แชร์

ENAM

ผู้เขียน: brokolying
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-06 08:53:49

Di bawah sorot lampu putih pucat di ruang tunggu rumah sakit yang berhawa seperti freezer itu, Utara berdiri membatu. Rambut kusutnya dia sisir dengan jari-jarinya sendiri, dan lengan kemejanya terlipat tak simetris. Wajahnya letih, seakan puluhan jam telah dilalui dalam tiga puluh menit belakangan untuk menyusuri setiap lorong, bertanya pada setiap petugas, berdebar oleh kemungkinan buruk yang tak henti melayang, bagaimana kalau dia tidak bisa menemukan Casa?

Tapi kini, di hadapannya, Casa berdiri tanpa tahu apa yang baru saja dia lakukan. Gadis yang tengah memenuhi kepalanya, kini nyata di depannya. Tertawa pelan sambil berbincang dengan kedua orang tuanya, juga seseorang lagi yang tidak dikenalnya.

Utara lega, tapi merinding dengan kebetulan luar biasa itu.

Sedang di sisi lain, Casa  seperti menyusut ketika mata mereka bertemu di udara. Suara-suara hilang, detail-detail ruangan kabur. Yang tersisa hanya tatapan Utara. Yang penuh amarah tapi juga kelegaan.

Jantungnya berdebar. Bukan karena rindu, bukan pula karena senang. Tapi karena takut. Takut drama apapun terulang, takut berada di pusaran emosi yang jujur membuatnya selalu tidak nyaman.

"Casa?" suara itu keluar dari tenggorokan Utara seperti desah terakhir dari seseorang yang hampir tenggelam lalu akhirnya menemukan daratan. "Kamu kok bisa ada di sini?” sambungnya sambil mendekat perlahan.

Sorot mata Casa melesat ke segala arah. Pandangan orang-orang menikamnya dalam diam. Pak Purwoto menatapnya dengan alis naik setengah, sedang kedua teman Pak Pur saling melirik dengan kebingungan yang tidak kalah hebatnya. Ia bisa merasakan tekanan di dadanya. Tangannya nyaris gemetar, tapi ia mencoba tenang.

“A..aku…”

“Aku nyari kamu dari tadi,” bisik Utara yang kini telah berdiri di sisinya. Di depan semua orang.

"A..aku…"

“Ma, Pa, kenalin. Ini Casa, pacar Utara,” ucap Utara dengan suara lantang yang menggetarkan ruang tunggu. Menggetarkan Casa. Lagi-lagi tanpa izin.

Dan dengan itu, pupus lagi harapan Casa menjauh dan tidak terlibat drama apapun dengan pria itu. Dia berdiri seperti pemain yang baru diberi naskah di atas panggung, padahal pentas teaternya sudah dimulai. Heck, dia bahkan bukan pekerja seni.

Mulutnya terbuka sedikit, tapi tidak ada satupun kata yang keluar. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah diam, berusaha agar orang-orang tua itu tidak sadar seberapa keras sekarang jantungnya memukul dari balik tulang rusuk.

Wanita lima puluh tahunan yang mengenakan jilbab merah maron itu menatap anaknya seolah tidak yakin apakah yang dia dengar barusan itu betul.

“Casa yang ini pacar kamu?” tanyanya pelan, ragu-ragu, namun ada harapan yang hampir tidak berani dia biarkan tumbuh.

Papanya pun hanya memutar kepala perlahan ke arah Casa, lalu ke Utara, lalu kembali ke Casa. Seperti mencari gelagat yang mungkin bisa menkonfirmasi bahwa ini bukanlah lelucon anaknya yang kelewat batas.

“Jadi maksud kamu, ini yang Eyang sebut-sebut terus itu?” tanya Pak Darmawan, yang kemudian hanya dibalas angguk oleh anaknya.

