membuatnya selalu tidak nyaman.
"Casa?" suara itu keluar dari tenggorokan Utara seperti desah terakhir dari seseorang yang hampir tenggelam lalu akhirnya menemukan daratan. "Kamu kok bisa ada di sini?” sambungnya sambil mendekat perlahan.
Sorot mata Casa melesat ke segala arah. Pandangan orang-orang menikamnya dalam diam. Pak Purwoto menatapnya dengan alis naik setengah, sedang kedua teman Pak Pur saling melirik dengan kebingungan yang tidak kalah hebatnya. Ia bisa merasakan tekanan di dadanya. Tangannya nyaris gemetar, tapi ia mencoba tenang.
“A..aku…”
“Aku nyari kamu dari tadi,” bisik Utara yang kini telah berdiri di sisinya. Di depan semua orang.
"A..aku…"
“Ma, Pa, kenalin. Ini Casa, pacar Utara,” ucap Utara dengan suara lantang yang menggetarkan ruang tunggu. Menggetarkan Casa. Lagi-lagi tanpa izin.
Dan dengan itu, pupus lagi harapan Casa menjauh dan tidak terlibat drama apapun dengan pria itu. Dia berdiri seperti pemain yang baru diberi naskah di atas panggung, padahal pentas teaternya sudah dimulai. Heck, dia bahkan bukan pekerja seni.
Mulutnya terbuka sedikit, tapi tidak ada satupun kata yang keluar. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah diam, berusaha agar orang-orang tua itu tidak sadar seberapa keras sekarang jantungnya memukul dari balik tulang rusuk.
Wanita lima puluh tahunan yang mengenakan jilbab merah maron itu menatap anaknya seolah tidak yakin apakah yang dia dengar barusan itu betul.
“Casa yang ini pacar kamu?” tanyanya pelan, ragu-ragu, namun ada harapan yang hampir tidak berani dia biarkan tumbuh.
Papanya pun hanya memutar kepala perlahan ke arah Casa, lalu ke Utara, lalu kembali ke Casa. Seperti mencari gelagat yang mungkin bisa menkonfirmasi bahwa ini bukanlah lelucon anaknya yang kelewat batas.
“Jadi maksud kamu, ini yang Eyang sebut-sebut terus itu?” tanya Pak Darmawan, yang kemudian hanya dibalas angguk oleh anaknya.
Dan Casa melihat itu. Dia menyadari bagaimana cara Utara berdiri tegang depan kedua orang tuanya. Di mata Casa, sangat jelas terlihat bahwa yang pria itu hadapi bukan hanya sebuah penjelasan, tapi juga pertarungan batin yang entah kenapa bisa tercipta di antara hubungan anak dan orang tua itu.
Seperti ada ruang kosong di antara mereka yang tidak bisa Casa cerna. Dan Casa, meskipun bukan bagian dari bab-bab sebelumnya, dia berusaha menyesuaikan diri di keadaan yang Utara lemparkan padanya dengan cepat.
Ia menarik napas pelan, menatap satu per satu mereka yang masih memproses ucapan Utara. Lalu, dengan setenang mungkin, dia maju mendekati Bu Darmawan. Bersiap melakukan apapun untuk menyelamatkannya Utara sekali lagi.
“Maafin saya, Bu, Pak. Saya tahu ini bukan cara ideal atau waktu yang tepat untuk perkenalin diri, tapi…” ucapnya tertahan. Dia menoleh sekilas pada Utara sebelum kembali menatap pasangan di hadapannya “..benar saya Casa. Pacarnya Mas Utara.”
Sunyi. Tapi bukan sunyi yang menekan. Lebih seperti jeda yang muncul saat ada seseorang yang berkata jujur dan semua orang sedang mencernanya. Kata-kata gadis itu seperti mengisi celah yang beberapa jam ini terbuka antara orang tua dan anak itu.
Pak Darmawan tidak langsung menjawab. Tapi jemarinya yang semula mengepal kini mulai mengendur dan dia mengangguk kecil. Anggukan yang tegas. Mencoba percaya.
Sedang istrinya, menatap Casa lebih lama. Beberapa detik sebelum dia meraih tangan Casa dan meremasnya lembut. Tidak ada ucapan. Tapi mata yang berkaca dan senyum yang setengah gugup itu sudah cukup membuat Casa merasa disambut.
Sementara Utara, hanya bisa menonton adegan itu gugup. Tapi untuk pertama kalinya sejak dia masuk ke ruangan itu, ketegangan di wajahnya sedikit berkurang.