Dan Casa melihat itu. Dia menyadari bagaimana cara Utara berdiri tegang depan kedua orang tuanya. Di mata Casa, sangat jelas terlihat bahwa yang pria itu hadapi bukan hanya sebuah penjelasan, tapi juga pertarungan batin yang entah kenapa bisa tercipta di antara hubungan anak dan orang tua itu.

Seperti ada ruang kosong di antara mereka yang tidak bisa Casa cerna. Dan Casa, meskipun bukan bagian dari bab-bab sebelumnya, dia berusaha menyesuaikan diri di keadaan yang Utara lemparkan padanya dengan cepat.

Ia menarik napas pelan, menatap satu per satu mereka yang masih memproses ucapan Utara. Lalu, dengan setenang mungkin, dia maju mendekati Bu Darmawan. Bersiap melakukan apapun untuk menyelamatkannya Utara sekali lagi.

“Maafin saya, Bu, Pak. Saya tahu ini bukan cara ideal atau waktu yang tepat untuk perkenalin diri, tapi…” ucapnya tertahan. Dia menoleh sekilas pada Utara sebelum kembali menatap pasangan di hadapannya “..benar saya Casa. Pacarnya Mas Utara.”

Sunyi. Tapi bukan sunyi yang menekan. Lebih seperti jeda yang muncul saat ada seseorang yang berkata jujur dan semua orang sedang mencernanya. Kata-kata gadis itu seperti mengisi celah yang beberapa jam ini terbuka antara orang tua dan anak itu.

Pak Darmawan tidak langsung menjawab. Tapi jemarinya yang semula mengepal kini mulai mengendur dan dia mengangguk kecil. Anggukan yang tegas. Mencoba percaya.

Sedang istrinya, menatap Casa lebih lama. Beberapa detik sebelum dia meraih tangan Casa dan meremasnya lembut. Tidak ada ucapan. Tapi mata yang berkaca dan senyum yang setengah gugup itu sudah cukup membuat Casa merasa disambut.

Sementara Utara, hanya bisa menonton adegan itu gugup. Tapi untuk pertama kalinya sejak dia masuk ke ruangan itu, ketegangan di wajahnya sedikit berkurang.

“Eyang kamu sudah sadar kok. Tapi sedang istirahat, dan kita belum dibolehin masuk lagi. Nanti, kalau Dokter udah izinin, kamu bisa bawa Casa ya buat nyapa Eyang?”

Casa menyadari Utara yang tidak langsung merespon permintaan mamanya. Tapi kepalanya masih terlalu bingung untuk membuka mulut.

“K…Kamu sibuk nggak?” tanya pria itu akhirnya. Sambil menunduk sedikit menatap Casa.

“Em… A…aku…”

No no no. Casa, its oke. Checkup saya sudah selesai, dan saya rasa tugas kamu juga sudah selesai. It’s oke. Saya bisa pulang sendiri,” Pak Pur yang sejak tadi diam pun akhirnya angkat bicara. Mencoba mengerti situasi yang sedang terjadi.

“Siapa sayang?”

Mendengar Utara memanggilnya sayang out of nowhere, Casa yang tadinya udah engap karena kejutan itu, kini hampir tersedak. Matanya menatap Utara melotot.

“Oh Mas, kenalin ini Pak Purwoto. Klien aku,” jawab Casa memperkenalkan. Menjawab sekenanya.

“Oh. Klien?” Utara lagi-lagi bertanya. Kali ini dengan intonasi yang Casa tahu arahnya kemana.

“Haha iya betul. Sekalian saya teman lama Pak Darmawan. Yasudah kalau gitu saya pamit duluan ya semua. Dar, Mbak, nanti lain kali kita ketemu lagi,” pamit pria tambun penggemar kelor itu. Semua membalas senyumnya kecuali Utara. Melihat itu, entah apapun yang sedang dia pikirkan, Casa sangat tidak tertarik untuk bertanya.