“Eyang kamu sudah sadar kok. Tapi sedang istirahat, dan kita belum dibolehin masuk lagi. Nanti, kalau Dokter udah izinin, kamu bisa bawa Casa ya buat nyapa Eyang?”
Casa menyadari Utara yang tidak langsung merespon permintaan mamanya. Tapi kepalanya masih terlalu bingung untuk membuka mulut.
“K…Kamu sibuk nggak?” tanya pria itu akhirnya. Sambil menunduk sedikit menatap Casa.
“Em… A…aku…”
“No no no. Casa, its oke. Checkup saya sudah selesai, dan saya rasa tugas kamu juga sudah selesai. It’s oke. Saya bisa pulang sendiri,” Pak Pur yang sejak tadi diam pun akhirnya angkat bicara. Mencoba mengerti situasi yang sedang terjadi.
“Siapa sayang?”
Mendengar Utara memanggilnya sayang out of nowhere, Casa yang tadinya udah engap karena kejutan itu, kini hampir tersedak. Matanya menatap Utara melotot.
“Oh Mas, kenalin ini Pak Purwoto. Klien aku,” jawab Casa memperkenalkan. Menjawab sekenanya.
“Oh. Klien?” Utara lagi-lagi bertanya. Kali ini dengan intonasi yang Casa tahu arahnya kemana.
“Haha iya betul. Sekalian saya teman lama Pak Darmawan. Yasudah kalau gitu saya pamit duluan ya semua. Dar, Mbak, nanti lain kali kita ketemu lagi,” pamit pria tambun penggemar kelor itu. Semua membalas senyumnya kecuali Utara. Melihat itu, entah apapun yang sedang dia pikirkan, Casa sangat tidak tertarik untuk bertanya.
“Jadi, sejak kapan kalian pacaran?”
Terlepas dari kontrak, kebohongan, kebencian, dan salah sangka - salah sangka yang terjalin di antara mereka berdua, ada masanya Casa berharap hubungannya dengan pria bernama Utara itu murni kemauan dua anak manusia yang tumbuh dengan sendirinya. Tidak dari kebetulan. Tidak dari kebutuhan.Seperti malam ini. Melihat Utara berdiri di belakangannya begitu dekat, memohon sambil menarik ujung bajunya, jauh dalam hati gadis itu berharap Utara adalah suaminya. Benar-benar suaminya. Bukan yang karena perjanjian.Belum lagi bagaimana Utara makin lama makin mendekat. Berusaha memangkas jarak sambil memohon. Kepalanya tidak mau menerima bagaimana ada pria lain yang berusaha mengatur rumah tangganya. Terlalu dekat dengan istrinya.“Ta, cemburu itu nggak bisa kamu buat-buat, terus kamu jadiin alasan untuk ngelarang aku ngelakuin sesuatu,” Casa mencoba menjelaskan bagaimana konsep cemburu ke anak tiga ratus bulan itu.“Orang bodoh mana yang pura-pura cemburu, Casa?”Tidak menjawab, Casa hanya menu
Setelah berhasil meninggalkan Toby di parkiran dan memastikan pria itu langsung pulang, Casa melangkah masuk ke lobby dengan langkah yang santai. Di tengah dinginnya malam Jakarta yang tumben-tumbennya hujan, dia tahu Utara berdiri di sana bahkan sebelum matanya sempat menangkap sosok pria itu. Sebut saja Casa mulai selalu bisa merasakan kehadiran Utara di mana pun.Dan benar saja. Dia berdiri di sana. Berdiri diam. Mengenakan baju tidur oversized, dengan ekspresi datar. Ekspresinya tidak senang. Tatapannya lurus menatap Casa yang tidak tahu harus ngomong apa.Mereka bukan pasangan, meski terdaftar legal di KUA. Itu yang berusaha Casa ucapkan. Kemarahan Utara kali ini dia rasa tidak perlu.Oke, dia mungkin sudah melanggar sedikit aturan yang dibuat Utara perihal tidak boleh memberi alamat apartemen mereka ke pria lain. Tapi kan itu juga Casa lakukan demi mendapat cuti. Cuti yang berasal dari ide pria itu sendiri.Casa menarik napas pelan lalu melangkah mendekat ketika Utara akhirnya me