“Jadi, sejak kapan kalian pacaran?”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   TIGA PULUH DUA

    Utara mendapati Casa serius berpikir setelah kedua orang tuanya pulang. Dia bahkan harus berjinjit agar gadis itu tidak kaget. Atau dia takut Casa mencegatnya? Terbukti saat langkah diam-diamnya nyaris memasuki kamar, dia hampir melompat kala Casa mengatakan sesuatu.“Paris? Honeymoon?” gumam Casa berpangku dagu di meja makan. Matanya seperti melekat pada pria yang rambutnya masih acak-acakan itu.“Bukannya itu mandatory ya buat pasangan yang baru nikah?”“Bahkan untuk yang nikah kontrak doang?”“Nurut aja. Itu kado dari Papa Mama,” ungkap Utara yang merasa perdebatan ini tidak perlu. Toh kalau memang Casa tidak mau dia sentuh layaknya istri pada umumnya, gadis itu tinggal menolak sentuhannya. Bukan kado ini.“Kan kamu bisa bilang kita udah honeymoon, Ta,”“Kapan? Nggak mau aku bohong,” jawab Utara tidak terima dan meninggalkan Casa ke kamar. Dia tahu betul, tidak akan menang dia ngomong ke Casa tanpa persiapan yang matang.Mendengar itu, mata Casa lagi-lagi terbelalak. Nggak mau bohon

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   TIGA PULUH SATU

    Kalau sebuah hubungan diawali dengan sebuah kebohongan, apakah bisa berakhir baik? Apa itu bahkan bisa disebut sebuah hubungan?Banyak cara untuk memulai suatu hubungan memang. Tapi saat ini, yang bisa Casa pikirkan hanya cara-cara yang baik. Ada yang memulai sebagai teman. Ada yang memulai dari perjodohan.Lantas, bagaimana dengan penipuan? Dari kebohongan? Dari sebuah kesepakatan yang tertuang di selembar kontrak yang ditandatangani dua manusia yang tidak punya rencana untuk saling jatuh cinta ke depannya?Casa menghela nafas pelan. Takut membangunkan Utara yang tertidur memeluknya.Kepalanya malam ini tidak seberisik biasanya. Tenang. Sangat tenang hingga dia nyaman. Tidak menyangka bersentuhan dengan Utara bisa membuatnya setenang itu.Hanya satu pertanyaan yang sejak tadi berputar-putar.Hubungan seperti apa ini?Apakah mereka boleh bersentuhan semanis ini?Apakah mereka boleh senyaman ini?No, apa dia boleh senyaman ini?Semakin gadis itu berusaha menyimpulkan jawaban, semakin di

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   TIGA PULUH

    Casa duduk manis di kursi. Mempersilahkan Utara menyajikan pasta di piringnya. Walaupun masih deg-degan karena tadi tiba-tiba digendong, kewarasannya langsung kembali setelah mencium aroma masakan yang dihidangkan suaminya itu.“Makan,” titah Utara.Tanpa sungkan dan tanpa takut diracun, Casa langsung menyuapkan segulung spageti ke dalam mulutnya. Dia mengunyah pelan dan penuh penghayatan. Menikmati setiap gigitan, hingga berhasil tertelan semuanya.Lambungnya ingin berteriak kalau itu enak. Tapi gengsinya terlalu tinggi untuk melakukan atau mengatakan hal yang berlebihan.“Enak?” tanya Utara penasaran.“Hm. Lumayan. Ketelen,” jawab Casa tenang, melanjutkan suapan-suapannya.“Bagus deh.” Utara menatap gadis itu erat. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi dia tahan. Dia nggak mau Casa berhenti makan hanya karena kesal dengan omongannya. Dan tenyata, Utara suka melihatnya makan. Terlihat lahap. Membuatnya tidak bisa menahan senyum senangnya. Hingga dia lebih asik menonton wanita itu mak