Casa menutupi pajamas polos warna kremnya dengan sebuah cardigan coklat muda yang melekat cantik di tubuhnya. Di kedua kakinya, ia memakai sepasang sandal jepit, sedang rambutnya dibiarkan tercepol seadanya. Dia berjalan menuju salah satu mobil yang sudah dihapalnya di luar kepala.Mobil itu mencolok di antara deretan kendaraan lain yang terparkir dingin. Menjadi satu-satunya mesin yang masih menyala, menghembuskan uap tipis ke udara malam yang mulai menggigil. Lampu depannya memantul samar di aspal basah. Menunggu seseorang.Di balik kemudi, Toby duduk diam dengan tangan menggenggam seti. Matanya tak lepas dari bayangan yang mulai mendekat. Langkah-langkah Casa terlihat namun tak terdengar. Sandal jepitnya bersentuhan ringan dengan permukaan beton, dan setiap detik yang berlalu membuat detak jantung Toby semakin tak karuan. Pria itu menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi tubuhnya justru makin tegang saat melihat cardigan coklat muda itu bergerak mendekat, membalut tubuh yang t
Utara mendapati Casa serius berpikir setelah kedua orang tuanya pulang. Dia bahkan harus berjinjit agar gadis itu tidak kaget. Atau dia takut Casa mencegatnya? Terbukti saat langkah diam-diamnya nyaris memasuki kamar, dia hampir melompat kala Casa mengatakan sesuatu.“Paris? Honeymoon?” gumam Casa berpangku dagu di meja makan. Matanya seperti melekat pada pria yang rambutnya masih acak-acakan itu.“Bukannya itu mandatory ya buat pasangan yang baru nikah?”“Bahkan untuk yang nikah kontrak doang?”“Nurut aja. Itu kado dari Papa Mama,” ungkap Utara yang merasa perdebatan ini tidak perlu. Toh kalau memang Casa tidak mau dia sentuh layaknya istri pada umumnya, gadis itu tinggal menolak sentuhannya. Bukan kado ini.“Kan kamu bisa bilang kita udah honeymoon, Ta,”“Kapan? Nggak mau aku bohong,” jawab Utara tidak terima dan meninggalkan Casa ke kamar. Dia tahu betul, tidak akan menang dia ngomong ke Casa tanpa persiapan yang matang.Mendengar itu, mata Casa lagi-lagi terbelalak. Nggak mau bohon
Kalau sebuah hubungan diawali dengan sebuah kebohongan, apakah bisa berakhir baik? Apa itu bahkan bisa disebut sebuah hubungan?Banyak cara untuk memulai suatu hubungan memang. Tapi saat ini, yang bisa Casa pikirkan hanya cara-cara yang baik. Ada yang memulai sebagai teman. Ada yang memulai dari perjodohan.Lantas, bagaimana dengan penipuan? Dari kebohongan? Dari sebuah kesepakatan yang tertuang di selembar kontrak yang ditandatangani dua manusia yang tidak punya rencana untuk saling jatuh cinta ke depannya?Casa menghela nafas pelan. Takut membangunkan Utara yang tertidur memeluknya.Kepalanya malam ini tidak seberisik biasanya. Tenang. Sangat tenang hingga dia nyaman. Tidak menyangka bersentuhan dengan Utara bisa membuatnya setenang itu.Hanya satu pertanyaan yang sejak tadi berputar-putar.Hubungan seperti apa ini?Apakah mereka boleh bersentuhan semanis ini?Apakah mereka boleh senyaman ini?No, apa dia boleh senyaman ini?Semakin gadis itu berusaha menyimpulkan jawaban, semakin di
Casa duduk manis di kursi. Mempersilahkan Utara menyajikan pasta di piringnya. Walaupun masih deg-degan karena tadi tiba-tiba digendong, kewarasannya langsung kembali setelah mencium aroma masakan yang dihidangkan suaminya itu.“Makan,” titah Utara.Tanpa sungkan dan tanpa takut diracun, Casa langsung menyuapkan segulung spageti ke dalam mulutnya. Dia mengunyah pelan dan penuh penghayatan. Menikmati setiap gigitan, hingga berhasil tertelan semuanya.Lambungnya ingin berteriak kalau itu enak. Tapi gengsinya terlalu tinggi untuk melakukan atau mengatakan hal yang berlebihan.“Enak?” tanya Utara penasaran.“Hm. Lumayan. Ketelen,” jawab Casa tenang, melanjutkan suapan-suapannya.“Bagus deh.” Utara menatap gadis itu erat. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi dia tahan. Dia nggak mau Casa berhenti makan hanya karena kesal dengan omongannya. Dan tenyata, Utara suka melihatnya makan. Terlihat lahap. Membuatnya tidak bisa menahan senyum senangnya. Hingga dia lebih asik menonton wanita itu mak