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   DUA PULUH SEMBILAN

    Kekesalan Utara menjadi-jadi saat Casa tidak juga menjawab chatnya. Gadis itu bahkan masih sibuk ngobrol dan tidak mengambil hp yang entah dia simpan dimana.Dan kekesalan itu ternyata berlarut-larut hingga jam pulang kerja, hingga dia menjemput Casa di kantornya, hingga mereka ke kostan ngambil barang Casa sebelum akhirnya kembali ke unit, Utara masih kesal. Literally sepanjang perjalanan. Nggak sekalipun dia ngajak Casa ngomong.Lantas tanggapan Casa gimana?Gadis itu sama diamnya. Dia nggak tahu dia salah apa, tapi apapun alasan Utara mendiaminya, Casa yakin semua berasal dari pikirannya sendiri. Dan dia nggak tertarik buat nanya. Walaupun kesabarannya setipis tissu. Walaupun tiap detik emosinya serasa ingin meledak di muka Utara.Casa menatapnya lekat saat mereka keluar dari lift. Menuju unit Utara. gadis itu sengaja berjalan lebih lambat hanya agar dia bisa mengamati pria itu.Apa dia bipolar?Atau emang gila aja?Dan banyak lagi pertanyaan lain yang muncul di benaknya saat melih

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   DUA PULUH DELAPAN

    Pak, kita ketemu di kantor saja.Saya bisa berangkat sendiri.Terima kasih untuk tawarannya.Setelah membalas chat singkat bosnya, Casa cepat-cepat mandi dan berangkat. Menjalani hari seperti biasanya, tapi hatinya penuh pertanyaan. Apakah sikap Utara kini berubah? Lebih hangat? Dia penasaran.Langkanya melebar. Berusaha menyamai langkah seseorang di depan sana. yang baru juga memasuki lobby dengan penampilan yang nyentrik seperti biasa. Kalau bajunya merah, tasnya juga mesti warna merah.“NAT!” sapanya ngos-ngosan. “Bisa nggak lo kalau jalan tuh pelan-pelan aja?”“Nggak bisa. Gue udah telat. Nambah satu aja absen jelek gue, bisa potong gaji. Ogah!”“Nggak bakal potong gaji,” sambung Casa masih berusaha menyamai langkah Nata yang entah kenapa bisa secepat itu padahal lagi hamil gede.“Ya itu mah lo. Kesayangan Pak Toby. Lah gue?”“Kesayangan apa ih! Ntar orang denger malah mikir yang nggak-nggak,” hardik Casa sambil melihat sekeliling.“Di gedung ini? Giiiiiirl, siapa yang nggak tahu

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   DUA PULUH TUJUH

    Utara masuk ke bawah selimut Casa dengan gerakan pelan, nyaris ragu. Tangannya sempat berhenti di pinggiran kain, seolah menimbang ulang keputusan yang sudah separuh jalan itu. Tapi tubuhnya terus bergerak.Casa bisa merasakan setiap gesekan kecil di antara mereka. Bunyi halus kain yang bergeser, aroma samar dari kulit Utara yang hangat, dan bagaimana udara di antara mereka berubah, akrab.Ada keraguan di mata Utara, tapi bukan keraguan yang membuatnya mundur. Justru sebaliknya, keraguan itu seperti bara yang menyala pelan. Dan anehnya, meski sedikit gamang, tiap gerakannya terasa pasti. Seolah tubuhnya tahu persis harus apa, kapan, bagaimana, ke siapa.Sedang Casa tidak bergerak. Dia hanya menatap, membiarkan detik-detik itu mengulur, membiarkan jarak di antara mereka menyusut tanpa satu pun kata. Dan saat Utara akhirnya berbaring di sampingnya, dengan napas yang sedikit lebih cepat dari biasanya, dunia terasa mengecil. Hanya ada selimut dan mereka berdua.“Loh?”“Aku mau tidur sama i

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status